Anda di halaman 1dari 13

Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019

Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

POTENSI KORUPSI BIROKRASI PUBLIK DALAM PENYELENGGARAAN


PELAYANAN PUBLIK
Bambang Martin Baru 1), Rusbiyanti Sripeni2)

1,2)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Madiun
Email: bambangmartinbaru@unmer-madiun.ac.id

Abstrak
Korupsi birokrasi telah menyentuh pada level yang sangat kritis, karena hampir semua
tingkatan pemerintahan baik pusat, daerah, maupun kelurahan/desa telah terjadi dalam
proses pelayanan publik. Korupsi biasanya dikaitkan dengan penyalahgunaan
kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Gejala korupsi
tersebut, diakibatkan karena pelayanan publik masih dirasakan oleh sebagian besar
masyarakat sulit, prosedural, berbelit-belit, dan lamban dalam penyelesaiannya,
sehingga mendorong masyarakat untuk mencari jalan pintas melalui upaya
membangun konektifitas dengan pejabat birokrasi yang dimungkinkan dapat
membantu kemudahan dalam proses pengurusannya. Inilah awal terjadinya korupsi
birokrasi, karena akan terjadi praktek suap yang dilakukan masyarakat sebagai bentuk
ucapan terima kasih kepada pejabat birokrasi yang telah membantu dalam proses
pengurusan pelayanan publik. Untuk itu, korupsi birokrasi tidak dapat dilepaskan dari
unsur manusianya, moralitas dan integritas dibutuhkan dalam rangka menangkal
merebaknya korupsi dalam lingkungan birokrasi.
Kata Kunci: Korupsi, Pelayanan Publik, Moralitas, Integritas

Abstract
Bureaucratic corruption has touched on a very critical level, because almost all levels
of government both central, regional, and village / village have occurred in the
process of public service. Corruption is usually associated with the abuse of power or
position for personal or group interests. The symptoms of corruption are caused by
the fact that public services are still felt by the majority of the community as difficult,
procedural, convoluted, and slow in its resolution, thus encouraging the public to look
for shortcuts through efforts to build connectivity with bureaucratic officials who are
likely to be able to help ease the management process. This is the beginning of
bureaucratic corruption, because there will be bribery practices by the community as
a form of gratitude to bureaucratic officials who have helped in the process of
managing public services. For this reason, bureaucratic corruption cannot be
separated from its human element, morality and integrity are needed in order to
prevent the spread of corruption in the bureaucratic environment.
Keywords: Corruption, Public Service, Morality, Integrity

I. PENDAHULUAN Praktek pelayanan publik selama ini, dinilai


Pelayanan publik merupakan salah satu masih bersifat prosedural, berbelit-belit, dan
unsur penting terwujudnya good lamban dalam penyelesaiannya. Dalam
governance, karena visi utama dalam rangka perbaikan pelayanan publik,
penyelenggaraan pemerintah adalah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
memberikan pelayanan yang baik kepada Nomor: 32 Tahun 2004 tentang otonomi
publik, untuk itu pemerintah sangat daerah, yang bertujuan untuk mendorong
berkepentingan melakukan perbaikan- birokrasi pemerintahan daerah dapat
perbaikan atas pelayanan publik selama ini. berjalan secara efisien dan responsif

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1865
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

terhadap aspirasi dan kepentingan pimpinan untuk penegakan peraturan


masyarakat daerah. Namun dalam perundang-undangan yang mengandung
implementasinya belum mampu mendorong ancaman sanksi hukum kepada pelaku
perbaikan pelayanan publik, karena korupsi. Menurut Dwiyanto, et.al (2006:99),
kecenderungan birokrasi publik lebih yang jauh lebih penting adalah komitmen
berorientasi pada pelayanan kepentingan dan tanggungjawab dari semua aparat atau
penguasa dibandingkan dengan kepentingan pegawai pemerintah untuk menghindari
masyarakat, akibatnya birokrasi menjadi kecenderungan kearah KKN (Korupsi,
semakin jauh dari misinya sebagai pelayan Kolusi, dan Nepotisme) tersebut. Seorang
masyarakat. Banyaknya keluhan masyarakat pakar menggambarkan kaitan antara
ketika melakukan pengurusan pelayanan akuntabilitas pejabat pemerintah dengan
publik, ini menunjukkan masih rendahnya pemberantasan korupsi, sebagai berikut:
responsifitas aparat birokrasi terhadap “accountability mechanism act to ensure
tuntutan masyarakat. Pelayanan publik yang that agencies and agency leadership have a
masih terkesan sulit dapat mengakibatkan vested interest in maintaining a strukcture of
maraknya praktek korupsi, hal ini terjadi incentives that benefit the public. The law
karena masyarakat sebagai pengguna jasa alone cannot build such structures; the law
mencari alternatif jalan pintas untuk cannot fully protect the employee who
memudahkan pengurusan pelayanannya. exposes corruption or wrongdoing, and the
Konektifitas terjadi antara aparat birokrasi law cannot make the day-to-day decisions of
dengan masyarakat, walaupun masyarakat personnel and management officials that do
menyadari akan menambah pengeluaran so much to establish the atmosphere and
biaya ekstra (suap) yang penting dapat character of the public service” (Dwiyanto,
dengan segera terselesaikan dalam et.al, 2006:99). Dengan demikian, upaya
pengurusan pelayanan publik. Dalam pemberatansan korupsi birokrasi publik
pandangan Dwiyanto, dkk (2002:74), dalam dibutuhkan komitmen dari pejabat pimpinan,
kultur pelayanan di Indonesia telah lama dan selalu mendorong akuntabilitas aparat
dikenal istilah “tahu sama tahu”, yang birokrasi dalam menjalankan tugas dan
artinya adanya toleransi dari pihak aparat fungsinya. Bagaimanapun baiknya suatu
birokrasi maupun masyarakat pengguna jasa sistem, jika individu-individu sebagai aparat
untuk menggunakan mekanisme suap dalam pemerintah tidak dijiwai dengan nilai-nilai
mendapatkan pelayanan yang terbaik. integritas, kejujuran, dan harkat
Praktik pemberian uang suap dalam kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan
pelayanan publik telah menjadi suatu dapat berjalan dengan baik. Moralitas
kebiasaan umum di lingkungan birokrasi. menjadi nilai strategis kedepan untuk
Aparat birokrasi menjadi terbiasa dalam memberantas korupsi, maka perlu
budaya pelayanan yang mengharapkan ditanamkan sikap moralitas bagi aparat
adanya pemberian uang dari masyarakat. birokrasi, budaya malu harus ditanamkan
Praktek suap dalam pelayanan publik dalam lingkungan birokrasi agar aparat
tersebut, telah menjadi tradisi atau kebiasaan birokrasi dapat mengontrol dirinya dalam
dalam lingkungan birokrasi, dan bahkan menjalankan tugasnya dengan baik.
telah menyentuh diberbagai bidang Disamping itu, faktor korupsi juga tidak
pelayanan ekonomi, hukum, politik, dan dapat terlepas dari dominasi peran aparat
sosial. Praktek suap, dalam tataran akademik birokrasi sebagai penentu kebijakan,
dapat dikategorikan sebagai korupsi, oleh sehingga masyarakat dapat menjadi obyek
karena itu diperlukan komitmen dari yang dimanfaatkan untuk kepentingan-

