Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

M DENGAN TUBERKULOSIS PARU


BAKTERIOLOGIS DI RUANG SOKA ATAS RSUP PERSAHABATAN

MAKALAH

Ns. DEVA OCTAMEGA WIDHASWARI, S. Kep


NIP 198910222010122003

RSUP PERSAHABATAN
JAKARTA
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
utama kesehatan global. Sejak 1993 World Health Organization (WHO) telah menyatakan
TB sebagai kedaruratan masalah kesehatan dunia (global public health emergency).
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan kematian pada penyakit menular setelah
human immunodeficiency virus. Diperkirakan pada tahun 2013 ada sekitar 9,0 juta kasus
TB baru dan 1,5 juta kematian akibat TB dengan 1,1 juta diantaranya HIV-negatif dan 0,4
juta diantaranya HIV-positif. Tingginya kasus TB tidak hanya terjadi pada laki-laki tetapi
akibat dari penyakit tersebut juga tinggi pada perempuan. Angka kematian akibat TB pada
perempuan mencapai 510.000 dari perkiraan 3,3 juta kasus yang terjadi pada tahun 2013.
Pada anak-anak diperkirakan terjadi 550.000 kasus dengan kematian mencapai 80.000
(WHO, 2014).

Menurut data WHO tahun 2013, Indonesia berada di urutan kelima untuk insiden TB di
dunia setelah India, Cina, Nigeria, dan Paskistan. Jumlah klien TB di Indonesia
diperkirakan mencapai 5,8% dari total jumlah klien TB di dunia. Terdapat 429.730 kasus
baru dan 62.246 kematian akibat TB yang diperkirakan terjadi setiap tahun. Insidensi
kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Hasil Riskesdas tahun 2013
menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan
tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda yaitu 0,4%, ini berarti prevalensi kejadian TB di
Indonesia pada tahun 2007 dan 2013 tidak mengalami penurunan. Lima provinsi dengan
TB tertinggi adalah Jawa Barat (0,7%), Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten, dan Papua
Barat. Berdasarkan karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat
dengan bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, dan tidak bekerja (Riskesdas, 2013).

Dalam menanggulangi masalah TB Paru, Pemerintah telah membuat Rencana Strategis


Kementerian Kesehatan 2010-2014. Mengacu pada RPJMN, Kementerian Kesehatan
menetapkan visi “menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”.
Pencapaian visi didukung dengan empat misi dalam rencana strategik 2010-2014,
meliputi: 1) Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; 2) Melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu dan berkeadilan; 3) Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya
kesehatan; serta 4) Menciptakan tata kelola pemerintah yang baik (Stranas TB 2010-
2014).

Langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana TB adalah penemuan kasus TB. Secara
bermakna, penemuan dan penyembuhan klien TB menular dapat menurunkan kesakitan
dan kematian akibat TB, penularan di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Secara umum, penemuan
klien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penyuluhan secara aktif, baik oleh
petugas kesehatan maupun masyarakat dilakukan untuk meningkatkan cakupan penemuan
serta penjaringan tersangka klien TB. Keterlibatan semua layanan dimaksudkan untuk
mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Pengobatan TB
bertujuan untuk menyembuhkan klien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat
Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin kepatuhan klien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) (Kemenkes, 2011).

Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan merupakan Rumah Sakit Respirasi Rujukan
Nasional. Salah satu ruang rawat inapnya adalah ruang soka atas yang merawat pasien
paru infeksi dengan TB dan NON TB. Pada bulan Juli 2019 terdapat 70 dari 105 jumlah
pasien yang menderita penyakit TB paru. Pasien yang di rawat dengan didiagnosis TB
paru, tidak semua penderita baru melainkan penderita kambuh, sedang pengobatan
maupun yang putus pengobatan. Bahkan beberapa pasien TB disertai dengan penyakit
lainnya seperti empyema thorax, pneumothorax, diabetes mellitus, hipertensi dll.

