Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ABSTRAK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan
perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa
negara. Selain itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah
dan agroindustri (Goenadi, Baon, dan Herman, 2005).
Perkembangan kakao dapat dilihat dari segi luas areal pertanaman maupun
sumbangannya kepada negara sebagai komoditas ekspor. Badan Pusat Statistik
(2018) mengemukakan bahwa pada tahun 2013 lahan perkebunan kakao tercatat
seluas 1,74 hektar, menurun menjadi 1,72 juta hektar pada tahun 2016 atau terjadi
penurunan 1,14%. Pada tahun 2017 luas areal perkebunan kakao naik sebesar
0,2% dari tahun 2016 menjadi 1,724 juta hektar. Menurut pengusahaannya,
sebagian besar perkebunan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat sebesar 1,69
juta hektar (97,84%), sementara perkebunan swasta mengusahakan 22,41 ribu
hektar (1,29%), dan perkebunan besar negara hanya mengusahakan 17,74 ribu
hektar (0,85%).
Kebutuhan kakao dunia terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk dan perbaikan ekonomi masyarakat (Panggabean dan Satyoso,
2013), sementara itu produksi kakao di Indonesia terus mengalami penurunan dari
tahun ke tahun (Ditjenbun, 2014). Produktivitas kakao di Indonesia masih relatif
rendah dibandingkan dengan potensi produksi sebenarnya. Potensi produktivitas
tanaman kakao di Indonesia dapat mencapai lebih dari 2.000/kg/ha/tahun
(Wahyudi dan Misnawi, 2015).
Rendahnya produktivitas kakao di Indonesia bisa juga disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu sekitar pertanaman kakao di Indonesia yang merupakan
tanaman tua, belum digunakannya bahan tanam unggul pada pertanaman kakao,
belum diterapkannya GAP (Good Agriculture Practice) oleh para petani kakao,
serta serangan hama dan penyakit. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan
secara tepat, maka masa produksinya dapat bertahan lebih dari 25 tahun, selain itu
untuk keberhasilan budidayanya diperlukan juga perhatian yang khusus terhadap
bahan tanam serta kesesuaian lahannya. Penggunaan bahan tanam kakao yang
tidak unggul mengakibatkan pencapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang
rendah, oleh karena itu perlu digunakannya bahan tanam yang unggul serta
bermutu tinggi dalam proses budidaya kakao.
Tanaman kakao termasuk tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan
khusus untuk dapat berproduksi dengan baik, tanaman kakao dapat tumbuh
dengan baik pada ketinggian 0-600 mdpl, dengan suhu udarra maksimum 30-32
0
C dan suhu udara minimum 18-21 0C, curah hujan rata-rata tahunan 1.500-2.500
mm, dan kelembaban yang tinggi dan konstan, memiliki tekstur tanah yang
lempung berpasir, kaya bahan organik (>3%), pH tanah sekitar netral (5,6-6,8),
dan berdrainase baik (Wibawa dan Baon, 2013). Lingkungan alami tanaman
kakao adalah hutan hujan tropis yang gelap dan lembab. Dengan demikian,
pengelolaan tanaman kakao sekarang ini digunakan modifikasi iklim agar
menyerupai habitat asalnya. Curah hujan, temperatur, dan sinar matahari menjadi
bagian dari faktor iklim yang menentukan. Demikian juga faktor fisik dan kimia
tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus (penetrasi) dan kemampuan akar
menyerap hara.
2
Ketersediaan unsur hara yang lengkap dan berimbang yang dapat diserap
oleh tanaman merupakan faktor yang menentukan pertumbuhan dan produksi
tanaman. Salah satu hal yang sering dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan
unsur hara serta untuk mengejar produksi yang tinggi adalah dengan
menggunakan pupuk anorganik secara terus-menerus bahkan berlebihan. Sama
halnya untuk pembibitan kakao, untuk mengejar hasil vegetatif yang baik menurut
Dinas Perkebunan Jawa Timur (2013) pada awal pembibitan kakao dilakukan
pemupukan dengan urea sebanyak 2 g/bibit dan dilakukan setiap 2 minggu sekali
dan sedangkan untuk bibit yang telah berusia 5 bulan berdasarkan rekomendasi
oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2006) setiap bibit kakao membutuhkan
kurang lebih 5 g urea, 5 g TSP, 4 g KCl, dan 4 g kieserit. Hal ini akan
menyebabkan penurunan kualitas lahan karena penggunaan pupuk anorganik
secara terus-menerus yang berakibat pada penurunan produktivitas tanaman.