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1866
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

kepentingan pribadi. Menurut Surbakti masyarakat terhadap lembaga pemerintah,


dalam Santoso (2008) menjelaskan bahwa: ini disebabkan kegagalan birokrasi
kewenangan besar dimiliki birokrat, menempatkan dirinya sebagai lembaga yang
sehingga hampir semua aspek kehidupan mengayomi, melindungi, dan melayani
masyarakat ditangani birokrasi. masyarakat. Orientasi kekuasaan dalam
Kewenangan yang terlalu besar itu, bahkan pelayanan publik membuat semakin kurang
akhirnya menonjolkan peran birokrasi responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
sebagai pembuat kebijakan ketimbang masyarakat. Menurut Dwiyanto, dkk (2002)
pelaksana kebijakan, lebih bersifat menjelaskan, kemampuan dari suatu sistem
menguasai daripada melayani masyarakat. pelayanan publik dalam merespon dinamika
Kondisi ini wajar apabila birokrasi dinilai yang terjadi dalam masyarakat secara tepat
sebagai penyebab biangnya kebobrokan dan efisien akan sangat ditentukan oleh
dalam layanan masyarakat. Birokrasi lebih bagaimana misi dari birokrasi dipahami dan
bertindak sebagai pangreh praja daripada dijadikan sebagai basis dan kriteria dalam
pamong praja (Rahmat Subagio, 2012). pengambilan kebijakan oleh birokrasi itu.
Lebih lanjut Dwiyanto, et.al (2006:117), Sementara, sebagian besar birokrasi kurang
menjelaskan, bahwa: birokrasi publik memahami terhadap misinya sebagai
disusun dalam struktur hirarkhis yang sangat pelayan masyarakat, akibatnya birokrasi
ketat, sehingga ujung dari kekuasaan bukan bekerja bukan didasarkan pada upaya
terletak pada pengguna jasa layanan, membantu kepentingan masyarakat
melainkan pada pejabat birokrasi puncak. melainkan disibukkan dengan bagaimana
Menurut Dwiyanto, dkk, (2002) memperluas akses kekuasaan.
menyebutkan bahwa: Kecenderungan Ketidakjelasan misi birokrasi, membuat
perilaku aparat birokrasi yang kebetulan kinerja birokrasi lebih menekankan pada
memperoleh kedudukan atau jabatan prosedur dan aturan dalam memberikan
strategis dalam pemerintahan, terdorong pelayanan masyarakat. Sementara dinamika
untuk bermain dalam kekuasaan dengan dalam kehidupan masyarakat semakin
melakukan tindak korupsi, kolusi, dan berkembang membuat semakin meningkat
nepotisme. Mentalitas dan budaya tuntutan dan harapan masyarakat akan
kekuasaan ternyata masih melingkupi pelayanan yang murah, mudah dan cepat,
sebagian besar aparat birokrasi pada masa untuk itu seharusnya birokrasi lebih fleksibel
reformasi saat ini. Kultur kekuasaan yang dalam penanganan pelayanan publik, sebab
telah terbentuk semenjak masa birokrasi permasalahan dalam pelayanan tidak
kerajaan dan colonial ternyata masih sulit mungkin dapat diselesaikan hanya melalui
untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau prosedur dan aturan yang ada. Ketaatan pada
pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur prosedur dan ketentuan menunjukkan
birokrasi yang menempatkan pejabat rendahnya inisiatif dan kreatifitas birokrasi
birokrasi sebagai pengguna dan masyarakat dalam merespon perubahan-perubahan
pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, dalam lingkungan masyarakat.
bukannya sebagai pengguna jasa yang harus
seharusnya dilayani dengan baik, telah II. KAJIAN LITERATUR
menyebabkan perilaku pejabat birokrasi Gejala korupsi di lingkungan birokrasi
menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap telah menyentuh pada level yang sangat
masyarakat. kritis, karena hampir semua tingkatan
Buruknya kinerja birokrasi, menunjukkan pemerintahan baik pusat, daerah, maupun
rapuhnya kepercayaan dan legitimasi desa telah terjadi dalam proses pelayanan

