Anda di halaman 1dari 5

Tugas2

Sistem Hukum
Indonesia
KONFLIK

Universitas Terbuka
Tugas II

Merujuk pada Pasal 1338 KUHPerdata bahwa Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali, selain atas kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.

Pertanyaan:

1. Bagaimanakah jika rekanan dalam perjanjian tersebut menggantung tanpa kepastian proyek
pengerjaan sesuai yang telah dituangkan dalam perjanjian.

2. Mengapa perjanjian yang sudah disepakati masih boleh dibatalkan sepihak?


Jawaban

1. Pelaksanaan pekerjaan tanpa adanya penandatanganan perjanjian atau


kontrak tertulis terlebih dahulu adalah sangat mungkin terjadi dalam praktik.
Ketentuan mengenai perjanjian ini dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain
atau lebih.”
Dari ketentuan tersebut dapat kita amati bahwa pada dasarnya, suatu
perjanjian tidak dibatasi pada perjanjian tertulis. Perjanjian dapat terjadi secara
lisan maupun tulisan. Hal ini karena tidak adanya kewajiban untuk membuat
perjanjian tertulis bagi para pihak yang akan mengikatkan diri. Sehingga, sah-sah
saja perjanjian dilakukan tanpa penandatanganan perjanjian atau kontrak tertulis.
Untuk mengetahui mengenai sahnya suatu perjanjian, simak artikel Keberlakuan
Perjanjian Kerjasama.
Lebih jauh mengenai kontrak, menurut Treitel G.H., dalam bukunya “Law of
Contract”, kontrak didefinisikan sebagai “…an agreement giving rise to obligations
which are enforced or recognized at law.” (dikutip dari buku “Teknik Perancangan
Kontrak Bisnis, oleh Ricardo Simanjuntak, hal. 28). Dari definisi tersebut diketahui
bahwa perjanjian akan membawa akibat hukum apabila salah satu pihak melanggar
perjanjiannya.
Dalam hal salah satu pihak melanggar yang telah diperjanjikan
(wanprestasi), untuk dapat memaksa pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memenuhi prestasinya (kewajiban yang timbul karena perjanjian), diperlukan
adanya bukti yang menjadi dasar gugatan. Sebagaimana kita ketahui, pembuktian
dalam hukum acara perdata menggunakan alat-alat bukti yang terdiri atas bukti
(Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement - HIR):
1. Tulisan;
2. Bukti dengan saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah.

Bukti tulisan merupakan bukti yang sangat penting dalam proses


pembuktian dalam hukum acara perdata. Tanpa adanya perjanjian atau kontrak
tertulis, akan cukup sulit membuktikan telah terjadinya suatu kesepakatan atau
perjanjian antara Anda dengan pengguna jasa Anda. Walaupun, masih
dimungkinkan penggunaan alat-alat bukti lainnya seperti saksi, persangkaan,
pengakuan dan sumpah. Untuk alasan pembuktian itulah maka diperlukan adanya
perjanjian tertulis antara Anda dengan pengguna jasa Anda.
Karena dalam suatu perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang
seimbang, maka masing-masing harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik
sehingga tidak merugikan pihak lainnya. Dengan filosofi tersebut, menurut hemat
kami, ada baiknya kontrak tersebut ditandatangani terlebih dahulu sebelum
pekerjaan tersebut diselesaikan demi menghindari kesulitan pembuktian di
kemudian hari apabila terjadi sengketa. Karena kedudukan Anda dan pengguna jasa
Anda adalah seimbang, Anda berhak untuk meminta perjanjian tersebut
ditandatangani terlebih dahulu dan tidak melanjutkan pekerjaan tersebut sebelum
perjanjian ditandatangani.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847
No. 23)
2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44).

2. Prinsip yang mengatakan perjanjian yang sah pada asasnya tidak bisa ditarik
kembali secara sepihak, merupakan konsekuensi logis dari asas yang diletakkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) B.W. di atas, yang mengatakan, bahwa perjanjian
mengikat para pihak yang menutupnya seperti undang-undang. Atas prinsip itu ada
perkecualiannya, sebagaimana disebutkan dalam anak kalimat terakhir ayat kedua
pasal tersebut di atas, yaitu “… atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu”, yang mau mengatakan, bahwa:

Perjanjian tertentu bisa batal atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam
perjanjian, kalau “undang-undang menyatakan ada cukup alasan untuk itu” (uit
hoofde der redenen welke de wet daartoe voldoende verklaart).
Undang-undang memang dalam pasal-pasal tertentu, menyatakan perjanjian
tertentu batal atau memungkinkan salah satu pihak dalam perjanjian untuk
menuntut pembatalannya. Contohnya Pasal 1266, 1267, 1335, 1611, 1646 sub 3,
1688 dan 1813 B.W. Di samping itu, ada yang juga perlu untuk mendapat perhatian
kita, yaitu bahwa benar sekali kalau pengadilan pernah menyatakan, bahwa tidak
ada ketentuan undang-undang yang melarang dimungkinkannya pembatalan suatu
perjanjian, yang telah ditutup untuk jangka waktu yang tidak tertentu, secara
sepihak.

Sumber Referensi:
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4dce335ab43e8/bagaimana-
kepastian-hukum-pelaksanaan-pekerjaan-jika-kontrak-belum-ditandatangani-/

http://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/download/
702/542

Anda mungkin juga menyukai