Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 diatur bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum.

Ketentuan pasal tersebut merupakan landasan konstitusional bahwa Indonesia

adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai satu-

satunya ketentuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

(supremacy of law).

Setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak

asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh

undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, maka Eksploitasi atau perdagangan orang,

khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan

dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia,

sehingga harus diberantas.1

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan

atau moral dan melawan hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas,

ditoleransi, dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak,

sering kali diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal

dengan nama “lokalisasi”, serta dapat ditemukan diseluruh negeri. Praktik

1
Dalam Konsideran huruf a dan b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
2

prostitusi merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial yang dilakukan

oleh masyarakat sejak zaman dahulu sampai sekarang.2

Meningkatnya praktek prostitusi di Indonesia dan tidak ditandai dengan

angka, serta penutupan tempat lokalisasi terlihat tidak efektif dalam rangka

membasmi praktik prostitusi karena banyak sebab yang melatar belakangi nya,

di antaranya persoalan dasar yang dihadapi PSK tidak terselesaikan dengan

ditutupnya tempat lokalisasi, justru dengan penutupan tempat lokalisasi

membuat keberadaan PSK bisa terdistribusi rata di tempat-tempat strategis.

Mereka bisa berpraktik secara terbuka, atau dengan kedok berbagai usaha salah

satunya, warung remang-remang. Berbagai sumber informasi baik di media

cetak maupun elektronik memberitakan praktek prostitusi di warung remang-

remang dan tempat hiburan malam banyak yang terjadi di Indonesia, karena

dimana hampir di wilayah-wilayah Indonesia tidak menutup kemungkinan

memiliki tempat-tempat praktek prostitusi.

Kondisi praktek prostitusi tersebut juga terjadi Provinsi Bengkulu yang

lebih tepatnya di Kabupaten Seluma, praktek prostitusi yang terjadi di

Kabupaten Seluma, semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Hasil

wawancara peneliti kepada masyarakat kabupaten seluma dari desa Sendawar

Kecamatan Semidang Alas yaitu Herman, ia mengatakan warung remang-

remang adalah istilah untuk warung-warung yang disalahgunakan pemiliknya

untuk kegiatan prostitusi. Masyarakat mengeluhkan karena aktivitas maksiat

dikhawatirkan membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat daerah itu.

“Warung remang-remang tepatnya di jalan lintas sendawar Kecamatan

2
Diakses dari http://digilib.uinsby.ac.id/1006/4/Bab%201.pdf, pada tanggal 10 November
2015.
3

Semidang Alas Kabupaten Seluma, meresahkan warga seharusnya pemerintah

melakukan penertiban. Saat ini masyarakat khawatir karena jika dibiarkan

maka jumlahnya akan terus bertambah banyak. Apalagi di kawasan itu banyak

permukiman masyarakat.,”.3 Hal senada juga di sampaikan oleh Rina Gustiana

warga dari desa Selebar kecamatan Seluma Timur Kabupaten Seluma ia

mengatakan keberadaan warung remang-remang itu meresahkan warga mulai

dari kebisingan musik tiap malam, dan juga banyak orang mabuk minuman

keras. “Dugaan warung remang-remang itu sudah menjurus ke protitusi

terselubung yang ada di Desa Selebar ini. Kami warga sudah resah melihat

aktivitas warung remang-remang tersebut dan dikhawatirkan berdampak

negatif bagi keluarga bila melihat perbuatan yang tidak senonoh itu, kami

meminta pemerintah khususnya penegak Hukum di wilayah Kabupaten Seluma

jangan berdiam diri segera lakukan penertiban,”. 4 Dengan keresahan-keresahan

dari masyakarat kabupaten Seluma ini maka perlu mendapat perhatian yang

serius mengingat di Kabupaten Seluma adalah yang dikenal sangat menjunjung

tinggi nilai-nilai adat dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, maka

dari itu untuk melarang prostitusi ada di Kabupaten Seluma Pemerintah

Kabupaten Seluma mengeluarkan aturan tentang larang prostitusi yang telah

diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan

Prostitusi di Kabupaten Seluma.

Dalam menanggulangi praktek prostitusi yang terjadi disetiap daerah,

pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat penting salah satu nya,

3
Hasil wawancara dengan Herman, warga desa Sendawar kecamatan
Semidang Alas Kabupaten Seluma.
4
Hasil wawancara dengan Rina Gustiana, warga desa Selebar
Kecamatan Seluma timur Kabupaten Seluma
4

dalam otonomi daerah sebagai instrumen kebijakan dalam melaksanakan

otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab.

Peraturan Daerah merupakan sebagai sarana kebijakan daerah guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah melalui pembangunan daerah

yang berkesinambungan. Pembangunan daerah yang berkesinambungan

tersebut, terlihat juga dalam ketentuan Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun

2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma. Pada Pasal 2 dan

pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi

di Kabupaten Seluma dijelaskan bahwa:

Pasal 2;
Setiap orang dilarang melakukan praktik prostitusi di wilayah daerah.
Pasal 3;
Setiap orang dilarang menyediakan sarana atau tempat usaha untuk
melakukan praktik prostitusi di wilayah daerah.
Berdasarkan penjelasan pasal di atas, bahwa praktek prostitusi di

Kabupaten Seluma merupakan suatu perbuatan yang dilarang dalam Peraturan

Daerah Kabupaten Seluma Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan

Prostitusi. Berdasarkan hasil penelitian di Satpol PP Kabupaten Seluma

diketahui bahwa tempat prostitusi yang terjadi dibeberapa wilayah di

Kabupaten Seluma di antara nya yakni Desa Sendawar, Desa Suka Bulan, Desa

Talang Durian, Desa Selebar, Desa Bunut Tinggi, Desa Tebat Sibun dan Desa

Taba.5 Sehingga prostitusi di Kabupaten Seluma secara empiris masih terjadi

walaupun sudah dilarang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Seluma Nomor

05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi.

5
Wawancara dengan Kepala Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah
Satpol PP Seluma, Bapak Saiful Pahran S.E. M.ling., tanggal 5 Agustus 2020
5

Bahwa tempat praktek prostitusi terjadi dibeberapa wilayah seperti Desa

Sendawar, Desa Suka Bulan, Desa Talang Durian, Desa Selebar, Desa Bunut

Tinggi, Desa Tebat Sibun dan Desa Taba di Kabupaten Seluma merupakan

suatu permasalahan yang harus ditanggulangi, terhadap hal tersebut penegakan

hukum Peraturan Daerah Kabupaten Seluma Nomor 05 Tahun 2018 Tentang

Larangan Prostitusi mempunyai peran penting guna menanggulangin praktek

prostitusi di Kabupaten Seluma, sebab dampak dari pratek protitusi yang di

lakukan oleh pemiliki usaha warung remang-remang dan hiburan malam

berujung dengan penuluran penyakit HIV/Aids dan bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang berjudul : “Penegakan Hukum Peraturan Daerah

Kabupaten Seluma Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi.

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018

Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma?

2. Apa yang menjadi hambatan penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05

Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05

Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma.


6

b. Untuk mengetahui hambatan penegakan hukum Peraturan Daerah

Nomor 05 Tahun 2018 tentang larangan prostitusi di Kabupaten

Seluma.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap penologi ilmu pengetahuan khususnya pengetahuan mengenai

penegakan Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan

Prostitusi.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan masukan yang objektif bagi Satuan Polisi Pamong

Praja (SATPOL PP) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Seluma dalam

penanggulangan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma.

D. Kerangka Pemikiran

1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial pada suatu

negara hukum yang mengutamakan berlakunya hukum negara berdasarkan

undang-undang (state law) guna dapat terwujud hukum, yaitu keadilan

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.6

Penegakan hukum bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri,

melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan

masyarakatnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai

kecenderungan sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya.

Struktur masyarakat ini merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana

6
Teguh Sulistia & Aria Zurnetti, Hukum Pidana Baru Pasca Reformasi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, Hlm. 197.
7

sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan, maupun

memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat

diajalankan atau kurang dapat dijalankan dengan seksama 7. Menurut

Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan

ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial

dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk

mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Hakikatnya

penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah- kaedah yang

memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi

tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional,

tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya

dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.

Menurut Barda Nawawi Arief mengenai upaya penanggulangan

berbagai bentuk perilaku menyimpang adalah sebagai berikut:

Bahwa upaya penanggulangan berbagai bentuk perilaku


menyimpang dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya
penal. Upaya non-penal biasanya menitikberatkan pada upaya-upaya
yang sifatnya pencegahan (preventive) terhadap terjadinya
kejahatan, dengan cara menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan. Sedangkan, upaya penal merupakan upaya
penanggulangan dengan menggunakan hukum pidana. Upaya penal
ini menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya memberantas
(repressive).8

Upaya penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia merupakan

penegakan hukum yang bersifat preventif dan represif. Upaya penegakan

hukum preventif yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan bagian


7
Satjipto Rahardjo, 2009. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Bandung, CV. Sinar Baru. Hal. 24
8
Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti,
Bandung. 2002, Hlm 42.
8

dari politik kriminil yang merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana

dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi. Sedangkan upaya penegakan

hukum represif yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak pidana) dilakukan. Upaya

penegakan hukum preventif dan represif yang dilakukan berupa :

1. Non Penal

Upaya non-penal merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana

dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih dikenal

dengan upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini

seharusnya harus lebih diutamakan daripada upaya yang sifatnya

represif. Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran

hukum oleh masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada

badan eksekutif dan kepolisian.