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1867
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

publik. Korupsi biasanya dikaitkan dengan pengangkatan orang pada jabatan tertentu
penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan yang terkadang tidak melalui cara-cara yang
untuk kepentingan pribadi atau kelompok. rasional dan proses seleksi yang terbuka
Berdasar pandangan hukum, dikatakan melainkan hanya tergantung pada rasa suka
korupsi bila memenuhi unsur-unsur: atau tidak suka, atau kedekatan hubungan
perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan pertemanan dan kekerabatan (Dwiyanto,
kewenagan, kesempatan atau sarana, et.al, 2006:100-101).
memperkaya diri sendiri, orang lain atau Fenomena KKN tersebut, apabila sudah
korporasi, dan unsur terakhir adalah terjangkiti dalam birokrasi pemerintah, maka
merugikan keuangan negara atau bentuk penyalahgunaan wewenang dan
perekonomian negara. Suatu perbuatan transaksi korupsi dapat bermacam-macam,
dikatakan korupsi diantaranya adalah bila seperti upeti, komisi, uang sogok, parsel atau
memberi atau menerima hadiah atau janji bingkisan buat bapak menjadi alat ampuh
atau penyuapan, penggelapan dalam jabatan, bagi pengusaha atau masyarakat yang
pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam mempunyai urusan dengan pejabat-pejabat
pengadaan dan menerima gratifikasi bagi pemerintah. Penyelewengan di dalam
pegawai negeri/penyelenggara negara pemerintahan tidak hanya menyangkut
(Nawatwi, 2014). pelayanan kepada warga tetapi juga
Korupsi di Indonesia, biasanya dikaitkan menyangkut penilaian untuk pengangkatan
dengan istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan dalam suatu jabatan tertentu. Penyelewengan
Nepotisme) yang dipandang sebagai praktik dalam pelayanan, barangkali sudah
penyalahgunaan kekuasaan. Unsur korupsi seringkali kita dengar dengan modus untuk
disini sebenarnya merujuk kepada tindakan membantu kemudahan dalam pengurusan
penggelapan sumberdaya negara yang pelayanan, sehingga masyarakat harus
dilakukan oleh pejabat pemerintah, yang menambah biaya ekstra sebagai bentuk
secara umum sebenarnya dapat disebut insentif yang diberikan kepada
sebagai manipulasi. Kemudian unsur kolusi penyelenggara karena telah diberikan
(untuk kepentingan diri sendiri atau kemudahan dalam proses pelayanan.
kepentingan kelompok mereka. Dengan Penyimpangan dalam penilaian seseorang
demikian, kolusi merupakan kerja sama untuk menduduki suatu jabatan juga
yang saling menguntungkan bagi para seringkali terjadi, hal ini banyak kasus bupati
pelakunya tetapi jelas merugikan bagi publik dan atau kepala dinas berurusan dengan
karena tindakan tersebut dilakukan dengan KPK karena jual beli jabatan. Demikian
menggeroti uang negara. Sedangkan halnya dalam melayani atasan baik secara
nepotisme adalah usaha-usaha yang struktural maupun fungsional, misalnya
disengaja oleh seorang pejabat dengan BPK yang akan melakukan evaluasi dan
memanfaatkan kedudukan dan jabatannya klarifikasi anggaran keuangan daerah maka
untuk menguntungkan posisi, pangkat dan biasanya pejabat daerah akan berusaha untuk
karier diri sendiri, famili, atau kawan memberikan pelayanan atau servise yang
dekatnya dengan cara-cara yang tidak adil berlebihan sesuai dengan kesenangan
atau melanggar hukum. Nepotisme berasal pejabat BPK yang akan datang, dengan
dari kata nepos yang secara harfiah berarti tujuan agar dalam melakukan pengecekan
cucu. Istilah ini lebih dekat dengan istilah dan atau klarifikasi anggaran tidak terlalu
“sistem famili”, spoil system, korupsi kritis dan apabila ada penemuan diberikan
jabatan, dan sebagainya. Nepotisme kesempatan untuk melakukan perbaikan-
dilakukan di dalam proses pemilihan atau perbaikan. Korupsi dalam sistem dan proses

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1868
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

pelayanan publik, terdapat dua jenis korupsi (clandestin activities) dan biasanya
yang dilakukan oleh aparat birokrasi, dirahasiakan dari mata publik. Hampir
pertama, adalah yang disebut dengan mustahil seorang pejabat yang telah
manipulasi yaitu ketika para birokrat dengan menerima suap akan mengakuinya secara
sengaja memanfaatkan dana lembaga terbuka di dalam sebuah konferensi pers atau
pemerintah untuk kepentingan pribadi. forum publik lainnya. Juga perlu diingat
Sementara yang kedua, adalah transaksi suap bahwa suap atau korupsi birokratis adalah
yaitu ketika birokrat memanfaatkan posisi tindakan yang melanggar hukum di hampir
atau jabatannya untuk memperoleh uang semua negara. (4) Imbalan yang didapatkan
ekstra dari pengguna jasa (client). Untuk dari hasil korupsi atau suap biasanya tidak
transaksi suap ini, ada berbagai macam akan dikembalikan kepada lembaga
istilah yang berlaku seperti; uang sogok, pemerintah atau pihak pemberi suap. Inilah
uang semir, TST (Tahu Sama Tahu), uang yang juga membedakan antara korupsi
jasa, dan sebagainya. Menurut Sanjeev birokratis dengan pemberian penghargaan,
Sabhlok (1997), ciri-ciri umum dari tindakan tanda jasa atau tanda pujian lainnya. Aset
korupsi melekat pada kedua jenis korupsi publik atau hasil transaksi suap tidak akan
birokratis tersebut, yaitu: (1) Korupsi terikat dikembalikan karena pada umumnya
dengan kebutuhan atau tuntutan dari pemberi berjumlah besar, diluar kewajaran atau
atau penyedia layanan. Sudah barang tentu memalukan di mata publik (Dwiyanto, et.al,
tuntutan ini diperkuat dengan ancaman 2006:105-106). Dengan demikian, korupsi
kerugian kepada pengguna jasa, seperti birokratis adalah korupsi yang terjadi dalam
keterlambatan penyelesaian urusan, sanksi lingkungan pemerintahan, dan menjadi
biaya, atau dipersulitnya berbagai prosedur. penyebab keburukan birokrasi yang harus
Namun ini tidak berarti bahwa korupsi dapat ditiadakan agar penyelenggaraan
bersifat koersif atau kekerasan. Pada pemerintahan dapat berlangsung dengan
dasarnya transaksi suap dilakukan secara efisien dan efektif. Hal ini sebagai bentuk
sukarela dengan kesepakatan kedua belah patologi birokrasi sebagai efek parkisonisasi
pihak. Dalam hal ini, suap tentunya dapat (prosedur berbelit-belit) atau efek tape red
dibedkan dari perampokan atau pemerasan. yang sebenarnya telah diingatkan dari
(2) Korupsi terkait dengan imbalan material. berbagai kajian akademik. Kebijakan
Dalam beberapa kasus korupsi birokratis pelayanan publik yang dianggap rawan
memang terkait dengan imbalan yang bukan terjadinya penyakit KKN, menurut Paul H.
berupa material, seperti kepuasan pribadi Douglas (1953), yaitu: (1) Kebijakan
atau diperolehnya kedudukan tertentu. pemerintah yang membiarkan kontrak-
Tetapi pada umumnya korupsi birokratis kontrak besar berisi persyaratan-persyaratan
terkait dengan uang atau imbalan material yang mudah dibelokkan dan menguntungkan
lainnya. Juga perlu diingat bahwa korupsi para kontraktor swasta. (2)Ketika
birokratis yang berbentuk suap dapat segera pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
dibedakan dengan pemberian hadiah. memungut pajak dan retribusi yang terlalu
Pemberian hadiah tidak dituntut oleh tinggi (lebih tinggi dari biaya overbeand
penyedia layanan dan tidak terkait dengan perusahaan pada umumnya). Ini mendorong
imbalan material tertentu. Sebaliknya suap para pengusaha swasta untuk menyuap
memang diminta oleh pemberi jasa dan aparat perpajakan sebagai imbalan atas
biasanya terkait dengan imbalan secara pengurangan pajak yang ditunggunya. (3)
langsung. (3) Korupsi adalah kegiatan yang Penerapan tarif untuk industri dan jasa
dilakukan secara sembunyi-sembunyi pelayanan publik tertentu seperti kereta api,

