Anda di halaman 1dari 6

 

Pemerintah memiliki enam pertimbangan mengapa memutuskan untuk


mempertahankan pasal penghinaan presiden di Rancangan Undang-Undang
(RUU) Tentang  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 

Berdasarkan itulah, Maret 2015 pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum


Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
menerbitkan naskah akademik mengenai Rancangan Undang -Undang Tentang 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didalamnya mengatur
pertimbangan pasal penghinaan presiden.

Ada enam alasan mengapa pemerintah perlu mempertahankannya ketentuan


mengenai pasal Penghinaan Presiden di RUUKHUP. Hal ini seperti tertuang di
dokumen naskah akademik, halaman 126-129.

Pertama, kepentingan/benda hukum (rechtsbelangan/rechtsgood) atau nilai dasar


(“basic values”) yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan di pasal pasal
penghinaan presiden adalah “martabat/derajat kemanusiaan” (human dignity) yang
merupakan salah satu nilai-universal yang dijunjung tinggi;

Kedua, pertimbangan pasal penghinaan presiden karena penghinaan pada


hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek:
moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena
“menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan” (menyerang nilai-universal); oleh
karena itu, secara teoritik dipandang sebagai “rechtsdelict”, “intrinsically wrong”,
“mala per se” dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara;

Ketiga, penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda
untuk setiap masyarakat/negara, termasuk pasal penghinaan presiden ; hal ini
termasuk masalah kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yang terkait erat dengan
nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politis, dan sosio-kultural setiap bangsa/negara;

Keempat, ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang
menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk;
simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang
kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; Presiden/Wakil
Presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan
(Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau
ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati. Dengan pertimbangan inilah
maka perlu pengaturan pasal penghinaan presiden, 

Kelima, dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah
mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan
Kepala Negara sahabat saja dijadikan tindak pidana; sedangkan penghinaan
terhadap Presiden tidak. Terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas Presiden
berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum dan ketata-
negaraan. Karena itulah pasal penghinaan presiden perlu ada di RUU KUHP. 

Keenam, karena status/posisi Presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya,
maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan
prinsip “equality beforethe law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua
perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda
(seperti terdapat dalam jenisjenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan, dsb.)
juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip
“equality before the law”.Dengan pertimbangan ini pasal penghinaan presiden tetap
perlu ada di KUHP.

Karena itulah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoli Rabu (9/6)
menegaskan, Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) karena Indonesia tidak ingin menjadi sebuah negara yang liberal.

Definisi pasal penghinaan presiden yang dimaksud Yasonna adalah, jika penghinaan
tersebut menyangkut dengan personal dari presiden dan wakil presiden. 

Pasal penghinaan presiden ini  mengatur seperti menghina fisik, atau kalimat yang
tidak pantas. Terkecuali seseorang mengkritik kinerja presiden atau pemeritnahan
dan kebijakannya, bukan menjadi ranah pasal penghinaan presiden.

“Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam
isu, tapi dia tenag-tenag saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah
dengan pasal itu. Tetapi, apakah kita akan biarkan presiden yang akan datang
dibegitukan?,” ujar Yasonna.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko


Polhukam) Mahfud MD menyatakan sebelum dirinya menjadi Menko Polhukam ada
polemik perlu atau tidaknya pasal penghinaan Presiden ini masuk KUHP.

Mahfud melalui akun twitternya mengaku dirinya telah menanyakan sikap Presiden
Joko Widodo terhadap pasal penghinaan presiden ini. "Jawabnya, terserah legislatif,
mana yg bermanfaat bagi negara. Kalau bagi Presiden secara pribadi, masuk atau
tidak masuk sama saja, toh presiden sering dihina tapi tak pernah memperkarakan,"
kata Mahfud.

Presiden Jokowi hanya berpesan yang terpenting dalam pembahasan RUU KUHP
menyangkut pasal penghinaan presiden ini, apa yang baik bagi negara,

Menurut Mahfud isi dari pasal pasal di RUU KUHP itu telah digarap sejak lama yakni
pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu Menteri
Hukum dan HAM  Hamid Awaluddin. 
"Waktu itu (tahun 2005) saya anggota DPR. Menkum-HAM memberitahu ke DPR
bahwa Pemerintah akan mengajukan RKUHP baru. Ketua Tim (penyusun RUU KUHP)
adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoono. 

Sementara penghapusan pasal penghinaan presiden dilakukan pada tahun 2006


atau jauh sebelum Mahfud MD masuk memimpin Mahkamah Konstitusi. 

"Saya menjadi hakim MK pada April 2008. Sebelum saya jadi Menko RKUHP, RUU
KUHP sudah disetujui oleh DPR yaitu pada September 2019, namuun
pengesahannya di Paripurna DPR ditunda," terang Mahfud MD. 

