Anda di halaman 1dari 9

Mendeskripsikan Asas Otonomi Daerah, Prinsip Otonomi Daerah dan

Tujuan Otonomi Daerah

3 Asas-Asas Otonomi Daerah dan Pengertiannya


Dalam menjalankan pemerintahan di daerah ini, pemerintah daerah memiliki
hak otonomi daerah Indonesia. Otonomi daerah adalah segala hak, kuasa, kewenangan, dan
kewajiban dari daerah otonom dalam rangka mengatur dan menyelenggarakan sendiri perihal
pemerintahan ataupun kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dengan adanya otonomi daerah ini, diharapkan pelayanan masyarakat dapat meningkat,
begitupun dengan pengembangan demokrasi. Ketika daerah otonom menjalankan otonomi
daerahnya, daerah tersebut dapat meningkatkan daya saing beserta pemberdayaan
masyarakatnya. Selain itu, otonomi daerah juga dapat menjadikan komunikasi antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi lebih intens dan masih banyak lagi manfaat
yang diperoleh dengan adanya otonomi daerah ini.
Mengingat banyaknya manfaat dari pelaksanaan dari otonomi daerah ini, diperlukan
adanya asas yang menjadi dasar bagi pelaksanaan otonomi daerah. Terdapat tiga
asas pengertian daerah otonom yang tercantum dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan asas tugas
pembantuan. Dalam kesempatan ini, penulis akan menyampaikan penjelasan dari masing-
masing asas tersebut. Berikut uraian asas-asas otonomi daerah dan penjelasan lengkapnya
berdasarkan pendapat Dr. Agussalim Andi Gajong S.H. dalam bukunya yang berjudul
“Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum”:

1.  Asas Desentralisasi
Menurut UU No. 32 tahun 2004 secara lugas menyebutkan bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya dalam
sistem negara kesatuan republik Indonesia. Terdapat empat perbedaan pandangan dari
para pakar ini:
Sementara itu, De Ruiter secara lebih lanjut menjelaskan bahwa penyerahan
kekuasaan atau wewenang ini terjadi bukan dari pemerintah pusat, tetapi dari badan
yang lebih tinggi ke badan yang lebih rendah. Dalam ketatanegaraan pula, pemaknaan
desentralisasi dibedakan dalam empat hal, yaitu:
1) Kewenangan untuk mengambil keputusan diserahkan dari seorang pejabat
administrasi atau pemerintah kepada yang lain,
2) Pejabat yang menyerahkan kewenangan itu memiliki lingkungan pekerjaan
yang lebih luas dibanding pejabat yang diserahi kewenangan.
3) Pejabat yang menyerahkan kewenangan tidak dapat memberi perintah kepada
pejabat yang telah diserahi kewenangan tersebut mengenai pengambilan
keputusan atau isi keputusan yang dibuatnya.
Sementara itu, Ateng Sjafruddin dalam bukunya “Pemerintah Daerah dan
Pembangunan” menjadikan sarana dekonsentrasi sebagai pelimpahan kewenangan
dalam rangka desentralisasi. Pakar lain seperti GS Cheema dan JR Nellis memandang
bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah itu berkisar pada perencanaan
dan pengambilan keputusan. Di sisi lain, The Liang Gie menganggap bahwa
desentralisasi di bidang pemerintahan dapat dimaknai sebagai pelimpahan wewenang
pemerintah pusat kepada unit-unit turunan organisasi pemerintah untuk
menyelenggarakan seluruh kepentingan dari kelompok yang mendiami suatu daerah.
Pelaksanaan desentralisasi memang memiliki banyak kelebihan, diantaranya yaitu:
1) Memperpendek jalur birokrasi yang rumit dari pemerintah daerah ke
pemerintah pusat karena kewenangan pemerintah daerah cukup untuk
melaksanakan keputusannya sendiri.
2) Mengurangi beban pemerintah pusat dalam mengurus negara karena sebagian
tanggung jawab diberikan kepada pemerintah daerah.
3) Bila terjadi suatu masalah yang membutuhkan keputusan cepat, pemerintah
daerah tidak perlu menunggu persetujuan dari pemerintah pusat.
4) Harmonisasi dalam negara dapat segera tercapai karena hubungan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah menjadi lebih erat.
Namun, sama halnya dengan sekeping koin, desentralisasi memiliki beberapa
kekurangan pula, berikut ini merupakan kekurangan dari pemberlakuan desentralisasi
dalam tujuan pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut:
1) Struktur pemerintah menjadi jauh lebih kompleks dan dapat menyebabkan
variasi tingkatan koordinasi antar daerah.
2) Adanya desentralisasi dapat menimbulkan keegoisan daerah untuk
mengembangkan daerahnya sendiri.
3) Pemberlakuan desentralisasi dapat menyebabkan anggaran belanja negara
menjadi membesar dan terdapat kemungkinan terjadi kesenjangan anggaran
belanja antar daerah.
Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat yang lebih rendah
merancangkan dan menerapkan kebijakan secara independen, tanpa adanya intervensi.
Adanya pelimpahan kewenangan ini bukanlah sesuatu yang harus ditakuti oleh