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1869
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

listrik, telepon, dan komoditas dasar lainnya. rangka mengatasi permasalahan korupsi sulit
Hal ini mendorong aparat birokrasi untuk dilakukan, serta ditambah lagi masyarakat
menyalahgunaan kewenangan yang kurang peduli dan bahkan ikut mengikuti
dipegangnya. (4) Jika pemerintah arus yang berkembang dalam sistem
membiarkan penggunaan pengaruh politik pelayanan publik. Dalam pandangan
dan kedudukan seseorang dalam proses Wahyudi Kumorotomo, dalam mengatasi
penetapan pelaku bisnis swasta yang korupsi birokratis dapat dilakukan melalui
diperbolehkan memasuki industri publik strategi teknis yang dapat dikembangkan di
tertentu, seperti pertambangan, peleburan setiap jajaran birokrasi pelayanan publik,
logam, televisi, dan jasa angkutan umum. (5) antara lain: (1) Mengikis budaya
Apabila bagian atau divisi tertentu dari patternalistik; Sistem patternalistik mungkin
birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan sangat sulit untuk diubah manakala sudah
untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah menjadi bagian inti dari budaya. Namun
tanpa adanya pengawasan eksternal dari luar bukan berarti proses penyadaran baru tidak
birokrasi. (6) Ketika subsidi pemerintah mungkin dilakukan. Budaya patternalistik
dapat dimanfaatkan untuk proyek-proyek hanya dapat dikurangi dengan
publik, baik yang ditetapkan dengan mengembangkan budaya egaliter sehingga
penunjukkan langsung maupun yang posisi antara pejabat, pegawai pemerintah,
ditetapkan secara terbuka melalui tender dan pengguna jasa layanan publik adalah
(Dwiyanto, et.al, 2006:107). sama. Sistem pemilihan pejabat politis
Dalam berbagai kajian, menunjukkan secara langsung setidaknya merupakan
bahwa praktik KKN bermula dari sistem perkembangan yang sangat positip sehingga
pelayanan publik yang kurang berjalan kontrak sosial antara pejabat dengan
dengan baik, banyak sistem, prosedur, yang masyarakat dapat berlangsung dengan lebih
tidak memungkinkan untuk dapat adil. Sekarang yang diperlukan ialah pola
menyelesaikan proses pelayanan dengan perilaku egaliter yang harus dibudayakan
mudah, dan bahkan terkesan berbelit-belit diantara para pejabat manajerial dalam
harus melalui tahapan berbagai bagian untuk birokrasi pelayanan publik. (2) Menegakkan
pengurusan sebuah pelayanan publik. kriteria efektifitas dan efisiensi; Bagi
Kondisi inilah seringkali menimbulkan birokrasi pelayanan publik, kriteria
konektifitas antara para penyelenggara efektifitas tampaknya lebih diutamakan
pelayanan publik, untuk mencari daripada kriteria efisiensi. Pegawai
kemudahan-kemudahan dalam pengurusan pemerintah seringkali tidak
pelayanannya, walaupun masyarakat harus memperhitungkan efisiensi, yang terpenting
menambah uang ekstra kepada para adalah tujuan dari tugas-tugasnya telah
penyelenggara sebagai imbalan atas tercapai. Dalam hal ini, akuntabilitas dapat
kemudahan pengurusannya. Disamping ditingkatkan jika faktor efisiensi mendapat
sistem, dan prosedur pelayanan publik, juga prioritas yang lebih wajar. Jika efisiensi
tidak terlepas dari kulture yang berkembang dalam pelayanan publik dapat tercapai,
dalam lingkungan birokrasi. Sementara pengaruhnya bukan hanya terhadap satuan-
birokrasi kita kecenderungannya satuan atau instansi pemerintah yang
terpengaruh praktik budaya feodalisme atau bersangkutan saja tetapi juga efisiensi
aristokratis sebagai cikal bakal dari birokrasi masyarakat secara keseluruhan. Telah
pada masa itu. Budaya feodalisme sampai terdapat banyak bukti yang menunjukkan
saat ini masih sangat kuat berpengaruh bahwa peningkatan taraf hidup suatu bangsa
dalam budaya birokrasi, sehingga dalam akan berjalan jauh lebih pesat apabila