1.2 Rumusan Masalah


Asuhan Keperawatan pada pasien Tn. M dengan tuberculosis paru bakteriologis di ruang
soka atas Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
1.3.1.1 Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru
1.3.1.2 Untuk kelengkapan kenaikan golongan dari IIIA ke IIIB

1.3.2 Tujuan khusus


1.3.2.1 Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru
bakteriologis
1.3.2.2 Melakukan analisis asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru
bakteriologis
1.3.2.3 Mengidentifikasi masalah keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru
bakteriologis

1.4 Manfaat
1.4.1 Hasil makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pedoman dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan tuberculosis paru
bakteriologis di ruang soka atas RSUP Persahabatan.
1.4.2 Hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan sesama perawat di ruang
soka atas dalam meningkatkan pengetahuan merawat pasien dengan masalah
tuberculosis paru.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP TUBERKULOSIS


2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes, 2011).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk
selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu
dahak, dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan (Kemenkes, 2013).

2.1.2 Manifestasi Klinis TB


Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala respiratori
seperti ; batuk > 2 minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala
respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke
luar. Gejala sistemik seperti ; demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun. Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ
yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya TB, antara lain (Girsang, 2013) :
a. Faktor Ekonomi
Penyakit TB ini sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian keluarga yang
berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Banavaliker (2003) adanya
hubungan antara tuberculosis dan kemiskinan. Faktor ekonomi sangat erat
dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan
dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB.
Pendapatan keluarga sangat erat juga juga dengan penularan TB, karena
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi
syarat-syarat kesehatan (Hiswani, 2009).
b. Pendidikan
Hasil penelitian Hutapea (2009) pada pasien TB terdapat 59,0% dari peserta
penelitian berpendidikan menengah (SLTP dan SLTA). Rusnoto (2008) bahwa
pada pasien TB, pendidikan terakhir yang diikuti responden paling banyak
tidak tamat SD (31,1%). Silviani (2005) pada penderita TB mayoritas tidak
tamat SLTP (70,55%).
c. Stigma
Stigma masyarakat tentang penyakit TB yang beranggapan bahwa TB
merupakan penyakit kutukan dan tidak dapat disembuhkan memiliki dampak
pada psikologis penderita TB. Dampak psikis yang didapat dari lingkungan
sekitar maupun keluarga terdekatnya dapat menimbulkan stres dan kecemasan
pada penderita yang dapat berpengaruh besar pada harga dirinya. Seperti yang
diungkapkan oleh Depkes (2002) adanya stigma bahwa penyakit TB adalah
penyakit orang miskin, penyakit keturunan atau kutukan dan suatu penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
Stigma yang mempengaruhi psikis penderita dapat berpengaruh juga pada
proses penyembuhannya. Stigma sosial yang kuat tentang TB di masyarakat
mendukung keinginan pasien untuk tidak mengungkapkan penyakit mereka
dan tidak mencari perawatan (Shrestha-Kuwahara, 2002). Penderita tidak
berkeinginan berobat karena takut orang yang disekitarnya mengetahui
penyakitnya, tidak mau bersosialisasi dengan orang disekitarnya karena takut
menularkan penyakitnya sehingga dapat membuat gangguan pada lingkungan
sosialnya.
d. Faktor Keluarga
Faktor dari dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap proses
penyembuhan penyakit TB. Salah satu support system yang dapat
diberdayakan adalah keluarga, karena keluarga merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari individu. Dukungan dari keluarga dapat membuat
penderita lebih kuat menjalani proses pengobatan dan penyakitnya (Friedman,
Bowden & Jones, 2010).
Faktor keluarga juga dapat mempengaruhi cepatnya penyebaran penyakit TB
karena seringnya kontak terhadap penderita. Penelitian oleh Rusnoto (2007)
dalam Girsang (2013) mengatakan hasil penelitian didapatkan sebesar 63,8%
yang terdeteksi menderita TB Paru yang berasal dari kontak serumah dengan
keluarga atau orang tua yang menderita TB Paru. Riwayat kontak anggota
keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan tiga
bulan berisiko untuk terjadinya TB Paru terutama kontak yang berlebihan.
e. Faktor Lingkungan
TB Paru penyebarannya sangat berpengaruh terhadap lingkungan karena
penyebarannya melalui udara dan percikan dahak (droplet). Keadaan
lingkungan yang terdekat untuk penyebaran TB berawal dari lingkungan
keluarga. Menurut penelitian oleh Triska (2005) menyatakan bahwa sanitasi
rumah sangat erat hubungannya dengan penyakit menular. Hal ini dikarenakan