pemerintah pusat, karena pemberian kewenangan tersebut tidak akan lepas dari
koordinasi dan pengawasan pemerintah pusat. Hal ini merupakan perwujudan dari
desentralisasi politik, dimana pemerintah pusat melimpahkan kuasa atau wewenang di
bidang politik pada pemerintah daerah.
Pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi dalam sistem
pemerintahan merupakan pembagian, penyebaran, pemencaran, pemberian kekuasaan,
dan kewenangan dapat dilihat dari pandangan yang dikemukakan oleh Gerald S
Maryanov dan Philip Mawhood, bahwa masalah desentralisasi berujung pada
pembagian kekuasaan atau kewenangan dalam suatu pemerintahan. Sementara itu, R
Tresna memiliki pandangan bahwa desentralisasi dimaknai sebagai pemberian kuasa
mengatur diri kepada daerah-daerah dalam lingkungannya guna mewujudkan asas
demokrasi di dalam pemerintahan negara. Sedangkan Soehino dalam bukunya “Asas-
asas Hukum Pemerintahan” menyampaikan pandangannya bahwa desentralisasi
kedaerahan memberi wewenang kepada alat perlengkapan suatu lembaga hukum
untuk membentuk aturan hukum in abstracto (aturan hukum yang belum diterapkan
pada suatu kasus) dan pemberian delegasi kepada alat perlengkapan dari lembaga
hukum publik untuk membentuk aturan hukum in concerto (aturan hukum yang telah
diterapkan pada suatu kasus).
Pandangan pakar yang menganggap bahwa desentralisasi merupakan sarana dalam
pembagian dan pembentukan daerah dapat dilihat dari Aldelfer, yaitu desentralisasi
adalah pembentukan sistem politik di berbagai negara daerah otonomi dengan
kekuasaan-kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif, dan administrasi sendiri. Jadi,
desentralisasi itu menyangkut pembentukan daerah otonom dengan dilengkapi
kewenangan-kewenangan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu. Dalam
desentralisasi, pelimpahan wewenang adalah sesuatu yang bersifat hak, dalam hal
membuat aturan dan keputusan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan dibatasi
oleh peraturan dari badan yang lebih tinggi. Jadi, pelimpahan wewenang dalam
desentralisasi berlangsung antara lembaga-lembaga di pusat dengan lembaga-lembaga
otonom di daerah. Ketegangan atas tarik ulur kewenangan yang muncul sampai saat
ini semuanya mengacu pada pembagian kekuasaan atau kewenangan, dan siapa yang
paling berwenang mengurus atau mengatur urusan tersebut. Bagi Manan memandang
bahwa desentralisasi dilihat dari hubungan pusat dan daerah yang mengacu pada
UUD 1945, maka:
1) Bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak
rakyat daerah untuk turut serta secara bebas dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah,
2) Bentuk hubungan antara pusat dan daerah tidak boleh mengurangi hak-hak
daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa,
3) Bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat berbeda-beda antara daerah
satu dengan daerah lainnya, dan
4) Bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah dalam rangka mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan sosial di daerah.

