Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SISTEMIK LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Keperawatan Anak II”
Dosen Pengampu : Ns. Sugiyanto., SH.,M.Kep

OLEH:
KELOMPOK 8
IIN WANDINI SALIM/ 12020008
RISKA AULIYA / 12020017

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEMESTER IV


INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS KURNIA JAYA
PERSADA PALOPO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang kasus “Sistemik Lupus Erythematosus/SLE”
dengan baik meskipun banyak kekurangannya.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah
wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai gangguan pada Sistem Imun dan
Hematologi. Penulis menyadari dalam pengerjaan tugas ini terdapat hambatan
seperti susahnya mencari sumber yang akurat.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
System imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, system imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,
oleh Karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan
keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.
Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir
seluruh bagian tubuh kita.
Penyakit lupus merupakan penyakit kelaianan pada kulit, dimana disekitar
pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa
lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercak-
bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ tubuh
lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan
salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat
penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita
lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-kupu”, klasik tersebut.
Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus Erythematosus /SLE). Berbeda
dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau
trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu
dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat
kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah
trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi penyakit autoimun (SLE-systemik lupus
erythematosus)
2. Untuk menegtahui etiologi penyakit (SLE-systemik lupus erythematosus)
3. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit (SLE-systemik lupus
erythematosus)
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit (SLE-systemik lupus
erythematosus)
5. Untuk mengetahui penatalaksaan farmakologi dan non-farmakologi
penyakit (SLE-systemik lupus erythematosus)
6. Untuk mengetahui komplikasi penyakit (SLE-systemik lupus
erythematosus)
7. Untuk mengetahui proses keperawatan penyakit (SLE-systemik lupus
erythematosus)