lingkungan rumah seperti saluran pembuangan air limbah yang buruk dapat
menjadi media yang baik bagi kuman TB dan dapat menular ke orang lain.
Penyebaran kuman TB yang melalui udara sangat berpengaruh terhadap
kebersihan dan ventilasi rumah, apabila rumah tidak memiliki ventilasi yang
cukup baik maka dapat menyebabkan penyebaran kuman TB semakin cepat.
Rumah juga harus memiliki pencahayaan yang cukup agar kuman TB tidak
berkembang biak dengan cepat. Faktor yang mempengaruhi dalam penyebaran
TB yaitu : host dan lingkungan (Guwatude, et all., 2003).
f. Jenis Kelamin
Pada laki-laki dan perempuan mempunyai prevalensi yang sama untuk tertular
penyakit TB. Pada penelitian yang dilakukan oleh Saptawati, dkk (2010)
berdasarkan jenis kelamin, responden dengan TB terbanyak pada jenis
kelamin laki-laki yaitu 33 orang dan 13 orang berjenis kelamin perempuan.
Hal yang memperberat terjadinya kasus TB lebih besar pada laki-laki karena
faktor kebiasaan merokok.
g. Usia
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun
(Kemenkes, 2011).
Di usia yang produktif maka semakin sering seseorang bersosialisasi dan
berkomunikasi dengan orang banyak. Semakin tinggi juga peluang penularan
melalui percikan dahak (droplet) terhadap orang yang ada disekitarnya.
Namun, kerentanan seseorang untuk terkena penyakit bergantung pada
imunitas atau daya tahan tubuh pada dirinya (Azwar, 1999). Menurut
penelitian Rizkiyani (2008) menunjukkan bahwa jumlah penderita TB paru
dengan kasus BTA positif sebesar (87,6%) terdapat pada usia produktif (15-54
tahun) sedangkan sisanya (12,4%) terjadi pada usia ≥ 55 tahun.
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakteriologi
Pemerikaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberculosis, yang
sangat penting dalam menentukan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar,urin, feses dan jaringan biopsi.
1) Pemeriksaan dahak genexpert/TCM yang dapat membuktikan hasilnya
berupa negatif, rifampisin sensitif dan rifampisin resisten.
2) Pemeriksaan dahak BTA yang dilakukan 1-3 kali dalam sewaktu dapat
membuktikan seberapa banyak kuman tuberculosis. Jika hasil
pemeriksaan 1 positif dan 2 negatif maka dapat dilakukan pemeriksaan
ulang. Jika hasil pemeriksaan 1 dan 2 negatif maka disimpulkan
negatif. Jika pemeriksaan 1 dan 2 positif maka hasilnya positif.
3) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA M. tuberculosis.
4) Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Intepretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberculosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, sel
limfosit dominan dan glukosa rendah.
5) Pemeriksaan hispatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy paru
dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsy paru terbuka, biopsy pleura, biopsy kelenjar getah
bening, biopsi organ lain diluar paru, biopsy jarum halus. Pemeriksaan
biopsy dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama
pada tuberkulosis ekstra paru.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan standar adalah foto thorax PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain seperti ct scan thorax, foto apiko lordotik, oblik. Pada
pemeriksaan foto thorax, tuberculosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi tuberculosis aktif yaitu bayangan berawan/nodular di segmen
apical dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,
bayangan bercak milier, kaviti terlebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan, efusi pleura unilateral.
c. Pemeriksaan darah yang dilakukan adalah laju endap darah (LED). Data
ini sangat penting sebagai indicator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik pasien, sehingga dapat digunakan untuk salah satu
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
pendeteksi tingkat penyembuhan penderita.
d. Uji tuberculin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi
tuberkulosis di daerah dengan pravalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia
dengan pravelensi tuberculosis yang tinggi, pemeriksaan ini sebagai alat
bantu diagnostic kurang berarti, apalagi pada orang dewasa.
2.1.5 Klasifikasi pasien tuberkulosis
Klasifikasi TB berdasarkan WHO 2014 :
a. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
(mikroskopis, biakan, tes cepat molekuler) : hasil BTA positif, hasil biakan
M.Tb positif, hasil tes cepat M.Tb positif, tb ekstra paru konfirmasi secara
bakteriologis jaringan yang terkena, tb anak yang teriagnosis dengan
pemeriksaan bakteriologis.
b. Pasien TB terdiagnosis secara klinis : tidak memenuhi kriteria diagnosa
secara bakteriologis tapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter
dan diputuskan untuk diberikan OAT, TB paru BTA negatif dengan hasil
foto toraks mendukung TB, TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis
maupun laboratorium dan hispatologi tanpa konfirmasi bakteriologis.
Klasifikasi pasien TB ada 4 yaitu : lokasi anatomi, riwayat pengobatan sebelumnya,
hasil pemeriksaan uji kepekaan, status HIV) (dr. Priska, Sp. P, 2011) :