2. Asas Dekonsentrasi
Sama halnya dengan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi memiliki makna
yaitu pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat pada pemerintah daerah atau
dari badan otonom yang memiliki wewenang lebih tinggi ke badan otonom yang
wewenangnya lebih rendah. Hanya saja dalam dekonsentrasi, pendelegasian
wewenang hanya pada sektor administrasi, tidak ada pendelegasian wewenang dalam
sektor politik seperti pada desentralisasi dan wewenang politik berada di tangan
pemerintah pusat. Maka dari itu, pada dekonsentrasi, badan otonom yang diserahi
wewenang hanya dapat melaksanakan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
dari pemerintah pusat. Sedangkan menurut Laica Marzuki, dekonsentrasi
adalah ambtelijke decentralisastie atau delegatie van bevoegdheid, yaitu
pendelegasian kewenangan dari alat kelengkapan negara di pusat kepada instansi di
bawahnya, untuk melakukan pekerjaan tertentu dalam terselenggaranya pemerintahan.
Pemerintah pusat tidak mungkin kehilangan kewenangannya karena instansi di
bawahnya melaksanakan tugas mereka atas nama pemerintah pusat.
Jadi dekonsentrasi diartikan sebagai penyebaran atau pemancaran kewenangan
pusat kepada petugasnya yang tersebar di wilayah-wilayah untuk melaksanakan
kebijakan pusat. Namun pelimpahan wewenang ini hanya terjadi pada bidang
administratif alias tata usaha dalam penyelenggaraan negara. Mereka yang diserahi
wewenang ini tidak memiliki kuasa untuk membuat suatu aturan tentang pelaksanaan
dekonsentrasi dan mereka diwajibkan untuk menjalankan aturan atau putusan dari
pemerintah pusat atau badan otonom yang lebih besar wewenangnya. Konsep
pelaksanaan desentralisasi bisa bersifat administrasi dan politik. Dalam asas
desentralisasi, pelimpahan wewenang tetapi hanya pada bidang yang bersangkut paut
dengan tata usaha atau administrasi penyelenggaraan negara merupakan makna dari
sifat administratif asas desentralisasi, yang dapat kita sebut sebagai dekonsentrasi. Di
sisi lain, pelaksanaan desentralisasi dapat pula bersifat politik, yang dapat kita maknai
bahwa dalam asas desentralisasi, dibolehkan adanya pelimpahan wewenang dalam hal
perancangan keputusan, pembuatan kebijakan, atau pengawasan dan pengendalian
terhadap sumber daya lokal pada badan otonom yang diserahi kewenangan tersebut.
Pada dasarnya, badan otonom yang diserahi wewenang administratif dalam
rangka dekonsentrasi ini sedang menjalankan sebuah pemerintahan pusat, hanya saja
lingkup wilayanya menjadi lebih kecil, yaitu daerah yang berada dalam
kewenangannya tersebut. Di sisi yang sama, Bayu Sunaningrat memaknai
dekonsentrasi sebagai desentralisasi jabatan, bahwa pemencaran kekuasaan dari
atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan dilakukan
dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja. Silverman mengatakan bahwa
dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang paling umum yang digunakan di
dalam sup-sektor kependudukan. Di dalam sistem demikian, fungsi yang telah
diseleksi diserahkan kepada unit-unit subnasional di dalam departemen sektoral atau
badan-badan nasional yang sektoral spesifik lainnya. Menurut RG Kertasapoetra,
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau
juga kepala instansi vertikal tingkat atas kepada pejabat-pejabat bawahannya di
daerah. Evolusi adalah pelimpahan wewenang yang merupakan tugas jabatan yang
diserahkan kepada pemerintah daerah otonom tingkat provinsi, kabupaten dan
kotamadya, serta kepada badan atau perusahaan yang mempunyai  tugas lembaga
negara sebagai public coorporation atau perusahaan publik. Bulthuis mengartikan
dekonsentrasi sebagai:
1) Kewenangan untuk mengambil keputusan yang diserahkann dari pejabat
administrasi/pemerintah yang satu kepada yang  lain.
2) Pejabat yang menyerahkan kewenangan itu mempunyai lingkungan pekerjaan
yang lebih luas daripada pejabat yang diserahkan kewenangan.
3) Pejabat yang menyerahkan kewenangan itu dapat membarikan perintah kepada
pejabat yang diserai kewenangan mengenai pengambilan/pembuatan
keputusan itu dan isi dari yang akan diambil/dibuat itu.
Perlu kita camkan bersama bahwa dalam dekonsentrasi, pemerintah pusat tidak
mungkin kehilangan kewenangannya karena instansi di bawahnya melakukan tugas
atas nama pemerintah pusat, karena suatu delegatie van bevoegdheid bersifat
instruktif. Maka dari itu, terdapat beberapa kelebihan dari berlakunya asas
dekonsentrasi, yaitu:
1) Kontak langsung antara rakyat dan pemerintah baik pusat maupun daerah
menjadi lebih intens.
2) Adanya perangkat pelaksana dekonsentrasi di daerah dapat mengontrol dengan
baik segala pelaksanaan kebijakan pemerintah di berbagai bidang.
3) Dekonsentrasi adalah alat yang efektif untuk menjaga persatuan dan kesatuan
karena adanya perangkat politik di daerah.
Pemaknaan asas dekonsentrasi berdasarkan dengan undang-undang pemerintahan
daerah yang pernah berlaku dan berlaku positif sampai sekarang ini, antara lain UU
No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 tahun 1957, Penpres RI No.
1959, dan UU No. 18 tahun 1965 tidak menegaskan secara jelas dan eksplisit dalam
batang tubuhnya, sedangkan UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, dan UU
No. 32 tahun 2004 menegaskan secara jelas bahwa dekonsentrasi sebagai pelimpahan
wewenang pemerintahan. Jadi, dimensi makna yang tercipta adalah adanya
pelimpahan kewenangan secara fungsional dari pejabat atasan (dari pemerintah pusat
kepada pejabat di daerah).