Pupuk hayati adalah pupuk yang mengandung bahan aktif mikroba yang
mampu menghasilkan senyawa yang berperan dalam proses penyediaan unsur
hara dalam tanah, sehingga dapat diserap tanaman. Pupuk hayati juga membantu
usaha mengurangi pencemaran lingkungan akibat penyebaran hara yang tidak
diserap tanaman pada penggunaan pupuk anorganik (Goenadi, Ananta, Gunawan,
Ishak, Sukin, dan Hartadi, 2000). Adapun mikroba yang terkandung dalam pupuk
hayati antara lain berupa mikroba penambat N (simbiotik dan non simbiotik),
mikroba pelarut P, mikroba pelarut K, mikroba pelarut fitohormon pemacu
tumbuh tanaman (plant growth promoting rhizobacteria), mikroba perombak
bahan organik (dekomposer), dan mikroba yang berperan sebagai agen hayati
(Board, 2012). Pembibitan kakao dengan penambahan pupuk hayati diharapkan
dapat menghasilkan bibit kakao dengan kualitas yang unggul dan sehat serta dapat
mengurangi penggunaan pupuk anorganik.
B. Tujuan
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui respon
pertumbuhan bibit kakao terhadap pemberian berbagai konsentrasi pupuk hayati
(biofertilizer).
C. Hipotesis
Pemberian pupuk hayati memberikan respon yang sama terhadap
pertumbuhan bibit tanaman kakao (Theobroma Cacao L.)
METODOLOGI PENELITIAN
3
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih kakao
varietas Lindak hibrida F1, tanah, pupuk kandang sapi, pasir, pupuk hayati, pupuk
urea, dan fungisida Dithane. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain polybag ukuran 30 cm x 25 cm, karung goni, paranet
75%, bambu, ayakan pasir, cangkul, gelas ukur, timbangan manual, timbangan
analitik, gembor, jangka sorong, meteran/penggaris, alat tulis, dan kamera.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan 5 perlakuan, yaitu:
Yij = µ + τi + βj + εij
D. Pelaksanaan Penelitian
1. Persiapan Media
Media tanam disiapkan sebelum penanaman yang komposisinya terdiri
dari tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1 (Balai Penelitian
Tanah, 2008). Media tanam dicampurkan dan diaduk hingga merata, kemudian
dimasukkan ke dalam polybag berukuran 30 x 20 cm, dan ditimbang sehingga
setiap polybag berisi 6 kg media tanam. Kemudian polybag yang sudah diisi
dengan media tanam didiamkan terlebih dahulu selama 1 minggu dalam
keadaan tanah yang lembab.
4
2. Pemasangan Naungan
Pemasangan naungan dilakukan sebagai salah satu bentuk modifikasi
iklim karena habitat alami kakao merupakan hutan hujan tropis yang cukup teduh.
Dalam penelitian ini naungan yang digunakan berupa paranet dengan intensitas
cahaya matahari 70% sehingga cahaya matahari yang diteruskan kepada tanaman
hanya sebesar 30%. Paranet dipasang dengan menggunakan tiang sanggahan
berupa bambu dengan tinggi 2 m.
3. Persiapan Benih
Benih kakao yang digunakan merupakan varietas lindak hibrida F1 yang
diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Jember.
Benih yang akan digunakan terlebih dahulu dilakukan penyemaian dengan
menggunakan karung goni. Karung goni yang akan digunakan untuk penyemaian
sebelumnya harus disiram dengan air agar kondisinya tetap lembab dan kemudian
di celupkan ke dalam larutan fungisida. Setelah itu benih dihamparkan di atas
karung goni, dan diberi jarak antar benih 2 x 3 cm, selanjutnya benih ditutup
kembali dengan karung goni tipis yang sebelumnya juga sudah dicelupkan ke
larutan fungisida. Penyiraman dengan air tetap dilakukan selama proses
penyemaian berlangsung karena karung goni harus tetap dalam kondisi yang
lembab sampai benih berkecambah.
4. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan cara membuat lubang tanam di media tanam
menggunakan batang kayu ataupun tangan. Kemudian benih kakao dimasukan
sebanyak ½ bagian ke dalam lubang tanam dengan posisi calon akar (radikula)
berada di bagian bawah, dalam setiap polybag terdapat 2 benih kakao yang
ditanam. Selanjutnya tutup bagian sekitar lubang tanam dengan tanah halus dan
lakukan penyiraman agar tetap terjaga kelembabannya.
5. Penyeleksian dan Penyulaman
Penyeleksian dan penyulaman dilakukan pada 2 minggu setelah tanam.
Penyeleksian dilakukan untuk memilih satu bibit terbaik yang ada pada setiap
polybag, dan dilakukan dengan cara mencabut bibit yang tumbuh secara abnormal
atau tidak tumbuh. Sedangkan penyulaman dilakukan apabila dalam satu polybag
terdapat benih yang tidak tumbuh.
6. Pemberian Perlakuan
a. Pupuk Anorganik
Pemberian pupuk anorganik (urea) dilakukan secara berulang setiap 2
minggu sekali. Untuk tanaman kontrol (P0) jumlah urea yang diberikan sesuai
dengan dosis rekomendasinya yaitu 2 g/bibit. Sedangkan untuk kelompok
perlakuan lainnya pemberian ureanya dikurangi sebanyak 50% sehingga hanya
diberikan sebanyak 1 g/bibit saja. Pemberian urea dilakukan dengan cara
membuat lingkaran di sekeliling bibit dengan jarak 5 cm, kemudian isi lingkaran
tersebut dengan pupuk urea yang jumlahnya sesuai dengan masing-masing
5
perlakuan. Setelah itu tutup kembali lingkaran tersebut menggunakan tanah untuk
mengurangi penguapan.
b. Pupuk Hayati
Pemberian pupuk organik hayati dilakukan secara berulang setiap 2
minggu sekali dan tidak dilakukan secara bersamaan dengan pemberian pupuk
organik. Pupuk organik hayati diaplikasikan setelah kurang lebih 3-7 hari setelah
pemberian pupuk anorganik. Adapun konsentrasi yang diberikan pada setiap
perlakuan berbeda-beda yaitu 9 ml/l untuk P1, 10 ml/l untuk P2, 11 ml/l untuk P3,
dan 12 ml/l untuk P4. Pemberian pupuk organik hayati dilakukan dengan cara
disemprotkan ke daerah sekitar perakaran.
7. Pemeliharaan
Pemeliharaan bibit kakao meliputi penyiraman, pengendalian gulma, serta
pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dengan menggunakan
gembor pada sore hari. Pengendalian gulma dilakukan dengan mencabuti gulma
secara manual.
E. Parameter Pengamatan
1. Tanah
a. pH Tanah
Pengamatan terhadap pH tanah dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada awal
penelitian atau sebelum penanaman dilakukan dan yang kedua dilakukan pada
akhir penelitian. Pengamatan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kertas
lakmus.
2. Tanaman
a. Tinggi Bibit (cm)
Pengukuran tinggi dilakukan pada saat bibit berumur 4-16 MST dan
dilakukan dengan interval waktu pengukuran 2 minggu sekali dikarenakan kakao
merupakan tanaman tahunan sehingga pertumbuhannya lebih lambat jika
dibandingkan dengan tanaman hortikultura. Pengukuran tinggi bibit dilakukan
dengan menggunakan penggaris/meteran dan diukur mulai dari pangkal batang
hingga ujung titik tumbuh bibit.
b. Diameter Batang (cm)
Pengukuran diameter batang dilakukan pada saat bibit berumurr 4-16 MST
dan dilakukan dengan interval waktu pengukuran 2 minggu sekali. Pengukuran
diameter batang dilakukan pada ketinggian 5 cm dari pangkal batang bibit dengan
menggunakan jangka sorong.
c. Jumlah Daun (helai)
Pengamatan jumlah daun dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun
yang telah terbuka sempurna. Jumlah daun diamati setiap 2 minggu sekali pada
saat umur bibit 4-16 MST.
6
d. Panjang Akar (cm)
Pengukuran panjang akar dilakukan pada akhir penelitian dengan cara
membuka polybag kemudian bersihkan akar dari tanah yang menempel.