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1870
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

birokrasi pelayanan publik dapat bekerja tertutup terhadap kritik tersebut. Saat ini
secara efisien. (3) Merampingkan struktur yang diperlukan ialah kritik dari publik
dan memperkaya fungsi; Struktur organisasi tersebut benar-benar dimanfatkan untuk
yang bersifat organis-adaptif dengan meningkatkan kinerja pelayanan publik.
utamakan fungsi tampaknya masih menjadi Dengar pendapat, dialog interaktif, jumpa
persoalan pokok pada sebagian besar walikota atau wawancara dengan pejabat
lembaga yang melayani kepentingan publik. publik tertentu sudah dilakukan, tetapi
Kecenderungan penambahan satuan atau permasalahannya adalah usulan-usulan dari
yang sering disebut sebagai efek publik tersebut seringkali hanya ditampung
parkisonisasi dan akses pita merah (red tape) dan kurang ditindaklanjuti dalam kegiatan
masih menjakiti sejumlah besar lembaga administrasi pelayanan publik. (7) Memupuk
pemerintahan. Ketentuan yang terdapat semangat kerjasama dan mengutamakan
didalam PP. no. 8 tahun 2003 tentang sinergi. Pembenahan pelayanan publik juga
susunan organisasi yang ramping dan kaya dapat dilakukan dengan melakukan
fungsi sebenar sudah memberikan petunjuk mekanisme koordinasi dan komunikasi
bagi restrukturisasi organisasi pemerintahan. teknis yang lebih efektif. Arogansi sektoral
Namun tampaknya ketentuan ini hanya dan orientasi instansi pemerintah kepada
sekedar menjadi wacana dan belum benar- anggaran seringkali menyulitkan kerjasama
benar dijalankan untuk meningkatkan yang baik dan sinergi di antara lembaga
efisiensi pelayanan publik. (5) Sistem tersebut. Dalam hal ini, peran pemimpin
penggajian berdasarkan kinerja (merit satuan organisasi sangat menentukan. (8)
system). Seperti masalah birokrasi publik Membudayakan dengan delegasi
pada umumnya, sistem yang obyektif kewenangan dan diskresi yang
berdasarkan kinerja aparat masih sulit bertanggungjawab. Hambatan bagi
dikembangkan. Jenjang karier, penempatan pengguna jasa pelayanan publik seringkali
jabatan, dan pemberian renumerasi masih muncul karena tidak adanya delegasi
didasarkan pada kriterian subyektif dan tidak kewenangan untuk melaksanakan kegiatan
selalu terkait dengan prestasi seorang tertentu. Seorang pemohonan KTP
pegawai. Yang lebih parah lagi, perjalanan terhambat karena KTP harus ditandatangani
karier seorang pejabat seringkali tidak terkait oleh camat secara langsung. Seorang
dengan kemampuannya dalam memberikan pemohon IMB harus memperoleh
pelayanan publik atau pengabdian kepada tandatangan Kepala Dinas Tatakota, dan
masyarakat. Disinilah pentingnya tidak ada alternatif yang lain. Hal-hal
pembaharuan sistem sehingga renumerasi semacam ini menyebabkan mekanisme
dan imbalan yang diberikan kepada setiap pelayanan publik menjadi terhambat dan
pegawai pemerintah benar-benar dikaitkan sangat tidak efisiensi bagi para pengguna
dengan kinerja dan pengabdian mereka. (6) jasa. Oleh sebab itu, delegasi kewenangan
Mengakomodasi kritik dari publik (media, dan diskresi hendaknya menjadi prinsip yang
LSM, masyarakat umum). Para pejabat terus dikembangkan di dalam
penyelenggara pelayanan publik seringkali penyelenggaraan pelayanan publik. ((9)
masih alergi terhadap kritik dari publik, baik Orientasi kepada pelayanan pengguna jasa.
yang disampaikan secara langsung maupun Berbeda dengan kebanyakan organisasi
yang disampaikan melalui forum-forum swasta, sistem pelayanan yang
publik yang lebih luas. Suasana demokratis dikembangkan dalam organisasi publik
yang terus berkembang sekarang ini telah cenderung kurang berorientasi kepada
mulai mengubah pola berpikir yang bersifat pengguna jasa. Dalam sistem yang

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1871
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

demokratis, kedaulatan pengguna jasa harus pengguna jasa, sehingga total responden
terus diperhatikan, bahkan harus adalah 120 orang.
diutamakan. Reformasi birokrasi pelayanan Teknik pengumpulan data, meliputi
publik hanya akan dapat berhasil jika diiringi observasi, wawancara, daftar pertanyaan,
dengan reorientasi menyeluruh terhadap dan doumentasi. Sedangkan analisa data
pola berpikir pegawai pemerintah agar lebih menggunakan ”Statistik deskriptif”.
responsif terhadap keinginan rakyat sebagai Menurut Sugiyono, ”Statistik deksriptif
pengguna jasa (Dwiyanto, et.al, 2006:119- adalah statistik yang digunakan untuk
121). menganalisa data dengan cara
Untuk mewujudkan strategi teknis dalam mendeskripsikan atau menggambarkan data
mengatasi korupsi birokrasi di setiap jajaran yang telah terkumpul sebagaimana adanya
birokrasi dibutuhkan komitmen dari pucuk tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang
pimpinan dan seluruh strata organisasi berlaku untuk umum atau generalisasi”.
pemerintah, serta seluruh elemen masyarakat Untuk melakukan interpretasi data, yang
baik dari kalangan legislatif, akademis, datanya bersifat ordinal maka diperlukan
LSM, wartawan, lembaga konsumen, dan skala pengukuran likert, dan jawaban setiap
unsur-unsur publik lainnya. Keterlibatan dari item instrumen mempunyai gradasi dari
komponen masyarakat dapat menjadi sangat positip sampai sangat negatip, yang
penyeimbang kekuasaan sehingga dapat berupa kata-kata antara lain: a) Sangat setuju
meminimalisir terjadinya penyalahgunaan dengan skor 5, b) Setuju dengan skor 4, c)
kewenangan. Ragu-ragu dengan skor 3, d) Tidak setuju
dengan skor 2, dan e) Sangat tidak setuju
III. METODE PENELITIAN dengan skor 1. Dengan mendasarkan pada
Penelitian ini bersifat deskriptif skala pengukuran tersebut, maka dalam
kuantitatif, dengan lokasi penelitian di 6 interpretasi terhadap data yang diperoleh
(enam) kelurahan, Kabupaten Ponorogo dilakukan melalui perhitungan median yaitu
dengan pertimbangan masing-masing menilai suatu distribusi frekuensi dengan
kelurahan memiliki letak geografis, dan mengklasifikasikan kedalam 5 (lima)
karakteristik masyarakat berbeda-beda baik kategori nilai: Sangat potensi, potensi, cukup
dari aspek budaya maupun sosial ekonomi, potensi, Tidak potensi, dan sangat tidak
sehingga dapat dipastikan survey yang potensi, dan atau sangat setuju, setuju, ragu-
beragam dengan populasi tersebut dapat ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju.
menghasilkan data yang bervariasi.
Penentuan subyek penelitian dilakukan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan tehnik ”Purposive Sampling”. Potensi Korupsi Birokrasi.
Menurut Sugiyono (2002), ”purposive Korupsi dalam pelayanan publik, terjadi
sampling adalah tehnik penentuan sampel disebabkan karena proses pengurusan
untuk tujuan tertentu saja”. Disamping itu, pelayanan yang sulit, berbelit-belit,
penentuan sampel ditetapkan berdasarkan prosedural dan membutuhkan waktu yang
subyek yang berkompenten serta secara relatif lama. Mekanisme pelayanan
langsung mengetahui, memahami, dan demikian, mendorong masyarakat pengguna
sekaligus terlibat didalamnya. Subyek jasa untuk mencari jalan pintas untuk
penelitian masing-masing kelurahan memperoleh alternatif yang memungkinkan
ditetapkan 20 orang terdiri dari: 8 pegawai di mendapatkan kemudahan dalam proses
kelurahan, dan 12 orang masyarakat penyelesaian pelayanan publik. Dari
beberapa wawancara dengan responden,