3. Asas Tugas Pembantuan (Medebewind)


Medebewind atau tugas pembantuan merupakan suatu asas dasar hukum
otonomi daerah yang memiliki sifat membantu pemerintah pusat atau pemerintah
yang lebih tinggi tingkatannya dalam menyelenggarakan negara atau daerah melalui
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah atau badan otonom yang dimintai
bantuannya tersebut. Dalam hal ini, badan otonom yang dimintai bantuan memiliki
kewajiban untuk melakukan hal atau tugas dari badan otonom yang lebih tinggi
kekuasaannya. Mereka diwajibkan karena berdasarkan ketentuan hukum yang lebih
tinggi, daerah terikat untuk melakukan hal atau tugas dalam rangka memenuhi asas
tugas pembantuan. UU No. 22 tahun 1948 menyatakan bahwa pemerintahan daerah
diserahi tugas untuk menjalankan kewajiban pemerintah pusat di daerah, begitu juga
dari pemerintah daerah yang lebih atas kepada daerah yang tingkatannya lebih rendah.
UU No. 1 tahun 1957 menyatakan, tugas pembantuan adalah sebagai menjalankan
peraturan perundang-undangan. UU No. 18 tahun 1965 menyatakan tugas
pembantuan sebagai pelaksanaan urusan pusat atau daerah yang lebih atas
tingkatannya.
UU No. 5 tahun 1974 tentang desa secara lugas menyatakan, tugas
pembantuan ialah tugas untuk ikut serta dalam menjalankan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada perangkat desa oleh pemerintah pusat atau perangkat daerah
tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya. Sementara itu, UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
menyebutkan dalam Bab I, Pasal 1 huruf g bahwa tugas pembantuan ialah penugasan
dari pemerintah pusat pada daerah dan desa, serta dari daerah ke desa untuk
menjalankan suatu tugas yang diikuti anggaran, sarana, dan prasarana serta sumber
daya manusia dengan diharuskan melaporkan jalannya tugas pembantuan dan
bertanggung jawab pada yang menugaskan. UU No. 32 tahun 2004 menegaskan
dalam Bab I, Pasal 1 butir 9 tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah
pada daerah dan atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota  kepada desa untuk melakukan tugas
tertentu.
Dari paparan pengertian tugas pembantuan yang termaktub dalam undang-
undang yang telah disebutkan sebelumnya, hanya UU No. 1 tahun 1957 yang dengan
tegas menyatakan bahwa tugas pembantuan adalah untuk menjalankan peraturan
perundang-undangan (yang lebih atas tingkatannya). UU No. 5 tahun 1974 memuat
dua hal penugasan dan pertanggungjawaban yang bisa mengandung pemahaman
kaidah dekonsentrasi, yang menyiratkan adanya hubungan atasan-bawahan, yang
secara yuridis, pendekatannya tidak sesuai dengan kaidah tugas pembantuan. Jadi,
menurut kajian hukum, maka yang lebih tepat adalah definisi kaidah tugas
pembantuan yang ada dalam UU No. 1 tahun 1957 karena menyiratkan hubungan
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam tugas pembantuan semata-mata
karena ditentukan atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan perundang-
undangan. Kemudian, dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) disebutkan (a) dengan peraturan
perundang-undangan, pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah daerah untuk
melaksanakan urusan tugas pembantuan, (b) dengan peraturan daerah, pemerintah
daerah tingkat I dapat menugaskan kepada pemerintah daerah tingkat II untuk
melaksanakan tugas pembantuan.
Tugas pembantuan dari pengertian yang ditegaskan dalam UU No. 5 tahun
1974 tentang desa, mengandung unsur-unsur:
1) Ada urusan pemerintahan dari satuan pemerintahan tingkat lebih atas yang
harus dibantu pelaksanaannya oleh pemerintahan daerah,
2) Bantuan tersebut dalam bentuk penugasan yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan,
3) Pemerintah daerah yang membantu harus mempertanggungjawabkan kepada
yang dibantu.
Tugas pembantuan dapat menjadi terminal ke arah “penyerahan penuh” suatu
urusan pada daerah atau tugas pembantuan ialah langkah awal sebagai persiapan ke
arah penyerahan penuh. Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi
dalam melihat hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seharusnya
bertolak dari :
1) Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi. Jadi,
pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah
tanggung jawab daerah yang bersangkutan.
2) Tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan karena
dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, daerah punya cara-cara
sendiri melaksanakan tugas pembantuan.
3) Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur
penyerahan, bukan penugasan. Yang dapat dibedakan secara mendasar bahwa
kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan adalah
penyerahan tidak penuh.
Itulah asas-asas otonomi daerah dengan penjelasan lengkapnya. Wah, sangat
panjang ya, semoga pembaca tidak lelah dalam membaca artikel ini. Semoga juga
para pembaca dapat lebih memahami secara mendalam mengenai asas-asas otonomi
daerah ini. Karena jangan lupa, kemanapun kita pergi, alangkah baiknya jika kita
membangun dan mengembangkan daerah-daerah di Indonesia. Agar Indonesia
menjadi negara yang lebih maju.