Seperti kita tahu Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal penghinaan presiden
melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Adapun petika amar putusan yang mencabut pasal penghinaan presiden tersebut
berbunyi:

 Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk


seluruhnya;
 Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab
UndangUndang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 Menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 Kitab
UndangUndang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
 Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara
sebagaimana mestinya. 

Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden di UU KUHP ini


diambil dalam Rapat Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie
pada Senin, 4 Desember 2006.

Rapat  majelis hakim MK yang membahas pasal penghinaan presiden ini dihadiri
oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu sebagai Ketua merangkap Anggota, H.M.
Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad
Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono. 

Selanjutnya Putusan MK mengenai pencabutan pasal penghinaan presiden ini


dimumukan pada 6 Desember 2006.

Adapun bunyi pasal yang dihapus soal pasal penghinaan presiden ini adalah: 
• Pasal 134 yang berbunyi, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”;

• Pasal 136 bis yang berbunyi,  “Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134,
termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya yang
terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum
dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di
muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa
tersinggung karenanya”;

• Pasal 137 Ayat (1) yang berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan,


atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah”;

Ayat (2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan


pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan
yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.” 

Namun, masih ada celah dari putusan majelis hakim MK mengenai pencabutan
pasal penghinaan presiden ini yang memungkinkan pengaturan hukum atas
penghinaan presiden dan wakil presiden. 

Majelis hakim MK dalam putusanya mengenai pasal penghinaan presiden


mempertimbangkan pendapat ahli yakni Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H yang dalam
pendapatnya di muka hakim.

Andi Hamzah menyatakan menyatakan, "Tidak apa-apa kalau Pasal 134 KUH Pidana
dihapuskan, yang berarti masih bisa dihukum karena ada Pasal 310 KUHPidana
tetapi harus diingat bahwa dalam Pasal 310 KUHPidana itu hukumannya lebih ringan
dan merupakan delik aduan”. Ini berarti pasal penghinaan presiden masih bisa diatur
di UU KUHP dengan catatan merupakan delik aduan oleh Presiden dan Wakil
Presiden.

Dengan enam alasan yang diungkapkan oleh pemerintah menjadi dasar pemerintah
dan DPR kembali memasukkan pasal penghinaan presiden pada RUU KUHP yang
sudah di bahas oleh DPR RI pada masa periode yang lalu.

Berdasarkan hasil pembahasan RUU KUHP hingga September 2019 pasal


penghinaan presiden ini diatur dalam beberapa pasal meliputi:

Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan
umum atau pembelaan diri

Pada penjelasan Pasal 218 yang mengagur pasal penghinaan presiden


menyebutkan,

Ayat (1): Yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat
diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga
diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat,
memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

Ketentuan pasal penghinaan presiden ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau
mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas
kebijakan pemerintah.

Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat
dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai-nilai, apalagi  penghinaan kepada
seorang presiden

Selain itu ada juga pengaturan di Pasal 219 tentang pasal penghinaan presiden yang
berbunyi:

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau


gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar
oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi
penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil
Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana
denda paling banyak kategori IV.

Sementara pada pasal 220 yang juga berisi pasal penghinaan presiden menyatakan:
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya
dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis
oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Pasal 220 RUU KUHP ini mengadopsi putusan hakim MK, yang menyatakan masih
mengatur pasal penghinaan presiden yakni yang ada di pasal 310 undang-undang
lama yang tidak dicabut atau dibatalkan oleh MK.
Selain itu RUU KUHP juga mengatur pasal penghinaan presiden di Bab IX mengatur
Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara  

Misalnya di Pasal 353 yang berbunyi: 

(1) Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan
umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut
berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Ada juga pengauran di Pasal 354 tentang pasal penghinaan presiden:

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau


gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana
teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga
negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui
oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III.

Pasal 439
Ayat (1)
Ketentuan ini memuat ketentuan dasar Tindak Pidana yang termasuk kategori
penghinaan dalam Bab ini. Yang dimaksud dengan perbuatan “penghinaan” adalah
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain.

Sifat dari perbuatan pencemaran adalah jika perbuatan penghinaan yang dilakukan
dengan cara menuduh, baik secara lisan, tulisan, maupun dengan gambar, yang
menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, sehingga merugikan orang
tersebut. Hal ini termasuk pasal penghinaan presiden.

Perbuatan yang dituduhkan tidak perlu harus suatu Tindak Pidana. Tindak Pidana
menurut ketentuan dalam Pasal ini objeknya adalah orang perseorangan. Penistaan
terhadap lembaga pemerintah atau sekelompok orang tidak termasuk ketentuan
Pasal ini.

Anda mungkin juga menyukai