a. Lokasi  TB paru : pada parenkim paru atau trakeobronkial


anatomi  TB ekstraparu : TB pada organ di luar paru (pleura,
limfe, limfadenitis hilar, abdomen, genitourinary, kulit,
sendi, meningen, tulang)
TB paru dan ekstraparu bila bersamaan dicatat sebagai TB
paru

b. Riwayat  Pasien baru : pasien yang belum pernah mendapatkan


pengobatan OAT sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT
sebelumnya namun kurang dari 1 bulan.
 Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak
diketahui
 Pasien yang pernah diobati TB : pasien yang
sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau
lebih. Klasifikasi berdasarkan hasil pengobatan TB
terakhir :
 Pasien kambuh : pasien TB yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap, saat ini
didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis.
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal : pasien
TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada
pengobatan terakhir. Gagal bila penderita TB
dengan hasil dahak atau kultur positif pada bulan
kelima atau akhir OAT.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat :
putus berobat bila pasien TB dengan pengobatan
OAT terputus dalam waktu 2 bulan berturut atau
lebih.
 Lain-lain : pasien TB yang pernah diobati namun
hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui

c. Hasil  Monoresisten : resisten terhadap salah satu jenis OAT


pemeriksaan lini pertama
uji kepekaan  Poliresisten : resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT
obat lini pertama selain INH dan Rifampisin secara
bersamaan
 MDR : resisten terhadap INH dan Rifampisin secara
bersamaan
 XDR : TB MDR yang sekaligus terhadap salah satu
OAT golongan flouroquinolon dan minimal salah satu
dari OAT lini kedua jenis injeksi
 Resisten Rifampisin (RR) : resisten terhadap rifampisin
dengan atau tanpa resisten terhadap OAT lain yang
dideteksi menggunakan metode genotip atau metode
fenotip

d. Status HIV  TB HIV positif : pasien TB dengan hasil tes HIV


positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ARV
atau tes HIV positif saat didiagnosis TB
 TB HIV negatif : pasien TB dengan hasil tes HIV
negatif sebelumnya atau tes hasil HIV negatif saat
didiagnosis TB
 TB dengan status HIV tidak diketahui : pasien TB
tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat
didiagnosis TB

2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terdapat 2
bentuk yaitu :
a. Jenis obat utama (Lini 1) yang digunakan adalah Rifampisin, INH,
Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin.
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination/FDC) yang terdiri dari 3
jenis. 4FDC dalam satu tablet yaitu rifampisin 150mg, isoniazid 75mg,
pirazinamid 400mg, dan etambutol 275mg. 2FDC dalam satu tablet yaitu
rifampisin 150mg dan isoniazid 150mg.