Nilai dan Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia

Otonomi diartikan sebagai pengaturan sendiri atau memerintah sendiri. Otonomi berasal
dari kata autos dari Yunani yang artinya sendiri dan nomos berarti aturan. Secara garis besar,
pengertian otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur sendiri kepentingan
masyarakat atau kepentingan dalam membuat aturan untuk mengurus daerahnya sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, otonomi adalah pemerintahan sendiri. Sedangkan
otonomi daerah artinya hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

 Nilai otonomi daerah


Menurut buku Hukum Pemda: Otonomi Daerah dan Implikasinya (2013)
karya Busrizalti, terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia. Baca juga: Pengertian Desentrasliasi, Bagian, dan
Tujuannya Berikut dua nilai dasar otonomi daerah di Indonesia:
 Nilai unitaris
Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak memiliki
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara. Artinya kedaulatan
berada di tangan rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia. Tidak akan terbagi di
antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
 Nilai dasar desentralisasi teritorial
Nilai ini bersumber dari isi dan jiwa Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana pemerintah diwajibkan melaksanakan
politik desentralisasi dan dekonsentralisasi di bidang ketatanegaraan. Dari dua nilai
tersebut, desentralisasi di Indonesia terpusat pada pembentukan daerah-daerah
otonom dan pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pelimpahan tersebut untuk mengatur dan mengurus sebagian
kekuasaan dan kewenangan daerah itu sendiri sesuai UUD 1945.
Otonomi secara harafiah bisa dikatakan sebagai daerah. Dalam bahasa Yunani berasal
dari kata autos artinya diri mereka sendiri dan namos artinya hukum atau aturan. Berdasarkan
Undang-undang No 32 Tahun 2004, definisi otonomi daerah atau desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi. Untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pencapaian otonomi tidak hanya dalam pemberitahuan hukum, melainkan juga
kebutuhan globalisasi, yang diperkuat dengan memberi daerah kewenangan yang lebih besar.

Nilai dasar otonomi daerah

Dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2007) karya Syamsuddin Haris, otonomi
daerah memiliki beberapa nilai dasar yaitu:

 Kebebasan
Kebebasan masyarakat dan pemerintah daerah dalam mengambil tindakan dan
kebijakan untuk memecahkan masalah bersama.
 Partisipasi
Masyarakat berperan aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
kebijakan publik di daerahnya.
 Efektivas dan efisiensi
Melalui kebebasan dan partisipasi masyarakat, jalannya pemerintahan akan lebih tepat
sasaran (efektif) dan tidak menghamburkan anggaran atau tidak terjadi pemborosan.

Asas dan prinsip pemerintahan daerah

Otonomi daerah membawa asas dan prinsip sebagai berikut:

1. Menggunakan asas desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan.


2. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di
daerah kabupaten dan kota.
3. Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di daerah provinsi, kabupaten, kota,
dan desa.

Tujuan otonomi daerah


Terdapat beberapa tujuan pemberian otonomi daerah, di antaranya:
 Distribusi regional yang merata dan adil
 Peningkatan terhadap pelayanan masyarakat yang semakin baik
 Adanya sebuah keadilan secara nasional
 Adanya pengembangan dalam kehidupan demokratis
 Menjaga hubungan yang harmonis antara pusat, daerah, dan antardaerah terhadap
integritas Republik Indonesia.
 Mendorong pemberdayaan masyarakat
 Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Hak daerah dalam menjalankan otonomi daerah
Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 21, dalam menyelenggarakan otonomi, daerah
memiliki hak sebagai berikut:
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya
2. Memilih pimpinan daerah
3. Mengelola aparatur daerah
4. Mengelola kekayaan daerah
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang berada di daerah
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Kewajiban daerah dalam menjalankan otonomi daerah


Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 22, terdapat kewajiban yang dimiliki daerah, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional, serta
keutuhan NKRI.
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6. Menyediakan fasilitas kesehatan
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
10. Melestarikan lingkungan hidup
11. Mengolah administrasi kependudukan
12. Melestarikan nilai sosial budaya
13. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Daftar Pustaka

https://www.google.com/amp/s/guruppkn.com/asas-asas-otonomi-daerah/amp

https://www.kompas.com/skola/read/2020/09/07/180000469/nilai-dan-prinsip-otonomi-
daerah-di-indonesia?page=all#page2

https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/06/160000769/otonomi-daerah--definisi-asas-
tujuan-hak-dan-kewajibannya?page=all#page2

Anda mungkin juga menyukai