Pengukuran panjang akar menggunakan penggaris dilakukan mulai dari pangkal
akar sampai ke ujung akar.
e. Bobot Akhir Bibit (g)
Penghitungan bobot akhir bibit dilakukan pada akhir penelitian, dengan
cara menimbang bobot bibit satu persatu menggunakan timbangan analitik.
A. Keadaan Umum
Berdasarkan data iklim (Tabel 1) yang diperoleh dari Balai Besar Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah II Ciputat menunjukan bahwa
pada bulan Mei sampai September 2018 memiliki rata-rata suhu, rata-rata
kelembaban, lama penyinaran matahari, dan total curah hujan yang sesuai dengan
syarat tumbuh kakao, yakni suhu yang berkisar antara 18-32 0C, kelembaban
udara 70-80%, penyinaran matahari yang berkisar antara 25-35%, dan curah hujan
yang berkisar antara 1.100-3.000 mm/tahun (Susanto, 2004). Syarat tumbuh yang
terpenuhi dengan baik selama penelitian membuat bibit kakao secara keseluruhan
mengalami pertumbuhan yang cukup baik.
Tabel 1. Data Iklim Bulan Mei – September 2018
Lama
Kelembaban Penyinaran Curah
Bulan Suhu (0C)
(%) Matahari Hujan (mm)
(%)
Mei 28,5 77 42 66
Juni 28,1 77 22 210
Juli 28,1 71 30 160
Agustus 28,6 67 40 130
September 28,7 68 54 97
Pada saat bibit berumur 5 MST, bibit kakao mulai terserang hama belalang
kayu (Valanga nigricornis). Hama belalang menyerang terutama pada bagian
daun, daun terlihat rusak karena serangan hama tersebut. Pada umur 12 MST,
beberapa bibit kakao terserang penyakit hawar daun. Menurut Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao (2010), penyakit hawar daun yang disebabkan oleh jamur
Phytophthora palmivora ditemukan pada tanaman kakao di pembibitan. Bibit
kakao yang terserang penyakit ini ditandai dengan adanya gejala daun layu seperti
tersiram air panas kemudian mengering.
7
Pada umur 13 MST, bibit kakao terserang hama kutu putih (Aphis
gossypii). Pada musim kemarau serangan kutu daun akan mengganas, tetapi pada
musim hujan serangannya agak sedikit terhambat karena kekuatan menghisapnya
berkurang, ini disebabkan oleh air hujan yang dapat merontokan kutu daun yang
menempel pada daun (Hidayat et al., 2014).
B. Hasil dan Pembahasan
1. Tinggi Bibit
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
pemberian pupuk hayati Beyonic tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan tinggi bibit kakao.
Tabel 2. Respon Tinggi Bibit Kakao terhadap Penambahan Pupuk Hayati Beyonic
Perlakuan Tinggi Bibit (cm)
6 MST 8 MST 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST
P0 (100% Urea) 17.83a 19.02a 21.60a 27.01a 30.77a 33.37a
8
maupun yang berasal dari bahan anorganik dalam hal ini berupa pupuk urea. Hal
ini sesuai dengan pernyataan James et al. (2000) bahwa pupuk hayati berperan
meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman dalam tanah karena
mikroorganisme dalam pupuk hayati melakukan dekomposisi dan mineralisasi
hara dari bahan organik tanah, pelarutan hara dari unsur anorganik yang
kompleks, dan memperbaiki sifat fisik tanah.
2. Diameter Batang
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
pemberian pupuk hayati Beyonic tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan diameter batang bibit kakao.
Tabel 3. Respon Diameter Batang Bibit Kakao terhadap penambahan Pupuk
Hayati Beyonic
Perlakuan Diameter Batang (cm)
6 MST 8 MST 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST
P0 (100% Urea) 0.39a 0.44a 0.54a 0.67a 0.73a 0.84a
9
yang diuapkan. Kondisi tersebut mendukung aktivitas pemanjangan sel-sel
sehingga tumbuhan bertambah besar.
3. Jumlah Daun
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
pemberian pupuk hayati Beyonic tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan jumlah daun bibit kakao.
Tabel 4. Respon Jumlah Daun Bibit Kakao terhadap penambahan Pupuk Hayati
Beyonic
Perlakuan Jumlah Daun (helai)
6 MST 8 MST 10 MST 12 MST 14 MST 16 MST
P0 (100% Urea) 8.33a 15.80a 17.60a 22.00a 23.60a 28.40a
10
4. Panjang Akar
Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa
pemberian pupuk hayati Beyonic tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan panjang akar bibit kakao.