BAB III
LAPORAN KASUS KELOLAAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2019. Klien Tn. M yang berusia 58
tahun. Klien masuk ke RSUP Persahabatan dengan keluhan batuk berdahak warna
hijau sejak 3 bulan sebelum masuk Rumah Sakit, sesak nafas, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, mual dan muntah sejak 4 hari sebelum masuk Rumah
Sakit. Klien mengatakan sudah menderita TBC selama 3 bulan dan mendapatkan
pengobatan dari RS Harapan Jayakarta. Pasien mendapatkan terapi 4FDC 1x 3 tablet
sejak 14 Mei 2019. Pasien dirujuk ke poli paru RSUP Persahabatan karena mengalami
mual muntah serta sesak nafas dan ditransfer ke ruang IGD setelah ada hasil rongent
thorax.

Tn. M saat di IGD dilakukan tindakan pemasangan WSD, undulasi ada, cairan pleura
± 300ml berwarna kehijauan. Tn. M mengatakan nyeri pada dada kiri pada tempat
pemasangan WSD. Tn. M mengatakan balutan luka basah rembesan cairan paru.
Keadaan luka baik, tidak ada kemerahan, tidak ada panas, tidak ada bengkak, terdapat
nyeri saat penekanan. Diameter luka 1x1cm terdapat 3 jahitan penyanggah selang
WSD. Tn. M tampak meringis kesakitan. Tn. M tampak bergerak dengan berhati-hati
dan melindungi area yang dirasakan nyeri Pengkajian nyeri, Provokatif : saat aktifitas,
Quality : tajam pada dada kiri, Radiation : tidak menyebar, Severity : skala nyeri 4
disertai sesak nafas, Time : kadang-kadang. Tn. M mengalami penurunan berat badan
±20kg sejak 3 bulan terakhir. Tn. M terpasang oksigen 3 liter per menit dengan nasal
kanul.

Hasil pengkajian fisik Tn. M didapatkan, berat badan 41 kg ada penurunan berat
badan 20kg selama 3 bulan. Tinggi badan 160 cm dan IMT yang diasilkan 16 (kurus).
Tekanan darah 114/70 mmHg, frekuensi pernafasan 24x/menit, frekuensi nadi
93x/menit, suhu tubuh 36,7°C. Hasil laboratorium tanggal 19 Agustus 2019 :
Hemoglobin 11,7, hematokrit = 32,3, leukosit = 11,48, trombosit = 480, sgot = 36,
sgpt = 15, ureum = 16, creatinin = 0,7, natrium = 138, kalium = 4,1, klorida = 96, gds
= 131.

3.2 Analisa Data

No Data Masalah keperawatan


1. DS : Bersihan jalan nafas tidak
 Tn. M mengatakan batuk berdahak hijau sejak 3 efektif b.d peningkatan
bulan sebelum masuk RS produksi sputum
 Tn. M mengatakan sesak nafas
DO :
 Tn. M tampak sesak dan batuk-batuk
 TD : 114/70 N : 93 S : 36,7 RR : 24
 Tn. M terpasang oksigen 3 liter permenit
dengan nasal kanul

2. DS : Nyeri b.d pemasangan


 Tn. M mengatakan nyeri pada dada kiri pada WSD
tempat pemasangan WSD.
 Pengkajian nyeri, Provokatif : saat aktifitas,
Quality : tajam pada dada kiri, Radiation : tidak
menyebar, Severity : skala nyeri 4 disertai sesak
nafas, Time : kadang-kadang.
DO :
 Tn. M tampak meringis kesakitan
 Tn. M tampak bergerak dengan berhati-hati dan
melindungi area yang dirasakan nyeri
3. DS : Ketidakseimbangan
 Tn. M mengatakan penurunan nafsu makan, nutrisi kurang dari
penurunan berat badan, mual dan muntah sejak kebutuhan tubuh
4 hari sebelum masuk Rumah Sakit
DO :
 Klien tampak mual
 Klien tampak muntah
 BB : 41kg TB : 160cm
 IMT : 16 (kurus)
 Penurunan berat badan ±20 kg selama 3 bulan

4. DS : Kerusakan integritas kulit


 Tn. M mengatakan balutan luka basah rembesan
cairan paru
DO :
 Keadaan luka basah, tidak ada kemerahan, tidak
ada panas, tidak ada bengkak, terdapat nyeri saat
penekanan.
 Diameter luka 1x1cm terdapat 3 jahitan
penyanggah selang WSD

3.3 Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan analisa data, ada 4 diagnosa keperawatan yang dirumuskan yaitu
Bersihan jalan nafas tidak efektif, nyeri, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, kerusakan integritas kulit.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pengkajian dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2019. Klien masuk ke RSUP


Persahabatan dengan keluhan batuk berdahak warna hijau sejak 3 bulan sebelum
masuk Rumah Sakit, sesak nafas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan,
mual dan muntah sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan utama Tn. M
sesuai dengan gejala utama menurut Kemenkes (2013) adalah batuk selama 2 minggu
atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak bercampur
darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan.

