Anda di halaman 1dari 83

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING

PADA BALITA DI PUSKESMAS PAGELARAN


TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH :
EVIS AZI FRAMUDYA
142012018059

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2022
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN STUNTING
PADA BALITA DI PUSKESMAS PAGELARAN
TAHUN 2022

PROPOSAL SKRIPSI
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat dalam Menyelesaikan
Pendidikan pada Program Studi S1 Ilmu Keperawatan

OLEH :
EVIS AZI FRAMUDYA
142012018059

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU


KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN 2022
iii
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Skripsi

Telah diperiksa dan disetujui di hadapan TIM penguji

Judul Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting


Pada Balita Di Puskesmas Pagelaran Tahun 2022
Mahasiswa : Evis Azi Framudya
NIM : 142012018059

MENYETUJUI

Pembimbing I Pembimbing II

Ns. Yeti Septiasari, S.Kep., M.Kes. Ns. Marlinda, M.Kep.,Sp.Kep.Mat.


NBM. 1152395 NBM. 909729

Kaprodi SI Ilmu Keperawatan

Ns. Rita Sari.,M.Kep


NBM. 927021

iv
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Hidayah dan Karunia-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini dengan semua kelemahan

yang penulis miliki namun penulis berusaha semaksimal mungkin dengan ilmu yang

sangat sedikit dalam menyelesaikan proposal skripsi ini dengan judul “Faktor-Faktor

Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting Pada Balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022”

proposal skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan program

studi S1 keperawatan.

Penulis mengalami banyak kesulitan dalam penyusunan proposal skripsi ini, namun peran

serta dan dukungan dari berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan proposal

penelitian ini, untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin megucapkan terima kasih

kepada :

1. Drs. H. Wanawir Am, M.M, M.Pd, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Pringsewu Lampung

2. Elmi Nuryati, M.Epid selaku Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Pringsewu Lampung.

3. Ns. Desi Ari Madi Yati, M.kep., Sp. Kep. Mat selaku Ketua Program Studi S1

keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

4. Ns. Yeti Septiasari, S.Kep, M.Kes selaku pembimbing I

5. Ns. Marlinda, M.Kep., Sp.Kep.Mat selaku pembimbing II

6. Bapak/Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Pringsewu Lampung.

v
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
7. Teman-teman kelas angkatan 10 S1 Keperawatan yang selalu memberikan semangat

dan kerja sama kepa penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi

ini.

Dalam penyusunan proposal skripsi penulis menyadari adanya keterbatasan dan

kekurangan, untuk itu masukkan atau saran perbaikan diperlukan untuk

menambah kesempurnaan dalam penulisan. Semoga Allah SWT berkenan

membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tugas

akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Pringsewu, April 2022

Penulis

vi
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
HALAMAN JUDUL....................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iv
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... vii
DAFTAR SKEMA.......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 5
D. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian................................................................................ 6

BAB II TINJAUAN TEORI


A. Stunting Balita...................................................................................... 9
B. Bayi Berat Lahir Rendah...................................................................... 15
C. ASI eksklusif ....................................................................................... 32
D. Pendidikan Ibu ..................................................................................... 38
E. Kerangka Teori..................................................................................... 41
F. Kerangka Konsep.................................................................................. 44
G. Hipotesis............................................................................................... 45

BAB III METODE PENELITIAN


A. Desain Penelitian.................................................................................. 47
B. Variabel Penelitian................................................................................ 47
C. Definisi Operasional............................................................................. 48
D. Populasi dan Sampel............................................................................. 49
E. Tempat dan Waktu Penelitian............................................................... 51
F. Etika Penelitian..................................................................................... 52
G. Instrumen Penelitian dan Metode Pengambilan Data........................... 53
H. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data......................................... 54
I. Analisa Data.......................................................................................... 57
J. Jalannya Penelitian............................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vii
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas Status Gizi Balita............................................... 18
Tabel 2.2. Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun........................ 19
Tabel 3.1 Definisi Operasional......................................................................... 48

viii
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Teori............................................................................. 41
Gambar 2.2 Kerangka Konsep.......................................................................... 44

ix
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pra Survey


Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Informed Consent
Lampiran 4 Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 5 Kuesioner

x
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Golden age menjadi periode penting dari janin sampai berusia lima tahun.

Makanan bergizi benar-benar disarankan untuk ibu hamil konsumsi pada masa

kehamilan sampai anak lahir usia dua tahun. Anak usia dua tahun paling baik

dalam memaksimalkan perkembangan sel otak dengan gizi yang baik. Apabila

pada masa itu gizi terpenuhi dengan baik, pertumbuhan dan perkembangan

akan menjadi optimal. Apabila pada masa itu gizi tidak terpenuhi berakibat

gangguan padapertumbuhan dan perkembangan seluruh organ dan sistem

tubuh akan berdampak pada masa kemudian (Puspasari, 2017).

Permasalahan tumbuh kembang pada anak dewasa ini menjadi sorotan tajam

dunia internasional, kondisi ini dilatar belakangi rendahnya asupan nutrisi

pada anak terutama di negara berkembang dan miskin. Anak merupakan aset

masa depan yang perlu diperhatikan kelagsungan kehidupanya dan menjadi

ujung tombak peradaban dimasa yang akan datang, dengan demikian perlunya

menjamin terpenuhnya kebutuhan nutrisi anak yang menjadi suatu indikator

terpenting dalam menunjang tumbuh kembangnya (Monalisa et al., 2021).

Asupan nutrisi yang tidak cukup diberikan pada anak dapat berdampak besar

bagi pertumbuhan dan kesehatannya serta mudah terserang penyakit infeksi

seperti ISPA, diare hingga menyebabkan stunting (Kemenkes RI, 2018).

1
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
2

Proses perkembangan dan pertumbuhan pada masa balita ditentukan oleh

makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pemberian asupan gizi yang sesuai

dengan kebutuhan akan menghasilkan tumbuh kembang yang baik. Gizi yang

seimbang didapat dari asupan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi anak

yang dilihat dari usia dan kegiatan agar tercapai berat badan normal.

Pemberian makan pada anak memang sering menjadi masalah buat orang tua

atau pengasuh anak. Faktor kesulitan makan pada anak yang sering dialami

oleh sekitar 25% pada usia anak, jumlah akan meningkat sekitar 40-70% pada

anak yang lahir prematur atau dengan penyakit kronik (Sastria Ahmad et al.,

2021).

Stunting menggambarkan kondisi tubuh pendek atau kerdil akibat dari

kekurangan mikro dan makro nutrisi dalam kurun waktu yang lama. Selain itu,

dapat dipicu dengan kondisi ibu yang mengalami gizi buruk atau gizi kurang

selama masa kehamilan (Kemenkes RI, 2018). Anak yang berada pada masa

golden period atau 1000 hari pertama kehidupan merupakan fase krusial

pertumbuhan dan perkembangan, pada fase ini anak dapat mengalami

gangguan pertumbuhan seperti stunting akibat dari tidak mendapatkan asupan

nutrisi yang berkualitas dan stunting dapat berlanjut setelah 1000 hari pertama

kehidupan apabila anak tidak mendapatkan kecukupan nutrisi, imunisasi

lengkap dan pencegahan infeksi (Pem, 2015). Kekurangan nutrisi mempunyai

dampak negatif terhadap keberlagsungan kehidupan, kesehatan, produktifitas

dalam bekerja, kegiatan sosial dan dampaknya hingga usia dewasa (Ali et al.,

2017).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


3

Berdasarkan data secara global pada tahun 2018-2020 tercatat 21.9% atau 149

juta anak mengalami stunting dan 57.9% atau 81.7 juta berada di kawasan asia

(UNICEF, WHO, Word Bank Group, 2019). Prevalensi stunting di Indonesia

pada tahun 2018 sebesar 30.8% (Kemenkes RI., 2018). dan mengalami

penurunan 3.1% di tahun 2019 menjadi 27.67%. Sedangkan prevalensi

stunting di Provinsi Lampung pada tahun 2021 mencapai 27.28% kondisi ini

mengalami penurunan dibandingakan pada tahun 2013 sebesar 42.6% (Dinkes

Lampung., 2020) . Provinsi Lampung pada tahun 2019 mencatat angka

kejadian stunting terbanyak berada di empat kabupaten diantaranya Lampung

Tengah, Lampung Selatan, Lampung Timur dan Pringsewu (Dinkes Lampung,

2020).

Meski prevalensi stunting di Kabupaten Pringsewu lebih rendah dibandingkan

angka provinsi dan nasional (Prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,5%

dan di Provinsi Lampung sebesar 24,8%) namun cenderung mengalami

peningkatan dibandingkan tahun 2015 (21,2%). Sedangkan berdasarkan hasil

penilaian status gizi Tahun 2017 Prevalensi stunting di Kabupaten Pringsewu

juga mengalami peningkatan menjadi 25,8%. Berdasarkan data hasil entry E

PPGBM (aplikasi kemenkes) prevalensi stunting Tahun 2019 menurun di

Kabupaten Pringsewu yaitu 10,37 % dan di 2020 prevalensi stunting 8,38 %

(2.414 balita stunting). Hal tersebut dapat menghambat upaya peningkatan

kesehatan masyarakat dan pembangunan kualitas sumber daya manusia

khususnya di Kabupaten Pringsewu. (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung,

2016).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


4

Stunting sebabkan oleh factor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor

penyebab langsung kejadian stunting di Indonesia diantarnya adalah Faktor

ibu dengan riwayat BBLR dan factor keluarga, Tidak adekuatnya makanan

Pendamping ASI, Tidak ASI Eksklusif dan kejadian infeksi berulang.

Sedangkan pada factor penyebab tidak langsung diantarnya adalah factor

politik, factor fasilitas kesehatan, pendidikan orang tua, social dan budaya,

petanian dan system makanan serta factor air, sanitasi dan lingkungan (Beal et

al., 2018).

Pada factor ibu disebabkan karena kurangnya nutrisi selama kehamilan,

kondisi fisik ibu yang stunting, kehamilan remaja, kehamilan premature dan

BBLR. Faktor keluarga disebabkan oleh rendahnya sanitasi rumah dan suplai

air, kekurangan makanan, pendidikan keluarga rendah, penghasilan yang

rendah, keluarga pendek dan jumlah rumah tangga yang banyak. Pada factor

pendamping ASI yang tidak adekuat karena rendahnya makanan yang

mengandung micronutrient, jenis makanan yang tidak beraneka ragam, jumlah

makanan yang kurang, jarang dan makanan yang terkontaminasi bakteri. Pada

factor ASI dapat dilihat dari tidak diberikan Inisiasi Menyusu Dini (IMD),

menyusui tidak eksklusif dan penghentian menyusui dini. Pada factor infeksi

menunjukkan riwayat diare yang berulang, infeksi pernafasan, malaria,

demam dan tidak diberikan imunisasi (Beal et al., 2018).

Pada penelitian Rahayu & Khairiyati (2014), menunjukkan Pendidikan ibu

memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian stunting. Tingkat

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


5

pendidikan, khususnya tingkat pendidikan ibu mempengaruhi derajat

kesehatan. Hal ini terkait peranannya yang paling banyak pada pembentukan

kebiasaan makan anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan mulai

mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapkan makanan, dan

mendistribusikan makanan (Anindita, 2012).

Pemberian makan atau nutrisi sangatlah penting untuk menunjang tumbuh

kembang anak, pola tersebut diantaranya asupan ASI eksklusif dan diteruskan

hingga usia 2 tahun, serta keseimbangan komponen nutrisi di setiap pemberian

makan 3 kali dalam satu hari (Ari, 2019). Berdasarkan penelitian

Sulistianingsih & Sari (2018), menjelaskan bahwa balita yang memperoleh

ASI eksklusif berisiko 9,3 kali lebih kecil untuk terjadi stunting dibandingkan

balita yang tidak memperoleh ASI eksklusif atau ASI eksklusif memberikan

efek proteksi terhadap terjadinya stunting pada balita. Sebaliknya, pada berat

bayi lahir, ditemukan bahwa balita dengan riwayat BBLR berisiko 17,063 kali

lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan balita dengan riwayat

berat lahir normal.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Pagelaran di tahun

2021 kasus stunting sebanyak 174 orang dan menurun Maret tahun 2022

menjadi 165 orang. Pada data puskesmas didapatkan bahwa dari balita yang

mengalami stunting terdapat 57% ibu memiliki pendidikan dasar, sebanyak

24,1% ibu yang memiliki riwayat anemia dan 15% balita menderita BBLR.

