Anda di halaman 1dari 4

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

NAMA : MARIANUS OKTAVIAN DALUNG

NPM : 1910122055

KELAS : K6A

M.KULIAH : PRAKTEK PERADILAN PIDANA

JAWAB

1. Surat dakwaan, dibuat oleh penuntut umum setelah ia menerima berkas perkara dan hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik. Dalam hal ia berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntut umum dalam waktu secepatnya
membuat surat dakwaan (pasal 140 jo pasal 139 KUHAP). Surat dakwaan tersebut
kemudian dilimpahkan kepada pengadilan, bersamaan dengan perkaranya. Surat dakwaan
ini dibacakan pada saat permulaan sidang (pasal 155 ayat [2] KUHAP), atas permintaan
dari hakim ketua sidang. Sedangkan surat tuntutan, diajukan oleh penuntut umum setelah
pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai (pasal 182 ayat [1] KUHAP). Jadi,
surat tuntutan dibacakan setelah proses pembuktian di persidangan pidana selesai
dilakukan. Surat tuntutan ini sendiri berisikan tuntutan pidana.
Dasar hukum: Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)

2. Berdasarkan amar putusan, maka isi/jenis putusan pengadilan :


a. Putusan pengadilan yang berupa pemidanaan
Putusan pengadilan pemidanaan adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan
pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa
terbukti secara syah dan meyakinkan bersalan telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana sebagaimana ditentukan
dalam pasal 193 ayat (1) KUHAP.
b. Putusan pengadilan yang berupa pembebasan dari segala dakwaan (vrijspraak)
Putusan pengadilan berupa pembebasan adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan
pemeriksaan dipersidangan pengadilan, majelis hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak
terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya maka pengadilan membebaskan dari segala dakwaan
sebagaimana ditentukan dalam asal 191 ayat (1) KUHAP.
c. Putusan pengadilan yang berupa Iepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts
vervolging)
Putusan pengadilan berupa lepas dari segala tuntutan adalah putusan yang dikeluarkan
berdasarkan pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis hakim berpendapat bahwa
terdakwa terbukti secara syah dan meyakinkan bersalah telah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana maka
pengadilan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan pidana sebagaimana
ditentukan dalam pasal 191 ayat (2) KUHAP atau terdakwa tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena adanya alasan pemaaf maupun alas an pembenar.

3. Eksepsi adalah alat pembelaan dengan tujuan untuk menghindarkan diadakannya putusan
tentang pokok perkara, karena apabila tangkisan ini diterima oleh pengadilan, pokok perkara
tidak perlu diperiksa dan diputus. Eksepsi menurut Luhut M.P Pangaribuan adalah untuk
menjawab surat dakwaan dan berhubungan dengan apakah (1) pengadilan tidak berwenang
mengadili perkara, (2) dakwaan tidak dapat diterima, dan (3) surat dakwaan harus dibatalkan
ksepsi di mana pengadilan dinyatakan tidak berwenang dapat bersifat relatif dan absolut.
Eksepsi relatif terjadi bilamana pengadilan tidak berwenang atau dua pengadilan atau
lebih berwenang mengadili perkara yangs ama atau tidak berwenang mengadilinya
karena waktu dan tempat tidak pernah terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 150
KUHAP dan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, yang berbunyi:
Pasal 150 KUHAP: “sengketa tentang wewenang mengadili terjadinya:
Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama;
Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perakra
yang sama;
Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP:
(2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani
serta berisi:
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Eksepsi absolut adalah bilamana perkara yang akan diajukan bukan wewenang
pengadilan dimana perkara diajukan. Misalnya perkara perceraian bagi orang Islam
diajukan ke pengadilan negeri, padahal perkara tersebut berada pada pengadilan agama.
Eksepsi berdasarkan surat dakwaan tidak dapat diterima terjadi karena ketentuan Pasal
143 ayat (2) KUHAP tidak dipenuhi. Syarat ini disebut dengan syarat formil dari surat
dakwaan. Ditentukan, surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani dengan
berisis (a) nama lengkap, (b) tempat lahir, (c) umur dan tanggal lahir, (d) jenis kelamin,
(e) kebangsaan, (f) tempat tinggal, (g) agama, dan (h) pekerjaan terdakwa.
Eksepsi berdasarkan alasan surat dakwaan harus dibatalkan, karena surat dakwaan itu
tidak memenuhi syarat materiil, yakni menurut ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b
KUHAP di atas. Surat dakwaan yang tidak cermat terjadi karena perbuatan yang
dirumuskan bukan merupakan tindak pidana, atau bukan perbuatan terdakwa, atau kasus
tersebut baginya sudah diputus oleh hakim (ne bis in idem), atau juga kasusnya sudah
kadaluarsa.

4. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa
alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman
Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari
ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

5. Keterangan Ahli dalam perkara pidana berdasarkan Pasal 1 angka (28) Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah keterangan yang
diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan Ahli itu sendiri
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia mempunyai keahlian khusus tentangnya. Di
dalam Pasal 71 ayat (1) UndangUndang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dijelaskan
pula bahwa yang dimaksud dengan Keterangan Ahli adalah pendapat orang yang diberikan di
bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya. Ahli berbeda dengan Saksi. Berdasarkan Pasal 1 angka (26) UndangUndang
No. 8 Tahun 1981 jo. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan Saksi adalah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu. Dari hal tersebut di atas jelas sekali perbedaan antara Saksi dan Ahli. Saksi
memberikan keterangan berdasarkan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri sedangkan Ahli memberikan keterangannya berdasarkan keahlian khusus yang
dimilikinya. Dengan demikian penggunaan istilah Saksi Ahli dalam perkara pidana adalah istilah
yang tidak tepat. Oleh karena Saksi berbeda dengan Ahli, maka Ahli bukanlah subyek hukum
yang berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam UndangUndang No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, padahal seharusnya Ahli berhak pula
mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana halnya perlindungan yang diberikan kepada
Saksi.

Anda mungkin juga menyukai