2. Penal

Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih

juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan

adalah secara represif oleh aparat penega hukum yang diberi tugas

yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasional

didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris

terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka

penegakan hukum.9

2. Efektivitas Hukum

9
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 22
9

Menurut Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektivitas hukum,

dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa

norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai

dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum., bahwa orang harus

mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum.10 

Istilah efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung

pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang

diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.11

Efektivitas mengandung arti keefektivan (efectiveness)

pengaruh/efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban.12 Berbicara

efektifitas hukum, Soerjono Soekanto berpendapat tentang pengaruh

hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai

sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.

Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan

atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap

sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”.13

“Berbicara efektivitas hukum, Soerjono Soekanto berpendapat


tentang pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai
kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah
membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak
hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada
hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak
atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”. Efektifitas
10
Tersedia pada: http://edijeggejeg.blogspot.com/2012/06/efektifitas-
efektifikasi-dan-evaluasi.html, diakses pada yanggal 7 Agustus 2020, pukul 20.00 WIB
11
Tersedia pada: http://e-journal.uajy.ac.id/4241/3/2MH01723.pdf, diakses pada
tanggal 7 Agustus 2020, Pukul 20.15 WIB.
12
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, Hal. 8
13
Tersedia pada, http://repository.unhas.ac.id/ /SKRIPSI%20LENGKAP%20378.pdf?,
Diakses pada tanggal 7 Agustus 2020, Pukul 20.30 WIB.
10

penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk menegakkan


kaidah-kaidah hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan
wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma
hukum threats dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan
mendapatkan legitimasi bila tidak ada kaidahnya untuk dipatuhi
atau ditaati.”14

Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektifitas

hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum

untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan

kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi

tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah

efektif.

Bahwa efektifitas hukum  ialah orang benar-benar berbuat sesuai

dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa

norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Selain itu juga

pelaksanaan efektifitas penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk

menegakkan norma-norma hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan

wewenang yang sah.

Memperhatikan pendapat para ahli di atas, disimpulkan bahwa

efektivitas merupakan suatu konsep yang bersifat multi dimensional,

artinya dalam mendefinisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan

dasar ilmu yang dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah

pencapaian tujuan. Kata efektif sering dicampur adukkan dengan kata

efisien walaupun artinya tidak sama, sesuatu yang dilakukan secara efisien

belum tentu efektif.

3. Pelacuran atau Prostitusi


14
Tersedia pada, http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas hukum.html, Diakses
Tanggal 8 Agustus 2020, Pukul 20.00 WIB.
11

Menurut Commemge dalam Tjahjo Purnomo, prostitusi atau

pelacuran adalah suatu perbuatan seorang wanita memperdagangkan atau

menjual tubuhnya, yang dilakukan untuk memperoleh bayaran dari laki-

laki yang datang kepada wanita tersebut. Kartini kartono, medefinisikan

prostitusi atau pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan

memperjual belikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak

orang untuk memuaskan nafsu seks, dengan imbalan pembayaran.15

Secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu


“prostitute / prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang,
atau hidup sebagai perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat
ini, menurut kaca mata orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu
perbuatan menjual diri dengan memberi kenikmatan seksual pada
kaum laki-laki.”16

Menurut Noyon Langemeyer sebagaimana dikutip oleh Wirjono

Prodjodikoro bahwa:

“Perdagangan perempuan harus diartikan sebagai semua perbuatan


yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan
dalam keadaan bergantung kepada kemauan orang lain yang ingin
menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-
perbuatan cabul dengan orang ketiga (Prostitusi).”17

Menurut Pasal 1 Ayat (4) suatu Peraturan Daerah Kabupaten Seluma

Nomor 05 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi Kabupaten Seluma

yang dimaksud dengan :

“Prostitusi adalah suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri


atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan seksual
dengan mendapatkan upah”.

15
Diakses dari http://digilib.unila.ac.id/291/9/BAB%20II.pdf, Pada tanggal 8 Agustus
2020, Pukul 20.30 WIB.
16
Soedjono. D, 1977, Ilmu Jiwa Kejahatan Dalam Studi Kejahatan, Karya nusantara,
Bandung, Hal. 48.
17
Wirjono Prodjodikoro, 2012, Tindak –Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, Hal 124.
12

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian prostitusi,

dapat disimpulkan bahwa prostitusi adalah perbuatan baik yang dilakukan

oleh perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk

memberikan kenikmatan seksual di luar perkawinan dan mendapatkan

upah berupa sejumlah uang. Larang prostitusi tersebut diatur dalam

Peraturan Daerah Kabupaten Seluma Nomor 05 Tahun 2018 tentang

Larangan Prostitusi Dalam Kabupaten Seluma yaitu:

Pasal 2 bahwa;

“Setiap orang dilarang melakukan praktik prostitusi di wilayah


daerah.”

Pasal 3 bahwa:

“Setiap orang dilarang menyediakan sarana atau tempat usaha untuk


melakukan praktik prostitusi di wilayah Daerah.”

Pasal 4 bahwa:

“Setiap orang dilarang menjalankan profesi mucikari sebagai


prantara atau penyedia PSK.”

Dari ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Seluma No 5 Tahun

2018 tentang Larangan prostitusi di Kabupaten Seluma di atas, jelas bahwa

praktek prostitusi atau pelacuran yang terjadi di Kabupaten Seluma

merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai sanksi. oleh

sebab itu untuk terlaksananya Peraturan Daerah Kabupaten Seluma No 5

Tahun 2018 tentang Larangan prostitusi di Kabupaten Seluma diperlukan

peran Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma.

4. Upaya Penanggulangan Kejahatan


13

Upaya atau kebijakan unutuk melakukan pencegahan dan

penanggulangan kejahatan termasuk bidang “ Kebijakan Kriminal”.

kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas

yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan upaya-upaya untuk

kesejateraan sosial dari segala bentuk kejahatan.18

Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua

pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai

program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara

yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Upaya

penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.

a. Upaya preventif
Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk
mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali .
Mencegah kejahatan lebih baik dari pada mencoba untuk
mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana
semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki
penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi
kejahatan ulangan.

b. Upaya represif
Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan
secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan.
Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk
menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta
memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan
yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum
dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya
dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi
yang akan ditanggungnya sangat berat.19

E. Keaslian Penelitian

18
Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
Dalam penanggulangan Kajahatan, Kencana, jakarta, Hal.77
19
Ray Pratama Siadari, Upata Penanggulangan Kejahatan, diunduh tanggal 10
November 2020 Pukul 21.00 WIB.dari: http://raypratama.blogspot.com,-upaya-
penanggulangan-kejahatan.html,
14

Penelitian yang dilakukan ini merupakan hasil karya penulis sendiri.

Sumber-sumber, baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah penulis nyatakan

dengan benar. Berdasarkan hasil pencarian yang berasal dari internet maupun

hasil penelitian lain dalam bentuk jurnal, karya ilmiah, atau pun skripsi

diperpustakaan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu belum ditemukan

penelitian yang mengkaji permaslahan tentang penegakan hukum Peraturan

Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten

Seluma, dan apa yang menjadi hambatan penegakan hukum Peraturan Daerah

Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma.

Apabila terdapat kesamaan dengan penelitian karya penulis lain maka dapat

penulis nyatakan bahwa penelitian ini merupakan hasil penelitian penulis

sendiri. Adapun terdapat judul penelitian yang sudah pernah dilakukan

sebelumnya sebagai berikut:

Tabel. Keaslian Penelitian

Nama/Perguruan Judul Penelitian Identifikasi Masalah


No Tinggi
.
1. Don Julian Peranan Polisi 1. Bagaimanakah peranan Polisi
Mahasiswa Fakultas dan Satpol PP dan Satpol PP dalam
Hukum Universitas Dalam penanggulangan praktek
Bengkulu Tahun Penanggulangan pelacuran di panti pijat
2009. Praktek Pelacuran tradisional di Kota
Di Panti Pijat Bengkulu?
Tradisional Di 2. Apa faktor penghambat
Kota Bengkulu. penanggulangan praktek
pelacuran di panti pijat
tradisional oleh Polisi dan
Satpol PP di Kota Bengkulu?
2. Arie Virgiadi Penegakan Hukum 1. Bagaimana penegakan
Mahasiswa Fakultas Terhadap Pelacuran hukum terhadap pelacuran di
Hukum Universitas di Kabupaten Rejang Kabupaten Rejang Lebong?
Bengkulu Tahun Lebong 2. Apa hambatan penegakan
2011. hukum terhadap pelacuran di
Kabupaten Rejang Lebong?
15

3. Rezi Adeftha, Faktor Penyebab 1. Apa saja yang menjadi faktor


Mahasiswa Fakultas Mahasiswi penyebab mahasiswi
Hukum Universitas Melakukan Praktek melakukan praktek prostitusi
Bengkulu, Tahun Prostitusi Di Kota di Kota Bengkulu?
2013, Bengkulu. 2. Bagaimana peran serta
Satuan Polisi Pamong Praja
(SATPOL PP) Kota
Bengkulu dalam
penanggulangan praktek
prostitusi yang dilakukan
oleh mahasiswi di Kota
Bengkulu?
3. Apa saja yang menjadi
kendala Satuan Polisi
Pamong Praja (SATPOL PP)
Kota Bengkulu dalam
penanggulangan praktek
prostitusi yang dilakukan
oleh mahasiswi di Kota
Bengkulu?