Berdasarkan wawancara dan observasi peneliti tertarik untuk melakukan

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


6

penelitan mengenai “Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada

balita diwilayah kerja Puskesmas Pagelaran tahun 2022”.

B. Rumusan Masalah

Stunting pada balita disebabkan oleh malnutrisi kronis sejak 1000 hari pertama

kelahiran. Stunting memiliki efek yang merugikan pada anak baik jangka

pendek maupun jangka panjang. Kasus stunting di Indonesia mengalami

penurunan begitupun di Provinsi Lampung dan Kabupaten Pringsewu.

Program inovasi stunting di Kabupaten Pringsewu telah digalakkan sejak

tahun 2019 namun kasus stunting masih ada. Hal ini dapat dikarenakan belum

adanya penelitian faktor penyebab stunting di Kabupaten Pringsewu Sendiri

oleh sebab itu penatalaksanaan belum maksimal. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa pendidikan, riwayat BBLR, dan ASI eksklusif

berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita namun ada beberapa yang

menyanggahnya. Berdasarkan permasalahan dan latar belakang diatas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa sajakah faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita diwilayah kerja Puskesmas

Pagelaran tahun 2022?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting

pada balita diwilayah kerja Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


7

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi pendidikan ibu, riwayat BBLR, riwayat ASI

eksklusif dan kejadian stunting pada balita di Puskesmas Pagelaran

tahun 2022

b. Mengetahui hubungan pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada

balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022

c. Mengetahui hubungan riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada

balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022

d. Mengetahui hubungan riwayat ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022

D. Ruang Lingkup Penelitian

Masalah dibatasi oleh pendidikan ibu, riwayat BBLR, riwayat ASI eksklusif

dan kejadian stunting pada balita di Puskesmas Pagelaran. Penelitian ini akan

dilakukan pada bulan Juni 2022. Metode yang digunakan adalah survey

analitik menggunakan pendekatan crossectional. Penelitian ini dilaksanakan

di Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Puskesmas Pagelaran

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi Puskesmas

Pagelaran tentang faktor –faktor kejadian stunting pada balita sebagai

langkah penting menurunkan resiko terjadi gangguan gizi pada balita.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


8

2. Bagi Responden dan Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan informasi

tentang faktor –faktor kejadian stunting pada balita

3. Bagi Universitas

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menambah wawasan

bagi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung

Fakultas Kesehatan tentang faktor –faktor yang berhubungan dengan

kejadian stunting pada balita.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya dalam

mengembangkan penelitian tentang faktor –faktor kejadian stunting pada

balita.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Balita

1. Pengertian

Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini ditandai

dengan proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan

disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya

lebih banyak dengan kualitas yang tinggi. Akan tetapi, balita termasuk

kelompok yang rawan gizi serta mudah menderita kelainan gizi karena

kekurangan makanan yang dibutuhkan. Konsumsi makanan memegang

peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak sehingga

konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status gizi anak untuk

mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak (Yuliastati & Arnis,

2016).

2. Klasifikasi Balita

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia di bawah

satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga

tahun yang yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari tiga tahun

sampai lima tahun yang dikenal dengan usia pra sekolah (Yuliastati &

Arnis, 2016).

9
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
10

Menurut karakterisik, balita diklasifikasikan menjadi dalam dua kategori,

yaitu anak usia 1- 3 tahun (batita) dan anak usia pra sekolah. Anak usia 1-3

tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari

apa yang disediakan oleh ibunya Laju pertumbuhan masa batita lebih besar

dari masa usia pra sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang

relatif besar. Pola makan yang diberikan sebaiknya dalam porsi kecil

dengan frekuensi sering karena perut balita masih kecil sehingga tidak

mampu menerima jumlah makanan dalam sekali makan. Sedangkan pada

usia pra sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat

memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini, anak mulai bergaul

dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak

mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan

mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan

“tidak” terhadap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung

mengalami penurunan, ini terjadi akibat dari aktifitas yang mulai banyak

maupun penolakan terhadap makanan (Yuliastati & Arnis, 2016).

3. Kebutuhan Gizi Balita

Gizi atau nutrisi merupakan zat makanan yang diperlukan tubuh untuk

pertumbuhan dan perkembangan serta untuk menuntukan kesehatan dan

sebagai sumber energi utama untuk menjalankan berbagai aktivitas

metabolisme (Napitupulu, 2018). Gizi yang baik adalah makanan yang

memenuhi syarat gizi seimbang sehingga yang diperlukan oleh tubuh

dapat terpenuhi (Juliati, 2017). Anak memerlukan gizi yang diperlukan

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


11

oleh tubuh dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Pola makan yang

harus diberikan secara benar dengan pemenuhan gizi seimbang serta

berbagai macam pangan dan terpenuhnya standar gizi yang anak butuhkan.

Pola makan dengan gizi seimbang ini membuat anak akan mendapatkan

makanan mengandung semua gizi yang dibutuhkan oleh tubuh

(Puspitasari, 2017).

Gizi seimbangan adalah makanan yang mengandung unsur zat gizi yang

diperlukan oleh tubuh dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh

untuk memenuhi kebutuhan tubuh secara optimal (Dwiwardani, 2017).

Berikut merupakan gizi seimbang pada balita :

a. Gizi Seimbang 0-6 Bulan

Gizi seimbang untuk bayi 0-6 bulan cukup hanya dari ASI. ASI

merupakan makanan yang terbaik untuk bayi oleh karena dapat

memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan bayi sampai usia 6 bulan,

sesuai dengan perkembangan sistem pencernaannya, murah dan

bersih. Oleh karena itu setiap bayi harus memperoleh ASI Eksklusif

yang berarti sampai usia 6 bulan hanya diberi ASI saja (Kemenkes

RI., 2014).

b. Gizi seimbang untuk anak 6-24 bulan

Pada anak usia 6-24 bulan, kebutuhan terhadap berbagai zat gizi

semakin meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja.

Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan dan

perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara fisik

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


12

mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus terpenuhi

dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi.

Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan

Pendamping ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai

bayi berusia 2 tahun. Pada usia 6 bulan, bayi mulai diperkenalkan

kepada makanan lain, mula-mula dalam bentuk lumat, makanan

lembik dan selanjutnya beralih ke makanan keluarga saat bayi berusia

1 tahun. Ibu sebaiknya memahami bahwa pola pemberian makanan

secara seimbang pada usia dini akan berpengaruh terhadap selera

makan anak selanjutnya, sehingga pengenalan kepada makanan yang

beranekaragam pada periode ini menjadi sangat penting. Secara

bertahap, variasi makanan untuk bayi usia 6-24bulan semakin

ditingkatkan, bayi mulai diberikan sayuran dan buah-buahan, lauk

pauk sumber protein hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai

sumber kalori. Demikian pula jumlahnya ditambahkan secara bertahap

dalam jumlah yang tidak berlebihan dan dalam proporsi yang juga

seimbang saja (Kemenkes RI., 2014).

c. Gizi seimbang untuk anak 2-5 tahun

Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih

berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi.

Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan

yang disukai termasuk makanan jajanan. Oleh karena itu jumlah dan

variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


13

atau pengasuh anak, terutama dalam “memenangkan” pilihan anak

agar memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak

pada usia ini sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit

infeksi dan kecacingan, sehingga perilaku hidup bersih perlu

dibiasakan untuk mencegahnya (Kemenkes RI., 2014).

4. Masalah Gizi Pada Balita

Beberapa masalah yaitu pada balita :

a. Diare

Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi

buang air besar atau defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai

perubahan konsistensi tinja menjadi cair, dengan atau tanpa darah dan

atau lendir dalam tinja. (MCA Indonesia, 2013) Berdasarkan definisi

dari WHO, diare adalah suatu kondisi seseorang buang air besar

dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan

frekuensinya lebih sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam

sehari (Rahmadhani et al., 2016).

Mekanisme utama dari transmisi patogen diare dari orang ke orang

yaitu melalui rute fekal-oral atau oleh pencernaan dari makanan atau

minuman yang terkontaminasi. Faktor yang kemungkinan

meningkatkan infeksi dengan enteropatogen meliputi defisiensi imun,

campak, malnutrisi, area endemik, tidak minum ASI, terpapar oleh

kondisi sanitasi buruk, ingesti dari makanan atau minuman

terkontaminasi, serta tingkat pendidikan ibu (Utami et al., 2016).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


14

b. Stunting

Menurut UNICEF, masalah gizi anak yang berlangsung kronis adalah

stunting. Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga

melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan

populasi yang menjadi refrensi internasional. Tinggi badan

berdasarkan umur rendah, atau tubuh anak lebih pendek dibandingkan

dengan anak-anak lain seumurnya merupakan definisi stunting yang

ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan

kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai

dengan umur anak. (Supariasa et al., 2016)

c. ISPA

Sebagian besar anak mengalami 3 sampai 8 kali ‘flu’ setiap

tahunnya.Beberapa spesies virus menyebabkan flu.Rinovirus adalah

penyebab flu tersering, paling sedikit 100 serotipe berbeda pernah

diidentifikasi. Gejala disebabkan oleh infeksi primer atau reinfeksi

oleh virus dengan jenis antigen yang sama (WHO, 2017).

d. Kejang Demam

Demam adalah gejala berupa naiknya suhu tubuh sebagai respon

normal tubuh terhadap gangguan.Demam pada anak adalah gejala dan

bukan penyakit, tetapi merupakan pertanda bahwa tubuh sedang

melawan infeksi atau virus. Namun demikian, demam tidak selalu

berarti sedang terjadi sesuatu yang buruk, demam justru berperan

penting dalam memerangi infeksi yang sedang terjadi pada tubuh.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


15

Sebagian besar demam akan menghilang dalam beberapa hari dan

tidak semua membutuhkan penanganan dengan minum obat (Yuliastati

& Arnis, 2016)

Demam biasanya terjadi akibat tubuh terpapar infeksi mikro organisme

(virus, bakteri, parasit).Demam pada anak bisa disebabkan oleh faktor

non infeksi seperti kompleks imun, atau peradangan

(inflamasi).Sebagian besar demam pada anak disebabkan oleh

infeksi.Selama infeksinya masih aktif, biasanya akan timbul demam.

Karena demam merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh untuk

membasmi infeksi (Yuliastati & Arnis, 2016)

e. Pneumonia

Pneumonia adalah bentuk infeksi saluran pernapasan akut yang

menyerang paru-paru. Pneumonia umumnya disebabkan oleh virus,

bakteri, mikroorganisme lain, obat-obatan tertentu dan kondisi lain

seperti penyakit autoimun. Pneumonia mempengaruhi kondisi

peradangan paru-paru yang terutama mempengaruhi kantung udara

mikroskopis yang dikenal sebagai alveoli. (WHO, 2015).

B. Stunting Pada Balita

1. Pengertian

Stunting atau kerdil adalah kondisi gagal tumbuh dimana tinggi badan

anak lebih pendek dibandingan anak seusianya (Atikah, Fahrini, Andini, &

Lia, 2018). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang

disebabkan oleh kurang gizi yang berlangsung kronis. Pengertian lain dari

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


16

stunting adalah gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan

penurunan kecepatan pertumbuhan serta merupakan dampak dari

ketidakseimbangan gizi.

Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth Standart,

stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibandingkan dengan umur

(PB/U), atau tinggi badan dibandingkan dengan umur (TB/U) dengan

batas (Z-Score) kurang dari -2 SD. Stunting akan berdampak pada

terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta kognitif pada

balita. Adapun anak yang terkena stunting hingga usia 5 tahun sulit untuk

diperbaiki dan akan berlanjut hingga dewasa serta dapat meningkatkan

resiko keturunan berat badan lahir rendah (BBLR).

Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita mempunyai tinggi atau

panjang badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Stunting

merupakan salah satu permasalahan gizi yang terjadi pada balita. Stunting

yang terjadi pada balita merupakan hasil dari permasalahan gizi yang telah

terjadi sejak awal kehidupannya (UNICEF, 2017).

Kondisi stunting pada anak dapat diketahui jika anak lebih pendek

dibandingkan anak-anak lain seusianya, dengan kata lain, tinggi badan

anak berada di bawah standar. Standar acuan yang dipakai adalah kurva

pertumbuhan yang dibuat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Stunting

adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


17

dalam kurun waktu yang lama. Stunting dapat terjadi mulai dari dalam

kandungan, namun baru terlihat saat anak berusia 2 tahun.

Kejadian balita stunting (pendek) termasuk dalam masalah kesehatan gizi

utama pada masyarakat yang sangat penting karena mempunyai dampak

yang besar terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) pada satu

generasi berdasarkan data pemantauan status gizi (PSG) selama tiga tahun

terakhir.

2. Diagnosis Stunting Batas Gizi

Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan

mengukur beberapa parameter, sedangkan parameter adalah ukuran

tunggal dari ukuran tubuh manusia. Tinggi badan merupakan parameter

yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang.

Pengukurang tinggi badan atau panjang badan pada anak dapat dilakukan

dengan alat pengukur tinggi/panjang badan dengan presisi 0.1 cm.

(Supariasa, 2012). Penggunaan indeks TB/U memiliki beberapa kelebihan

antara lain : merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi

pada masa lampau, Alat yang mudah dibawa kemana-mana dan harganya

murah dan hasil pengukuranya lebih objektif. Sedangkan kelemahannya

antara lain : dalam penilaian intervensi harus disertai dengan indeks lain

(seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak banyak terjadi dalam

waktu singkat dan ketepatan umur sulit untuk didapatkan.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


18

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronik

sebagai akibat dari keadaan berlangsung lama, misalnya kemiskinan,

perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makanan yang kurang baik

dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

(Kementerian PPN/ Bappenas, 2018).

Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan indikator

tinggi badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur

(PB/U) disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2.1
Kategori Ambang Batas Status Gizi Balita

Indeks Kategori Ambang batas


Status gizi (Z - Score)

Berat Badan menurut - Gizi Buruk < - 3 SD


Usia (BB/U) - Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <-2
Anak Usia 0-60 bulan SD
- Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
- Gizi Lebih

Panjang badan - Sangat Pendek < - 3 SD


menurut Usia (PB/U) - Pendek -3 SD sampai dengan <-2
atau Tinggi badan SD
menurut Usia (TB/U) - Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Usia 0-60 bulan >2 SD
- Tinggi

Berat Badan menurut - Sangat kurus < - 3 SD


panjang badan - Kurus -3 SD sampai dengan <-2
(BB/PB) atau Berat SD
Badan menurut tinggi - Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
badan (BB/TB) >2 SD
Anak Usia 0-60 bulan - Gemuk

Sumber : (Kemenkes, 2011)

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


19

Pada waktu lahir, panjang badan bayi rata-rata adalah 50 cm, tinggi badan

75 cm dicapai pada usia 1 tahun, 85 cm pada usia 2 tahun dan 100 cm

yaitu 2 kali panjang lahir dicapai pada usia 4 tahun, dan pada usia 6 tahun

tingginya berkisar 130 cm. Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh

bersama dengan pertumbuhan umur. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap

tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.

Tabel 2.2.
Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun

No Kelompok Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)


1 0 - 6 bulan 7,9 67,0
2 7 - 12 bulan 9,6 75,0
3 1 - 3 tahun 14,3 96,0
4 4 – 6 tahun 16,3 104,0
Sumber : (Kemenkes RI, 2020)

Diagnosis stunting didasarkan pada indeks PB/U atau TB/U dimana dalam

standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut

berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD

(pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/severely stunted) (Trihono

dkk, 2015).

3. Patofisiologi stunting

Prognosis stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses

pertumbuhan pada anak stunting melambat pada saat anak berusia sekitar

3 tahun. Terdapat perbedaan interpretasi kejadian stunting diantara kedua

kelompok usia anak. Pada anak yang berusia di bawah 2-3 tahun,

menggambarkan proses gagal bertumbuh atau stunting yang masih sedang

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


20

berlangsung/terjadi sehingga intervensi masih dapat segera dilakukan.

Sementara pada anak yang berusia lebih dari 3 tahun, menggambarkan

keadaan dimana anak tersebut telah mengalami kegagalan pertumbuhan

atau telah menjadi stunted, sehingga intervensi lebih sulit dilakukan.

(Sandra, 2017).

4. Tanda Gejala Stunting

Tanda dan gejala dari stunting sendiri bisa dilihat dari salah satunya adalah

gagal tumbuh diusia 24 bulan selain itu juga pekerkembangan otak yang

subnormal (Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori

belajarnya), sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya

pertumbuhan mental sehingga (Mustika & Syamsul, 2018).

5. Dampak Stunting

Stunting dilator belakangi kurangnya asupan nutrisi sehingga dapat

menyebabkan risiko tinggi kesakitan, kematian, perkembangan otak tidak

maksimal yang dapat menyebabkan telambatnya perkembangan motorik

serta perkembangan mental (Mitra, 2015).

a. Dampak Pada jangka Pendek dan Jangka Panjang

Akibat dari stunting pada anak adalah jangka pendek dan jangka

panjang termasuk peningkatan morbiditas dan mortalitas,

perkembangan anak yang buruk dan kapasitas belajar, peningkatan

risiko infeksi dan penyakit tidak menular, peningkatan kerentanan

untuk menumpuk lemak sebagian besar di wilayah tengah tubuh,

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


21

oksidasi lemak yang lebih rendah, pengeluaran energi yang lebih

rendah, resistensi insulin dan risiko yang lebih tinggi untuk berkembang

menjadi diabetes, hipertensi, dislipidemia, penurunan kapasitas kerja

dan reproduksi ibu yang kurang baik hasil di masa dewasa (Soliman et

al., 2021).

Anak stunting yang mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah

2 tahun memiliki peningkatan risiko menjadi kelebihan berat badan atau

obesitas i kemudian hari. Pertumbuhan dan jendela kerentanan Sebuah

jendela kritis (periode sensitif) mewakili periode selama perkembangan

ketika fenotipe organisme responsif terhadap faktor intrinsik atau

ekstrinsik (lingkungan). Bulan-bulan intrauterin dan awal pasca-

kelahiran diketahui sangat penting untuk kesehatan dan perkembangan

otak di masa depan

b. Dampak Pada Silkus Kehidupan

Berikut merupakan siklus berkelanjutan dari dampak stunting pada anak

menurut Prendergast et al., (2014):

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


22

Gambar 2.1 Sindrom Stunting


Jalur hijau menunjukkan periode antara konsepsi dan 2 tahun ('1000 hari

pertama') ketika pengerdilan dan mungkin semua patologi terkait paling

responsif terhadap, atau dapat dicegah dengan, intervensi. Jalur kuning

menunjukkan periode antara usia 2 tahun dan pertengahan masa kanak-

kanak dan selama percepatan pertumbuhan remaja ketika beberapa

pertumbuhan linier dapat terjadi, meskipun efek selama periode ini pada

komponen lain dari sindrom pengerdilan (misalnya kognisi dan fungsi

kekebalan) adalah kurang jelas. Jalur kuning pendek sebelum Conceptus

mencerminkan bukti bahwa intervensi diet yang menargetkan wanita

terhambat selama periode pra-konsepsi meningkatkan hasil kelahiran.

Jalur merah menunjukkan periode ketika sindrom pengerdilan tampak

tidak responsif terhadap intervensi. Kotak biru mencantumkan faktor

penyebab atau yang memberatkan menurut usia. Kotak putih

menggambarkan hasil spesifik usia yang umum. Antara 2 tahun dan

dewasa, jalurnya berbeda untuk menunjukkan: garis putus-putus, anak

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


23

kerdil yang lingkungannya menjadi lebih makmur dengan akses berlimpah

ke makanan, menyebabkan kenaikan berat badan yang berlebihan; solid

line: anak kerdil yang lingkungannya tetap terbatas sumber

daya/kerawanan pangan.

6. Faktor Penyebab Stunting

Stunting sebabkan oleh factor langsung dan faktor tidak langsung.

a. Faktor penyebab langsung kejadian stunting di Indonesia diantarnya

adalah :

1) Faktor ibu dan factor keluarga

2) Tidak adekuatnya makanan Pendamping ASI

3) Tidak ASI Eksklusif dan kejadian infeksi berulang.

b. Factor penyebab tidak langsung diantarnya adalah:

1) Factor politik

2) Factor fasilitas kesehatan

3) Pendidikan

4) Sosial dan budaya

5) Petanian dan system makanan

6) Faktor air, sanitasi dan lingkungan

(Beal et al., 2018).

7. Penatalaksanaan Stunting

Indonesia telah memiliki sejumlah kebijakan dan regulasi penanggulangan

stunting, yang diwujudkan dalam bentuk intervensi baik yang bersifat

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


24

spesifik maupun sensitif. Intervensi spesifik dilakukan oleh sektor

kesehatan dengan memfokuskan pada program 1000 Hari Pertama

Kehidupan (HPK), sedangkan intervensi sensitif di antaranya dilakukan

melalui penyediaan akses air bersih dan sanitasi. Selain kesehatan, faktor

sosial ekonomi juga diketahui berpengaruh terhadap stunting, seperti

masalah kemiskinan, tingkat pendidikan, dan pendapatan keluarga.

Penanggulangan stunting perlu kerjasama lintas sektor dan dilakukan

secara menyeluruh. Kebijakan dan regulasi yang ada di tingkat pusat,

harus juga diikuti dengan tindak lanjut di daerah hingga tingkat desa dan

melibatkan tidak hanya sektor kesehatan tetapi juga sektor terkait lainnya.

Sistem penanggulangan berbasis masyarakat perlu ditingkatkan lagi,

karena kesadaran yang tinggi dari masyarakat akan pentingnya gizi

seimbang, sanitasi dan kebersihan lingkungan merupakan modal yang

besar untuk menekan angka stunting (Nisa et al., 2018).

Pemenuhan kebutuhan nutrisi selama 1000 hari pertama merupakan

tantangan besar. Wanita hamil dan menyusui serta anak-anak mereka

membutuhkan diet dengan kepadatan mikronutrien tinggi, tetapi dalam

pendapatan rendah populasi, asupan biasanya jauh di bawah jumlah yang

direkomendasikan untuk beberapa nutrisi utama karena diet didominasi

oleh makanan pokok dengan kepadatan nutrisi rendah dan bioavailabilitas

mineral yang buruk. Beberapa pilihan untuk memperbaiki pola makan ibu

hamil dan wanita menyusui dan bayinya ada, termasuk diversifikasi

makanan dan peningkatan asupan makanan kaya nutrisi, peningkatan

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


25

praktik pemberian makanan pendamping, suplemen mikronutrien dan

makanan atau produk yang diperkaya yang dirancang khusus untuk

kelompok sasaran ini. Bukti dari uji coba intervensi menunjukkan bahwa

beberapa strategi ini, baik sebelum dan sesudah melahirkan, dapat

berdampak positif pada pertumbuhan anak. Namun, ada heterogenitas

yang cukup besar dalam respons pertumbuhan terhadap intervensi

semacam itu, yang mungkin terkait dengan potensi untuk mendapatkan

manfaat (Dewey, 2016).

