Anda di halaman 1dari 14

Anemia hemolitik

Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan
dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan
tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap
berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit
akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120 hari
menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.1,2
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi
juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada anemia megaloblastik
dan thalasemia. Hormon eritropoetin akan merangsang terjadinya hiperplasia eritroid
(eritropoetin-induced eritroid hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan pembentukan
sel eritrosit sampai 10 x lipat dari normal. Anemia terjadi bila serangan hemolisis
yang akut tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang mampu mengatasi
keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi anemia, keadaan ini disebut dengan
istilah anemia hemolitik kompensata. Anemia terdiri dari anemia autoimun dan non
imun.1,2
a. Anemia hemolitik autoimun (AIHA)
Anemia Hemolitik Autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia=AIHA)
ialah suatu anemia yg timbul karena terbentuknya autoantibodi terhadap self
antigen pada membran eritrosit sehingga menimbulkan dekstruksi eritrosit
(hemolisis). Reaksi autoantibodi ini akan menimbulkan anemia, akibat masa edar
eritrosit dalam sirkulasi menjadi lebih pendek.4 Anemia disebabkan karena
kerusakan eritrosit melebihi kapasitas sumsum tulang untuk menghasilkan sel
eritrosit, sehingga terjadi peningkatan persentase retikulosit dalam darah.2
AIHA dipicu oleh infeksi virus atau vaksinasi, lebih sering terjadi pada
anak daripada orang dewasa. Imunodefisiensi atau keganasan (terutama
keganasan jaringan limforetikular), sistemik lupus eritematosus (SLE), dan tipe
lain penyakit kolagen vaskuler biasanya menjadi penyebab yang sering AIHA
sekunder pada anak. Selain itu, beberapa kelainan yang langka seperti giant cell
hepatitis mungkin dapat menyebabkan AIHA. AIHA diklasifikasikan menjadi tipe
hangat (Warm autoimmune hemolytic anemia = WAIHA) dan tipe dingin (Cold
agglutinin disease = CAD) berdasarkan kisaran suhu autoantibodinya.

2.3 Etiologi
AIHA terjadi akibat hilangnya toleransi tubuh terhadap self antigen sehingga
menimbulkan respon imun terhadap self antigen. Antibodi yang bereaksi terhadap
self antigen menyebabkan kerusakan pada jaringan dan bermanifestasi sebagai
penyakit autoimun. Antibodi yang terbentuk mengakibatkan peningkatan klirens
dengan fagositosis melalui reseptor (hemolisis ekstravaskuler) atau destruksi eritrosit
yang diperantarai oleh komplemen (hemolisis intravaskuler).3

Etiologi AIHA terbagi 2 yaitu:


1. Idiopatik
a. Anemia autoimun tipe hangat
b. Anemia autoimun tipe dingin
2. Sekunder
a. Infeksi
virus: Virus Epstein–Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), hepatitis, herpes
simplex, measles, varisela, influenza A, coxsackie virus B, human
immunodeficiency virus (HIV)
bakteri : streptokokus, salmonella typhi, septikemia Esceria coli,
Mycoplasma pneumonia (pneumoniaatipikal)
b. Obat-obatan dan bahan kimia : kuinine, kuinidin, fenacetin, p-asam
aminosalisilat, sodium cefalotin (Keflin), ceftriakson, penisilin, tetrasiklin,
rifampisin, sulfonamid, khlorpromazin, pyradon, dipyron, insulin
c. Kelainan darah: leukemia, limfoma, sindrom limfoproliferatif,
hemoglobinuriaparoksismal cold, hemoglobinuriaparoksismal nokturnal
d. Gangguan Immunologi: sistemik lupus eritematosus, periarteritis nodosa,
skleroderma, dermatomiositis, artritis reumatik, kolitis ulseratif,
disgammaglobulinemia, defisiensi IgA, kelainan tiroid, hepatitis giant cell,
sindrom limfoproliferatif autoimun, dan variasi defisiensi imun lainnya.
e. Tumor: timoma, karsinoma, limfoma
2.4 Klasifikasi
AIHA dibedakan menjadi 2 kelompok menurut karakteristik klinis dan
serologis3, seperti yang tercantum pada tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik AIHA

Karakteristik Warm AIHA Cold AIHA

Isotipe antibodi Ig G, jarang Ig A, Ig M Ig M

Antigen spesifitas Multiple, Rh primer i/L, P

Hemolisis Terutama ekstravaskuler Terutama intravaskular

Direct antiglobulin test Ig G C3

2.5 Patogenesis

Kerusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi


melalui sistem kompemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi
keduanya.2

a. Aktivasi Sistem Komplemen

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyababkan


hancurnya membran sel eritosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang
ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria5.

