Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2021/22.2 (2022.1)

Nama Mahasiswa : Muhdi Koda

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 024632241

Tanggal Lahir : 17 Juli 1989

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4304 / HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Kode/Nama Program Studi : FHISIP / FAKULTAS HUKUM

Kode/Nama UPBJJ : UNIVERSITAS TERBUKA

Hari/Tanggal UAS THE : SELASA, 21 JUNI 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : Muhdi Koda


NIM : 024632241
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4304 / HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Fakultas : FAKULTAS HUKUM
Program Studi : FHISIP
UPBJJ-UT : UNIVERSITAS TERBUKA TERNATE

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada
laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal
ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan
aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.
7.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.

Labuha, 21 Juni 2022

Yang Membuat Pernyataan

Muhdi Koda
JAWABAN UJIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

1. a. iya karena langkah ekspansif Kawan Lama Group melalui PT. Foods Beverages Indonesia untuk
mengembangkan gerai Chatime cukup massif. Dalam enam tahun, jumlah gerai Chatime di
Indonesia sudah mencapai 200 gerai. Henry Wang, Chaiman La kaffa Internasional co Ltd yang
merupakan pemilik brand Chatime mengatakan, jumlah gerai Chatime di Indonesia malah sudah
lebih besar ketimbang Negara asalnya Taiwan yang hanya berjumlah 30 gerai saja.
b. Titik Primernya adalah La Kaffa International Co Ltd perusahaan asal Taiwan yang menjual
Chamate. Saat ini Chamate sudah memiliki1.002 cabang di 38 Negara termasuk Indonesia. Di
Indonesia Chamate dioperasionalkan/pemegang franchise adalah Kawan Baru Grup dan saat ini
telah memiliki 230 Gerai di seluruh Indonesia. Tempat kedudukan badan Hukum  Tempat
kedudukan badan hukum sebuah perseroan terbatas dan sebagainya, menunjukan peristiwa HPI;
yaitu La Kaffa Internasional Co Ltd mengugat Grup Kawan Lama di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Sedangkan TP Sekundernya adalah Pengeadilan Negeri Jakarta

2. a. Status personal badan hukum PT. Mangga Indonesia Tbk di Budapest, Hungaria karena PT.
Mangga Indonesia merupakan Anak Perusahaan Mangga Internasional.Inc yang
berkedudukan di Budapest, Hungaria. Sedangkan Perusahaan mangga Internasional. Inc status
personal badan hukumnya juga berada di Budapest, Hungaria

b. - Asas Ius Sanguinis adalah Yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan pada
keturunan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang dilahirkan di negara A, sedangkan orang
tuanya berkewarganegaraan negara B, maka ia adalah warga negara B. Jadi berdasarkan asas ini,
kewarganegaraan anak selalu mengikuti kewarganegaraan orang tuanya tanpa memperhatikan di
mana anak itu lahir. Pengertian asas ius sanguinis juga dalam UU Nomor 12 Tahun 2000 yang
berbunyi:

"Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran."
Berdasarkan pengertian diatas karena Baz Cheval merupakan anak yang lahir dari kedua orang tua
yang berbeda Negara yaitu Indonesia dan belgia maka Baz Cheval mempunyai kewarganegaraan
Ganda hingga usia 17 Tahun.
- Kewarganegaraan Badai dan Borey mempunyai kewarganegaraan ganda yaitu Spanyol dan
Kamboja karena Spanyol menganut asa ius sanguinis sedangkan Kamboja menganut system
asas tempat kelahiran dan kedua anak mereka dilahirkan di Indonesia yang menganut system
ius sanguinis yaitu kewarganegaraan yang ditentukan berdasarkan pada keturunan orang yang
bersangkutan.
- Warga Negara A adalah tempat dimana dia dilahirkan jadi misalnya A lahir di Kanada maka
warga Negara A adalah Kanada.
3. a. Menurut prinsip-prinsip lex causae yang dikenal dalam HPI maka Jen Wendy melaporkan kasus
hukum tersebut dalam dua tahap. Kualifikasi tahap pertama hakim harus
menemukan kaidah HPI atau choice of law (lex fori) yang akan dipergunakan untuk menentukan titik
taut penentu. Kualifikasi dilaksanakan dengan sistem kualifikasi intern yang dikenal pada lex fori,
dimana kualifikasi ini dilakukan guna menetapkan lex causae. Kaidah-kaidah HPI lex fori harus
dikualifikasikan menurut hukum materiil sang hakim (kaidah internal lex fori). Pada tahap ini dicari
kepastian mengenai pengertian-pengertian hukum, seperti domisili, pewarisan, tempat
dilaksanakannya kontrak. Semua itu harus disandarkan pada pengertian-pengertian dari lex fori.
Berdasarkan kualifikasi demikian inilah akan ditemukan hukum yang seharusnya dipergunakan (lex
causae). Lex causae yang ditemukan itu bisa berupa hukum asing, juga bisa lex fori sendiri. Hakim
akan menelusuri surat perjanjian Trustee Agreement
(Perjanjian Kepercayaan) yang isinya menyatakan bahwa Ade Maharani (WNI) bertindak atas
nama Jan Wendy (WN Swedia) dalam pengurusan apartemen. Diketahui bahwa selama 3 Tahun
Apartemen ini disewakan namun uang sewa tidak pernah diserahkan oleh Ade Maharani kepada
Jan Wendy

Kualifikasi Tahap Kedua (Kualifikasi Sekunder) : dijalankan dengan sistem kualifikasi intern yang
dikenal pada lex causae. Apabila sudah diketahui hukum yang seharusnya diberlakukan itu adalah
hukum asing, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang ditemukan itu.
Pada tahap kedua ini, semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan sistem
kualifikasi yang ada pada lex causae.

b. Pengadilan yang berhak untuk mengadili perkara ini adalah pengadilan Negeri Jakarta Utara karena
Jan wendy berdomisili di negeri Jakarta Utara dan kasus yang terjadi juga berada di wilayah
Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

4. a. Pilihan Hukum berakar pada asas kebebasan berkontrak yang menentukan bahwa para pihak
memiliki kebebasan untuk menyepakati kontrak di antara mereka. Kebebasan ini termasuk pula
kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku bagi kontrak mereka, tentunya dalam batasan-batasan
tertentu.
Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ada pengecualian, Pilihan Hukum dalam kontrak
internasional ini umumnya mengemuka ketika hubungan hukum kontrak terjadi antara pihak-pihak
yang berasal dari yurisdiksi hukum yang berbeda-beda. Sebagai contoh: kontrak jual beli yang
disepakati oleh warga negara Indonesia dan warga negara Jepang, kontrak distribusi yang disepakati
oleh badan hukum Singapura dan badan hukum Belanda. Contoh yang lebih esktrim, kontrak kredit
sindikasi yang disepakati oleh bank-bank yang berkedudukan di New York, Amsterdam, Frankfurt
sebagai kreditur dan badan hukum Indonesia sebagai debitur. Pertanyaan yang muncul adalah Apa
hukum yang berlaku untuk kontrak jual-beli, kontrak distribusi, dan kontrak kredit sindikasi tersebut?
Umumnya akan dipilih hukum dari salah satu pihak dalam kontrak. Penentuan hukum ini, dalam
praktiknya, dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: pengetahuan para pihak terhadap hukum yang
dipilih untuk berlaku untuk kontrak mereka, lokasi aset para pihak, dan posisi tawar dari masing-
masing pihak dalam kontrak. Selain itu, kebiasaan dalam praktik juga memengaruhi pemilihan hukum
yang berlaku dalam kontrak. Misalnya, hukum Inggris adalah hukum yang hampir selalu akan dipilih
untuk berlaku dalam kontrak-kontrak asuransi dan pengangkutan laut.

Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan terkait dengan kebebasan para pihak memilih hukum
yang berlaku untuk kontrak internasional yang mereka sepakati. Pertama, hukum yang dipilih tersebut
tidak boleh melanggar ketertiban umum (public order/public policy) sebagaimana dikenal dalam Hukum
Perdata Internasional. Kedua, hukum yang dipilih hanya berlaku untuk akibat-akibat dan pelaksanaan
dari kontrak, bukan untuk syarat lahirnya atau terciptanya kontrak.

Ketiga, hukum yang dipilih untuk berlaku dalam kontrak internasional tersebut adalah mengenai hukum
materiil saja, bukan hukum formil atau hukum acara. Ini artinya, jika terjadi sengketa terkait kontrak
internasional tersebut, hukum formil atau hukum acara untuk penyelesaian sengketa kontrak tersebut
adalah tetap hukum acara dari negara tempat sengketa tersebut diselesaikan. Hal ini dikenal dengan
istilah hukum sang hakim atau lex fori. Namun demikian, hukum materiil untuk penyelesaian sengketa
kontrak tersebut adalah hukum yang telah dipilih para pihak dalam kontrak.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga terkait dengan topik Pilihan Hukum adalah meskipun keduanya
sama-sama didasari oleh semangat kebebasan berkontrak, Pilihan Hukum tidak sama dengan Pilihan
Forum, atau yang dikenal juga dengan sebutan Pilihan Yurisdiksi. Ini artinya, jika telah dipilih suatu
hukum yang berlaku bagi kontrak oleh para pihak, tidak serta-merta pengadilan atau forum dari negara
yang hukumnya dipilih tersebut menjadi satu-satunya forum yang berwenang untuk mengadili
sengketa terkait kontrak. Begitu juga sebaliknya, jika telah dipilih yurisdiksi suatu negara sebagai forum
penyelesaian sengketa kontrak, tidak serta-merta hukum materiil dari negara tersebut berlaku untuk
kontrak.

Pada poin inilah persoalan Pilihan Hukum mengemuka dalam praktik peradilan di Indonesia. Sebab
ketika telah dipilih suatu hukum asing sebagai hukum yang berlaku dalam kontrak, lalu muncul
sengketa terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut, pengadilan Indonesia terkesan cenderung
enggan untuk memberlakukan hukum asing sebagaimana telah dipilih para pihak dalam kontrak.

Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai praktik pengadilan ini, perlu untuk kita bahas secara singkat
terlebih dahulu mengenai ketentuan yang mengatur Pilihan Hukum di Indonesia.

Hukum Asing Tidak Berlaku?

Perjanjian asuransi yang menjadi objek sengketa ini merupakan contoh perjanjian yang Pilihan
Hukumnya didasarkan pada kebiasaan dalam praktik. Sebagaimana telah disampaikan dalam paragraf
awal dari tulisan ini, hukum Inggris adalah hukum yang hampir selalu dipilih untuk kontrak-kontrak
asuransi dan pengangkutan laut.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sangat menarik perhatian karena selain mengabulkan
gugatan PT PM, ternyata dipertimbangkan pula segi-segi Hukum Perdata Internasional dari sengketa
ini. Majelis Hakim di tingkat pertama dan kedua dalam sengketa ini juga telah merujuk ketentuan
hukum pengangkutan laut Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk sengketa ini. Meskipun tidak
dapat secara bulat kita nyatakan bahwa hakim memberlakukan hukum Inggris dalam sengketa ini,
sebab dalam merujuk hukum Inggris, hakim juga mencari kesesuaiannya dengan hukum Indonesia.

Sebagai contoh, dalam menentukan apakah PT AHAP sebagai penanggung asuransi bertanggung
jawab atas kerugian kebakaran kapal PT PM, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merujuk
ketentuan Marine Insurance Act 1906 yang mengatur bahwa penanggung asuransi, sebagai pihak
dalam kontrak asuransi, terikat dan wajib untuk menanggung kerugian total dari hal-hal yang
diasuransikan disebabkan oleh kebakaran dan ledakan maupun kelalaian Nahkoda, perwira atau anak
buah kapal.

Hakim juga kemudian merujuk pasal 1338 dan 1340 BW yang menyatakan bahwa kontrak asuransi ini
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak dan hanya berlaku antara para pihak yang
menyepakatinya, serta tidak dapat membawa kerugian kepada pihak ketiga. Dengan merujuk
ketentuan Marine Insurance Act 1906 dan dua pasal dalam BW ini majelis hakim menegaskan bahwa
sudah tepat langkah PT PM untuk mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT AHAP, bukan kepada
pihak lain seperti nahkoda dari KM Bayu Prima.

Contoh kedua, sehubungan dengan penolakan PT AHAP untuk membayar klaim asuransi kepada PT
PM, majelis hakim merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Perasuransian yang menentukan bahwa perusahaan
asuransi dilarang menghambat pembayaran klaim pihak tertanggung. Lagi-lagi dalam merujuk
ketentuan tersebut, majelis hakim juga mempertimbangkan Marine Insurance Act 1906 yang juga
mewajibkan penanggung membayar klaim dari tertanggung sesuai dengan jumlah yang
ditanggungnya.

Sekali lagi patut diapresiasi usaha majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan
Tinggi Jakarta untuk memperhatikan segi-segi hukum perdata internasional dalam sengketa ini dan
mengutip pula ketentuan hukum pengangkutan laut Inggris karena para pihak telah memilih hukum
Inggris sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disengketakan.

Sayangnya, hal yang sudah diputuskan dengan baik ini kemudian dibatalkan oleh Majelis Hakim di
tingkat kasasi dengan dasar pertimbangan yang kurang tepat. Meskipun hukum Inggris telah dipilih
sebagai hukum yang berlaku untuk kontrak asuransi yang disepakati PT PM dan PT AHAP, tidak
dengan sendirinya forum pengadilan yang berwenang mengadili perkara ini adalah pengadilan Inggris.
Sebab ada pembedaan yang jelas antara pilihan hukum Inggris dan pengadilan yang berwenang untuk
mengadili sengketa ini.

Hukum Inggris dipakai sebagai hukum materiil untuk menyelesaikan sengketa ini, tetapi bisa saja
pengadilan lain, dalam hal ini pengadilan Indonesia, sebagai tempat kedudukan dari PT AHAP sebagai
tergugat, yang mengadili perkara ini dengan menggunakan hukum materiil Inggris. Sementara itu,
untuk hukum acaranya tentu tetap digunakan hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia.

Melalui sengketa ini kita diyakinkan bahwa Pilihan Hukum bukanlah topik yang populer di Indonesia.
Setidaknya ada dua poin penting yang dipahami secara tidak tepat mengenai Pilihan Hukum dalam
sengketa ini. Pertama, hukum yang dipilih disalahartikan sebagai pemilihan terhadap hukum
prosedural atau hukum acara. Padahal, Pilihan Hukum hanya terbatas pada hukum materiil dari hukum
asing yang dipilih, tidak termasuk hukum formilnya. Kedua, pemahaman mengenai Pilihan Hukum dan
Pilihan Forum yang dicampuradukkan, sehingga secara serampangan Pilihan Hukum diartikan pula
sebagai pula Pilihan Forum.

b. Kewarganegaraan Saat ini terdapat 2 paham mengenai azas kewarganegaraan yaitu ius sanguinis
dan ius soli. Ius sanguinis berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan pada
keturunan orang yang bersangkutan sedangkan ius soli berarti kewarganegaraan seseorang
ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya. Terkait denga benda Berdasarkan Pasal 504 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), benda dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu benda bergerak
dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak bergerak, diatur dalam Pasal 506 – Pasal 508
KUHPer. Sedangkan untuk benda bergerak, diatur dalam Pasal 509 – Pasal 518 KUHPer. Lebih
lanjut, pakar hukum perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa untuk kebendaan bergerak dapat dibagi
dalam dua golongan: Benda bergerak karena sifatnya yaitu benda-benda yang dapat berpindah atau
dapat dipindahkan misalnya ayam, kambing, buku, pensil, meja, kursi, dan lain-lain (Pasal 509
KUHPer). Termasuk juga sebagai benda bergerak ialah kapal-kapal, perahu-perahu, gilingan-gilingan
dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu dan sebagainya (Pasal 510 KUHPer).
2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang (Pasal 511 KUHPer) misalnya: a. Hak pakai
hasil dan hak pakai atas benda-benda bergerak; b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan;
c. Penagihan-penagihan atau piutang-piutang; Lanjut menurut pakar hukum (KUHPer) sebagaimana
yang disarikan, pentingnya pembedaan tersebut berkaitan dengan empat hal yaitu penguasaan,
penyerahan, daluwarsa, dan pembebanan. Keempat hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Kedudukan berkuasa Kedudukan berkuasa atas benda bergerak berlaku sebagai titel yang
sempurna (Pasal 1977 KUHPer). Tidak demikian halnya bagi mereka yang menguasai benda tidak
bergerak, karena seseorang yang menguasai benda tidak bergerak belum tentu adalah pemilik benda
tersebut.

2. Penyerahan Menurut Pasal 612 KUHPer, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan
penyerahan nyata. Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan.
Sedangkan menurut Pasal 616 KUHPer, penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui
pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620
KUHPer antara lain membukukannya dalam register. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), maka pendaftaran hak atas
tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksananya.

3. Pembebanan Pembebanan terhadap benda bergerak berdasarkan Pasal 1150 KUHPer harus
dilakukan dengan gadai, sedangkan pembebanan terhadap benda tidak bergerak menurut Pasal 1162
KUHPer harus dilakukan dengan hipotik. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dibebankan dengan Hak
Tanggungan. Sedangkan untuk benda-benda bergerak juga dapat dijaminkan dengan lembaga fidusia
menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

4. Daluwarsa Terhadap benda bergerak, tidak dikenal daluwarsa sebab menurut Pasal 1977 ayat (1)
KUHPer, bezit atas benda bergerak adalah sama dengan eigendom; karena itu sejak seseorang
menguasai suatu benda bergerak, pada saat itu atau detik itu juga ia dianggap sebagai pemiliknya.
Terhadap benda tidak bergerak dikenal daluwarsa karena menurut Pasal 610 KUHPer, hak milik atas
sesuatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa.

Anda mungkin juga menyukai