Anda di halaman 1dari 5

JAWABAN :

1. a. Alih fungsi tanah pertanian merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dari
pembangunan. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan memperlambat dan
mengendalikan kegiatan alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian. Dalam rangka
dilakukannya alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian para pihak yang
bersangkutan harus mengajukan permohonannya melalui mekanisme perijinan. Mekanisme
tersebut terbagi dalam dua jalur yaitu dapat melalui ijin lokasi atau ijin perubahan penggunaan
tanah pertanian ke non pertanian. Perbedaan dari dua mekanisme tersebut adalah terletak pada
luasnya tanah yang dimohon, apabila luas tanah pertanian yang dimohonkan perubahan
penggunaannya ke tanah non pertanian kurang dari 10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah
ijin perubahan penggunaan tanah pertanian ke non pertanian, sedangkan apabila lebih dari
10.000 m3 maka ijin yang diperlukan adalah ijin lokasi.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang merupakan perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, disebutkan bahwa pembangunan perumahan yang
dilakukan oleh perusahaan pengembang perumahan tidak termasuk kepentingan umum, maka
pelaksanaan pelepasan hak atas tanah yang dilakukan perusahaan pengembang perumahan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21
Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman
Modal. Pasal 3 Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
21 Tahun 1994.

b. Instansi yang berhak mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Ijin lokasi adalah Bupati /
Walikota, sedangkan Kepala Kantor Pertanahan hanya mempersiapkan rapat koordinasinya.
Jangka waktu ijin lokasi dapat dibagi menjadi :

1. Ijin lokasi seluas sampai dengan 25 ha : 1 tahun

2. Ijin lokasi seluas 25 sampai dengan 50 ha : 2 tahun

3. Ijin lokasi seluas lebih dari 50 ha : 3 tahun

Adapun tata cara pemberian ijin lokasi sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Ijin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis
tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan,
pemilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
2. Surat pemberian ijin lokasi ditandatangani oleh Bupati / Walikota atau untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta oleh Gubernur setelah diadakan rapat koordinasi antar instansi terkait.
3. Bahan-bahan untuk keperluan pertimbangan pemberian iin lokasi disiapkan oleh Kepala
Kanor Pertanahan.
4. Rapat koordinasi pertimbangan pemberian ijin lokasi disertai konsultasi dengan masyarakat
pemegang hak atas tanah dalam lokasi yang dimohon.
5. Konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah meliputi : penyebarluasan informasi
mengenai rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan, ruang lingkup dampaknya dan
rencana perolehan tanah serta penyelesaian masalah yang berkenaan dengan perolehan tanah.
Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah untuk memperoleh penjelasan tentang
rencana penanaman modal dan mencari alternatif pemecahan masalah.

2. a. Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi
penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana
menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti
bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum
Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak
atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat
dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak
perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada
hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin
mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan
berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih
banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang
berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor
seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk
melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya
melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa
melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping
dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan
secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.
Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat
hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk
masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional
bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam
prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya
kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum
Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.
Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang
pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam
atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan
Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis
dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada
masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal dalam
UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat itu bisa
menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.

b. Tanah Hak Milik Negara menurut :


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah: tanah Negara adalah tanah yang langsung
dikuasai oleh Negara seperti dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 1 butir
2)

Maria SW Sumardjono: tanah Negara adalah tanah yang tidak diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak lain, atau tidak dilekati dengan suatu hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah ulayat dan tanah wakaf.
Sedangkan Hak Menguasai dari Negara menurut Pasal 2 UUPA :
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur.
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

3. a. Berdasarkan Pasal 164 HIR, hukum acara perdata di Indonesia mengakui keberadaan surat
sebagai salah satu alat bukti yang sah di pengadilan. Maka dari itu, akta di bawah tangan tetap
diakui sebagai alat bukti yang dapat digunakan di pengadilan ketika terjadi sengketa. Namun,
kekuatan pembuktiannya tidak sesempurna akta otentik, melainkan kekuatan pembuktiannya tetap
ada selama akta tersebut tidak disangkal oleh para pihak yang membuatnya.

b. Adapun asas-asas penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP


No. 24 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:
1. Asas sederhana, bahwa dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan
pokok maupun prosedurnya mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan
terutama para pemegang hak atas tanah.
2. Asas aman, bahwa dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar diselenggarakan secara teliti
dan cermat, sehingga hasilnya dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan tujuan
pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas terjangkau, bahwa dalam pendaftaran tanah agar terjangkau bagi para pihak-pihak
yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah
harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
4. Asas mutakhir, bahwa dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adanya kelengkapan yang
memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang
tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar
dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.
5. Asas terbuka, bahwa dalam pendaftaran tanah hendaknya selalu bersifat terbuka bagi semua
pihak, sehingga bagi yang membutuhkan informasi tentang suatu tanah akan mudah untuk
memperoleh keterangan-keterangan yang diperlukan.
Alas hak di bawah tangan dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertipikat dan memiliki
kekuatan pembuktian. Alas hak di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat
namun tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan sertipikat sepanjang data yang
diterangkan di dalamnya mengandung kebenaran. Asas-asas pendaftaran tanah masih terpenuhi,
hanya saja asas mutakhir tidak terpenuhi secara sempurna karena lemahnya kekuatan hukum
Alas hak dibawah tangan tersebut.

4. a. Tidak bisa dilaksanakan karena tidak memenuhi Pasal 19-22 UU No.2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perencanaan pembangunan
proyek strategis nasional seperti jalan tol, haruslah melalui konsultasi publik tanpa adanya konflik.

b. Pembaharuan regulasi mengenai tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum menurut
saya masih terlalu lambat terutama di bagian konsultasi publik yang dalam pelaksanaannya juga
sampai menghambat pengadaan tanah proyek besar strategis nasional. Namun, tidak sepenuhnya
regulasi disalahkan atas hal ini, terkadang masyarakat yang tidak mengerti tujuan dari proyek ini lah
yang justru menghambat pertumbuhan bangsa.

Anda mungkin juga menyukai