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1872
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

menunjukkan bahwa sebagian besar dilakukan. Namun demikian sebagian besar


masyarakat masih menilai kesulitan dalam petugas pelayanan juga menyadari bahwa
pengurusan pelayanan publik terkait dengan apa yang dilakukan itu tidaklah benar karena
prosedur, persyaratan kelengkapan, menyimpang etika sebagai aparatur negara,
ketidakjelasan petugas, dan waktu penyimpang dari aturan yang berlaku, dan
penyelesaian pelayanan memerlukanakan bahkan menyadari sangat melukai rasa
waktu relatif lama. Salah satu alternatif keadilan bagi masyarakat. Demikian pula,
masyarakat untuk mencari kemudahan dengan pendapat sebagian besar masyarakat
dalam pelayanan publik berusaha mencari yang meminta bantuan kepada petugas
konektifitas dengan pejabat birokrasi yang pelayanan, dirasakan adanya kebutuhan
dimungkinkan dapat membantu yang sangat mendesak yang harus segera
mempercepat pengurusannya. Kondisi inilah diselesaikan pengurusan pelayanan itu,
sebagai awal terjadinya korupsi karena walaupun apa yang dilakukan itu tidaklah
masyarakat dalam proses pengurusannya benar karena melukai rasa keadilan
harus mengeluarkan biaya diluar biaya masyarakat yang lainnya. Lebih lanjut, dari
pelayanan, demikian pula biaya sebagai hasil beberapa wawancara, menunjukkan
ucapan terima kasih kepada pejabat yang bahwa pelayanan publik terjadi adanya
telah membantunya. Praktek korupsi diatas, ketidakadilan dalam menyikapi masyarakat
bukan bersifat koersif atau paksaan karena pengguna jasa. Bagi seseorang yang
kedua belah pihak telah menyadari memiliki kedudukan atau jabatan akan
kebiasaan kalau meminta bantuan kepada mendapatkan perlakuan yang istimewa dari
pejabat birokrasi, atau dikenal dengan istilah petugas pelayanan, demikian pula apabila
“Tahu Sama Tahu”. Dalam pandangan masyarakat pengguna jasa sebagai kolega
Dwiyanto (2002), pemberian uang uang atau atau keluarga akan mendapatkan kemudahan
suap kepada aparat birokrasi pelayanan, bagi dalam pelayanan publik. Kondisi inilah juga
sebagian masyarakat pengguna jasa justru mendorong masyarakat pengguna jasa untuk
dianggap sebagai simbol perlawanan menggunakan jasa dari pejabat birokrasi
terhadap dominasi kekuasaan atau jabatan agar dapat dimudahkan dalam pelayanan
yang dimiliki oleh pejabat birokrasi. publik, sehingga masyarakat pengguna jasa
Pemberian uang atau barang kepada aparat harus memberikan tali asih sebagai bentuk
birokrasi tidak dilihat sebagai bentuk uang ucapan terima kasih.
ucapan terima kasih atau adanya unsur Korupsi juga terjadi dengan sengaja
keterpaksaan atau beban, tetapi justru lebih dilakukan oleh seorang pejabat dengan
dimaknai sebagai sebuah cara untuk memanfaatkan kedudukan dan jabatannya
menunjukkan bahwa posisi dan derajat untuk menguntungkan posisi, pangkat dan
pengguna jasa lebih tinggi daripada aparat karier diri sendiri, famili, atau kawan
birokrasi. dekatnya dengan cara-cara yang tidak adil
Kondisi tersebut, masing-masing pihak atau melanggar hukum atau seringkali
juga menyadari bahwa apa yang dilakukan diistilahkan sebagai nepotisme. Menurut
itu sangat penyimpang aturan yang berlaku. Dwiyanto, et.al, (2006), nepotisme
Dari beberapa wawancara yang dihasilkan, dilakukan di dalam proses pemilihan atau
menunjukkan bahwa petugas pelayanan pengangkatan orang pada jabatan tertentu
melakukan hal itu semata-mata hanya ingin yang terkadang tidak melalui cara-cara yang
membantu masyarakat untuk kemudahan rasional dan proses seleksi yang terbuka
dalam penyelesaian urusan pelayanan publik melainkan hanya tergantung pada rasa suka
karena sangat mendesak harus segera atau tidak suka, atau kedekatan hubungan