Penelitian diperlukan untuk memeriksa konsekuensi dari infeksi dan

peradangan klinis dan subklinis, peran mikrobioma, dampak kontaminan

lingkungan (misalnya aflatoksin dan polusi udara rumah tangga),

pentingnya nutrisi spesifik yang dibutuhkan untuk deposisi massa tubuh

tanpa lemak. dan konstituen makanan lainnya, pengaruh kesehatan mental

ibu dan perilaku pengasuh, dan efek jangka panjang dari nutrisi prenatal

dan pengaruh epigenetik pada pertumbuhan dan perkembangan keturunan.

Sementara itu, ada beberapa implikasi kebijakan dan program dari bukti

yang tersedia hingga saat ini. Perhatian harus diberikan pada pencegahan

dan pengendalian infeksi prenatal dan post-natal dan kondisi subklinis

yang membatasi pertumbuhan, perawatan untuk wanita dan anak-anak,

dan stimulasi perkembangan anak usia dini. Intervensi terpadu yang secara

bersamaan mengatasi semua faktor ini sangat menjanjikan untuk

mengurangi pengerdilan dan meningkatkan pembentukan sumber daya

manusia di wilayah ini dan di tempat lain (Dewey, 2016).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


26

8. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Stunting

Faktor-faktor kejadian stunting dipengaruhi faktor langsung dan tidak

langsung yaitu:

a. Faktor Penyebab Langusng

1) Rumah Tangga

Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas

yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan

pangan, alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi

pengasuh. Anak-anak yang berasal dari rumah tangga yang tidak

memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko mengalami

stunting (Putri DS, 2012).

Menurut (Delmi, 2012) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang

rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada

keluarga maupun masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya

mengetahui gizi tetapi harus mengerti dan mau berbuat. Tingkat

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang kebutuhan akan

zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan makanan

yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor

yang dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi.

Ibu yang cukup pengetahuan gizinya akan memperhatikan

kebutuhan gizi anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang secara

optimal.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


27

Pengasuhan anak adalah praktek yang dijalankan oleh orang yang

lebih dewasa terhadap anak yang dihubungkan dengan pemenuhan

kebutuhan pangan/gizi. Perawatan dasar (termasuk imunisasi,

pengobatan bila sakit), rumah atau tempat tinggal yang layak,

higiene perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaran

jasmani. Pola pengasuhan anak sangat memengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan anak karena anak yang mendapat perhatian

lebih baik secara fisik maupun emosional keadaan gizinya lebih

baik dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat

perhatian (Soetjiningsih, 2012).

2) Faktor Ibu

Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama

prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi

perawakan ibu seperti usia ibu terlalu muda atau terlalu tua,

pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, BBLR, IUGR

dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan

hipertensi (Sandra, 2017)

Didukung oleh (Esfarjani et al., (2013) tentang penelitian di Iran,

menemukan bahwa berat badan lahir, usia ibu, dan tinggi badan

ayah adalah faktor utama penyebab stunting pada kelompok anak-

anak Iran ini. Mempertimbangkan faktor penentu stunting dapat

membantu pembuat kebijakan merancang intervensi yang tepat.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


28

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri

manusia yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit

keturunan seperti diabetes melitus dan asma bronehial. Faktor

genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses

pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang

telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.

Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan,

derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas

dan berhentinya pertumbuhan tulang (Roudhotun Nasikhah, 2012)

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik,

dan merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan

dengan kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang pendek,

baik salah satu maupun keduanya, lebih berisiko untuk tumbuh

pendek dibanding anak dengan orang tua yang tinggi badannya

normal. Tinggi badan ibu merupakan faktor yang paling

berpengaruh terhadap kurang gizi. Ibu pada kelompok umur yang

paling tinggi memiliki anak dengan resiko kejadian stunting adalah

ibu dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dan laki-laki kurang

dari 155 cm. (Supariasa, 2012).

3) Makanan Pendamping ASI tidak Adekuat

Elemen ini termasuk makanan berkualitas buruk, praktik

pemberian makan yang tidak memadai, dan keamanan makanan

dan air. Subelemen makanan berkualitas buruk meliputi kualitas

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


29

mikronutrien yang buruk, keragaman makanan yang rendah dan

asupan makanan sumber hewani, kandungan antinutrisi, dan

rendahnya kandungan energi dari makanan pendamping.

Subelemen praktik pemberian makan yang tidak memadai meliputi

pemberian makan yang jarang, pemberian makan yang tidak

memadai selama dan setelah sakit, konsistensi makanan yang tipis,

pemberian makan dalam jumlah yang tidak mencukupi, dan

pemberian makan yang tidak responsif. Subelemen keamanan

makanan dan air termasuk makanan dan air yang terkontaminasi,

praktik kebersihan yang buruk, dan penyimpanan dan persiapan

makanan yang tidak aman. Penelitian tentang makanan

pendamping ASI di Indonesia hampir secara eksklusif berfokus

pada makanan berkualitas buruk (termasuk intervensi suplementasi

dan fortifikasi), kecuali satu penelitian tentang air yang

terkontaminasi dan satu penelitian yang bersifat periferal.

mengatasi pemberian makan yang jarang (Beal et al., 2018).

4) Pemberian ASI Tidak Eksklusif

ASI eksklusif adalah pemberian air susu ibu saja kepada bayi

selama enam bulan pertama kehidupan bayi tanpa memberikan

makanan atau cairan lain, kecuali vitamin, mineral, dan obat yang

telah diizinkan. Asupan makanan yang tepat bagi bayi dan anak

usia dini (0-24 bulan) adalah Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. ASI

Eksklusif yaitu pemberian ASI saja segera setelah lahir sampai usia

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


30

6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Pemberian ASI

Eksklusif selama 6 bulan pertama dapat menghasilkan

pertumbuhan tinggi badan yang optimal. Setelah usia 6 bulan

selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

(Setiawan et al., 2018)

ASI eksklusif bukan hanya salah satu faktor yang berkontribusi

pada kejadian stunting pada anak, tetapi pemberian MP-ASI juga

yang optimal harus diperhatikan. Perbaikan status gizi anak sejak

masa prekonsepsi dan selama kehamilan, dan status ekonomi juga

dapat menurunkan kejadian stunting pada anak (Gunawan, 2015).

Status gizi balita yang buruk merupakan dampak dari tingginya

jumlah balita yang tidak diberikan ASI eksklusif (Karthigeshu et

al., 2017).

5) Infeksi

Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik

seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh

infeksi pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan

akibat serangan infeksi, dan inflamasi. Penyakit infeksi akan

berdampak pada gangguan masalah gizi. Infeksi klinis

menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan,

sedangkan anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki

peluang mengalami stunting (Kementerian PPN/ Bappenas, 2018).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


31

Selain infeksi, faktor imunisasi berperan dalam mencegah stunting.

Menurut penelitian Milman et al., (2015), menjelaskan bahwa

koefisien regresi untuk angka imunisasi awal adalah negatif,

artinya semakin tinggi angka imunisasi awal berhubungan dengan

semakin membaiknya stunting. Hal ini menjelaskan bahwa

imunisasi dapat melindungi bayi dari infeksi terutama pada

imunisasi dasar sehingga dapat mencegah kejadian stunting.

b. Faktor Penyebab Tidak Langsung

a. Politik Dan Ekonomi

Pendapatan keluarga terutama yang berhubungan dengan masalah

ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan

terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek.

Pendapatan dari hasil bekerja yang rendah akan mempengaruhi

pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya

menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada

bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti

sumber protein, vitamin, dan mineral, sehingga meningkatkan

risiko kurang gizi (Picauly I, 2013)

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas

dan kuantitas makanan, antara pendapatan dan gizi sangat erat

kaitannya dalam pemenuhan makanan kebutuhan hidup keluarga,

makin tinggi daya beli keluarga makin banyak makanan yang

dikonsumsi dan semakin baik pula kualitas makanan yang

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


32

dikonsumsi. Disini terlihat jelas bahwa pendapatan rendah akan

menghalangi perbaikan gizi dan menimbulkan kekurangan gizi

(Nadhiroh, Siti Rahayu; Ni’mah, 2010)

Berdasarkan hasil penelitian Amalia (Miftakhul Rochmah, 2017)

yang menyatakan bahwa status ekonomi terbukti memiliki

hubungan dengan stunting yang memiliki status ekonomi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa status ekonomi akan

mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsi sehingga

biasanya menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama

pada bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti

sumber protein, vitamin dan mineral, sehingga meningkatkan

risiko kurang gizi. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab

terjadinya stunting.

Keadaan ekonomi keluarga dapat ditinjau dari pendapatan

seseorang yang akan memberikan dampak kearah yang baik atau

kearah yang buruk, keadaan ekonomi akan berpengaruh terhadap

penyediaan gizi yang cukup, dimana kurangnya pendapatan akan

menghambat aktivitas baik yang bersifat materialistik maupun non

materialistik. Disamping kebutuhan akan sandang, pangan dan

perumahan.

Kemiskinan adalah keadaan sebuah keluarga yang tidak sanggup

memelihara dirinya dan keluarganya dengan taraf kehidupan, dan

juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


33

untuk memenuhi kebutuhannya. Keluarga miskin yang memiliki

anak balita tidak dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan

perkembangannya, dimana anak mengalami penyimpangan dari

pertumbuhan dan perkembangan normal (Almatsier, 2012)

Dalam kajian yang dilakukan oleh (Apriluana & Fikawati, 2018)

dimalaysia menyatakan Faktor pendapatan rumah tangga yang

rendah diidentifikasi sebagai predictor signifikan untuk stunting

pada balita sebesar 2,1 kali sedangkan di Indonesia, balita dengan

pendapatan keluarga rendah memiliki risiko mengalami stunting

sebesar 2,30 kali. dibandingkan dengan keluarga yang

berpenghasilan yang cukup. di negara yang berpendapatan

rendah mayoritas pengeluaran pangan digunakan untuk membeli

serealia, sedangkan di negara yang memiliki pendapatan perkapita

tinggi pengeluaran untuk membeli bahan pangan protein

meningkat.

b. Pelayanan Kesehatan

Sistem pelayanan kesehatan mendasari beberapa faktor penyebab

dalam jalur pertumbuhan dan perkembangan anak, dan juga

bertanggung jawab untuk menyaring dan mengidentifikasi

pertumbuhan dan perkembangan yang tidak memadai. Karena

orang tua umumnya mempercayai pendidikan yang diberikan oleh

profesional kesehatan mengenai perawatan dan pemberian makan

anak-anak mereka, layanan pencegahan dan pengobatan dapat

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


34

menyatu untuk memastikan pertumbuhan dan perkembangan yang

sehat (Stewart et al., 2013).

c. Pendidikan

Tinggi badan berhubungan dengan pendidikan orang tua. Anak-

anak yang kurang beruntung secara sosial dan budaya

menunjukkan kepercayaan diri yang lebih rendah, dan menganggap

peran sosial ayah mereka sebagai inferior, harus ditolak karena

konsep budaya kita tampak tidak pantas ketika menguji anak-anak

sekolah di Timor Indonesia. Stunting bukan sinonim dari gizi

buruk, stunting adalah sinonim dari keterbelakangan sosial dan

pendidikan orang tua yang buruk (Scheffler et al., 2021).

Menurut (Delmi, 2012), pendidikan ibu yang rendah dapat

mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga

berpengaruh dalam pemilihan dan cara penyajian makanan yang

akan dikonsumsi oleh anaknya. Penyediaan bahan dan menu

makan yang tepat untuk balita dalam upaya peningkatan status gizi

akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat pengetahuan gizi

yang baik. Ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit

menyerap informasi gizi sehingga anak dapat berisiko mengalami

stunting.

d. Sosial dan Budaya

Anak-anak yang kurang beruntung secara sosial, budaya, politik

dan emosional lebih pendek daripada anak-anak dari latar belakang

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


35

kaya. Kondisi stunting tidak terkait dengan tanda-tanda klinis

malnutrisi, atau dengan kurus, atau dengan keterlambatan

perkembangan fisik. Cukup kontras, hubungan antara tinggi badan

dan indikator antropometrik keadaan gizi (Scheffler et al., 2021).

e. Pertanian

Anak-anak yang terhambat secara signifikan lebih tua, lebih kurus

dan lebih kecil dari yang tidak pendek pada daerah pertanian.