Sumber: Fakultas Hukum UNIB.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris, Dalam

penelitian hukum empiris, hukum dikonsep sebagai suatu gejala empiris

yang dapat diamati dalam kehidupan nyata, dalam hal ini hukum tidak

semata-mata dikonsep sebagai gejala normatif yang mandiri (otonom),

sebagai Ius constituendum dan ius constitutum, tetapi secara empiris ius

operatum yaitu hukum sebagai apa yang ada dalam masyarakat. 20 Oleh

sebab itu pendekatan penelitian hukum empiris ini tergolong pada penelitian

efektifitas hukum yang merupakan penelitian hukum yang hendak menelaah

efektifitas suatu peraturan perundang-undangan.21

20
Herawan Sauni, (et, al), Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana Hukum (S1),
Fakultas Hukum UNIB, Bengkulu, 2020, Hlm. 41.
21
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni,
Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, Hal. 42.
16

Berdasarkan penjelasan di atas tujuan menggunakan penelitian hukum

empiris adalah untuk mengetahui penegakan hukum Peraturan Daerah

Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma,

dan hambatan penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018

Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma. Sifat dalam penelitian

hukum empiris ini adalah deskriptif. Suatu penelitian deskriptif, dimaksud

untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan

atau gejala-gejala lainnya.22 Maka penelitian pada penelitian ini akan

mendeskripsikan penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun

2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma.

2. Pendekatan Penelitian

Pada penedekatan penelitian ini menggunakan pendekatan non

doktrinal. Pendekatan non doktrinal yaitu penelitian berupa studi-studi

empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan

mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat atau sering disebut

sosio legal research. Pendekatan penelitian hukum empiris terdiri dari

penelitian terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas

hukum. Oleh karena itu penelitian ini bertitik tolak dari data primer/dasar,

yaitu data yang melalui lapangan yang menekankan pada langkah-langkah

wawancara.23

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

22
Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, Hal.10.
23
Herawan Sauni, (et, al Op. Cit, hal. 42-43.
17

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian dengan ciri yang

sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati),

kejadian, kasus-kasus, waktu, atau tempat, dengan sifat atau ciri yang

sama.24 Adapun yang menjadi populasi penelitian dalam ini adalah

seluruh anggota satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Seluma, dan

seluruh pelaku prostitusi di Kabupaten Seluma.

b. Sampel

Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah purposive

sampling, yaitu sampel yang sengaja dipilih karena ada maksud dan

tujuan tertentu yang dianggap dapat mewakili populasi secara

keseluruhan. Dalam menentukan sampel sebagai responden dalam

penelitian ini yang menggunakan purposive, yaitu sampel ditentukan

terlebih dahulu berdasarkan pertimbangan kemampuan responden

dengan mempertimbangkan kecakapan dan kedudukannya yang dapat

mewakili populasi penelitian. Berdasarkan kriteria tersebut, maka yang

menjadi sampel dalam penelitian ini adalah :

a. 2 (dua orang) Anggota Satpol PP Kabupaten Seluma Bidang

Penegakan Perundang-undang dan kasi penyelidikan dan penyidikan.

b. 3 (tiga) orang pemilik tempat yang terlibat praktek prostitusi di

Kabupaten Seluma.

4. Sumber Data

24
Bambang Sunggono, 2012, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 118.
18

Ada dua sumber yang penulis gunakan dalam penelitian ini yaitu

data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Menurut Soerjono Soekanto, data primer diperoleh langsung

dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat melalui

penelitian.25 Jenis data primer adalah data yang bersumber dari

penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama dilapangan baik dari reponden.26

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi

kepustakaan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan yang

bertujuan untuk mencari data berupa teori-teori, pandangan-

pandangan, doktrin-doktrin, dan asas-asas hukum yang berhubungan

erat dengan pokok permasalahan yang diteliti.27

5. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang akan digunakan dalam

penelitian ini mengunakan wawancara. Teknik ini dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan kepada responden untuk menjawab yang sesuai

dengan kebutuhan permasalahan penelitian.28 Dalam teknik wawancara ini

ditujukan kepada responden yang merupakan sampel mengenai

penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang

Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma, dan hambatan penegakan

25
SoerjonoSoekanto, Op.cit.Hal.12.
26
Herawan Sauni, (et, al, Op.Cit. Hal. 45.
27
Ibid.
28
Ibid, Hal. 47.
19

hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan

Prostitusi di Kabupaten Seluma.

6. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh kemudian akan diolah melalui tahapan-

tahapan sebagai berikut:

a. Pemerikasaan data (editing,)yaitu pembenaran apakah data yang

terkumpul melalui studi pustaka, dokumen, wawancara, observasi, dan

kouisioner sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak berlebihan, dan

tanpa kesalahan.

7. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder

dikelompokkan dan disusun secara sistematis. Selanjutnya data tersebut

dianalisis kualitatif yaitu data yang tidak merupakan perhitungan dan

pengujian angka-angka, tetapi dideskriptifkan dengan menggunakan data

kualitatif dengan menggunakan metode deduktif, yaitu: kerangka berfikir

dengan cara menarik kesimpulan dari data yang bersifat umum kedalam

data yang bersifat khusus dan data yang diperoleh melalui responden

ditarik untuk menggambarkan populasi dengan menggunakan metode

induktif yaitu kerangka berfikir dengan menarik kesimpulan dari data-

data yang bersifat khusus kedalam data-data yang bersifat umum.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
20

A. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan hal yang sangat esensial pada suatu

negara hukum yang mengutamakan berlakunya hukum negara berdasarkan

undang-undang (state law) guna dapat terwujud hukum, yaitu keadilan

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.29

Penegakan hukum bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri,

melainkan mempunyai hubungan timbal-balik yang erat dengan

masyarakatnya. Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai

kecenderungan sendiri yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya.

Struktur masyarakat ini merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana

sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan, maupun

memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat

diajalankan atau kurang dapat dijalankan dengan seksama30. Menurut

Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan

ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial

dan sebagainya. Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk

mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan. Hakikatnya

penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah- kaedah yang

memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi

tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional,

tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya

dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.

29
Teguh Sulistia & Aria Zurnetti, Hukum Pidana Baru Pasca Reformasi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2011, Hlm. 197.
30
Satjipto Rahardjo, 2009. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Bandung, CV. Sinar Baru. Hal. 24
21

Upaya penegakan hukum yang dilakukan di Indonesia merupakan

penegakan hukum yang bersifat preventif dan represif. Upaya penegakan

hukum preventif yaitu usaha mencegah kejahatan yang merupakan bagian

dari politik kriminil yang merupakan suatu pencegahan kejahatan, dimana

dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi. Sedangkan upaya penegakan

hukum represif yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum sesudah terjadinya kejahatan (tindak pidana) dilakukan. Upaya

penegakan hukum preventif dan represif yang dilakukan berupa :

1. Non Penal

Upaya non-penal merupakan suatu pencegahan kejahatan,

dimana dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga upaya ini lebih

dikenal dengan upaya yang sifatnya preventif atau pencegahan. Hal ini

seharusnya harus lebih diutamakan daripada upaya yang sifatnya represif.

Diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh

masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan eksekutif

dan kepolisian.

2.Penal

Dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan tetapi masih

juga terdapat pelanggaran hukum. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan

adalah secara represif oleh aparat penega hukum yang diberi tugas

yustisionil. Penegakan hukum represif pada tingkat operasional

didukung dan melalui berbagai lembaga yang secara organisatoris


22

terpisah satu dengan yang lainnya, namun tetap berada dalam kerangka

penegakan hukum.31

B. Peraturan Daerah

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah


provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-
anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang
ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang.

Dalam tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

Pemerintah Daerah, yang diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan

Daerah. Keberadaan Peraturan Daerah merupakan bentuk dari pemberian

kewenangan pemerintah pusat kepada daerah dalam mengurus dan mengatur

rumah tangganya sendiri, sebab dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah

sangat diperlukan adanya peraturan lebih lanjut berupa Peraturan Daerah.