Tn. M mengatakan nyeri pada dada kiri pada tempat pemasangan WSD.
Pengkajian nyeri, Provokatif : saat aktifitas, Quality : tajam pada dada kiri, Radiation :
tidak menyebar, Severity : skala nyeri 4 disertai sesak nafas, Time : kadang-kadang.
Tn. M mengalami penurunan berat badan ±20kg sejak 3 bulan terakhir. Tn. M
terpasang oksigen 3 liter per menit dengan nasal kanul. Nyeri merupakan kejadian
yang menekan (stres) dan dapat merubah gaya hidup dan psikologis seseorang. Saat
nyeri datang tanda-tanda vital akan meningkat, denyut jantung akan lebih cepat,
tekanan darah naik dan pernafasan meningkat (Smeltser & Bare, 2002). Pada kasus
Tn. M tanda-tanda vital sebagai berikut TD : 114/70 N : 93 S : 36,7 RR : 24, terdapat
peningkatan tekanan darah dan frekuensi bernafas.

Tn. M masuk rawat inap tidak hanya dengan diagnosa TB paru saja, tetapi
dengan penyakit penyerta yaitu empyema thorax. TB yang menjalani rawat inap
adalah 13 orang per bulan. Indikasi rawat inap pada penderita TB paru adalah dengan
keadaan atau komplikasi seperti batuk darah masif, keadaan umum buruk,
pneumothoraks, empiema, efusi pleura dan sesak napas berat (WHO, 2014). Tn. M
berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian yang dilakukan oleh Saptawati, dkk (2010)
berdasarkan jenis kelamin, responden dengan TB terbanyak pada jenis kelamin laki-
laki yaitu 33 orang dan 13 orang berjenis kelamin perempuan. Hal yang memperberat
terjadinya kasus TB lebih besar pada laki-laki karena faktor kebiasaan merokok.

Hasil pengkajian fisik Tn. M didapatkan, berat badan 41 kg ada penurunan


berat badan 20kg selama 3 bulan. Tinggi badan 160 cm dan IMT yang diasilkan 16
(kurus). Buruknya kondisi penderita TB dapat mempengaruhi status gizi sehingga
terjadi malnutrisi dan sebaliknya malnutrisi dapat meningkatkan perkembangan TB
(Papatakish, 2008). Klien Tn. M yang berusia 58 tahun. Menurut penelitian Rizkiyani
(2008) menunjukkan bahwa jumlah penderita TB paru dengan kasus BTA positif
sebesar (87,6%) terdapat pada usia produktif (15-54 tahun) sedangkan sisanya
(12,4%) terjadi pada usia ≥ 55 tahun.