Mereka juga milik keluarga yang memiliki sawah yang jauh lebih

kecil dan menghasilkan beras semata-mata atau sebagian besar

untuk konsumsi sendiri sebagai dibandingkan dengan kelompok

tidak stunting. Tidak ada perbedaan yang signifikan ditemukan

antara anak stunting dan tidak stunting dengan memperhatikan

faktor budidaya dan produksi ternak di rumah tangga. Keragaman

pertanian yang dinilai dalam penelitian ini tidak terkait secara

langsung dengan stunting pada anak-anak karena keunggulan

budidaya padi dalam pengalaman petani, dukungan pemerintah,

potensi pasar dan pemanfaatannya (Purwestri et al., 2017).

C. Riwayat BBLR

1. Pengertian

Definisi BBLR dapat dikemukakan dari beberapa teori yaitu:

a. Menurut Syaifuddin (2014) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah

bayi yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai

dengan 2.499 gram).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


36

b. Menurut Maryunani (2013) Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah

bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa

memperhatikan usia kehamilan.

c. Menurut WHO (1961) juga mengganti istilah prematur (Lahir kurang

dari usia gestasi 37 minggu) dengan BBLR karena disadari tidak semua

bayi kurang 2.500 gram lahir pada kondisi prematur.

d. Menurut Lowdermilk (2013) kelahiran BBLR menggambarkan kondisi

lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram. Kelahiran BBLR dapat

terjadi pada kondisi prematur, namun tidak selalu prematur. Kondisi

bayi BBLR karena prematur lebih berisiko kematian bila dibandingkan

kondisi BBLR yang lahir aterm.

2. Klasifikasi BBLR

Bayi berat lahir kuang dari 2500 gram diklasifikasikan menjadi:

a. BBLR yaitu, berat lebih dari 1500 gram sampai dengan kurang dari

2500 gram.

b. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low birth weight

(VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari

1500 gram.

c. Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) atau extremely low

birth weight (ELBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir

kurang dari 1000 gram (Maryunani, 2013).

3. Komplikasi BBLR

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


37

Menurut Walyani (2015), Kejadian BBLR mempunyai dampak bagi

kesehatan bayi yang terbagi menjadi 2 yaitu :

a. Dampak Jangka Pendek

1) Hipotermia, hipoglikemia, dan hiperglikemia

2) Masalah pemberian ASI

3) Gangguan imunologik

4) Ikterus

5) Sindroma gangguan pernafasan, meliputi penyakit membran

hialin, dan aspirasi meconium

6) Asfiksia dan apnea periodik

7) Retrolental fibroplasia disebabkan oleh gangguan oksigen yang

berlebihan

8) Masalah pembuluh darah pada bayi prematur masih rapuh dan

mudah pecah, pemberian oksigen belum mampu diatur sehingga

mempermudah terjadinya perdarahan dan nekrosis, serta

perdarahan dalam otak memperburuk keadaan sehingga dapat

menyebabkan kematian bayi

b. Dampak Jangka Panjang

1) Bayi akan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan

2) Kemampuan berbicara dan berkomunikasi menjadi terganggu

3) Gangguan neurologis dan kognisi.

BBLR dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang,

karena dapat memperlambat pertumbuhan dan perkembangan anak,

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


38

sehingga berpengaruh terhadap penurunan kecerdasan. BBLR

cenderung mengalami perkembangan kognitif yang lambat,

kelemahan syaraf dan mempunyai performa yang buruk pada proses

pendidikannya (Pramono, 2011). BBLR bukan hanya prediktor utama

dari mortalitas prenatal dan morbiditas, tetapi penelitian terbaru

menemukan bahwa BBLR juga meningkatkan risiko penyakit tidak

menular seperti diabetes dan kardiovaskular penyakit di kemudian

hari (Gogoi, 2018).

4. Dampak BBLR Pada Stunting

Bayi dengan BBLR akan mengalami gangguan pertumbuhan karena risiko

komplikasi pada masa kelahirannya. Hasil kajian penelitian menjelaskan

anak-anak dengan riwayat BBLR mengalami risiko stunting 20%.

Penelitian menunjukkan bahwa bayi BBLR memiiki cadangan gizi mikro

untuk pertumbuhan yang rendah seperti vitamin A, seng, dan zat besi.

Oleh karena itu, mereka bergantung pada ASI untuk menutupi

kekurangan gizi.

Bayi yang mengalami BBLR akan mengalami gangguan pertumbuhan

sejak pertama kali kehidupannya. Stunting pada anak-anak, khususnya

dalam 2 tahun pertama kehidupan memiliki efek jangka panjang yaitu

pendapatan, pencapaian sekolah hingga penyakit kronis (Scheffler et al.,

2021).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


39

D. Pendidikan

1. Pengertian

Tingkat pendidikan ibu menggambarkan pengetahuan tentang kesehatan.

Seseorang yang memiliki pendidikan tinggi mempunyai kemungkinan

pengetahuan tentang kesehatan juga tinggi, karena makin mudah

memperoleh informasi yang didapatkan tentang kesehatan lebih banyak

dibandingkan dengan yang bependidikan rendah. Sebaliknya pendidikan

yang kurang dapat menghambat perkembangan seseorang (Notoatmodjo S,

2014).

2. Jenjang Pendidikan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2010.

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur yang terdiri

atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi yaitu:

a. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan

formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang

diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan

Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu

kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang

berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah,

atau bentuk lain yang sederajat

b. Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan

formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


40

Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan

Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan

formal setelah pendidikan menengah yang dapat berupa program

pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor, yang

diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

3. Dampak Pendidikan Terhadap Status Gizi Balita

Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki status gizi balita baik yaitu 73,2

persen. Sedangkan ibu yang berpendidikan rendah akan 3 kali lebih

beresiko untuk mempunyai balita dengan status gizi kurang dibandingkan

dengan ibu yang berpendidikan tinggi terhadap status gizi balita

(Nurmaliza, 2019).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah

diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk

mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam

hal kesehatan dan gizi. Dengan demikian, pendidikan ibu yang relatif

rendah juga akan berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam

menangani masalah kurang gizi pada anak balitanya (Putri et al., 2017).

Menurut penelitian Ni’mah & Muniroh (2015), menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, dan pola asuh ibu tidak

berkontribusi terhadap terjadinya wasting dan stunting pada balita

keluarga miskin di Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


41

ibu merupakan hal dasar bagi tercapainya gizi balita yang baik. Tingkat

pendidikan ibu tersebut terkait dengan kemudahan ibu dalam menerima

informasi tentang gizi dan kesehatan dari luar. Ibu dengan tingkat

pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menerima informasi dari

luar, dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan lebih

rendah.

Berbeda dengan penelitian Wanimbo & Wartiningsih (2020), yang

menyatakan bahwa Hal ini dikarenakan pendidikan ibu tidak menjamin

pengetahuan yang lebih terkait dengan gizi. Dari hasil pengamatan secara

langsung, pada ibu yang berpendidikan rendah lebih cenderung tidak

bekerja sehingga memiliki waktu di pagi hari untuk datang ke posyandu

setiap hari guna mendapatkan makanan tambahan dan mendapatkan

penyuluhan gizi dan kesehatan. Hal ini terlihat dari tingkat kehadiran ibu

di posyandu setiap harinya yang terdapat di daftar hadir di Posyandu.

E. Riwayat ASI Eksklusif

1. Pengertian

ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI selama 6 bulan. Tanpa

tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air

putih serta tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu,

biskuit, bubur nasi, dan nasi tim, kecuali vitamin, mineral tetes, dan obat

(Roesli, 2013). United Nation Childrens Found (UNICEF) dan World

Health Organization (WHO) menyatakan untuk memberikan ASI

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


42

eksklusif kepada bayi selama 6 bulan pertama sampai bayi berusia 2

tahun(WHO, 2017a).

Sejalan dengan World Health Organization (WHO) melalui Kemenkes RI

No. 450/MENKES/2004 dan PP No. 33 tahun 2012. Mengenai pemberian

ASI eksklusif telah menetapkan dalam pemenuhan hak bayi untuk

mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan

pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) untuk mencukupi nutrisi

bayi hingga bayi berusia 2 tahun dengan memperhatikan pertumbuhan dan

perkembangannya (Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012, 2012).

2. Manfaat ASI eksklusif

a. Manfaat Bagi Bayi

ASI dapat meningkatkan kecerdasan bayi karena didalam ASI terdapat

lemak yang mengandung Omega-6, Omega-3, DHA, AA, Tuarin, dan

Lactosa yang berfungsi untuk pematangan sel-sel otak dan

pertumbuhan otak (Walyani, 2015). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Siagian & Herlina, (2018) didapatkan hasil bahwa ibu

yang memberikan ASI eksklusif mempunyai perkembangan bayi

normal sebanyak 73,9%. Sedangkan Ibu yang tidak memberikan ASI

eksklusif mempunyai perkembangan bayi normal sebanyak 35,1%.

Artinya ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif lebih beresiko 5,23

kali mempunyai perkembangan bayi yang terhambat dibandingkan

dengan ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


43

Hasil penelitian Krawczyk et al., (2016) menunjukkan bahwa ada

manfaat yang signifikan dalam pencegahan diare rotavirus di antara

anak-anak dengan mempraktikkan pemberian ASI eksklusif selama 6

bulan pertama kehidupan. Dengan demikian, penelitian ini

memberikan alasan selanjutnya untuk mempromosikan praktik

pemberian ASI eksklusif di kalangan para ibu. Didukung oleh

penelitian Bhatia, Shamir, dan Vandenplas (2016) ASI dianggap

sebagai standar emas untuk makan bayi. Pemberian ASI eksklusif

berperan penting dalam perkembangan saraf, pencegahan infeksi,

obesitas dan alergi.

b. Manfaat Bagi Ibu

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Angriani &

Sudaryati, (2018) didapatkan hasil bahwa ibu yang memiliki frekuensi

menyusui yang baik memiliki peluang 2,438 kali untuk memiliki

produksi ASI yang lancar dibandingkan dengan ibu yang memiliki

frekuensi menyusui yang kurang baik.

Hasil penelitian Lausi et al., (2016) menunjukkan bahwa 27 ibu yang

menggunakan KB MAL (Metode Amenorea Laktasi) keseluruhan

merupakan ibu yang memberikan ASI eksklusif. Metode tersebut

dapat menambah panjang kembalinya kesuburan pasca persalinan

sehingga dapat menunda kehamilan berikutnya atau dapat berperan

juga sebagai KB alami. Sejalan oleh penelitian Qonitun dan Novitasari

(2018) didapatkan hasil bahwa kontraksi uterus dari ibu yang

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


44

melakukan IMD hampir seluruhnya normal dan dapat mempercepat

menghentikan perdarahan pasca persalinan serta mempercepat proses

involusi uteri.

3. Dampak ASI Eksklusif Pada Gizi Balita

ASI eksklusif bukan hanya salah satu faktor yang berkontribusi pada

kejadian stunting pada anak, tetapi pemberian MP-ASI juga yang optimal

harus diperhatikan. Perbaikan status gizi anak sejak masa prekonsepsi dan

selama kehamilan, dan status ekonomi juga dapat menurunkan kejadian

stunting pada anak (Gunawan, 2015). Status gizi balita yang buruk

merupakan dampak dari tingginya jumlah balita yang tidak diberikan ASI

eksklusif (Karthigeshu et al., 2017)

F. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah ringkasan dari tinjauan pustaka yang digunakan untuk

mengientifikasi variabel-variabel yangakan diteliti (diamati) yang berkaitan

dengan konteks ilmu pengetahuan yang digunakan untuk mengembangkan

kerangka konep penelitian (Notoatmodjo, 2018).