31
Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 22
23

Pemerintahan Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemeritahan Daerah. Keberadaan Peraturan Daerah

merupakan bentuk dari pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada

daerah dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, sebab

dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah sangat diperlukan adanya

peraturan lebih lanjut berupa Peraturan Daerah. Menurut Undang-Undang

No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah adalah

Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk bersama antara DPRD

dengan Kepala Daerah baik provinsi maupun Kabupaten/Kota.32

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-Undangan yang

dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala

Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah (Perda)

adalah peraturan yang dibuat oleh kepala daerah provinsi maupun

Kabupaten/Kota bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dalam ranah pelaksanaan

penyelenggaraan otonomi daerah yang menjadi legalitas perjalanan eksekusi

pemerintah daerah.33

Kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dalam terminologi

otonomi tersebut memungkinkan dibuatnya berbagai perangkat-perangkat

berupa aparatur daerah yang berfungsi sebagai pendukung dari pelaksanaan

pemerintahan di daerahnya. Salah satu aparatur yang bertugas sebagai

32
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

33
Maria Farida Indrati S 2007. Ilmu Perundang-undangan Cet. Ke-7. Yogyakarta,
Kanisius. Hlm. 202
24

pendukung dari pelaksanaan pemerintahan daerah adalah Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP). Satuan ini merupakan perangkat pemerintah

daerah yang bertugas membantu kepala daerah dalam pelaksanaan jalannya

pemerintahan dan sebagai garda atau barisan terdepan dalam bidang

ketenteraman dan ketertiban umum, seperti yang disebutkan pada Pasal 255

ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014: dibentuk untuk

menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan

ketentraman, serta menyelenggarakan perlindungan terhadap masyarakat.

Berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam

penegakan hukum sebagai perangkat pemerintah daerah, kontribusi satuan

Polisi Pamong Praja sangat diperlukan guna mendukung suksesnya

pelaksanaan Otonomi Daerah dalam penegakan peraturan daerah

menciptakan pemerintahan yang baik. Dengan demikian aparat Satuan

Polisi Pamong Praja merupakan garis depan dalam menjamin kepastian

pelaksanaan peraturan daerah dan upaya menegakkannya di tengah-tengah

masyarakat, sekaligus membantu dalam menindak segala bentuk

penyelewengan dan penegakan hukum

Peraturan Daerah merupakan produk legislasi Pemerintahan Daerah,

yakni Kepala Daerah dan DPRD. Sesuai Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945,

Peraturan Daerah merupakan hak legislasi konstitusional Pemeritahan

Daerah dan DPRD. Rancangan Peraturan Daerah dapat berasal dari DPRD

Gubernur atau Walikota/Bupati yang tertuang pada Pasal 140 Ayat (1) UU

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Rancangan Peraturan

Daerah harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau


25

Walikota/Bupati. Tanpa persetujuan bersama, Rancangan Peraturan Daerah

tidak dibahas lebih lanjut. 34

Rancangan Peraturan Daerah yang sudah disetujui bersama oleh

DPRD dan Gubernur atau Walikota/Bupati disampaikan oleh pimpinan

DPRD kepada Gubernur atau Walikota/Bupati untuk ditetapkan sebagai

Peraturan Daerah. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah dilakukan

dalam jangka waktu paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan

bersama. Rancangan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Gubernur atau

Walikota/Bupati paling lama 30 hari sejak rancangan tersebut disetujui

bersama yang tertera dalam Pasal 144 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam hal rancangan Peraturan Daerah tidak ditetapkan Gubernur

atau Walikota/Bupati dalam jangka waktu paling lama 30 hari maka

rancangan Peraturan Daerah tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan

wajib diundangkan dengan muatannya dalam Lembaran Daerah.

Selanjutnya keabsahan rancangan Peraturan Daerah dimaksud, rumusan

kalimat pengesahannya berbunyi “Peraturan Daerah dinyatakan sah” dengan

mencantumkan tanggal sahnya yang diatur pada Pasal 145 ayat (1).

Fungsi Peraturan daerah merupakan fungsi yang bersifat atributif

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Fungsi Peraturan Daerah dirumuskan dalam Pasal

34
Dasar Konstitusional Peraturan Daerah, dinduh dari :
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16017/f.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y .
26

236 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintaha Daerah

sebagai berikut:

a. Menyelanggarakan peraturan dalam rangka penyelenggaraan


otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. Menyelenggarakan peraturan sebagai penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah;
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan
dengan masing-masing kepentingan umum.35

Tujuan utama dari peraturan daerah adalah memberdayakan

masyarakat dan mewujudkan kemandirian daerah, dan pembentukan

peraturan daerah harus didasari oleh asas pembentukan perundang-

undangan pada umumnya antara lain; Memihak kepada kepentingan rakyat,

menunjung tinggi hak asasi manusia, berwawasan lingkungan dan budaya.

Kemudian menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah adalah

peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dengan persetujuan Kepala Daerah.36

C. Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja.

Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP,

merupakan salah satu perangkat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah

dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan

Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja

ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di

Daerah Provinsi dan Daerah /Kota.

35
Maria Farida Indrati S 2007. Op.Cit. Hlm 323.
36
Tentang Peraturan Daerah, diunduh dari:
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10733/6.BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y
27

1) Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh

Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur

melalui Sekretaris Daerah.

2) Di Daerah /Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh

Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.

Menurut tata bahasa Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan

Praja, Pamong artinya pengasuh yang berasal dari kata Among yang juga

mempunyai arti sendiri yaitu mengasuh. Mengasuh / merawat anak kecil itu

sendiri biasanya diartikan sebagai mengemong anak kecil, sedangkan Praja

adalah pegawai negeri. Pangreh 9 Praja atau Pegawai Pemerintahan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai

Negeri yang mengurus pemerintahan Negara .37

Anggota Satuan Polisi Pamong Praja merupakan aparat Pemerintah

Daerah dan termasuk bagian dari pegawai negeri sipil dan memiliki tugas

serta wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk

melaksanakan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah,

penyelenggaraan ketertiban umum, ketentraman dan perlindungan

masyarakat. Ketertiban umum, ketentraman, dan perlindungan masyarakat

merupakan suatu keadaan yang dinamis yang mencerminkan keadaan

pemerintah daerah dan warga masyarakat daerah tersebut.38

37
pengertian-pamong-praja/ di unduh dari
https://www.satpolpp.bone.go.id/2019/07/27
38
Pengertian , Sejarah , Tugas dan Wewenang Satpol PP, Diunduh dari:
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/26022/6.%20BAB%20II.pdf?
sequence=6&isAllowed=y
28

Berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : UP.32/2/21,

tanggal 3 Maret 1950, disebut dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja,

pada tahun 1962 sesuai Peraturan Pemerintah Umum dan Peraturan Daerah

nomor : 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi

Pagar Baya, berdasarkan surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi

Daerah No 1 tahun 1963 Pagar Baya diganti namanya menjadi Kesatuan

Praja.

 Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU No 5/1974

tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 (1)

disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan

tugas dekonsentrasi. Saat ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak

berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No

32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi kembali

menjadi UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal

255 ayat (1) disebutkan bahwa, Satuan Polisi Pamong Praja dibentuk untuk

menegakkan perda dan perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan

ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun

2014 adalah sebagai aparat daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala

Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah ). Ruang lingkup tugas Polisi Pamong Praja menurut

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 diperluas selain menyelenggarakan

pembinaan ketentraman dan ketertiban umum juga melakukan penegakan

Peraturan Daerah dalam rangka meningkatkan dan mengali pendapatan asli


29

daerah ( PAD ) (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah).

Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat maka dalam

melaksanakan tugasnya Polisi Pamong Praja melakukan berbagai cara

seperti memberikan penyuluhan, kegiatan patroli dan penertiban terhadap

pelanggaran Peraturan Daerah, keputusan kepala daerah yang didahului

dengan langkah-langkah peringatan baik lisan maupun tertulis. Untuk

selanjutnya penulis akan menguraikan secara singkat sejarah pembentukan

Polisi Pamong Praja yang keberadaannya tidak dapat disamakan dengan

Polisi Khusus (melakukan tugas kepolisian terbatas) serta berbeda pula

dengan keberadaan Hansip, Kamra dan Wanra (yang dibentuk dalam rangka

perwujudan sistem Hamkarata).

Pembentukan Polisi Pamong Praja tidak terlepas dari tuntutan situasi

dan kondisi pada permulaan berdirinya Negara Kesatuan Republik

Indonesia tahun 1945, pada waktu itu Polisi Pamong Praja tidak di bentuk

secara serentak melainkan secara bertahap.

Selanjutnya peraturan mengenai Satpol PP bermunculan, yang

merupakan penyempurnaan peraturan-peraturan lama yang pada intinya

menuju perbaikan struktur organisasi perangkat daerah, tugas pokok dan

fungsi serta keseragaman nomenklatur di seluruh negeri, yaitu

ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan

Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010

Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094);

serta dikuatkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun


30

2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong

Praja, dengan memasukkan pembinaan Satuan Linmas di dalam salah satu

tupoksinya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang

Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Satuan Polisi

Pamong Praja.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2018 Satuan Polisi Pamong Praja yang disebut Satpol PP merupakan

perangkat daerah yang dibentuk untuk membantu Pemerintah Daerah untuk

menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dan untuk

mewujudkan ketertiban umum, ketentraman, dan perlindungan masyarakat.

Satuan Polisi Pamong Praja merupakan unsur penunjang pemerintah

daerah kota yang dipimpin oleh seorang kepala, berada di bawah dan

bertanggungjawab kepada Walikota melalui sekretaris Daerah kota dalam

rangka mendukung pelaksanaan tugas-tugas Pemerintah Kota sebagai unit

staf maupun sebagai unit lain. Lingkup fungsi dan tugas Polisi Pamong

Praja dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban umum pada dasarnya

cukup luas, sehingga dituntut kesiapan aparat baik jumlah anggota, kualitas

personil termasuk kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Polisi

Pamong Praja sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil

sebagai pamong masyarakat yang mampu menggalang dan dapat

meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan dan

memelihara ketentraman dan ketertiban sehingga dapat menciptakan iklim

yang lebih kondusif di daerah.


31

Penampilan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan

ketertiban harus berbeda dengan aparat kepolisian (Polisi Negara), karena

kinerja Polisi Pamong Praja akan bertumpu pada kegiatan yang lebih

bersifat penyuluhan dan pengurusan, bukan lagi berupa kegiatan yang

mengarah pada pemberian sanksi atau pidana.

Dalam melaksanakan penegakan Peraturan Daerah Satpol PP

bertindak selaku koordinator PPNS di lingkungan Pemerintah Daerah,

Satpol PP dapat berkoordinasi dengan Tentara Nasional Indonesia,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, serta

pengadilan yang berada di daerah provinsi atau kabupaten atau kota dalam

melaksanakan penegakan Peraturan Daerah , dan Peraturan Kepala Daerah.

Penyelenggaraan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dilaksanakan

sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) dan kode etik. Berikut

kegiatan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat

diantaranya yaitu ;

1. deteksi cegah dini;


2. pembinaan dan penyuluhan;
3. Patroli;
4. Pengamanan;
5. Pengawalan;
6. Penertiban;
7. Penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa.

Jika dalam melaksanakan tugas untuk melaksanakan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat memiliki dampak sosial yang luas dan

resiko yang tinggi maka Satpol PP dapat meminta bantuan personel dan
32

peralatan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional

Republik Indonesia. Penyelengaraan perlindungan masyarakat oleh Satuan

Polisi Pamong Praja melibatkan masyarakat, dan untuk efektifitas

penyelenggaraan perlindungan masyarakat Satpol PP melakukan pembinaan

terhadap masyarakat.

D. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Menurut Barda Nawawi Arief mengenai upaya penanggulangan

berbagai bentuk perilaku menyimpang adalah sebagai berikut:

Bahwa upaya penanggulangan berbagai bentuk perilaku


menyimpang dapat ditempuh melalui upaya non-penal dan upaya
penal. Upaya non-penal biasanya menitikberatkan pada upaya-upaya
yang sifatnya pencegahan (preventive) terhadap terjadinya
kejahatan, dengan cara menangani faktor-faktor kondusif penyebab
terjadinya kejahatan. Sedangkan, upaya penal merupakan upaya
penanggulangan dengan menggunakan hukum pidana. Upaya penal
ini menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya memberantas
(repressive).39
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan oleh semua

pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai

program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang

paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Upaya

penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif.

1. Upaya preventif, penanggulangan kejahatan secara preventif


dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan
yang pertama kali. Mencegah kejahatan lebih baik dari pada
mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali,
sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha
memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar
tidak terjadi lagi kejahatan ulangan.
2. Upaya represif, adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan
secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan.
Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk

39
Badra Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti,
Bandung. 2002, Hlm 42.
33

menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta


memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan
yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum
dan merugikan masyarakat, sehingga tidak akan mengulanginya
dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi
yang akan ditanggungnya sangat berat.40

40
Diakses dari: http://raypratama.blogspot.com/2012/02/upaya-penanggulangan-
kejahatan.html, Tanggal 20 Desember 2020, Pukul 20:00 WIB.
34

BAB III

PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMOR 05 TAHUN


2018 TENTANG LARANGAN PROSTITUSI DI KABUPATEN SELUMA

Peraturan Daerah (Perda) merupakan salah satu jenis Peraturan

Perundang-undangan dan merupakan bagian dari sistem hukum nasional.

Fungsinya sangat strategis yaitu sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan

otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang

tentang Pemerintahan Daerah. Melihat fungsinya yang sangat penting tersebut,

maka penting untuk memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat menaati dan

mematuhinya. Namun faktanya, masih ada sebagian pihak yang tidak mau tunduk

dan patuh terhadap perda-perda yang ada, salah satunya Peraturan Daerah Nomor

05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma.

Larangan prostitusi di Kabupaten Seluma secara yuridis diatur pada Pasal 2

dan Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi

di Kabupaten Seluma dijelaskan bahwa:

Pasal 2;
Setiap orang dilarang melakukan praktik prostitusi di wilayah daerah.
Pasal 3;
Setiap orang dilarang menyediakan sarana atau tempat usaha untuk
melakukan praktik prostitusi di wilayah daerah.
Terhadap pelanggaran atas perda, peraturan perundang-undangan

mengamanatkan kepada satuan polisi pamong praja (Satpol PP) untuk melakukan

langkah-langkah penegakan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma jumlah kasus prostitusi yang
35

terjadi di Kabupaten Seluma dari Tahun 2018-Tahun 2019 dapat di lihat pada

tabel sebagai berikut:

DAFTAR KAFE, WAREM DAN TEMPAT HIBURAN DI WILAYAH KABUPATEN SELUMA


TAHUN 2018
NAMA KAFE/WAREM/ TEMPAT ALAMAT
No NAMA PEMILIK
HIBURAN DESA/KELURAHAN/KECAMATAN
1 GUNTUR Warung Manisan dan Tuak Desa Muara Danau Kec. Talo
2 ARZAN SAYUTI Tempat Karaoke Desa Selebar Kec. Seluma Timur
3 PICOK Tempat Hiburan/Warem Desa Tebing Penago Kec. Talo
4 HERWAN JAYAI/WANG Tempat Hiburan/Warem Desa Suka Bulan Kec. Talo Kecil
5 MAMAN Tempat Hiburan/Warem Dusun Baru Kec. Ilir Talo
6 SUKANRI Warung Manisan Desa Air Latak Kec. Seluma Barat
7 ASMAWI MANGKU ALAM Warung Manisan Desa Kunduran Kec. Seluma Timur
8 FEBI/BUZAIDIN Tempat Hiburan/Warem Desa Tebat Sibun Kec. Talo Kecil
9 HERLINA Warung Manisan dan PSK Desa Bunut Tinggi Kec. Talo
10 MUL/RIRIN P.R Warung Manisan dan Tuak Desa Taba Kec. Talo Kecil
11 BASKEN ZAMRONI/ETI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Taba Kec. Talo Kecil
12 APAN/DONI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Talang Panjang Kec. Ilir Talo
13 JULIWAN ASRI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Taba Kec. Talo Kecil
14 ALEK TATO Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Bunut Tinggi Kec. Talo
15 BASKEN ZAMRONI/ETI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Taba Kec. Talo Kecil
16 PEPEN SANDRI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Tebat Sibun Kec. Talo Kecil
TAHUN 2019
1 ARZAN SAYUTI Tempat Karaoke Desa Selebar Kec. Seluma Timur
2 HERLINA Warung Manisan dan Tempat Hiburan Desa Bunut Tinggi Kec. Talo
3 PEPEN SANDRI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Tebat Sibun Kec. Talo Kecil
4 BASKEN ZAMRONI/ETI Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Sendawar Kec. Semidang Alas
5 JAMAIRIN Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Talang Durian Kec. Semidang Alas
6 HERIYANTO Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Taba Kec. Talo Kecil
7 DEDI PRASETYO Warung Manisan dan Wanita Malam Desa Talang Durian Kec. Semidang Alas

Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma.41

Dilihat dari tabel tempat-tempat praktek prostitusi tersebut. Para pelaku

praktek prostitusi melakukan kegiatan tersebut karena ada alasan-alasan yang

mendasari mereka melakukan praktek prostitusi. Berdasarkan wawancara penulis

dengan Arzan Sayuti pemilik tempat Karaoke Desa Selebar Kec. Seluma Timur

di Kabupaten Seluma, bahwa penegakan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018

tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma sudah terlakasana oleh aparat

41
Hasil penelitian di kantor Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten Seluma
pada tanggal 25 November 2020.
36

penegak hukum yakni Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma, Polres

Kabupaten Seluma serta Dinas Sosial Kabupaten Seluma. Namun wanita tuna

susila yang melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma berkedok modus

tempat karokean dan warung karokean remang lainnya. 42


Disebabkan oleh

keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang

berbeda-beda. Seperti kemiskinan, kemiskinan ini telah mendorong anak-

anak untuk tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapatkan

keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial

kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah

pembiayaan hidup. Keinginan cepat kaya, keinginan untuk hidup lebih layak

tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar

kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga

kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.  

Hasil wawancara penulis dengan Herlina pemilik warung manisan dan PSK

Desa Bunut Tinggi Kec. Talo di Kabupaten Seluma bahwa, Penegakan Peraturan

Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma

dilakukan oleh Satpol PP dan aparat Kepolisian Resor Kabupaten Seluma serta

pembinaan oleh Dinas Sosial Kabupaten Seluma. Sebagai wanita tuna susila yang

terlibat melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma mengakui yang

menjadi penyebab mereka melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma,

yaitu disebabkan oleh kurangnya biaya untuk memenuhi fasilitas hidupkan sehari-

hari mereka di Kabupaten Seluma. Tarif sekali kencan yang mereka berikan

kepada laki-laki tersebut berkisaran Rp. 150.000 s/d Rp 500.000 untuk sekali

42
Hasil wawancara dengan Arzan Sayuti, pemilik tempat Karaoke Desa Selebar Kec.
Seluma Timur di Kabupaten Seluma. Pada 15 Desember 2020.
37

kencan, ada dua cara yang biasa dilakukan dalam mencari konsumen atau laki-laki

tersebut bisa melalui penghubung atau mucikari, bisa juga dengan mencari sendiri

yang nantinya laki-laki tersebut datang ketempat prostitusi seperti tempat

karokean dan warung remang-remang. Ada seorang yang biasanya menjadi

penghubung antara mereka dan para pelanggan. Para mucikari ini tak lain adalah

pemilik tempat hiburan malam, yang selama ini membantu mencarikan konsumen.
43

Hasil dari penelitian penulis di kantor Satpol PP kabupaten seluma. Dalam

penegakan peraturan daerah kabupaten seluma nomor 05 tahun 2018 tentang

larangan prostitusi satpol menggunakan dua cara yaitu secara preventif dan

represif.

