Ketiga, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda
untuk setiap masyarakat/negara, termasuk pasal penghinaan presiden ; hal ini
termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan
nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;
Keempat, ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang
menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk;
simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang
kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; Presiden/Wakil
Presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan
(Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau
ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati. Dengan pertimbangan inilah
maka perlu pengaturan pasal penghinaan presiden,
Kelima, dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah
mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan
Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan
terhadap Presiden tidak. Terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden
berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-
negaraan. Karena itulah pasal penghinaan presiden perlu ada di RUU KUHP.
Keenam, karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya,
maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan
prinsip “equality beforethe law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua
perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda
(seperti terdapat dalam jenisjenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dsb.)
juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip
“equality before the law”.Dengan pertimbangan ini pasal penghinaan presiden tetap
perlu ada di KUHP.
Karena itulah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoli Rabu (9/6)
menegaskan, Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) karena Indonesia tidak ingin menjadi sebuah negara yang liberal.
Definisi pasal penghinaan presiden yang dimaksud Yasonna adalah, jika penghinaan
tersebut menyangkut dengan personal dari presiden dan wakil presiden.
Pasal penghinaan presiden ini mengatur seperti menghina fisik, atau kalimat yang
tidak pantas. Terkecuali seseorang mengkritik kinerja presiden atau pemeritnahan
dan kebijakannya, bukan menjadi ranah pasal penghinaan presiden.
“Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam
isu, tapi dia tenag-tenag saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah
dengan pasal itu. Tetapi, apakah kita akan biarkan presiden yang akan datang
dibegitukan?,” ujar Yasonna.
Mahfud melalui akun twitternya mengaku dirinya telah menanyakan sikap Presiden
Joko Widodo terhadap pasal penghinaan presiden ini. "Jawabnya, terserah legislatif,
mana yg bermanfaat bagi negara. Kalau bagi Presiden secara pribadi, masuk atau
tidak masuk sama saja, toh presiden sering dihina tapi tak pernah memperkarakan,"
kata Mahfud.
Presiden Jokowi hanya berpesan yang terpenting dalam pembahasan RUU KUHP
menyangkut pasal penghinaan presiden ini, apa yang baik bagi negara,
Menurut Mahfud isi dari pasal pasal di RUU KUHP itu telah digarap sejak lama yakni
pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu Menteri
Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.
"Waktu itu (tahun 2005) saya anggota DPR. Menkum-HAM memberitahu ke DPR
bahwa Pemerintah akan mengajukan RKUHP baru. Ketua Tim (penyusun RUU KUHP)
adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoono.
"Saya menjadi hakim MK pada April 2008. Sebelum saya jadi Menko RKUHP, RUU
KUHP sudah disetujui oleh DPR yaitu pada September 2019, namuun
pengesahannya di Paripurna DPR ditunda," terang Mahfud MD.
Seperti kita tahu Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal penghinaan presiden
melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Adapun petika amar putusan yang mencabut pasal penghinaan presiden tersebut
berbunyi:
Rapat majelis hakim MK yang membahas pasal penghinaan presiden ini dihadiri
oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu sebagai Ketua merangkap Anggota, H.M.
Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad
Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono.
Adapun bunyi pasal yang dihapus soal pasal penghinaan presiden ini adalah:
• Pasal 134 yang berbunyi, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”;
• Pasal 136 bis yang berbunyi, “Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134,
termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang
terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum
dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di
muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa
tersinggung karenanya”;
Namun, masih ada celah dari putusan majelis hakim MK mengenai pencabutan
pasal penghinaan presiden ini yang memungkinkan pengaturan hukum atas
penghinaan presiden dan wakil presiden.
Andi Hamzah menyatakan menyatakan, "Tidak apa-apa kalau Pasal 134 KUH Pidana
dihapuskan, yang berarti masih bisa dihukum karena ada Pasal 310 KUHPidana
tetapi harus diingat bahwa dalam Pasal 310 KUHPidana itu hukumannya lebih ringan
dan merupakan delik aduan”. Ini berarti pasal penghinaan presiden masih bisa diatur
di UU KUHP dengan catatan merupakan delik aduan oleh Presiden dan Wakil
Presiden.
Dengan enam alasan yang diungkapkan oleh pemerintah menjadi dasar pemerintah
dan DPR kembali memasukkan pasal penghinaan presiden pada RUU KUHP yang
sudah di bahas oleh DPR RI pada masa periode yang lalu.
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Ayat (1): Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat
diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga
diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat,
memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.
Ketentuan pasal penghinaan presiden ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau
mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas
kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat
dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai, apalagi penghinaan kepada
seorang presiden
Selain itu ada juga pengaturan di Pasal 219 tentang pasal penghinaan presiden yang
berbunyi:
Sementara pada pasal 220 yang juga berisi pasal penghinaan presiden menyatakan:
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya
dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis
oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal 220 RUU KUHP ini mengadopsi putusan hakim MK, yang menyatakan masih
mengatur pasal penghinaan presiden yakni yang ada di pasal 310 undang-undang
lama yang tidak dicabut atau dibatalkan oleh MK.
Selain itu RUU KUHP juga mengatur pasal penghinaan presiden di Bab IX mengatur
Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan
umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut
berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 439
Ayat (1)
Ketentuan ini memuat ketentuan dasar Tindak Pidana yang termasuk kategori
penghinaan dalam Bab ini. Yang dimaksud dengan perbuatan “penghinaan” adalah
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.
Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan
dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang
tersebut. Hal ini termasuk pasal penghinaan presiden.
Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu Tindak Pidana. Tindak Pidana
menurut ketentuan dalam Pasal ini objeknya adalah orang perseorangan. Penistaan
terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan
Pasal ini.