C. Manfaat
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan penyakit autoimun
2. Mahasiswa mampu mendeskripsikan penyakit lupus
3. Mahasiswa mampu mendeskripsikan penyebab dari lupus
4. Mahasiswa mampu mendeskripsikan tanda dan gejala lupus
5. Mahasiswa mampu mendeskripsikan penanganan farmakologi dan non-
farmakologi lupus
6. Mahasiswa mampu mendeskripsikan komplikasi yang terdapat di lupus
7. Mahasiwa mampu merancang asuhan keperawatan pada pasien (SLE-
systemik lupus erythematosus)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Lupus eritematosus sitemik secara khas mengenai banyak system organ
dan disertai dengan berbagai fenomena imun. Riwayat alamiahnya tidak dapat
diramalkan, sering progresif, berakhir dengan kematian jika tidak diobati, tetapi
dapat mereda secara spontan atau tetap membara selama bertahun-tahun. Lupus
eritemotosus sistemik (SLE) pada anak umumnya lebih akut dan lebih berat dari
pada SLE pada orang dewasa (Nelson Ilmu Kesehatan Anak Vol. 1 Edisi 5).
Lupus eritematosus (LE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronik yang
melewati tiga bentuk dasar: lupus discoid yang menyerang kulit; lupus yang
disebabkan oleh bahan kimia atau obat-obatan; dan sistemik lupus eritematosus
(SLE) yang menyerang system organ besar (Keperawatan Medical Bedah).
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit otoimun kronik
yang ditandai oleh terbentuknya antibody-antibodi terhadap beberapa antigen diri
yang berlainan. Antibody-antibodi tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan
dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang
koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit (Buku Saku
Patofisiologi Corwin).
Jadi sistemik lupus eritematosus adalah suatu penyakit autoimun kronik
yang riwayat alamiahnya tidak dapat diramalkan dan berakhir pada kematian jika
tidak diobati. Kecendeungan terjadinya lupus dapat berhubungan dengan genetic,
hormone seks. Lupus dapat dicetuskan oleh stress, sering terpajan radiasi
ultraviolet yang berlebih.
B. Etiologi
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekskresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat
dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada
saudara kembar identic (24-69%) lebih tinggi dari pda saudara kembar non identic
(2-9%). Albar 2003.
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan system imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosik. SLE juga dapat di induksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator rambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh memebentuk kompleks antibody anti
nukleat (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (herfindal et.al; 2000).
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-
cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (delavuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga
menyebabkan perubahan pada system imun dengan mekanisme menyebabkan
peningkatan antibody antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit non spesifik
yang akan memicu terjadinya SLE (hervindal et.al ; 2000).
C. Patofisiologi
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuklear anti body).
Dengan anti gennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai
macam organ dengan akibat terjadinya viksasi komplement pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktifasi komplement yang menghasilkan subtansi
penyebab timbulnya reaksi radang. Bagian yang penting dalam patogenesis ini
ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah
autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Gangguan imunologis:
pengujian imun yang abnormal termasuk anti-bodi anti-DNA atau anti- SM
(smith) positif semu pada pengujian darah untuk sifilis, anti-bodi anti-kardiolipin,
uji LE positif. Anti-bodi antinuklear: pengujian anti-bodi ANA positif. Sebagai
tambahan dari sebelas kriteria tersebut, pengujian lainnya dapat membantu
mengevaluasi pasien dengan lupus eritematosus sistemik untuk menentukan
keparahan organ-organ yang terlibat. Termasuk diantaranya darah rutin dengan
laju endap darah, pengujian kimia darah, analisa langsung cairan tubuh lainnya,
serta bioksi jaringan. Kelainan cairan tubuh dan sampel jaringan dapat membantu
diagnosis lanjut lupus eritematosus sistemik.
D. Manifestasi Klinik
SLE dapat mulai secara tersembunyi atau secara akut. Kadang-kadang
gejalanya telah timbul bertahun-tahun mendahului diagnosis SLE. Gejala awal
yang paling sering pada anak adalah demam, malaise, atritis atau arthralgia dan
ruam. Kadang-kadang pada kebanyakan anak yang terkena terjadi demam :
mungkin sebentar-sebentar atau terus-menerus. Malaise, anoreksia, kehilangan
berat badan, dan kelemahan sering dujimpai.
Kadang-kadang pada kebanyakan anak yang terkena, timbul manifestasi
kulit. Ruam “kupu-kupu”, terdiri atas tembalan eritematosa yang bersisik atau
kebiruan, melibatkan daerah pipi dan biasanya meluas diatas jembatan hidung.
Ruam dapat fotosensitif dan dapat meluas kemuka, kulit kepala, leher, dada, dan
tungkai ; ruam ini dapat menjadi bullosa dan mengalami insi sekunder. Lupus
discoid murni (hanya menifestasi kulit) tidak lazim pada anak. Erupsi kulit
lainnya adalah macula eritematosa atau lesi pungtata pada telapak tangan, telapak
kaki, ujung jari, ekstremitas atau batang tubuh ; ruam vesikulitis, livedo retikularis
(tambalan anyaman hitam) dan perubahan bantalan kuku. Lesi-lesi ulseratif yang
macular dan sering kali tidak nyeri dapat terjadi pada palatum dan membrane
mukosa mulut dan hidung. Purpura, kadang-kadang disertai dengan
trombositopenia, dapat tampak pada daerah yang menggantung atau yang terkena