Gambar 2.1
Kerangka Teori

Tumbuh

Balita
Masalah Pada Balita:
Diare
ISPA
Berkembang Kejang Demam
Pneumonia
Stunting

Faktor terjadinya stunting:


Faktor Langsung
Faktor rumah tangga
Faktor Ibu
Fakultas
(kurang asupan nutrisi, ibu pendek,Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
kehamilan remaja,
BBLR dan premature, jarak kehamilan pendek)
MP ASI tidak adekuat
makanan dan air terkontaminasi)
ASI tidak Eksklusif
Infeksi
Faktor Tidak Langsung
Politik dan ekonomi
Pelayanan kesehatan
Pendidikan 45
Stunting Pada Balita
Sosial dan budaya
Pertanian

Sumber : (Beal et al., 2018; Yuliastati & Arnis, 2016).

G. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan suatu uraian dan visualisasi hubungan atau

kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau variabel satu

dengan yang lain dari masalah yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2018)

kerangka konsep ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2
Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen

1. Pendidikan Ibu
2. Riwayat BBLR Stunting Pada
3. Riwayat ASI Eksklusif Balita

H. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


46

kalimat pertanyaan (Sugiono, 2017). Hipotesis dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

Ho : Tidak ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada

balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Ha : Ada hubungan pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada balita

di Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Ho : Tidak Ada hubungan riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada

balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Ha : Ada hubungan riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada balita di

Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Ho : Tidak Ada hubungan riwayat ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada balita di Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan

rancangan survey analitik yaitu menguji teori, membangun fakta, menunjukan

hubungan dan pengaruh serta perbandingan antarvariabel, memberikan

deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya (Dharma, 2013). Jenis

pendekatan yang digunakan pada penelitian ini crossectional. Pada desain

crossectional peneliti melakukan analisa hubungan variabel independen tanpa

melakukan suatu perlakuan atau manipulasi terhadap subjek penelitian dan

kedua variable didapatkan dalam waktu yang sama (Pramono, 2018).

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah seseorang atau obyek yang mempunyai variasi antara satu

orang dengan yang lain atau satu obyek dengan obyek lain (D. S.

Notoatmodjo, 2018). Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Independent variable (Variabel Bebas)

Variabel Independen merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel dependen. Variabel ini juga dikenal dengan nama

variabel bebas artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain (D. S.

Notoatmodjo, 2018). Variabel independen dalam penelitian ini adalah

Pendidikan ibu, riwayat BBLR dan Riwayat ASI Eksklusif.

47
Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu
48

2. Dependent variable (Variabel Terikat)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oeh variabel

independen, variabel dependen berubah karena disebabkan oleh perubahan

pada variabel independen (D. S. Notoatmodjo, 2018). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah Stunting pada balita

C. Definisi Operasional

Defenisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati atau

yang diteliti untuk mengarahkan kepada pengukur atau pengamataan terhadap

variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat

ukur (D. S. Notoatmodjo, 2018). Definis operasional dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Table 3.1
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional

Variabel Independen

1 Pendidikan Pendidikan Wawancara Kuesioner 0. Dasar Ordinal


Ibu terakhir yang 1. Menengah
dimiliki ibu 2. Tinggi

2 Riwayat Riwayat berat Wawancara Kuesioner 0. riwayat Nominal


BBLR lahir balita yang BBLR
tercantum di buku 1. Berat Normal
KIA

3 Riwayat ASI Riwayat ibu Wawancara Kuesioner 0. ASI Nominal


eksklusif yang berhasil eksklusif
memberikan 1. Tidak ASI
ASI eksklusif eksklusif
kepada bayinya
selama 6 bulan
tanpa tambahan
makanan atau

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


49

cairan apapun
Variabel Dependen

1 Stunting Pada Hasil Pemeriksa Microtois 0. Normal Ordinal


Balita pengukuran an tinggi t (Z Score
tinggi badan badan dan TB/U>-2)
menurut umur umur 1. Stunting
dengan hasil (Z Score<-
nilai Z Score 2)
(Kementrian
Kesehatan,
2010)

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian (Notoatmodjo, 2016).

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang telah

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan

(Sugiyono, 2017). Populasi penelitian semua balita yang berada di

Wilayah Kerja Puskesmas Pagelaran yaitu 164 balita.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi, bila populasi besar maka peneliti tidak mungkin mempelajari

semua yang ada pada populasi (Sugiono, 2017). Dalam peneitian ini

menggunakan teknik mendapatkan sampel adalah dengan cara consecutive

sampling yaitu artinya sampel yang diambil adalah seluruh subjek yang

diamati dan memenuhi kriteria pemilihan sampel yang kemudian

dimasukkan dalam sampel sampai besar sampel yang diperlukan

terpenuhi. Sampel diambil dengan cara memasukkan seluruh populasi

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


50

yang memenuhi kriteria inklusi dan mengeluarkan sampel yang termasuk

kriteria eksklusi. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria diambil datanya

dalam kurun waktu penelitian hingga besar sampel yang diinginkan

terpenuhi. Pengambilan sampel dimulai dari melihat data sampel yang

memenuhi kriteria inklusi pada register(Dharma, 2013). Dalam penelitian

ini perhitungan besar sampel menggunakan rumus besar sampel dari Dahlan

(2014):

a. Adapun kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah,

Z 1−α
sehingga Z1−∝/ 2 =1,96
2

b. Adapun kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 80%, maka Z1−¿ β ¿ =0,84

c. Proporsi kasus
Tabel 3.1 Proporsi Kasus Perhitungan Besar Sampel
Variabel P1 P2 N Penelitian
Riwayat BBLR 0,24 0,68 25 (Sari & Sulistianingsih,
2018)
Pendidikan ibu 0,60 0,40 96,81 (Ni’mah & Muniroh, 2015)
Riwayat ASI 0,29 0,77 12 (Sulistianingsih & Sari,
Ekslusif 2018)

Pada penelitian ini yang dicontohkan perhitungannya adalah proporsi


kasus stunting pada anak:
P1 : Proporsi kasus Stunting pada anak yang tidak berisiko (ekonomi
baik) = 0,6
P2 : Proporsi kasus Stunting pada anak yang berisiko (ekonomi baik) =
0,4
1) Rumus Besar Sampel

N=¿ ¿ ¿ ¿

N= 96,81 orang

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


51

Berdasarkan penelitian diatas didapatkan jumlah perhitungan sampel

yang paling besar adalah 97 orang. Ditambah 10% kemungkinan

dropout sehingga total sampel adalah 107 orang. (Dahlan, 2017).

2) Kriteria Sampel

a) Kriteria Inklusi

Inklusi adalah subjek penelitian dapat mewakili sampel

penelitian yang memenuhi syarat kriteria (Oktavia, 2015).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

(1) Ibu dan balita (2-5 tahun) yang berkunjung ke posyandu di


wilayah kerja Puskesmas Pringsewu Lampung
(2) Ibu yang bersedia menjadi responden

b) Kriteria Ekslusi

Ekslusi adalah subjek penelitian yang tidak dapat mewakili

sampel penelitian dan tidak memenuhi syarat kriteria (Oktavia,

2015). Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :

(1) Balita yang cacat bawaan

(2) Balita yang sedang sakit

E. Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat dan waktu penelitian adalah lokasi serta waktu tertentu yang dipilih

oleh peneliti untuk objek dan subjek dalam penelitian.

1. Tempat

Tempat penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pagelaran

Pringsewu.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


52

2. Waktu

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juni tahun 2022.

F. Etika Penelitian

Etika penelitian adalah adalah prinsip-pinsip etis yang ditetapkan dalam

kegiatan penelitian, dari proposal penelitian sampai dengan publikasi hasil

penelitian (Notoatmodjo, 2018). Etika penelitian yang baik yaitu hak obyek

penelitian dan yang lainnya harus dilindungi (Nursalam, 2016).

1. Informed Consent (Lembar Persetujuan Penelitian)

Lembar persetujuan diberikan kepada orang tua responden yang diteliti.

Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang berisi perlakuan

yang akan diterapkan pada subjek, manfaat ikut sebagai subjek penelitian,

masalah etik yang mungkin akan dihadapi subjek penelitian; bahaya yang

akan timbul, kesukarelaan subjek penelitian, aspek integritas, jaminan

kerahasiaan data, serta insentif ganti rugi. Apabila responden menolak,

maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.

2. Anonymity (Tanpa Nama) dan Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan identitasresponden dijaga oleh peneliti. Peneliti tidak

mencantumkan nama pada data demografi maupun kuesioner. Data

tersebut hanya diberi kode nomer tertentu dan tidak mempublikasikan

nama responden. Kerahasiaan informasi responden penelitian dijamin oleh

peneliti. Data yang disajikan hanya data demografi dan hasil pre-post test

pengetahuan.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


53

3. Asas Kejujuran (Veracity) dan Asas Menepati Janji (Fidelity)

Penelitian akan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada

responden saat penelitian. Peneliti akan memberikan lembar penjelasan

penelitian kepda calon responden agar calon responden dapat memahami

proses penelitian secara jelas

4. Otonomi (Autonomy)

Responden memiliki hak dalam menentukan pilihan jawaban tanpa adanya

tekanan dari pihak manapun. Peneliti memberikan kebebasan kepada

responden dalam menjawab dan hanya akan memberikan penjelasan jika

ada pertanyaan yang kurang dipahami oleh calon responden.

5. Asas keadilan (Justice)

Penetapan subjek dalam penelitian ini berdasarkan pada kriteria yang

dimiliki peneliti. Seluruh responden akan diperlakukan sama dan adil

dimulai dari penjelasan awal sebelum menjdi responden hingga selesai

melakukan pengisian kuesioner

G. Instrumen Penelitian dan Metode Pengambilan Data

1. Instrumen Penelitian

Instrumen Penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan

data-data (Notoatmodjo, 2018). Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan lembar kuesioner berisi pertanyaan tentang

stuntimg pada balita.

a. Pada karakteristik, Instrumen menggunakan kuesioner usia balita dan

pekerjaan orang tua

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


54

b. Pada kuesioner : pendidikan ibu, riwayat BBLR dan riwayat ASI

eksklusif menggunakan kuesoner dan wawancara serta buku KIA

c. Pada informasi stunting menggunakan alat microtoist untuk tinggi

badan dan buku KIA untuk umur balita.

2. Metode Pengambilan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan

proses pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu

penelitian (Nursalam, 2016). Pengumpulan data ini dengan jenis data

primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran langsung pada subyek

sebagai sumber informasi yang dicari (Notoatmodjo, 2018). Sebelum

pengambilan data, peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud

tujuan yang akan dilakukan selanjutnya peneliti mengklarifikasi terlebih

dahulu calon responden apakah sudah pernah menjadi responden dalam

penelitian ini sebelumnya dan menyesuaikan dengan identitas responden.

Data primer didapatkan untuk mengetahui kejadian stunting pada balita,

pendidikan ibu, riwayat BBLR dan riwayat ASI Eksklusif. Data sekunder

diperoleh melalui buku KIA untuk mengkonfirmasi umur responden.

H. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara komputerisasi dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


55

a. Editing

Yaitu dengan mengumpulkan data subjek penelitian yang telah mengisi

data dan memeriksa kembali kebenaran dan kelengkapan data. Proses

editing pada penelitian ini, peneliti merubah nama subjek penelitian

menjadi inisial responden. Kemudian, peneliti melihat response data yang

diisi apakah sudah lengkap atau belum, bila belum lengkap maka peneliti

mengembalikan kepada subjek penelitian untuk tambahkan data yang

belum lengkap dan dilengkapi datanya.

b. Coding

Coding merupakan pemberian kode pada tiap item data pernyataan di

lembar observasi. Pemberian kode dimaksudkan untuk mempermudah

dalam pengolahan data. Setelah dipastikan kelengkapan data setiap

variabel independen (pendidikan ibu, riwayat BBLR dan riwayat ASI

eksklusif) dan variabel dependen (kejadian stunting), kemudian dikoding

sesuai definisi operasional. Proses koding dilakukan sesuai dengan definisi

operasional.