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1873
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

pertemanan dan kekerabatan. Sudah bukan mengangkat seseorang yang masih ada
sesuatu yang rahasia lagi, bahwa seseorang hubungan kekerabatan, atau konektifitas
yang sedang menduduki jabatan selalu untuk memasukkan keluarganya dalam
berusaha memanfaatkan jabatan atau lingkungan birokrasi. Gejala nepotisme ini
kedudukannya dengan memanfaatkan sudah berlangsung sejak lama, dalam istilah
kewenangannya untuk mendapatkan jawa disebut dengan “Aji Mumpung”.
keuntungan secara ekonomi. Dari beberapa Tingkat kelangsungan korupsi di lingkungan
wawancara dihasilkan kesimpulan bahwa birokrasi, tidak terkecuali dalam lingkungan
sebagian besar pejabat di lingkungan pemerintahan desa, secara keseluruhan data
birokrasi selalu memanfaatkan yang dihasilkan melalui penyebaran
kedudukannya untuk kepentingan kuesioner menunjukkan sebagaimana tabel
pribadinya, seperti kesempatan untuk dibawah ini.
Tabel. 1
Tingkat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di lingkungan Birokrasi Publik

Kategori/Interval Frekuensi (f) Prosentase (%)


No. Nilai Variabel
1 Sangat potensi 28 23,33
2 Potensi 49 40,84
3 Cukup potensi 21 17,50
4 Tidak potensi 18 15,00
5 Sangat tidak potensi 4 3,33
JUMLAH 120 100
Sumber: Data Primer
Tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme di menyimpang dari ketentuan dan atau dari
lingkungan birokrasi publik, menunjukkan nilai-nilai sosial. Namun demikian, faktor
23,33 % cenderung sangat potensi terjadi, ekonomi dianggap sebagai penyebab korupsi
40,84 % dengan kecenderungan potensi tidaklah semua benar, karena gaji sebagai
terjadi, 17,50% dengan kecenderungan pegawai negeri sipil dinilai lebih dari cukup
cukup potensi terjadi, 15,00 % untuk hidup layak. Kenaikan gaji tampaknya
kecenderungan tidak potensi terjadi, dan memang membuat korupsi birokratis dapat
3,33 % kecenderungan sangat tidak potensi dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi
terjadi. Dengan demikian kecenderungannya tertentu pemberian kenaikan gaji tidak selalu
korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan efektif dapat meredam nafsu birokrat untuk
birokrasi publik berpotensi terjadi. Korupsi melakukan korupsi. Secara teoritis,
dalam lingkungan birokrasi dianggap hubungan antara gaji pegawai negeri dan
sebagai suatu hal yang wajar bahkan dapat tingkat korupsi birokratis masih bersifat
dikatakan sebagai tradisi dalam pelayanan mendua (ambiguous) (Dwiyanta et.al
publik. Praktek suap oleh sebagian besar (2006). Barangkali yang lebih tepat karena
aparat birokrasi sebagai bentuk ucapan tuntutan gaya hidup modern sebagai bentuk
terima kasih dari masyarakat atas pelayanan simbol dari status sosial yang berkembang di
yang diberikan oleh aparat birokrasi. masyarakat. Tuntutan modernisasi dalam
Faktor Penyebab terjadinya KKN. kehidupan sosial, mendorong seseorang
Korupsi birokratis seringkali dikaitkan untuk memanfaatkan jabatan atau
dengan faktor ekonomi, karena adanya kedudukannya untuk memperoleh
desakan pemenuhan kebutuhan mendorong keuntungan material yang lebih. Dari
untuk melakukan tindakan-tindakan yang beberapa wawancara yang dilakukan,

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1874
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

menunjukkan: bahwa sebagian besar aparat sistem tersebut akan dapat disalahgunakan,
birokrasi menilai bahwa terjadinya korupsi diselewengkan, atau dikorup untuk
disebabkan karena tuntutan kehidupan kepentingan yang lebih sempit.
bermasyarakat yang menilai keberhasilan Pola pemikiran diatas, tidak dapat
seseorang itu diukur dari kepemilikan faktor terlepas dari kulture yang berkembang di
ekonomi. Penilaian inilah menjadi salah satu masyarakat. Simbol pada masyarakat jawa
sebab dorongan aparat birokrasi untuk menempatkan aparat birokrasi dalam status
melakukan tindakan korupsi, hal ini sosial yang lebih tinggi sehingga secara
tercermin dari banyaknya kasus yang psikologis mendorong aparat birokrasi untuk
korupsi menjerat pimpinan atau pejabat menunjukkan eksistensinya dalam simbol
birokrasi. Dari aspek gaji yang didapatkan status sosial tersebut melalui kehidupan yang
dari jabatannya sudah lebih dari memadai, lebih dibandingkan dengan kehidupan
namun juga masih melakukan tindakan masyarakat lainnya. Pemahaman inilah
korupsi. Disamping itu, penyebab mendorong aparat birokrasi untuk
merebaknya korupsi birokratis terkait pula memanfaatkan jabatan atau kedudukannya
dengan nilai-nilai moral yang dianut oleh dalam kaitannya untuk mempartahankan
masyarakat sendiri. Dari beberapa simbol status sosialnya. Dari beberapa
wawancara, menunjukkan: bahwa korupsi wawancara, menunjukkan pandangan
dalam lingkungan birokrasi tergantung dari sebagian besar aparat birokrasi melakukan
manusianya, moralitas dan integritas tindakan korupsi disebabkan karena tuntutan
menjadi dasar pengendalian seseorang untuk kehidupan sosial yang menempatkan aparat
melakukan suatu tindakan. Koruptor pada birokrasi memiliki kelebihan dalam akses
umumnya memahami apakah tindakannya ekonominya. Disamping itu, faktor kulture
itu penyimpang atau tidak namun saja tetap yang berdampak pada potensi korupsi,
dilakukan. Ini menunjukkan bahwa menempatkan aparat birokrasi sebagai
persoalan korupsi tidak dapat lepas dari priyayi yang dalam masyarakat jawa
moralita dan kejujuran para penyelenggara khususnya menunjukkan suatu status sosial
pemerintahan. Hal ini juga dikemukakan yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat
oleh Dwiyanto et.al (2006), bagi para eksklusif. Aktualisasi dari sistem nilai
koruptor atau pelaku KKN, keuntungan priyayi (borjuis) membawa efek psikologis
adalah tujuan utama sekalipun untuk pada aparat birokrasi. Birokrasi beserta
mencapainya mereka harus melakukan aparatnya cenderung mengasumsikan
tindakan-tindakan yang secara moral tidak sebagai pihak yang harus dihormati oleh
dapat dibenarkan. Tidak dapat disangkal lagi masyarakat. Birokrasi tidak merasa
bahwa pelaku dan sekaligus penyebar berkewajiban untuk memberikan pelayanan
korupsi adalah homo venalis, yaitu orang- kepada masyarakat karena birokrasi bukan
orang yang memang berjiwa korup dan lebih sebagai pelayan. Akan tetapi, justru
banyak mempergunakan cara-cara yang sebaliknya masyarakatlah yang harus
korup. Bagiamana baiknya suatu sistem, jika melayani dan mengerti keinginan birokrasi
memang individu-individu di dalamnya (Dwiyanto, 2002). Dari hasil analisis data,
tidak dijiwai dengan nilai-nilai integritas, faktor penyebab korupsi dalam pelayanan
kejujuran, dan harkat kemanusiaan, niscaya publik, dapat dikuti tabel berikut ini.
Tabel. 2
Faktor penyebab terjadinya korupsi dalam pelayanan publik
No Kategori/Interval Faktor Ekonomi Faktor Kultur
Nilai Variabel f % f %