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun melalui


jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur
klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel
darah merah dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena
bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh2,4.

b. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai


recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan
menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik.
Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b
(dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen
C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformational sehingga mampu
berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel
darah berlabel antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c,C3d,
dan C3g akan tetap berikatan pada membran sel darah merah dan merupakan
produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks C4b,2b menjadi
C4b2b3b (C5-convertase). C5-convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran.
Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b,C6,C7,C8, dan
beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel
sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal
akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak
dan ruptur2,3.

c. Aktivasi Komplemen Jalur Alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi
akan berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian akan
melekat pada C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb
merupakan suatu protease serin dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb
selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan
berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. selanjutnya
C5b berperan dalam penghancuran membran.

d. Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan
komplemen atau berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi
aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikulo endothelial. Proses immune adheren ini sangat
penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Imuno adherens
terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis3.

2.6 Gejala Klinis


Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor, yaituberkurangnya pasokan oksigen ke
jaringan danadanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan
masif). Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan
mekanisme kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah
jantung pada kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb
turun di bawah 5 g% atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung
karena penyakit jantung yang mendasarinya.1
Pada anemia hemolitik autoimun tipe hangat, pasien mempunyai gejala
khas anemia yang berkembang secara tersembunyi, meliputi lemah, pusing, lelah,
dan dispnea saat beraktifitas atau gejala lainnya yang kurang khas yaitu demam,
perdarahan, batuk, nyeri perut dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan
hemolisis hebat, dapat terjadi ikterik, pucat, edema, urin berwarna gelap
(hemoglobinuria), splenomegali, hepatomegali dan limfadenopati yang
mengiringi anemia. Pada kasus yang lebih akut, dapat mengancam nyawa, hal ini
terkait dengan infeksi virus, terutama pada anak.2
Anemia hemolitik autoimun tipe dingin, pasien biasanya mempunyai
gejala anemia hemolitik kronis berupa pucat dan lemah. Keadaan lingkungan
yang dingin dapat mencetuskan serangan, oleh karena itu episode hemolisis akut
dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria lebih sering terjadi di musim dingin.
Darah lebih mudah terpengaruh suhu pada ekstremitas, sehingga pasien lebih
sering mengalami akrosianosis (warna kebiru-biruan tanpa rasa sakit pada kedua
tangan dan kaki) saat serangan terjadi.2
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis AIHA meliputi
pemeriksaan hitung darah lengkap, morfologi darah tepi, pemeriksaan bilirubin,
laktat dehidrogenase (LDH), haptoglobin, urobilinogen urin, dan pemeriksaan
serologi.3
A. pemeriksaan darah lengkap
Kadar hemoglobin yang didapatkan pada AIHA tipe hangat bervariasi
dari normal sampai sangat rendah. Kadar hemoglobin pada AIHA tipe dingin
jarang ditemukan <7gr/dl. Jumlah retikulosit dapat meningkat sedangkan
jumlah leukosit bervariasi dan jumlah trombosit umumnya normal.12
B. Morfologi darah tepi
Hasil pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan anisositosis,
polikromasi, sferositosis, fragmentosit, dan eritrosit berinti.22 Polikromasi
menunjukkan peningkatan retikulosit yang diproduksi sumsum tulang.
Sferositosis dapat terjadi pada proses hemolitik pada anemia hemolitik sedang
sampai berat.2