1) Pada variabel stunting. Hasil TB/U yang <-2 kemudian peneliti

mendiagnosisnya sebagai stunting yang kemudian di koding (0),

sedangkan yang >-2 kemudian peneliti mendiagnosisnya normal yang

kemudian dikoding (1).

2) Pada variabel pendidikan ibu , responden yang memiliki Dasar, maka di

koding (0), pendidikan menengah dikoding (1), sedangkan pada

pendidikan tinggi dikoding (2).

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


56

3) Pada variable riwayat BBLR, responden yang memiliki riwayat BBLR

di koding (0), sedangkan yang berat lahir normal di koding (1).

4) Pada variabel riwayat ASI eksklusif, responden yang tidak memiliki

riwayat ASI eksklusif di koding (0), sedangkan pada responden yang

memiliki riwayat ASI eksklusif di koding (1).

c. Entri Data

Merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam

tabel atau database komputer. Peneliti menggunakan program excel untuk

memasukkan semua variabel penelitian ke dalam komputer. Yaitu variabel

stunting, pendidikan ibu, riwayat ASI eksklusif, dan diwayat BBLR)

d. Tabulating

Dari data mentah dilakukan penyesuaian data serta dilakukan

pengelompokkan data agar mudah disusun untuk dianalisa dan disajikan.

Setelah data dimasukkan ke program excel kemudian dilakukan

pembuatan tabel melalui program excel kemudian di masukkan ke dalam

program SPSS untuk bisa dianalisis.

e. Cleaning

Pada langkah ini data yang telah dimasukkan diperiksa kembali untuk

memastikan data tersebut telah benar. Peneliti melakukan data cleaning

pada variabel yang terdapat missing,

f. Analyzing

Peneliti kemudian melakukan analisis univariat dengan distribusi frekuensi

dan analisis bivariat dengan chi square..

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


57

I. Analisa Data

Analisa data merupakan upaya atau cara untuk pengolahan data menjadi

sebuah informasi sehingga hasil dari karakteristik data dapat dipahami oleh

peneliti (Notoatmodjo, 2018). Analisa data yang digunakan dalam penelitian

adalah :

1. Analisis Univariat

Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (S. Notoatmodjo, 2014). Analisis

univariat dalam penelitian ini dalam bentuk distribusi frekuensi dan

presentase dari tiap variabel.

2. Analisis Bivariat

Analisa ini dilakukan untuk mengetahui hubungan social ekonomi, riwayat

ASI eksklusif, dan penyakit Infeksi dengan kejadian stunting di Wilayah

Kerja Puskesmas Pringsewu. Dalam menganalisa data secara bivariat

dilakukan uji menggunakan chi square dengan menggunakan program

computer SPSS for windows. Taraf signifikan yang digunakan adalah 95%

dengan nilai kemaknaan 5%.

J. Jalannya Penelitian

Penelitian merupakan urutan karya atau langkah-langkah yang dilakukan

selama penelitian dari awal hingga penelitian berakhir. Jalannya penelitian

yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya adalah sebagai berikut :

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


58

1. Tahap Persiapan

Persiapan merupakan rancangan yang berfungsi sebagai kerangka awal

dalam penelitian ini. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu :

a. Mengajukan judul penelitian kepada pembimbing I dan di Acc dengan

insitusi program studi prodi S1 Keperawatan Fakultas Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

b. Mengajukan surat permohonan izin prasurvey penelitian pada insitusi

program studi prodi S1 Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Pringsewu Lampung.

c. Menyerahkan surat permohonan izin prasurvey penelitian yang

diperoleh dari insitusi pendidikan ke tempat penelitian yaitu di

Puskesmas Pagelaran Kabupaten Pringsewu.

d. Membuat proposal penelitian bab 1, bab 2, bab 3, dan disahkan oleh

pembimbing I dan pembimbing II melalui seminar peroposal.

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah tahap persiapan dilakukan secara tuntas, maka tahap selanjutnya

yang harus dilakukan adalah tahap pelaksanaan. Pada tahap ini

kemampuan peneliti benar-benar diuji untuk dapat membuktikan atau

menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam masalah

yang telah dirumuskan (Widi,2018).

a. Memberikan penjelasan bahwa peneliti akan melakukan penelitian di

Puskesmas Pagelaran

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


59

b. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dan meminta kepada

responden untuk bersedia menjadi responden

c. Responden yang bersedia kemudian menandatangani lembar informed

consent

d. Setelah responden setuju untuk mengikuti penelitian, peneliti

melakukan kontrak waktu kepada responden untuk dilakukan

penelitian

e. Peneliti memberikan lembar pernyataan kuesioner untuk diisi oleh

responden dengan membubuhkan tanda checklist pada jawaban

pernyataan yang sebenar-benarnya dan didampingi oleh peneliti

f. Peneliti memvalidasi ulang kepada responden tentang pernyataan –

pernyataan yang telah diisi

g. Peneliti akan mengumpulkan data yang didapatkan dari responden dan

melakukan pengolahan data melalui :

1) Penyuntingan data (Editing)

2) Memberi kode (Coding)

3) Memasukan data (Entry)

4) Mengecek kembali data (Cleaning)

h. Pembahasan hasil penelitian

i. Proses bimbingan dan persiapan sidang hasil.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


PUSTAKA

Ali, Z., Saaka, M., Adams, A., Kamwininaang, S. K., & Abizari, A. (2017). The
effect of maternal and child factors on stunting , wasting and underweight
among preschool children in Northern Ghana. 1–13.
https://doi.org/10.1186/s40795-017-0154-2
Angriani, R., & Sudaryati, E. (2018). Hubungan frekuensi menyusui dengan
kelancaran produksi ASI ibu post partum di Wilayah Kerja Puskesmas
Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh tahun 2017. Jurnal
Muara Sains, Teknologi, Kedokteran, Dan Ilmu Kesehatan, 2(1), 299–304.
Anindita, P. (2012). Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga,
Kecukupan Protein & Zinc Dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6 –
35 Bulan Di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 1(2), 1–10.
Beal, T., Tumilowicz, A., & Neufeld, L. M. (2018). A review of child stunting
determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition, 14(October 2017),
1–10. https://doi.org/10.1111/mcn.12617
Dahlan, S. (2017). Pintu Gerbang Memahami Epidemiologi, Biostatistik dan
Metode Penelitian. Epidemiologi Indonesia.
Delmi, S. (2012). Faktor Determinan Kejadian Stunting pada Anak Usia Sekolah
Di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padan. Majalah Kedokteran Andalas,
36.
Dewey, K. G. (2016). Review article reducing stunting by improving maternal ,
infant and young child nutrition in regions such as south asia : evidence ,
challenges and opportunities. Maternal and Child Nutrition, 12, 27–38.
https://doi.org/10.1111/mcn.12282
Dharma, K. K. (2013). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta Timur: Trans
Info Jakarta.
Dinkes Lampung. (2020). Profil Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2019.
Dwiwardani, R. L. (2017). Analisis faktor pola pemberian makan pada balita
stunting berdasarkan teori transcultural nursing. Universitas Airlangga.
Esfarjani, F., Roustaee, R., Mohammadi, F., & Esmaillzadeh, A. (2013).
Determinants of stunting in school - aged children of Tehran , Iran.
International Journal of Preventive Medicine, 4(2), 173–180.
Gunawan, I. M. A. (2015). Pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan dengan
stunting pada anak usia 6 – 23 bulan di Indonesia. JURNAL GIZI DAN
DIETETIK INDONESIA, 3(1), 162–174.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


Juliati, S. (n.d.). Pengetahuan dan praktik ibu dalam menyediakan makanan gizi
seimbang untuk anak usia 1-5 tahun di Desa Sendang Soko Jakenan Pati.
Karthigesu, K., Sandrasegarampillai, V., & Arasaratnam. (2017). Breastfeeding
practices and nutritional status of children aged one to five years in Jaffna
District, Sri Lanka. Indian Journal of Nutrition and Dietetics, 2(54), 173.
Kemenkes RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. KEMENTERIAN KESEHATAN
RI.
Kemenkes RI. (2018a). Riset Kesehatan Dasar.
Kemenkes RI. (2018b). Situasi balita pendek (stunting) di Indonesia. In Buletin
Jendela Data dan Informasi Kesehatan (Vol. 1).
Kemenkes RI. (2018). Buletin Stunting. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 301(5), 1163–1178.
Kemenkes RI. (2020). Peraturan Mentei Kesehatan Republik Indonesia No 2
Tahun 2020 (Issue 3). Kemenkes RI.
Kementerian PPN/ Bappenas. (2018). Pedoman Pelaksanaan Intervensi Penurunan
Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Rencana Aksi Nasional Dalam
Rangka Penurunan Stunting: Rembuk Stunting, November, 1–51.
Kementrian Kesehatan. (2010). Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
In Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak (p. 40).
Krawczyk, A., Lewis, M. G., & Venkatesh, B. T. (2016). Effect of exclusive
breastfeeding on rotavirus infection among children. Indian J Pediatr,
August, 1–7. https://doi.org/10.1007/s12098-015-1854-8
Lausi, R. N., Susanti, A. I., Sari, P., & Astuti, S. (2016). Gambaran metode
amenorea laktasi dan cara pemberian asi eksklusif di desa cipacing
kecamatan jatinangor breastfeeding in the Village of Cipacing Jatinangor
District. Jurnal Sistem Kesehatan, 3, 32–37.
MCA Indonesia. (2013). Stunting dan Masa Depan Indonesia. Millennium
Challenge Account - Indonesia, 2010, 2–5.
Milman, A., Frongillo, E. A., Onis, M. De, & Hwang, J. (2015). Differential
improvement among countries in child stunting is associated with long-term
development and specific interventions. J. Nutr, June 2004, 1415–1422.
Monalisa, Ernawati, Sinaga, W., & Abbasiah. (2021). The Effectiveness of
Booklets in Stimulation , Detection and Early Intervention of Growth and
Development ( SDEIGD ) for Health Cadres in Implementing the Growth
and Development Screenings of Toddlers. International Journal of
Multicultural and Multireligious Understanding, 8(9), 45–53.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


Mustika, W., & Syamsul, D. (2018). Analisis permasalahan status gizi kurang
pada balita di Puskesmas Teupah Selatan Kabupaten Simeuleu. Jurnal
Kesehatan Global, 1(3), 127. https://doi.org/10.33085/jkg.v1i3.3952
Napitupulu, D. M. (2018). Hubungan status gizi dengan perkembangan motorik
kasar anak balita 3-5 tahun di Puskesmas Kelurahan Harjosari 1 Kecamatan
Medan Amplas tahun 2018. Hilos Tensados, 1, 1–476.
Ni’mah, C., & Muniroh, L. (2015). Hubungan tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan dan pola asuh ibu dengan. Media Gizi Indonesia, 10(1), 84–90.
Nindyna Puspasari, M. A. (2017). Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan
Asupan Makan Balita dengan Status Gizi Balita (BB/U) Usia 12-24 Bulan.
Amerta Nutrition, 1(4), 369–378.
https://doi.org/10.20473/amnt.v1.i4.2017.369-378
Nisa, L. S., Perkantoran, K., & Provinsi, P. (2018). Kebijakan penanggulangan
stunting di Indonesia. JURNAL Kebijakan Pembangunan, 13(2), 173–179.
Notoatmodjo. (2016). Promosi kesehatan dan perilaku kesehatan.
Notoatmodjo, D. S. (2018). Metodologi penelitian kesehatan. In Rineka Cipta :
Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2014). Metodologi penelitian kesehatan. Rineka Cipta.
Notoatmodjo s. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. In Jakarta :
Rineka Cipta.
Notoatmodjo S. (2014). Promosi Kesehatan dan perilaku kesehatan.
Nurmaliza, S. H. (2019). HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PENDIDIKAN
IBU TERHADAP STATUS GIZI BALITA. Jurnal Kesmas Asclepius, 1,
106–115.
Nursalam. (2016). Metodologi penelitian ilmu keperawatan pendekatan praktis.
Salemba Medika.
Oktavia, N. (2015). Sistematika Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Cv Bumi
Utama.
Pem, D. (2015). Factors Affecting Early Childhood Growth and Development :
Golden 1000 Days Advanced Practices in Nursing. Journal of Advanced
Practices in Nursing, 1(1), 1–4. https://doi.org/10.4172/2573-0347.1000101
peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2012, (2012).
Pramono, G. I. (2018). Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Terhadap
Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil Mengenai Preeklamasi Di Puskesmas
Tlogosari Wetan. Skripsi Universitas Diponegoro.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