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1875
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

1. Sangat setuju 45 37,50 29 24,17


2. Setuju 32 26,67 48 40,00
3. Ragu-ragu 18 15,00 18 15,00
4. Tidak setuju 19 15,83 21 17,50
5. Sangat tidak setuju 6 5,00 4 3,33
Jumlah 120 100 120 100
Sumber Data: Data primer

Dari tabel diatas, menunjukkan faktor publik. Praktek suap oleh sebagian besar
ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan aparat birokrasi sebagai bentuk ucapan
faktor kultural yang menjadi penyebab terima kasih dari masyarakat atas pelayanan
terjadinya korupsi dalam pelayanan publik. yang diberikan oleh aparat birokrasi. Faktor
Kecenderungan sebagian besar responden dominan yang mempengaruhi terjadinya
menilai sangat setuju yaitu 37,50 % faktor korupsi disebabkan karena faktor ekonomi,
ekonomi sebagai penyebab terjadinya sebab ekonomi sebagai simbol dari status
korupsi. Sementara faktor ekonomi dalam sosial, bahwa; keberhasilan itu dinilai secara
lingkungan masyarakat dinilai sebagai suatu sempit didasarkan pada kepemilikan
simbol status sosial, keberhasilan oleh ekonomi. Disamping itu, faktor kultural juga
masyarakat dinilai secara sempit didasarkan berpotensi mempengaruhi terjadinya korupsi
pada kepemilikan ekonomi, sehingga dalam pelayanan publik. Berkembangnya
masyarakat mengejar ekonomi terkadang kultur feodalisme dalam lingkungan
tanpa mempertimbangkan nilai moralitas. birokrasi, membuat semakin terjebak dalam
Disamping itu, faktor kultural juga korupsi, praktek suap dinilai sebagai bentuk
memberikan andil yang cukup besar, yaitu ucapan terima kasih yang diberikan oleh
40,00 % masyarakat setuju terjadinya masyarakat sebagai sesuatu yang seharusnya
korupsi dalam pelayanan publik. Faktor dilakukan.
kultural dalam lingkungan birokrasi
terbentuk dari kultur feodalisme, dimana REFERENSI
masyarakat di pilah menjadi dua kelompok Dwiyanto, Agus, dkk, 2002, Reformasi
ekstrem yaitu kelompok priyayi (sebagai Birokrasi Publik di Indonesia, Cetakan
pejabat), dan kelompok kawula pertama, Galang Printika, Yogyakarta.
(masyarakat). Dalam kultur feodalisme, Dwiyanto, , et.al, 2006, Mewujudkan Good
Governance melalui Pelayanan publik,
kewajiban sebagai kawula adalah
Cetakan Kedua, Penerbit Gajah Mada
memberikan upeti atas kemudahan yang University Press, Yokyakarta.
diberikan oleh pejabat birokrasi. Konsep Rahmat Subagio, 2012, Analisis Penerapan
inilah berkembang praktek suap dalam Reformasi Birokrasi pada Kantor
pelayanan publik, karena masyarakat Pelayanan Utama Bea dan Cukai
memberikan uang ekstra (tambahan) sebagai Tanjung Priok, Tesis,
bentuk ucapan terima kasih atas kemudahan lib.ui.ac.id/file?file...Tesis%20
dalam proses pelayanan publik. Rahmat%20Subagio%20090665558...
, diakses tanggal. 13 April 2019.
V. KESIMPULAN DAN SARAN Santosa, Pandji. 2008, Administrasi Publik Teori
Tingkat korupsi dalam lingkungan dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: PT RefikaAditama.
birokrasi masih seringkali terjadi, khususnya
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian
terkait dengan proses pelayanan publik. Administrasi. Penerbit: CV Alfabeta,
Bahkan korupsi dianggap suatu hal yang Bandung.
wajar sebagai tradisi dalam pelayanan

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1876
Seminar Nasional Sistem Informasi 2019, 19 September 2019
Fakultas Teknologi Informasi – UNMER Malang

Sri Nawatmi, 2014, KORUPSI DAN Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang
PERTUMBUHAN EKONOMI otonomi daerah
NEGARA-NEGARA ASIA PASIFIK, .
Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE),
Maret 2014, Hal. 73 – 82 Vol. 21, No.
1 73,
https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.
php/fe3/article/view/3173

Copyright © SENASIF 2019 ISSN : 2598-0076


1877

Anda mungkin juga menyukai