Pendidikan terakhir Tn. M adalah SD. Sejalan dengan Silviani (2005) pada
penderita TB mayoritas tidak tamat SLTP (70,55%). Pendidikan yang rendah dapat
mempengaruhi pasien menerima informasi tentang pengobatan. Apabila pasien
dengan pendidikan rendah, tetap memiliki motivasi untuk sembuh dengan cara
mencari informasi atau pengetahuan yang dapat diambil dari orang-orang yang sudah
pengalaman, buku-buku atau internet. Saat ini pasien dapat dengan mudah menerima
informasi dengan menggunakan internet.
Pasien dirujuk ke poli paru RSUP Persahabatan karena mengalami mual
muntah serta sesak nafas dan ditransfer ke ruang IGD setelah ada hasil rongent
thorax.Dari rujukan dapat dilihat bahwa dari kasus penderita TB Paru BTA positif
yang ditemukan, yang diobati di BP4 sebanyak 11 orang (1%). Sedangkan yang
dirujuk ke puskesmas atau rumah sakit terdekat tempat tinggal adalah sebanyak 1098
orang (99%). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemantauan pasien dan
menghindari drop out (DO) pengobatan kalau lokasi berobat jauh dari tempat tinggal.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penyakit tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang paling banyak diderita
masyarakat Indonesia, penyakit tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan,
pola hidup. Penyakit ini dapat diketahui tanda-tandanya seperti batuk berdahak lebih
dari 2 minggu, penurunan berat badan, keringat di malam hari. Tuberculosis dapat
menyebabkan komplikasi seperti empyema thorax yang dialami pada Tn. M yang
harus menjalani pengobata TB dan dilakukan pemasangan WSD. Dengan kondisi
mual muntah serta sesak nafas yang semakin memberat membuat Tn. M dibawa oleh
keluarga ke IGD RS. Setelah dilakukan pengkajian pada Tn. M banyak data subjektif
dan objektif yang muncul sehingga dapat 4 diagnosa keperawatan yang penulis
rumuskan yaitu bersihan jalan nafas tidak efektif, nyeri, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh dan kerusakan integritas kulit.
Intervensi keperawatan yang diberikan untuk mengatasi bersihan jalan nafas tidak
efektif yaitu anjurkan minum air hangat, mengukur tanda-tanda vital, mengajarkan
teknik nafas dalam dan batuk efektif, pemberian terapi oksigen dan inhalasi. Hasil
evaluasi dari intervensi yang telah dilakukan, menunjukkan kemajuan yang cukup
signifikan. Tn. M sudah mampu melakukan teknik nafas dalam dan batuk efektif. Tn.
M mengatakan sesak nafas dan batuk berdahaknya sudah berkurang. Rasa nyeri yang
dialami oleh Tn. M setelah dilakukannya pemasangan WSD sampai WSD dilepas
pada hari ketiga, berkurang setelah diajarkan teknik relaksasi. Tn. M tampak masih
mual dan muntah tetapi nafsu makan sudah mulai bertambah. Luka tempat
pemasangan WSD Tn. M tampak kering, tidak ada kemerahan, tidak ada panas, Tn. M
dapat pulang ke rumah dan dapat menjalankan perawatan lanjutan di poli rawat jalan.

5.2 Saran
5.2.1 Pendidikan
Hasil dari dilakukannya asuhan keperawatan pada Tn. M dengan Tuberkulosis
paru ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan pembelajaran khusunya pada
bidang keperawatan medikal bedah.

5.2.2 Pelayanan
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit fisik
tidak hanya memperhatikan fisiknya saja, tetapi juga memperhatikan masalah
bio, psiko, sosial dan spiritual. Karena masalah psikososial akan muncul
berbarengan dengan adanya keluhan fisik. Jika masalah psikososial tidak
teratasi dengan baik, maka dapat memperberat penyakit fisik.
DAFTAR PUSTAKA

Friedman M M, Bowden V R & Jones E G. (2010). Family nursing : Research, theory, & practice 5th
edition. Alih Bahasa : Hamid, dkk. (2010). Jakarta : EGC

Girsang, Y. L. (2013). Gambaran harga diri pada pasien tuberkulosis di poliklinik paru RS
Persahabatan. [Skripsi]. Fakultas Ilmu Keperawatan Program Studi Sarjana
Universitas Indonesia

Kemenkes RI. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta : Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI. (2011). Stop TB strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014


(STRANAS TB) terobosan menuju akses universal. Jakarta : Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Kemenkes RI. (2012). Buku pedoman penghapusan stigma & diskriminasi bagi pengelola
program, petugas layanan kesehatan dan kader. Jakarta : Direktorat Pengendalian
Penyakit Menular Langsung

Kemenkes RI. (2013). Riset kesehatan dasar riskesdas 2013. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2006). Tuberkulosis pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia. Retrieved from
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html

Putri, Priska Duana. (2016). Catatan Ringkas : Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI. Jakarta

WHO. (2014). Global tuberculosis report 2014. World Health Organization. Geneva.
Retrieved from http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

Anda mungkin juga menyukai