Prendergast, A. J., Humphrey, J. H., Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H.
(2014). The stunting syndrome in developing countries The stunting
syndrome in developing countries. Paediatrics and International Child
Health, 9047. https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
Purwestri, R. C., Renz, L., & Wirawan, N. N. (2017). Is agriculture connected
with stunting in Indonesian children living in a rice surplus area ? A case
study in Demak regency , central Java. Food Security.
https://doi.org/10.1007/s12571-016-0634-2
Puspitasari, A. G. (2017). Hubungan pengetahuan ibu tentang pemenuhan gizi
seimbang anak dengan status gizi anak usia 1-3 tahun (toddler) di Posyandu
Desa Ngliliran Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
Putri DS, S. D. (2012). Keadaan Rumah, Kebiasaan Makan, Status Gizi, dan
Status Kesehatan Balita di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Jurnal
Gizi Dan Pangan, 163–168.
Putri, R. M., H, W. R., & Maemunah, N. (2017). Kaitan Pendidikan,Pekerjaan
Orang Tua Dengan Status Gizi Anak Pra Sekolah. Care : Jurnal Ilmiah Ilmu
Kesehatan, 5(2), 231–245.
Rahayu, A., & Khairiyati, L. (2014). Risiko pendidikan ibu terhadap kejadan
stunting… (Rahayu A; dkk). Penel Gizi Makan, 37(Ci), 129–136.
Rahmadhani, E. P., Lubis, G., & Edison. (2016). Hubungan Pemberian ASI
Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 Tahun di
Puskesmas Kuranji Kota Padang Eka. Jurnal Kesehatan Andalas, 2(2), 67.
https://doi.org/10.25077/jka.v2i2.121
RI, K. (2011). Standar antropometri penilaian status gizi anak.
Roesli, U. (2013). Mengenal ASI eksklusif. Trubus Agriwidya.
Sandra, F. (2017). Gizi anak dan remaja. Grafindo.
Sari, R., & Sulistianingsih, A. (2018). Faktor Determinan Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Kabupaten Pesawaran Lampung.
Jurnal Wacana Kesehatan, 2(2), 208–218.
Sastria Ahmad, A., Azis, A., & Fadli. (2021). Analysis of risk factors for the
incidence of stunting in toddlers. Journal of Health Science and Prevention,
5(1), 10–14. https://doi.org/10.29080/jhsp.v5i1.415
Scheffler, C., Hermanussen, M., Deny, S., Soegianto, P., Homalessy, A. V.,
Touw, S. Y., Angi, S. I., Ariyani, Q. S., Suryanto, T., Kathlix, G., Matulessy,
I., Fransiskus, T., Safira, A. V. C., Puteri, M. N., Rahmani, R., Ndaparoka,
D. N., Kurniati, M., Payong, E., Indrajati, Y. D., … Pulungan, A. B. (2021).
Stunting as a synonym of social disadvantage and poor parental education.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


International Journal of Enviromental Research And Public Health, 18, 1–
13.
Setiawan, E., Machmud, R., & Masrul, M. (2018). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di
Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang
Tahun 2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(2), 275.
https://doi.org/10.25077/jka.v7.i2.p275-284.2018
Siagian, D. S., & Herlina, S. (2018). Analisis hubungan pemberian asi eksklusif
dan pendidikan ibu terhadap perkembangan bayi di kota pekanbaru. Jurnal
Kesmas, 1(1), 26–30.
Soetjiningsih. (2012). Tumbuh Kembang Anak. Buku Kedokteran Anak.
Soliman, A., Sanctis, V. De, Alaaraj, N., Ahmed, S., Alyafei, F., Hamed, N., &
Soliman, N. (2021). Early and long-term consequences of nutritional
stunting : from childhood to adulthood. Acta Biomed, 92(4), 1–12.
https://doi.org/10.23750/abm.v92i1.11346
Stewart, C. P., Iannotti, L., Dewey, K. G., Michaelsen, K. F., & Onyango, A. W.
(2013). Original article contextualising complementary feeding in a broader
framework for stunting prevention. 9, 27–45.
https://doi.org/10.1111/mcn.12088
Sugiono. (2017). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Sulistianingsih, A., & Sari, R. (2018). ASI eksklusif dan berat lahir berpengaruh
terhadap stunting pada balita 2-5 tahun di Kabupaten Pesawaran. 15(2).
Supariasa. (2012). Penilaian Status Gizi. EGC.
Supariasa, I. N., Bakri, B., & Fajar, I. (2016). Penilaian Status Gizi. EGC.
Trihono dkk. (2015). Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya.
Lembaga Penerbit Balitbangkes.
Utami, N., Luthfiana, N., Histologi, B., Kedokteran, F., Lampung, U., &
Lampung, U. (2016). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kejadian Diare
pada Anak Factors that InfluenceThe Incidence of Diarrhea in Children. 5,
101–106.
Walyani. (2015). Asuhan Kebidanan Masa Nifas Dan Menyusui. Pustaka Baru
Pres.
Wanimbo, E., & Wartiningsih, M. (2020). Hubungan Karakteristik Ibu Dengan
Kejadian Stunting Baduta (7-24 Bulan). Jurnal Manajemen Kesehatan
Yayasan RS Dr.Soetomo, 6(1), 83–93.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


WHO. (2015). Revised WHO classification and treatment of childhood
pneumonia at health facilities. World Health Organization.
WHO. (2017a). GLOBAL BREASTFEEDING SCORECARD, 2017 Tracking
Progress for Breastfeeding Policies and Programmes. 42(35).
https://doi.org/10.1088/1751-8113/42/35/355001
WHO. (2017b). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA).
Yuliastati, & Arnis, A. (2016). Bahan ajar keperawatan anak. Kemenkes RI Pusat
Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


LAMPIRAN-LAMPIRAN

Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pringsewu


PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth.
Ibu …………………..
Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Evis Azi Framudya
NIM : 142012018059
Adalah mahasiwa jurusan S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Pringsewu Lampung yang akan mengadakan penelitian dengan judul “Faktor-
Faktor Yang Berhubungan Kejadian Stunting Pada Balita di Puskesmas Pagelaran
Tahun 2022”. Tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui hubungan pendidikan
ibu, riwayat BBLR, riwayat ASI eksklusif dan kejadian stunting pada balita di
Puskesmas Pagelaran tahun 2022.

Sehubungan dengan hal tersebut dan dengan kerendahan hati, saya mohon
kesediaan saudari untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua data
maupun informasi yang dikumpulkan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan
digunakan untuk kepentingan penelitian. Jika bersedia untuk menjadi responden,
mohon saudari untuk mendatangani pernyataan kesediaan menjadi responden.
Atas perhatian dan kesediaan saudari, saya ucapkan terima kasih.

Pringsewu, April 2022


Peneliti

(Evis Azi Framudya)


SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI
RESPONDEN PENELITIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama :
Umur :
Alamat :

Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, dengan ini saya menyatakan


bersedia berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian yang berjudul
“Faktor-Faktor Yang Berhubungan Kejadian Stunting Pada Balita di Puskesmas
Pagelaran Tahun 2022”.

Adapun bentuk kesediaan saya ini adalah:


1. Bersedia untuk meluangkan waktu mengisi lembar kuesioner.
2. Memberikan informasi yang benar dan sejujurnya terhadap apa yang diminta
atau ditanyakan oleh peneliti.
3. Bersedia mendapat perlakuan seperti disebutkan dalam tujuan penelitian.
4. Bersedia mendapat prosedur pengukuran terkait judul yang diteliti.

Keikutsertaan ini saya sukarela tidak ada paksaan pihak manapun. Demikian surat
ini dibuat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

No. Hp. Responden: ………………………..


Pringsewu, 2022
Peneliti
Yang membuat pernyataan

(Nama & Tanda Tangan)


KUESIONER

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN KEJADIAN STUNTING


PADA BALITA DI PUSKESMAS PAGELARAN TAHUN 2022

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Kode responden :
2. Nama responden :
3. Alamat responden :
4. Umur :
5. Pendidikan terakhir : ( 1 ) SD
( 2 ) SMP
( 3 ) SMA
( 4 ) Perguruan Tinggi
II. IDENTITAS BALITA
1. Nama balita :
2. Jenis kelamin : ( 1 ) Laki-laki ( 2) Perempuan
3. Tempat, tanggal lahir :
4. Berat saat lahir :
5. Umur : bulan
6. Berat badan : Kg
7. Status gizi TB/U : a. ( 1 ) Tinggi
b. ( 2 ) Normal
c. ( 3 ) Pendek
d. ( 4 ) Sangat Pendek
III. RIWAYAT ASI EKSKLUSIF

1. Apakah [NAMA] mendapat ASI saja tanpa makanan/minuman tambahan apapun


di usia 0-6 bulan?
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah sesaat setelah [NAMA] lahir, diletakkan di dada/perut ibu dengan kulit
ibu melekat pada kulit bayi? (Ya/Tidak)
3. Kapan [NAMA] mulai diletakkan di dada/perut ibu setelah dilahirkan?..........menit
4. Berapa lama proses pelekatan bayi pada dada/ perut ibu setelah dilahirkan? ( < 1
jam/ > 1 jam)
5. Apakah [NAMA] pernah disusui atau diberi ASI (Air Susu Ibu)?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
6. Kapan ibu mulai melakukan proses menyusui untuk yang pertama kali, setelah
[NAMA] dilahirkan?
a. Kurang dari 1 jam
b. Kurang dari 24 jam
c. 24 jam atau lebih
7. Apa yang dilakukan IBU terhadap kolostrum (ASI yang pertama keluar,biasanya
encer, bening dan atau berwarna kekuningan)?
a. Diberikan semua kepada bayi
b. Dibuang sebagian
c. Dibuang semua
d. Tidak tahu
8. Apakah sebelum disusui yang pertama kali atau sebelum ASI keluar/ lancar,
[NAMA] pernah diberi minuman (cairan) atau makanan selain ASI?
a. Ya
b. Tidak
c. Tidak tahu
9. Apa jenis minuman/makanan yang pernah diberikan kepada [NAMA] sebelum
mulai disusui atau sebelum ASI keluar/lancar?
A. Tidak ada
B. Sebutkan ……………………………………………….
10. Apakah saat ini [NAMA] masih disusui/ diberi ASI?
a. Ya
b. Tidak
11. Pada umur berapa bayi diberikan makanan pendamping ASI?
a. Kurang dari 6 bulan
b. Tepat 6 bulan
c. Kebih dari 6 bulan
12. Pada umur berapa bulan [NAMA] disapih/ mulai tidak disusui lagi?................bulan
Sumber (Kuesioner, Riskesdas 2018)
DATA RESPONDEN
Usia
Umur
N Balita Jenis TB BB
Resp ibu Pendidikan TB/U
o (Bulan Kelamin (Cm) (Kg)
(Tahun)
)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42

Anda mungkin juga menyukai