Tabel 5. Respon Panjang Akar Bibit Kakao terhadap penambahan Pupuk Hayati
Beyonic
Perlakuan Panjang Akar (cm)
P0 (100% Urea) 29.34a
P1 (50% Urea + 9 ml/L pupuk hayati 37.21a
Beyonic)
P2 (50% Urea + 10 ml/L pupuk hayati 35.12a
Beyonic)
P3 (50% Urea + 11 ml/L pupuk hayati 43.17a
Beyonic)
P4 (50% Urea + 12 ml/L pupuk hayati 29.08a
Beyonic)
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNJ taraf 5%
11
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji lanjut BNJ taraf 5%
Berdasarkan uji lanjut BNJ pada taraf 5% menunjukkan berat bobot basah
bibit kakao yang terberat adalah dengan perlakuan 50% urea + 11 ml/L pupuk
hayati Beyonic dengan berat sejumlah 43,20 g. Menurut Rosniawaty, Ratnadewi,
dan Sudirja (2007), bobot tanaman dipengaruhi oleh banyaknya unsur hara yang
dapat diserap oleh akar dan kondisi lingkungan yang mendukung terjadinya
fotosintesis seperti cahaya sebagai sumber energi dalam fotosintesis. Apabila
fotosintesis berjalan optimal maka fotosintat yang dihasilkan akan banyak dan
dapat digunakan untuk pertumbuhan bagian-bagian tanaman.
6. pH Tanah
Tabel 7. Respon pH Tanah Bibit Kakao terhadap penambahan Pupuk Hayati
Beyonic
Perlakuan pH
Tanah 6
P0 (100% Urea) 6
P1 (50% Urea + 9 ml/L pupuk hayati 6
Beyonic)
P2 (50% Urea + 10 ml/L pupuk hayati 6
Beyonic)
P3 (50% Urea + 11 ml/L pupuk hayati 6
Beyonic)
P4 (50% Urea + 12 ml/L pupuk hayati 6
Beyonic)
12
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa pemberian pupuk hayati Beyonic secara umum
tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit kakao. Adapun pemberian
pupuk hayati Beyonic dengan perlakuan P3 (50% urea + 11 ml/L pupuk hayati
Beyonic) memberikan nilai terbaik terhadap tinggi bibit (12 dan 14 MST),
diameter batang, jumlah daun (8, 10, 16 MST), panjang akar dan bobot basah
bibit kakao.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap pemberian pupuk hayati
Beyonic kepada bibit kakao, terutama untuk pemberian dosis penuh pupuk hayati
Beyonic tanpa penambahan urea.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah. 2008. Panduan Praktis Budidaya Kakao. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Board, N. 2012. The Complete Technology Book on: Biofertilizers and Organic
Farming. Niir Project Consultancy Services. Delhi.
Campbell, N.A. 2005. Biologi Edisi Kelima Jilid II. Erlangga. Jakarta.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. 2013. Pedoman Teknis Budidaya Kakao.
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Surabaya.
Goenadi, D.H., Baon J.B., dan Herman P.A. 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Hidayat, Rahmat, Yusran, dan Irmasari. 2014. Hama pada Tegakan Jati (Tectona
grandis L.) di Desa Talaga Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala.
Warta Rimba 2(1): 17-23.
James, E.K, Gyaneshwar, P., Mathan, L., Barraquio, W.L., dan Ladha, J.K. 2000.
Endophytic diaztroph associated with rice. International Rice Research
Institute. Philippines.
13
Lingga, P., dan Marsono. 2004. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Redaksi
Agromedia. Jakarta.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2006. Pedoman Teknis Budidaya Tanaman
Kakao (Theobroma cacao L.). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember.
Rosniawaty, S., Ratnadewi, I., dan Sudirja, R. 2007. Pengaruh Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.)
Kultivar Upper Amazone Hybrid. Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Wahyudi, T., dan Misnawi. 2015. Kakao: Sejarah, Botani, Proses Produksi,
Pengolahan, dan Perdagangan. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
Wibawa, A., dan Baon, J.B. 2013. Panduan Lengkap Kakao. Penebar Swadaya.
Jakarta.
14
Lampiran 1. Rekapitulasi Analisis Ragam