C. Pemeriksaan bilirubin, haptoglobin, urobilinogen, dan Laktat dehidrogenase


(LDH)
Hemolisis ekstravaskuler terjadi pada AIHA tipe hangat dan
didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan urobilinogen. Hemolisis
ekstravaskuler terjadi melalui proses fagositosis eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial yang menyebabkan eritrosit lisis dan hemoglobin dipecah
menjadi heme dan globin oleh lisosom. Globin dihidrolisis menjadi asam
amino. Heme kemudian menjadi besi dan protoporfirin yang terdiri dari
biliverdin dan karbonmonoksida. Biliverdin yang terikat dengan albumin
merupakan bilirubin yang tidak terkonjugasi di dalam darah. Bilirubin yang
tidak terkonjugasi/indirek masuk ke hepar dan menjadi bilirubin
terkonjugasi/direk. Bilirubin direk dirubah menjadi urobilinogen yang
diekskresikan melalui tinja. Bilirubin yang direasorpsi di ginjal dirubah
urobilinogen urin.2
Hemolisis intravaskuler terjadi pada AIHA tipe dingin yang
menyebabkan penurunan kadar haptoglobin.20 Hemolisis intravaskuler
menimbulkan destruksi pada eritrosit sehingga hemoglobin berikatan dengan
haptoglobin menjadi haptoglobin hemoglobin sehingga kadar haptoglobin
menurun. Kompleks haptoglobin hemoglobin dimetabolisme menjadi
bilirubin.4
D. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan yang diperlukan adalah direct antiglobulin test (DAT)
yang menggunakan Ig G dan C3d. Sel eritrosit pasien AIHA dengan reagen
anti globulin yang dicampurkan akan menyebabkan terjadinya reaksi
aglutinasi. Hal ini menandakan adanya Ig G dan C3d pada permukaan eritrosit
pasien.2

Gambar : pemeriksaan Direct Antiglobulin (Coombs) test3

2.8 Diagnosa Banding


Anemia hemolitik merupakan kelainan dekstruksi sel darah merah,
yang terbagi atas 2 tipe yaitu didapat dan herediter. Tipe didapat terbagi
menjadi immune-mediated, mikroangiopati dan infeksi. Immune-mediated
diperantarai adanya reaksi antigen-antibodi pada permukaan sel darah merah.
Dari pemeriksaan akan didapatkan sferosit dan DAT positif. Pengobatan
penyakit ini dapat dengan cara obati penyakit yang mendasarinya, hentikan
penggunakan obat-obatan penyebab, dan pemberian steroid, splenektomi,
gamma globulin IV, plasmaferesis, agen sitotoksik, atau danazol (danocrine).
Mikroangiopati diperantarai adanya mekaninsme gangguan eritrosit di
sirkulasi. Dari pemeriksaan akan didapatkan schistocytes. Pengobatan
penyakit ini dengan cara obati penyakit dasarnya. Sementara itu, infeksi
diperantarai oleh penyakit malaria dan infeksi clostridium. Pemeriksaan yang
dibutuhkan antara lain kultur darah, apusan darah tepi dan serologi.
Pengobatan penyakit ini dengan cara pemberian antibiotik3,2.
Sementara itu, tipe herediter terbagi menjadi enzimopati,
membranopati dan hemoglobinopati. Enzimopati terjadi pada penyakit
defisiensi G6PD. Hal ini dapat dipicu oleh adanya infeksi dan pengaruh obat-
obatan. Pada pemeriksan akan didapatkan rendahnya aktivitas enzim G6PD.
Penyakit ini dapat diobati dengan hentikan obat-obatan dan obati penyakit
pemicunya. Membranopati terjadi pada sferositosis herediter. Pada
pemeriksaan akan didapatkan adanya sferosit, adanya riwayat keluarga dan
DAT negatif. Pengobatan penyakit ini dapat berupa splenektomi pada kasus
yang sedang sampai berat. Hemoglobinopati terjadi pada talasemia dan
penyakit sickle cell. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain dengan
elektroforesis hemoglobin dan pemeriksaan genetik. Penyakit ini dapat dobati
dengan pemberian asam folat dan tranfusi 17,20.
2.9 Tatalaksana