A. Secara Preventif

Penegakan hukum secara preventif yang dilakukan oleh satpol pp

berdasarkan wawancara dari Saiful Pahran Kabid Penegakan Perundang-

undangan Satpol PP Kabupaten Seluma, menerangkan bahwa dalam

penegakan Penegakan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang

Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma sesuai dengan prosedur dimulai

dari penyidikan dan tindakan tegas terhadap masyarakat Kabupaten

Seluma yang terlibat dalam praktek prostitusi tersebut. Upaya preventif

yang dilakukan dalam menanggulangi praktek prostitusi di Kabupaten

Seluma lebih kepada wanita tuna susila yang melakukan praktek prostitusi

di Kabupaten Seluma. Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)

Kabupaten Seluma dan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian Resor

43
Hasil wawancara dengan Herlina pemilik warung manisan dan PSK Desa Bunut Tinggi
Kec. Talo di Kabupaten Seluma, Pada 15 Desember 2020.
38

Kabupaten Seluma bagian Binmas, memberikan pemberian pengetahuan

melalui sosialisasi atau pengarahan mengenai dampak negatif terhadap

praktek prostitusi di Kabupaten Seluma, yang dilakukan kantor (SATPOL

PP) Kabupaten Seluma tiap 6 bulan sekali, dan sanksi hukum terhadap

pemilik tempat yang terlibat dalam praktek prostitusi. 44

Upaya penyuluhan ini diberikan kepada masyarakat Kabupaten

Seluma dari Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten Seluma

dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial Kabupaten Seluma beserta pihak

Kepolisian Resor Kabupaten Seluma bagian Binamitra yang bekerjasama

dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan bimbingan mengenai

pentingnya mentaati peraturan-peraturan hukum. Selain itu juga sosialisai

tersebut dilakukan terhadap orang yang baru memulai warung hiburan

malam tersebut, dengan cara di panggil untuk didata selanjutnya pemilik

usaha warung manisan dan hiburan malam diberikan sosialisasi atau

pengarahan mengenai dampak negatif pratek prostitusi.

B. Secara Represif

Penegakan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Larangan

Prostitusi di Kabupaten Seluma, dilakukan dalam bentuk segala

penindakan dan peninjauan terhadap praktek prostitusi di Kabupaten

Seluma lebih kepada wanita tuna susila yang melakukan praktek prostitusi

di Kabupaten Seluma dengan berkedok modus usaha tempat hiburan

malam, warung karokean remang dan lainnya, hal ini dikarenakan tidak

terlepas dari orang-orang yang ikut terlibat antara lain dilakukan oleh

44
Hasil wawancara dengan Saiful Pahran Kabid Penegakan Perundang-undangan Satpol
PP Kabupaten Seluma, pada 25 November 2020.
39

germo yang menyediakan tempat prostitusi. Oleh sebab itu di perlukan

peranan satpol pp yang tergolong sebagai langkah represif dalam upaya

penanggulangan wanita tuna susila yang melakukan praktek prostitusi di

Kabupaten Seluma adalah segala penindakan terhadap praktek prostitusi

yang dilakukan oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Kabupaten Seluma dengan melakukan penyelidikan, penyidikan,

penangkapan oleh PPNS.

Penegakan hukum secara represif yang dilakukan satpol pp

Kabupaten Seluma berdasarkan hasil wawancara penulis kepada Henry

Siburian Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kabupaten Seluma,

menerangkan bahwa penyidik Anggota Satpol PP Kabupaten Seluma

menjelaskan bahwa, cara tindakan represif yang dilakukan yaitu dengan

menipu atau mengelabui masyarakat yang berprofesi sebagai PSK, agar

mereka menduga bahwa pihak Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)

Kabupaten Seluma hanya yang berseragam dan bertugas. Pengintaian dan

penyamaran ini dimaksudkan untuk mencari wanita tuna susila yang

melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma.45 Mereka yang

terjaring akan didata secara ketat dengan menanyakan KTP atau identitas

diri, pekerjaan dan asal-usulnya. Kemudian dibuatkan biodatanya, difoto

dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring).

Selain itu wanita tuna susila yang melakukan praktek prostitusi juga

membuat pernyataan bersedia tidak mengulangi kembali melakukan

praktek prostitusi, dan direhabilitasi atau dibina selama dipandang perlu.

45
Hasil wawancara dengan Henry Siburian Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP
Kabupaten Seluma, pada 25 November 2020.
40

Selanjutnya orang yang melakukan praktek prostitusi di Kabupaten

Seluma dikumpulkan pada rumah penampungan (rumah pembinaan

mental) Dinas Sosial Kabupaten Seluma, penahan ini biasanya hanya

berlangsung selama tiga hari dan kemudian diantar pulang ke rumah

masing-masing. Selama dalam masa pembinaan diberikan pengarahan dan

keterampilan serta penyuluhan agama yang hal itu dilakukan melalui

kerjasama dengan para alim ulama guna memberikan kasadaran bahwa apa

yang praktek prostitusi yang mereka lakukan adalah perbuatan salah.

Peran Satpol PP dalam penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor

05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma

dilakukan melalui upaya represif terhadap tempat-tempat prostitusi di

Kabupaten Seluma. Penyidik Anggota Satpol PP Kabupaten Seluma

menjelaskan bahwa, dalam penegakan Peraturan Daerah Kabupaten

Seluma Nomor 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten

Seluma dilakukan juga dalam bentuk upaya refresif kepada wanita tuna

susila yang melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma, yang

dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten

Seluma dan berkoordinasi dengan Kepolisian Resor Kabupaten Seluma

diawali dengan mencari informasi dari masyarakat untuk menangkap

orang dan tempat yang melakukan praktek prostitusi di Kabupaten

Seluma. Karena dengan informasi tersebut Satuan Polisi Pamong Praja

(SATPOL PP) Kabupaten Seluma dapat mengetahui bahwa di suatu

tempat telah terjadi praktek prostitusi di Kabupaten Seluma. Setelah

mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan dengan terkumpulnya bukti


41

yang cukup, maka akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Di antaranya,

penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan PPNS Satpol PP.

Yakni tahap pengintaian dan penyamaran. Tindakan ini dilakukan oleh

anggota satuan Trantibum dan Masyarakat di tempat yang disangka

dijadikan tempat praktek prostitusi. Dalam melaksanakan tugasnya

anggota satuan Trantibum dan Masyarakat tidak menggunakan seragam

atau atribut-atribut Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten

Seluma, akan tetapi memakai pakaian biasa atau preman.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jumlah mucikari dan

PSK yang pernah terjaring razia sebagai tindakan represif penegakan

Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi oleh

Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten Seluma adalah

sebagai berikut:

Tabel. Jumlah Mucikari dan PSK Yang Teraring Razia Pada


Tahun 2018 -Tahun 2019 di Kabupaten Seluma.

No. Tahun Jumlah Mucikari Jumlah


PSK

1. Tahun 2018 1 orang 4 orang

2. Tahun 2019 2 orang 6 orang

Jumlah Tahun 2018 sampai 3 orang 10 orang


dengan Tahun 2019

Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma.46

46
Hasil penelitian di kantor Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Kabupaten Seluma
pada tanggal 28 Januari 2021.
42

Berdasarkan hasil wawancara kepada salah pelaku praktek

prostitusi yang pernah tertangkap razia yaitu Pepen Sandri pemilik

warung manisan dan wanita malam Desa Tebat Sibun Kec. Talo Kecil di

Kabupaten Seluma, bahwa selama mereka menjalani praktek prostitusi,

mereka pernah ditangkap oleh Satpol PP yang sedang melakukan razia

gabungan dengan aparat kepolisian polres Kabupaten. Pada waktu razia

tersebut ia ditangkap di tempat hiburan hiburan malam, dengan laki-laki

tersebut, laki-laki tersebut sebelumya sudah memesan mereka kepada

temannya yang status sebagai mucikari. Setelah terjaring razia oleh Satpol

PP dan aparat kepolisian, mereka dibawa kekantor Satpol PP untuk

diproses dan didata, setelah ia diproses dan didata para pelaku yang

terlibat praktek prostitus tersebut menandatangi surat perjanjian bahwa

tidak akan mengulangi kembali perbuatannya serta dikenakan sanksi

membayar denda yang kisarannya Rp 50.000 s/d Rp Rp 600.000 dan

hanya mendapat surat peringatan. Menurut mereka selama operasi razia

yang dilakukan Satpol PP Kabupaten Seluma dengan Polres Kabupaten

Seluma rata-rata yang tertangkap oleh razia prostitusi jarang sekali

diberikan hukuman kurungan dan dikumpulkan pada rumah penampungan

(rumah pembinaan mental) yang letaknya di Kantor Dinas Sosial. 47

Berdasarkan bentuk-bentuk penegakan hukum praktek protitusi yang

dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja dan Polisi Resor Kabupaten Seluma serta

Dinas Sosial Kabupaten di atas, bahwa penegakan Peraturan Daerah Nomor 5

Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi Dalam Kabupaten Seluma belum

47
Hasil wawancara dengan Pepen Sandri, pemilik warung manisan dan wanita malam Desa
Tebat Sibun Kec. Talo Kecil di Kabupaten Seluma, Pada 15 Desember 2020.
43

sepenuhnya terlaksana dengan baik, karena terlihat masih wanita tuna susila yang

melakukan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma dan dari dalam menerapkan

sanksi hukuman yang diberikan terhadap orang atau tempat yang melakukan

praktek prostitusi masih belum makismal dan menimbulkan efek jera.

Penanggulangan praktek prostitusi di Kabupaten Seluma sudah pasti menjadi

tugas semua pihak untuk memikirkan dan mengambil langkah kongkrit sebagai

cara untuk pencegahan, pemberantasan dan pembaharuan pada aktivitas yang

sudah terjadi. Tidak hanya penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam hal

tersebut. Semua elemen masyarakat yang ada di Kabupaten Seluma, bahkan

masyarakatnya sendiri memiliki peran yang tidak sedikit di dalam menyikapi

praktek prostitusi. Termasuk penegak hukum, pemuka agama, keluarga, semua

memiliki tanggung jawab. Inilah masalah sosial yang sudah biasa terjadi dalam

kehidupan bermasyarakat namun harus mendapat perhatian lebih Jika tidak, akan

terjadi kebobrokan moral untuk generasi yang akan datang selanjutnya.


44

BAB IV

HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH NOMOR


05 TAHUN 2018 TENTANG LARANGAN PROSTITUSI
DI KABUPATEN SELUMA

Penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 tahun 2018 tentang larangan

prostitusi di Kabupaten Seluma, belum optimal baik dari penindakan maupun

dalam menerapkan hukuman yang diberikan terhadap orang atau tempat yang

melakukan praktek prostitusi. Hal ini dikarenakan masih ditemukan adanya

beberapa hambatan yang dialami oleh satuan polisi pamong praja dalam

penanggulangan prostitusi di Kabupaten Seluma. Adapun hasil wawancara

dengan beberapa sampel guna untuk mengetahui apa yang menjadi hambatan

penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 tahun 2018 tentang larangan

prostitusi di Kabupaten Seluma, sebagai berikut:

A. Sanksi Hukum
Sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku praktek prostitusi

bedasarkan hasil wawancara kepada Henry Siburian Kasi

Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kabupaten Seluma, secara

yuridis sanksi hukum yang diberikan terhadap pelaku praktek

prostitusi kurang memberikan efek jera, sebab sanksi yang biasa

diputus hakim membayar denda yang kisarannya Rp 100.000 s/d Rp

Rp 500.000 dan hanya mendapat surat peringatan. Dan juga selama

operasi razia yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten

Seluma dan Polres seluma rata-rata yang tertangkap oleh razia


45

prostitusi jarang sekali dikasih hukuman kurungan dan dikumpulkan

pada rumah penampungan (rumah pembinaan mental) yang letaknya di

Kantor Dinas Sosial. Sedangkan berdasarkan ketentuan pidana pasal

11 dan 12 dalam peraturan daerah kabupaten seluma nomor 05 tahun

2018 tentang larangan prostitusi di jelaskan bahwa :

Pasal 11;

Setiap orang yang melakukan praktek prostitusi sebagaimana


dimaksud dalam pasal 2, baik sebagai PSK atau pengguna
PSK, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah).
Pasal 12;
Setiap orang yang menyediakan saran atau tempat usaha untuk
melakukan praktek prostitusi di wilayah daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3, dipidana dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan pasal 296 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat di tarik kesimpulan


yang menyebabkan sanksi hukum yang diberikan terhadap para pelaku
praktek prostitusi tidak efektif atau tidak memberi efek jera, karena
sanksi pengadilan yang diberikan kepada para pelaku praktek
prostitusi tidak sesuai dengan ketentuan yuridis berdasarkan
Ketentuan Pidana pasal 11 dan 12 dalam peraturan daerah Kabupaten
Seluma nomor 05 tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi.

B. Kualitas sumber daya manusia Satuan Polisi Pamong Praja


Kabupaten Seluma sebagai penyidik pegawani negeri sipil belum
memadai

Berdasarkan hasil wawancara dengan, Henry Siburian Kasi

Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kabupaten Seluma

menjelaskan bahwa, buruknya kualitas SDM aparat penegak Peraturan

Daerah Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi Dalam

Kabupaten Seluma dalam menanggulangi protitusi yang terjadi di


46

Kabupaten Seluma, karena terkadang masih ada beberapa anggota

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma dan anggota Polres

Kabupaten memberitahukan atau membocorkan jadwal razia dan

tempat yang akan dirazia kepada para wanita tuna susila dan pelaku

yang menyediakan tempat praktek protitusi itu. Seharusnya mereka

menyadari tugas dan fungsi mereka sebagai aparat penegak hukum

mempunyai  tugas membantu kepala daerah untuk menciptakan suatu 

kondisi  daerah  yang  tenteram, tertib, dan teratur, serta

penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan

masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. 48


Hal senada

juga disampaikan oleh, Herlina pemilik warung manisan dan PSK

Desa Bunut Tinggi Kec. Talo di Kabupaten Seluma, bahwa masih ada

beberapa anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma dan

anggota Polres Kabupaten Seluma memberitahukan atau

membocorkan jadwal razia dan tempat yang akan dirazia kepada para

wanita tuna susila dan pelaku yang menyediakan tempat praktek

protitusi itu. Seharusnya mereka menyadari tugas dan fungsi mereka

sebagai aparat penegak hukum mempunyai tugas membantu kepala

daerah untuk menciptakan suatu  kondisi  daerah  yang  tenteram,

tertib, dan teratur, serta penyelenggaraan roda pemerintahan dapat

berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya

dengan aman. 49

48
Hasil wawancara dengan Henry Siburian Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP
Kabupaten Seluma, , pada 25 November 2020.
49
Hasil wawancara dengan HR pemilik warung manisan dan PSK Desa Bunut Tinggi Kec.
Talo di Kabupaten Seluma, Pada 15 Desember 2020.
47

Dengan demikian agar dapat mengoptimalkan  kinerja  aparat

penegak hukum Satpol  PP Kabupaten Seluma, perlu  diberikan

pendidikan mampu  mendukung  terwujudnya  kondisi  daerah  yang

tenteram, tertib, dan teratur. Selain itu juga yang menjadi hambatan

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Seluma dalam penanggulangan

prostitusi yang terjadi disebabkan anggaran yang kurang memadai,

karena untuk setiap kali melakukan razia anggota Satuan Polisi

Pamong Praja Kabupaten Seluma juga membutuhkan biaya

operasional dan membawa tersangka pelaku praktek protitusi ke

Pengadilan Negeri juga membutuhkan biaya cukup. Jadi bagaimana

praktek protitusi yang terjadi di Kabupaten Seluma ini dapat

diminimalisir, karena diperlu peran pemerintah daerah juga.

C. Kurangnya sarana dan prasana

Sarana dan prasana yang dimkasud disini yaitu kurang nya

personel dan kendaraan patroli yang dimiliki oleh pihak Satpol PP

Kabupaten Seluma. Berdasarkan hasil wawancara dengan Saiful

Pahran Kabid Penegakan Perundang-undangan Satpol PP Kabupaten

Seluma menerangkan bahwa, salah satu hambatan penegakan

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi di

Kabupaten Seluma yakni kurangnya sarana dan prasarana, Kurangnya

sarana dan prasana yang dimiliki pihak (SATPOL PP) Kabupaten

Seluma menjadi salah satu kendala yang dialami dalam

penanggulangan praktek prostitusi yang terjadi di Kabupaten Seluma

di Kabupaten Seluma. Kurangnya sarana dan prasarana ini meliputi


48

pengadaan personel dan pengadaan jumlah kendaraan patroli yang

sekarang hanya berjumlah 3 buah kendaraan patroli pengangkut

personil Satuan Polisi Pamong Praja yang digunakan untuk

melaksanakan tugas-tugas Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)

Kabupaten Seluma. seharusnya jumlah kendaraan patroli tersebut

berjumlah minimal 10 buah kendaraan patroli karena tempat atau

wilayah praktek prostitusi jalan nya sulit ditempuh atau jarang dilewati

kendaraan maka dibutuhkan kendaraan patroli yang mendukung. Dan

keterbatasan personel itu dapat dilihat dari jumlah anggota satuan

Trantibum dan Masyarakat yang hanya beranggota 43 orang personil

Satuan Polisi Pamong Praja, seharunya dibutuhkan 140 personil

Satuan Polisi Pamong Praja. Sedangkan kendaraan patroli dan dinas

dalam penggunaannya harus menggunakan secara bergantian tiap-tiap

setiap masing-masing satuan. 50

D. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat

Berdasarkan hasil wawancara kepada Henry Siburian Kasi

Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP Kabupaten Seluma, bahwa

hambatan Penegakan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang

Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma berikutnya berupa

kurangnya kesadaran hukum wanita tuna susila yang terlibat

melakukan praktek prostitusi untuk tidak mengulanginya kembali,

karena terkadang perempuan-perempuan yang terjaring razia tersebut

setelah didata dan diberikan sanksi denda serta pembinaan dari Dinas

50
Hasil wawancara dengan Saiful Pahran Kabid Penegakan Perundang-undangan Satpol
PP Kabupaten Seluma, pada 25 November 2020.
49

Sosial Kabupaten Seluma, wanita tuna susila yang terlibat melakukan

praktek prostitusi dikembali ketempat asalnya, namun pada

kenyataannya setelah 1 bulan s/d 2 bulan kemudian tetap masih

melakukan wanita tuna susila yang terlibat melakukan praktek

prostitusi kembali dengan tempat yang berbeda lagi. Maka di perlukan

kesadaran hukum bagi wanita tuna susila yang terlibat melakukan

praktek prostitusi di Kabupaten Seluma untuk tidak terlibat dalam

praktek protitusi tersebut. 51

Berdasarkan hasil wawancara kepada Arzan Sayuti pemilik

tempat Karaoke Desa Selebar Kec. Seluma Timur di Kabupaten

Seluma menerangkan bahwa, hambatan Penegakan Peraturan Daerah

No. 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma

Sikap acuh dari sebagian masyarakat Kabupaten Seluma terhadap

adanya praktek prostitusi disekitar lingkungannya sangat berperan

dalam berkembangnya praktek prostitusi tersebut, hal tersebut

dikarenakan tidak adanya penolakan/gejolak menentang dari

masyarakat terhadap bisnis prostitusi, Selain itu juga terdapat beberapa

kelompok masyarakat disekitar tempat prostitusi tersebut yang

mendukung adanya bisnis praktek prostitusi tersebut berada di

daerahnya, hal tersebut dikarnakan para kelompok masyarakat tersebut

merasa diuntungkan dengan adanya bisnis haram tersebut, dimana bila

dilihat secara empiris, dengan adanya praktek prostitusi di suatu lokasi,

maka keadaan roda ekonomi masyarakat sekitar lokasi tersebut lebih

51
Hasil wawancara dengan Henry Siburian Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP
Kabupaten Seluma, , pada 25 November 2020.
50

berjalan secara dinamis, karena banyak masyarakat yang mengambil

kesempatan dengan mengais rejeki / bermata pencaharian (menjadi

tukang ojek di tempat prostitusi, membuka warung, jual rokok,

menjadi tukang parkir, atau bekerja di tempat prostitusi sebagai

petugas kebersihan, dll) di tempat lokasi bisnis prostitusi tersebut. 52

Sehingga secara umum masyarakat sekitar tempat lokasi praktek

prostitusi tersebut merasa diuntungkan dengan adanya praktek

prostitusi tersebut diwilayahnya, sehingga penegakan Peraturan

Daerah No. 5 Tahun 2018 tentang Larangan Prostitusi Dalam

Kabupaten Seluma akan sulit dipaksakan dikarnakan ada masyarakat

yang merasa diuntungkan dari praktek prostitusi tersebut.

52
Hasil wawancara dengan AS, pemilik tempat Karaoke Desa Selebar Kec. Seluma Timur
di Kabupaten Seluma. Pada 15 Desember 2020.
51

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang

Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma, sudah dilakukan oleh satpol pp

Kabupaten Seluma sebagaimana mestinya berdasarkan aturan dan prosedur

yang berlaku untuk menegakan dan menjalankan peraturan daerah

Kabupaten Seluma Nomor 05 tahun 2018 tentang larangan prostitusi

2. Hambatan penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018

Tentang Larangan Prostitusi di Kabupaten Seluma meliputi;

a. Sanksi hukum yang diberikan terhadap pelaku praktek prostitusi

kurang memberikan efek jera.

b. Kualitas sumber daya manusia Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Bengkulu sebagai penyidik pegawani negeri sipil belum memadai.

c. Kurangnya sarana dan prasana seperti pengadaan personel dan

pengadaan jumlah kendaraan patroli yang dimiliki pihak (SATPOL

PP).

d. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat dan wanita tuna susila yang

terlibat melakukan praktek Prostitusi untuk tidak mengulanginya

kembali.

B. Saran

Dari beberapa bentuk hambatan di atas, maka Peraturan Daerah Nomor

05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi dalam Kabupaten Seluma yang


52

dilaksankanan oleh aparat penegak hukum Kabupaten Seluma harus

dilaksanakan sebagaimana mestinya guna menanggulangi praktek prostitusi

yang terjadi di Kabupaten Seluma, karena dampak praktek prostitusi yang

dilakukan oleh wanita tuna susila sebagai penyebaran penyakit HIV dan dapat

merusak kehidupan orang banyak. Pemerintah Daerah dan aparat penegak

hukum setempat hendaknya lebih meningkatkan tugas dan fungsi mereka

dalam penegakan perda ini, Dan selain itu juga untuk masyarakat Kabupaten

Seluma yang terlibat dalm praktek prostitusi di tempat karoke dan warung

remang-remang hendaknya ikut berperan dalam penanggulangan praktek

prostitusi di tempat karoke dan warung remang-remang oleh Polisi dan Satpol

PP di Kabupaten Seluma dengan tidak terlibat dalam praktek prostitusi di

Kabupaten Seluma.
53

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amancik, Bahan Ajar Ilmu Perundang-Undangan, Fakultas Hukum


Universitas Bengkulu, Bengkulu, 2003.

Ade Saptomo, Pokok-Pokok Metodologi Penelitian Hukum Empiris Murni,


Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2009.

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra


Aditya Bakti, Bandung. 2002,

Barda Nawawi.. Kebijakan Hukum Pidana. Prenada Media Group. Jakarta.


1998

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum


Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007.

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem


Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal ustice
System),Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,


2012.

Herawan Sauni, (et, al), Panduan Penulisan Tugas Akhir Untuk Sarjana
Hukum (S1), Fakultas Hukum UNIB, Bengkulu, 2020.

H.Zaeni Asyahadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit :


PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.

Jurnal Kosntitusi volume III Nomor 1 Juni 2010, Mahkamah Konstitusi


Republik Indonesia.

Kartini Kartono, , Patologi Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1981

M. Abdi, Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum UNIB, Bengkulu, 2010,


Bengkulu.

Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan Cet. Ke-7.


Kanisius ,Yogyakarta, 2007.

Muhamad Kemal Darmawan, , Strategi Pencegahan Kejahatan,: PT. Citra


Aditya Bakti Bandung 1994

Satjipto Rahardjo,S.H, Ilmu Hukum, Penerbit : PT. Cipta Aditya Bakti,


Bandung,2014,
54

Soedjono. D, Ilmu Jiwa Kejahatan Dalam Studi Kejahatan, Karya nusantara,


Bandung, 1977.

Soerjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju,


Bandung 1994

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Rajawali Pers, Jakarta, 2012.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cahaya Atma


Pustaka, Yogyakarta, 2010.

Teguh Sulistia & Aria Zurnetti, Hukum Pidana Baru Pasca Reformasi,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Wirjono Prodjodikoro, Tindak –Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, 2012, Bandung.

Zaeni Asyhadie & Arief Rahman, Pengatar Ilmu Hukum, PT Rajawali Pers,
2014, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Perdagangan Orang.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2018 Tentang Larangan Prostitusi.

C. Media Internet.

http://dwitakum.blogspot.com//penegakan-hukum-terhadap-praktek-
prostitusi.html,

http://ediunisba.multiply.com/journal/item/2

https://feelinbali.blogspot.co.id/2013/04/negara-indonesia-sebagai-
negara-hukum.html

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/upaya-penanggulangan-
kejahatan.html,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/Chapter%20I.pdf,
55

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16017/f.
%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y Dasar Konstitusional
Peraturan Daerah .

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/10733/6.BAB
%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y tentang peraturan daerah

https://www.satpolpp.bone.go.id/2019/07/27pengertian
pamong-praja/

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/
123456789/26022/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
Pengertian , Sejarah , Tugas dan Wewenang Satpol PP,

http://bengkuluekspress.com/satpol-pp-siap-tertibkan-prostitusi-terselubung/,

http://edijeggejeg.blogspot.com/2012/06/efektifitas-efektifikasi-dan-
evaluasi.html,

http://e-journal.uajy.ac.id/4241/3/2MH01723.pdf,

http://repository.unhas.ac.id//SKRIPSI%20LENGKAP%20378.pdf?
sequence=1

http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas hukum.html

http://digilib.unila.ac.id/291/9/BAB%20II.pdf

https://daerah.sindonews.com/berita/1368335/29/sejarah-prostitusi-di-
indonesia-dari-masa-ke-masa
56

LAMPIRAN

Wawancara dengan Saiful Pahran Kabid Penegakan Perundang-undangan Satpol


PP Kabupaten Seluma

Wawancara dengan Henry Siburian Kasi Penyelidikan dan Penyidikan Satpol PP


Kabupaten Seluma,
57

Warung remang-remang di desa Talang Durian kecamatan Semidang Alas


kabupaten Seluma

Anda mungkin juga menyukai