trauma. Kadang-kadang disertai eritema nodosum dan eritema multiforme.
Alopesia yang diakibatkan perandangan disekitar folikel rambut dapat berupa
tambalan, atau menyeluruh, dan rambut dapat menjadi kasar, kering dan rapuh.
Arthralgia dan kekakuan sendi biasanya dijumpai dan sering terjadi pada
perubahan projektif. Kadang-kadang sendi yang terkena panas dan bengkak rasa
nyerinya mungkin lebih berat untuk yang diharapkan tanda-tanda klinis tersebut.
Nekrosis aseptic dapat mengenai tulang pada sejumlah tempat, terutama pada
kaput femoris. Tenosynovitis dan myositis dapat terjadi juga, seperti halnya
Raynaud. Peliserositis (pleuritis, pericarditis, dan peritonitis) adalah khas mdan
menimbulkan nyeri dada, precordial atau perut. Hepatosplenomegali dan
limfadenopati generalisata sering dujumpai. Keterlibatan jantung dapat
dimanifestaasikan dengan berbagai macam bising, bising gesek, kardiomegali,
perubahan elektrografi, ata gagal jantung kongestif, dengan
miokarditis,pericarditis, atau endocarditis verposa (endocarditis libman sacks,
dikenal melalui eko kardiogram atau peada pemeriksaan otopsi) infark
miokardium dapat menyebabkan kematian pada penderita yang relative mudah,
termasuk anak-anak. Filterat parenkim paru dapat terjadi; tetapi infeksi harus
dikesampingkan, sebelum pneumonia dapat dianggap berasal dari SLE.
Pneumonia akut, perdarahan paru-paru, atau fibrosis paru yang kronis dapat
terjadi. Kerterlibatan sistem saraf dapat menyebabkan perubahan keperibadian,
kejang-kejang, kecelakaan serebrofaskuler, khorea, dan neuritis perifer.
Manifestasi gastro intestinal meliputi nyeri perut, muntah, diare, melena, dan
bahkan infark usus akibat faskulitis. Perubahan okuler dapat meliputi episkleritis,
iritis, atau perubahan vaskuler retina dengan perdarahan atau eksudat (benda-
benda citoid). Kejadian-kejadian trombotik yang mengenai atreri atau vena dapat
terjadi, terutama pada penderita dengan antibody anti fospolopid. Keterlibatan
ginjal secara klinis sering dijumpai pada anak-anak.
E. Penatalaksanaan
1. Non farmakologi
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan
tercapai. Perlu dilakukanupaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum
diperifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri.
Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien
memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau
mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar
matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;
melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila
mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat
badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas
penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata
psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi
perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan
agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan
mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal
penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila
pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih
dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi
sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas • isik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan
nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan
tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa
maksud di bawah ini, yaitu: Istirahat, Terapi dengan modalitas, Ortotik
2. Farmakologi
1. Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg per hari s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/ selama
3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).
2. AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3. Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4. Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.
F. Komplikasi
1. Seseorang yang menderita Lupus kemungkinan akan mengalami
komplikasi seperti :
2. Komplikasi akibat terapi steroid yang dijalani.
3. Diabetes
4. Tekanan darah tinggi
5. Peningkatan kolesterol
6. Obesitas yang menyebabkan serangan jantung
7. Penyakit ginjal
8. Infeksi
9. Lupus yang menyerang sistem saraf sentral
10. Penggumpalan darah atau komplikasi cardiovascular
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan salah satu penyakit
autoimun yang disebabkan oleh disregulasi sistim imunitas. SLE dapat menyerang
berbagai sistem organ dan keparahannya berkisar dari sangat ringan sampai berat.
Etiologi belum dipastikan, secara garis besar dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
endokrin-metabolik, lingkungan dan genetik. Pencetus fungsi imun abnormal
mengakibatkan pembentukan antibodi yang ditujukan terhadap berbagai
komponen tubuh. Tidak ada suatu tes laboratorium tunggal yang dapat
memastikan diagnosis SLE. Masalah yang paling sering dirasakan pasien adalah
keletihan, gangguan integritas kulit, gangguan citra tubuh dan kurang pengetahuan
untuk mengambil keputusan mengenai penatalaksanaan mandiri.
B. Kritik & Saran
Penyusun mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun
dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E. et.al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC
Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan keperawatan; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnose Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta : EGC
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Tt. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Playfair, J.H.L. 2009. At A Glance Imunologi. Jakarta : Erlangga
Wallace, Daniel J. 2007. The Lupus Book Panduan Lengkap Bagi Penderita
Lupus dan Keluarganya. Yogyakarta: B-First

Anda mungkin juga menyukai