Autoimmune Hemolytic Anemia dibagi dua golongan yaituAIHA yang


diperantarai oleh antibodi IgG disebut sebagai AIHA tipe hangat yang
berikatan pada temperatur 37oC sedangkan AIHA tipe dingin di perantarai
oleh antibodi IgM yang berikatan maksimal pada temperatur dibawah 320C.4
Alur pengobatan terhadap AIHA berbeda tergantung pada tipe AIHA nya.
Secara umum tujuan pengobatan pada AIHA adalah untuk mengembalikan
hematologis normal, mengurangi proses hemolitik, dan menghilangkan gejala
dengan efek samping minimal.2Transfusi darah biasanya hanya digunakan
untuk kepentingan sementara tapi mungkin diperlukan diawal sebagai upaya
untuk mengatasi anemia berat sampai terlihat efek dari pengobatan yang lain.6
Pasien biasanya ditransfusi dengan menggunakan packed red cell jika Hb < 7
g/dL.2
2.9.1 Pengobatan pada AIHA tipe panas
Kortikosteroid dosis tinggi merupakan obat pilihan utama untuk AIHA
tipe panas. Steroid bekerja memblok fungsi makrofag dan menurunkan
sintesis antibodi.4 Prednison diberikan secara oral 2-4mg/kgBB/hari dalam 2-
3 dosis selama 2-4 minggu kemudian dilakukan tappering off dalam 2-6
minggu berikutnya. Jika respon pengobatan tidak baik, dosis prednison
ditingkatkan menjadi 30 mg/kgBB/hari secara intravena selama 3 hari.2 Pada
beberapa pasien dengan hemolisis yang berat maka dosis prednison dapat
ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB/hari dengan tujuan untuk mengurangi
tingkat hemolisisnya. Pengobatan tetap dilanjutkan sampai didapatkan
penurunan hemolisis, kemudian dosis obat diturunkan secara bertahap.Jika
relaps terjadi, maka diberikan dosis awal kembali.6 Pasien dikatakan respon
terhadap pengobatan dengan steroid akan memperlihatkan peningkatan
hemoglobin atau hemoglobin yang stabil serta penurunan kadar retikulosit
setelah dua minggu pengobatan.2
Anemia hemolitik yang tetap berat meskipun telah diobati dengan
kortikosteroid atau anemia hemolitik yang memerlukan dosis obat yang tinggi
untuk mencapai hemoglobin yang normal, maka dapat dipertimbangkan
pemberian immunoglobulin intravena dan danazol.2 Obat immunosuppresif
termasuk pengobatan baru seperti rituximab dengan dosis 375mg/m2 dapat
diberikan sebagai pengobatan lini kedua pada pasien yang tidak memberi
respon terhadap pengobatan dengan steroid, pasien dengan steroid-dependent,
pasien relaps, ataupun pasien AIHA kronik.2,5
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid
dianjurkan untuk dilakukan splenektomi.2 Splenektomi juga dapat dilakukan
pada pasien AIHA kronik. AIHA dikatakan kronik jika gejala dan hasil
laboratorium yang abnormal tetap ditemukan selama > 6 bulan, akan tetapi
splenektomi dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi (sepsis), terutama
pada anak yang berumur < 2 tahun.2 Persiapan yang dilakukan sebelum
splenektomi adalah pemberian profilaksis dianjurkan dengan vaksin yang
sesuai ( pneumococcal, meningococcal, dan Haemophilus influenza type b)
dan pemberian penisilin secara oral setelah splenektomi dilakukan.6
2.9.2 AIHA tipe dingin
AIHA tipe dingin lebih jarang ditemukan pada anak-anak dibanding
dewasa. Penggunaan kortikosteroid pada AIHA tipe dingin kurang efektif
dibandingkan pada AIHA tipe panas. Penderita dianjurkan untuk menghindari
paparan terhadap udara dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis dan
jika penyebab mendasari dapat diidentifikasi, maka penyebab tersebut harus
diatasi. Pada beberapa pasien dengan hemolisis berat, pengobatan termasuk
immunosupresan dan plasmaferesis. Beberapa penelitian sebelumnya
menyatakan keberhasilan pengobatan AIHA tipe dingin dengan menggunakan
monoclonal antibodi yaitu rituximab dengan dosis 375mg/m2. Splenektomi
tidak banyak membantu pada AIHA tipe ini. 6
b. Anemia hemolisis non imun.

Hemolisis terjadi tanpa keterlibatan immunoglobulin tetapi karena faktor defek


molekuler ,abnormalitas struktur membran , factor lingkungan yang bukan
autoantibodi seperti hipersplenisme, ,kerusakan mekanik eritrosit karena
mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan eritrosittanpa
mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria , babesiosis , dan
klostridium.3

Patofisiologi

Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada
patologi yang mendasari suatupenyakit. Pada hemolisis intravaskular , destruksi
eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Misalnya pada trauma mekanik , fiksasi
komplemen dan aktivasi sel permukaan atau infeksi yang langsung mendegradasi dan
mendestruksi membrane sel eritrosit.Hemolisis intravaskular jarang terjadi. 3

Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada hemolisisi


ektravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena
sel eritrosit yang telah mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem
retikuloendotelial sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh makrofog. 3
Hipersplenisme

Limpa normal beerbagi fungsi dengan jaringan lain dalam hal pembentukan ,
penyimpanan dan penghancuran sel darah serta produksi antibody. Namun limpa
memiliki kemampuan unik maupun benda asing.

.Fungsi penyaring dan surveilan terhadap komponen darah di pupla darah ( oleh
makrofag )

. Fungsi sintesis antibody di pulpa putih.

Hipersplenisme merupakan proses penghancuran sel darah yang berlebihan oleh


limpa. Hal ini terjadi ketika ukuran limpa mengalami peningkatan baik sel maupun
jaringan atau desakan pembuluh darah. Keadaan ini meningkatkan peran fungsi
penyaring , sehingga sel darah normal pun akan mengalami perlambatan serta proses
penghancuran semtara. Walaupun proses penghancuran granulosit dan trombosit
menyebabakan neutropenia dan trombositopenia, namun ke dua jenis sel tersebut
dapat beradaptasi dengan perlambatan proses penyimpanan di limpa. Berbeda dengan
sel darah merah yang terperangkap aakan mengalami penghancuran menyebabkan
terjadinya anemia hemolitik. 3

Infeksi Mikroorganisme

Mikrooganisme memiliki mekanisme yang bermacam-macam saat menginfeksi


eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara langsung
menyerang eritrosit seperti pada malaria , babesiosis dan bartonellosis.

Melalui pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridiumperfringens , pembentukan


antibodi atau otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen
mikroba atau reaksi kompleks imun pada eritrosit. 3

Malaria

Pada infeksi malaria , derajat anemia yang terjadi tidak sesuai dengan rasio jumlah
sel yang terinfeksi , namun penyebabnya masih belum jelas. Fragilitas osmotik pada
sel yang tidak terinfeksi mengalami peningkatan, penghancuran eritrosit pada infeksi
malaria disebabkan lisisnya eritrosit akibat infeksi langsung, peningkatan proses
penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan proses otoimun. Namun tidak
terjadi satupun mekanisme di atas yang dapat menjelaskan terjadinya anemia berat
padaa malaria.

Proses penghancuran sel darah merah sebagian besar berlangsung di limpa.


Splenopmegali merupakan gejalayang sering dijumpai pada infeksi malaria kronik.

Pengobatan dengan penisilin , streptomisin , kloramfenikol dan tetrasiklin


memberikan respons sangat baik. 3

Babesiosis

Babesia merupakan protozoa intra eritrosit , yang dtularkan melalui gigitan kutu
rambut , yang dapat menginfeksi hewan ternak maupun hewan liar. Pada manusia
penyakit ini tidak hanya ditularkan melalui gigitan kutu , tetapi juga lewat transfusi
darah. 3

Diagnosis dan terapi

Parasit ini dapat terlihat melalui pulasan darah tebal dengan pewarnaan Giemsa. Uji
serologi dengan antibodi terhadap Babesiaserta uji PCR dapat membantu penegakkan
diagnosis. Pengobatan dengan klindamisin dan kuinin memberikan hasil yang
memuaskan. Transfusitukar yang juga memberikan perbaikan yang nyata.
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.


Jakarta: EGC. hal 98-125.
2. I. Kliegman, Behrman, Jenson. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed,
Elsevier Science; Philadelphia. Chapter 457.
3. Parjono elias, Kartika widyanti. 20`5. Anemia Hemolitik Autoimun; dalam
Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II, Jakarta, FKUI. Hal: 660-662
4. Made IB., 2006. Hematologi Klinik Dasar. Jakarta: Buku kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai