com
ISSN :2620-5580
International Journal Of Healthcare Research Vol 1,
Nomor 2 Edisi 1, Bulan Desember 2018
ABSTRAK
Latar belakang:Data prevalensi stunting di Indonesia memiliki jumlah yang cukup relatif sama dengan hasil
Riskesdas tahun 2007 (36,8%), 2010 (35,6%) hingga tahun 2013 meningkat menjadi 37,2% (1),meskipun hasil
riskesdas 2018 turun 6,4%. Menjadi 30,8%(2),namun masalah stunting di Indonesia masih di atas prevalensi
secara global, 22,2%(3).WHO menetapkan definisi kasus gizi kurang dari 20% (4), oleh karena itu Indonesia
termasuk negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat khususnya kasus stunting. Stunting memiliki
risiko panjang seperti PTM saat beranjak dewasa, meski sebenarnya bisa dicegah sejak dini.
Objektif: review artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang berisiko terjadinya stunting pada
anak Indonesia.
Metodologi: Kami menerapkan kerangka konsep dari WHO tentang stunting pada anak. Dengan menggunakan
desain uji coba kontrol non-acak, studi observasional, tinjauan artikel ini diterapkan melalui penelusuran artikel
menggunakan Google scholer, Proquest, Medline dan beberapa jurnal online yang diterbitkan 10 tahun
terakhir, kemudian mengambil subjek penelitian ibu dan anak, Penelitian terapan di Kalimantan Barat.
Hasil: Dari penelusuran penelusuran diperoleh 2.435 artikel yang relevan untuk melakukan sitasi,
terdapat 2.122 yang memenuhi syarat setelah melakukan tinjauan judul dan abstrak, setelah melakukan
penyaringan melalui tinjauan teks lengkap artikel diperoleh 360 judul, kemudian 15 artikel yang
melengkapi inklusi/ kriteria eksklusif. Berdasarkan telaah pustaka secara konsisten menunjukkan bahwa
pemberian ASI yang inklusif, status ekonomi rumah tangga yang rendah, kelahiran prematur, lama
melahirkan dan pendidikan ibu yang rendah, serta anak yang tinggal di desa, sanitasi yang buruk, dan
budaya merupakan faktor penentu. stunting anak di Indonesia.
Kesimpulan: Dari sintesa komprehensif mengenai stunting pada anak Indonesia dapat diketahui siapa
yang paling rentan terhadap stunting dan faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak.
1. PERKENALAN
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multifaktorial dan terjadi secara lintas
generasi. Di Indonesia, masyarakat sering menganggap tubuh pendek atau tinggi adalah keturunan. Persepsi
yang salah di masyarakat perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat, pemerintah, dan otoritas terkait.
Temuan studi membuktikan bahwa faktor keturunan hanya memberikan kontribusi 15%. Sedangkan faktor
terbesar berkaitan dengan nutrisi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang(5)(6).
Variabel lain dalam pertumbuhan stunting adalah asap rokok dan polusi udara yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
stunting.
Masa 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal pertumbuhan
stunting pada anak balita(4)yang berdampak panjang dan berulang dalam siklus hidup. Kurang nutrisi
43
ISSN :2620-5580
sebagai faktor langsung terutama pada balita berdampak pendek yaitu meningkatnya angka kesakitan. Masalah gizi ini
bersifat kronis, dan akan berdampak pada fungsi kognitif yaitu tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada
kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi berulang (dalam siklus hidup), maka anak-anak yang kekurangan gizi di
awal kehidupan (masa 1000 PKH) memiliki risiko penyakit tidak menular atau dengan kata lain disebut penyakit
degeneratif ketika beranjak dewasa.(8).
Stunting merupakan masalah kesehatan sosial yang harus ditangani secara serius. Temuan Riskesdas menunjukkan bahwa
kasus stunting relatif stagnan sekitar 36,8% (2007) dan mencapai 37,2% (2013) dari 33 provinsi di
Indonesia. Lebih dari setengah memiliki tingkat prevalensi lebih dari rata-rata nasional(1).Misalnya,
ketimpangan prevalensi menakjubkan antara DIY (22,5%) dan NTT (58,4%) menunjukkan adanya
ketimpangan dan keterpisahan pembangunan dengan baik. (1),Prevalensi BBLR menurut Riskesdas
adalah 11,1% (2010) dan 10,2 (2013); proporsi lahir pendek (<48 cm) adalah 20,25% (2003).
Proporsi ASI eksklusif rendah (15,3%) selama enam bulan(9).
Dari penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan
berat badan lahir dengan pemberian ASI inklusif dan pemberian makanan tambahan yang tidak optimal.(10).
Pertumbuhan stunting yang terjadi pada usia dini memungkinkan untuk berlanjut dan berisiko terhadap tubuh
pendek ketika mereka tumbuh menjadi remaja. Anak berbadan pendek pada usia dini (0-2 tahun) dan masih pendek
pada usia 4-6 tahun berisiko 27 kali lipat bertubuh pendek hingga masa pubertas; Sebaliknya, anak yang memiliki
pertumbuhan normal pada usia dini yang dapat mengalami gangguan pertumbuhan pada usia 4-6 tahun berisiko 14
kali lipat menjadi pendek pada masa pra pubertas. Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan stunting
masih diperlukan bahkan setelah 1000 HPK(11).
Fenomena di atas menarik untuk dianalisa mengingat stunting berdampak serius;
seperti dampak jangka pendek yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/ balita, dampak jangka menengah yang
berkaitan dengan rendahnya intelektualitas dan keterampilan kognitif, dan jangka panjang yang berkaitan dengan kualitas sumber daya
manusia dan penyakit degeneratif pada masa dewasa.
“determinant AND stunting“determinant OR risk factors AND stunting AND children AND Indonesia” dengan publikasi 10 tahu
inggris, subyek:bayi, dan anak
3. HASIL PENELITIAN
Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan upaya global, dilakukan tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di semua negara yang memiliki masalah stunting. Upaya ini diprakarsai oleh Majelis Kesehatan
Dunia(13). Sasaran yang ditetapkan untuk menurunkan prevalensi stunting antara lain: menurunkan
prevalensi stunting, mencegah kelebihan berat badan pada balita, menurunkan prevalensi anemia pada
wanita produktif, menurunkan prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI
eksklusif. Sebagai anggota PBB dengan prevalensi stunting yang tinggi, negara kita berpartisipasi dan
berkomitmen untuk mempercepat perbaikan gizi melalui peningkatan gizi (SUN) di masyarakat.
UU no. 17 tahun 2007 tentang RPJP (2005-2025) menyatakan bahwa pembangunan pangan
dan perbaikan gizi dilakukan lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi
dengan gizi yang cukup, seimbang, dan aman. Kemudian UU Kesehatan no. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menyatakan bahwa tujuan perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan kualitas gizi pribadi
dan sosial melalui perbaikan pola konsumsi yang tepat gizi seimbang, peningkatan kesadaran gizi,
aktivitas fisik dan kesehatan; peningkatan akses gizi dan kualitas pelayanan yang sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan perbaikan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Sejalan dengan UU tersebut, diterbitkan UU Pangan No. 18 tahun 2012 yang memutuskan kebijakan
pangan untuk meningkatkan status gizi masyarakat,
Selanjutnya diterbitkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJM (200-
2014) bahwa tujuan pembangunan pangan dan gizi adalah meningkatkan stabilitas pangan dan
status kesehatan dan gizi masyarakat. Kemudian Inpres No. 3 Tahun 2010 mengatur tentang
penyusunan rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi. (RAN-PG) 201-2015 di 33 provinsi(1)
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Pembangunan Gizi
diterbitkan untuk mendukung rencana penegakan peran serta dan kepedulian para pemangku
kepentingan secara terkoordinasi untuk mempercepat perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan.
Oleh karena itu, instrumen pendukung kebijakan perbaikan gizi sudah lengkap dan perlu dilaksanakan
secara terorganisir dan dapat diterapkan oleh setiap elemen yang terlibat. Melalui penerbitan Undang-
Undang Pemerintah ini, diperlukan upaya konkrit dan fokus pada 1000 HPK serta keterpaduan kegiatan
lintas program (upaya khusus) dan lintas sektor (upaya sensitif) oleh seluruh pemangku kepentingan.(14).
Berdasarkan beberapa penelitian tentang faktor determinan stunting disebutkan bahwa stunting
di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti ASI inklusif, status ekonomi rendah, kelahiran
prematur, persalinan pendek, pendidikan ibu yang rendah, dan tinggal di desa, lingkaran kotor, sanitasi
dan budaya yang buruk merupakan faktor penentu stunting anak Indonesia.
1. Memberikan ASI inklusif
Pemberian ASI eksklusif sangat erat kaitannya dengan kematian anak stunting. Karena itu, anak-anak
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko mengalami stunting(15), dua analisis terbaru bahwa bayi
yang disapih sebelum 6 bulan memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting(16). Pemberian ASI pada
usia 0-5 bulan akan berkontribusi dalam menurunkan stunting pada anak(17).
Kelahiran bayi prematur memiliki risiko Bayi Berat Badan Rendah (BBLR), hal ini membawa risiko serius
terjadinya stunting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR memiliki risiko 1,74 kali
hambatan pertumbuhan TB/U(9). Berdasarkan penelitian lain ditemukan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR
memiliki risiko 5,87 kali untuk stunting(22). Hasil penelitian di Brebes menunjukkan bahwa BBLR membutuhkan
6,63 kali stunting.
4. Persalinan panjang bayi
Penelitian yang dilakukan di Kulon Progo menyebutkan bahwa jika bayi lahir dengan panjang kurang dari 48 cm akan
berisiko mengalami stunting di kemudian hari (19). Berdasarkan penelitian di India, bayi yang lahir dengan tubuh
pendek memiliki risiko stunting(24). Penelitian di Depok menemukan bahwa bayi dengan tubuh pendek memiliki risiko
stunting di masa depan(25).
5. Pendidikan ibu
Ibu memegang peranan utama dalam menentukan kesehatan bayi, oleh karena itu pendidikan ibu yang
berkualitas membuatnya lebih selektif dan kreatif dalam memberikan makanan bergizi bagi anak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang rendah berisiko 1,6 kali lipat menjadi stunting(26).
Penelitian yang dilakukan di Banjar Baru menunjukkan rendahnya pendidikan ibu menyebabkan 5,1 kali
stunting pada anak(22).
6. Penyakit menular
Berdasarkan konsep WHO, infeksi sering menyerang anak stunting, seperti diare, kecacingan,
radang, malaria, dan gangguan pernapasan. Terdeteksi yang paling berisiko adalah diare, karena
anak-anak tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap. Berdasarkan temuan penelitian di
masyarakat miskin dan di desa, menunjukkan bahwa penyakit menular seperti diare berisiko
terjadinya stunting(27). Temuan penelitian di Etiopia menunjukkan bahwa anak-anak yang
mengalami diare berisiko 6,3 risiko stunting(28).
Mengacu pada teori dan konsep WHO, maka determinan stunting dapat ditemukan sebagai
mengikuti:
Gambar 1. Konsep WHO tentang faktor determinan stunting pada anak. Modifikasi Steaweart et. Al.,
2013
4. DISKUSI
Berdasarkan hasil identifikasi dan beberapa artikel dapat disimpulkan bahwa faktor determinan
stunting di Indonesia secara konsisten adalah status sosial ekonomi (pendapatan keluarga), pendidikan
ibu, BBLR, kelahiran prematur, ASI inklusif, lama melahirkan, defisiensi makro dan mikro, komunitas dan
masyarakat. faktor juga sangat berpengaruh terhadap stunting. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait variabel ekonomi, politik, sosial budaya, pertanian dan sistem pangan, air dan sanitasi lingkungan
terhadap stunting di Indonesia. Melakukan produktivitas dalam meningkatkan status gizi masyarakat.
REFERENSI
8. Amin NA, Julia M. Faktor Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang Tua serta Hubungannya
dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-23 Bulan. J Gizi dan Diet Indonesia [Internet].
2014;2:171. Tersedia dari:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/download/299/271
9. Aryastami NK, Shankar A, Kusumawardani N, Besral B, Jahari AB, Achadi E. Berat badan
lahir rendah merupakan prediktor paling dominan terkait stunting pada anak usia 12–23
bulan di Indonesia. BMC Nutr [Internet]. 2017;3(1):16. Tersedia dari: http://
bmcnutr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40795-017-0130-x
10. Paramashanti BA, Hadi H, Gunawan IMA. Pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan dengan
stunting pada anak usia 6–23 bulan di Indonesia. J Gizi dan Diet Indones (Indonesian J Nutr
Diet[Internet].2016;3(3):162.Tersedia dari: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/
article/view/312
11. Aryastami NK, Tarigan I. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting
di Indonesia. Bul Penelit Kesehat [Internet]. 2017;45(4):233–40. Tersedia dari: http://
ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/7465/5434
12. Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy D, Neufeld LM. Tinjauan determinan stunting anak di
Indonesia. Nutrisi Anak Ibu. 2018;14(4):1–10.
13. De Onis M, Onyango AW, Borghi E, Garza C, Yang H. Perbandingan Standar Pertumbuhan
Anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Statistik Kesehatan Nasional/ referensi
pertumbuhan internasional WHO: Implikasi untuk program kesehatan anak.
Nutrisi Kesehatan Masyarakat 2006;9(7):942–7.
14. Presiden ajak Bank Dunia atasi stunting.
15. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Penentu stunting pada anak Indonesia: Bukti dari
survei cross-sectional menunjukkan peran penting sektor air, sanitasi dan kebersihan dalam
pengurangan stunting. Kesehatan Masyarakat BMC [Internet]. 2016;16(1):1–11. Tersedia dari:
http://dx.doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8
16. Rachmi CN, Agho KE, Li M, Baur LA. Stunting, kurus dan kelebihan berat badan pada anak
usia 2,0-4,9 tahun di Indonesia: Tren prevalensi dan faktor risiko terkait. PLoS One
[Internet]. 2016;11(5):1–18. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0154756
17. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Penentu stunting pada anak Indonesia: Bukti
dari survei cross-sectional menunjukkan peran penting sektor air, sanitasi dan kebersihan
dalam pengurangan stunting. Kesehatan Masyarakat BMC. 2016;16(1):1–11.
18. Reyes H, Pérez-Cuevas R, Sandoval A, Castillo R, Santos JI, Doubova S V., dkk. Keluarga sebagai penentu
stunting pada anak yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrim: Sebuah studi kasus-kontrol.
Kesehatan Masyarakat BMC. 2004;4:1–10.
19. Illahi RK. Hubungan Pendapatan Keluarga, Berat Lahir, Dan Panjang Lahir Dengan Kejadian
Stunting Balita 24-59 Bulan Di Bangkalan. J Manaj Kesehat Yayasan RSDr Soetomo
[Internet].2017;3(1):1–7.Tersedia dari:http://jurnal.stikesyrsds.ac.id/index.php/JMK/article/
view/85/83
20. Nadiyah. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan
Nusa Tenggara Timur. J Gizi dan Pangan. 2014;9(2):125–32.
21. Al-Anshori H, Nuryanto N. FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 12-24
BULAN (Studi di Kecamatan Semarang Timur). J Nutr Coll [Internet]. 2013;2(4):675–81.
Tersedia dari: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc/article/view/3830
22. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO, Rahman F. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun. Kesmas Natl Public Heal J [Internet].
2015;10(2):67. Tersedia dari: http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/882
23. Wellina WF, Kartasurya MI, Rahfilludin MZ. Faktor risiko stunting pada anak umur 12-24 bulan. J
Gizi Indonesia. 2016;5(1):55–61.
24. Aguayo VM, Nair R, Badgaiyan N, Krishna V. Penentu pengerdilan dan pertumbuhan linier yang buruk
pada anak di bawah usia 2 tahun di India: Analisis mendalam dari survei nutrisi komprehensif
Maharashtra. Nutrisi Anak Ibu. 2016;12:121–40.
25. Isnaini F, Indrawani YM. Faktor Dominan Penyebab Stunting Usia 12-23 Bulan di Posyandu Terpilih
Kelurahan Depok Tahun 2014. 2014;1–19.
26. Nkurunziza S, Meessen B, Van geertruyden JP, Korachais C. Penentu pengerdilan dan
pengerdilan parah di antara anak-anak Burundi berusia 6-23 bulan: Bukti dari survei rumah
tangga crosssectional nasional, 2014. BMC Pediatr. 2017;17(1):1–15.
27. S. B, S. S, WL Penentu gizi buruk anak selama krisis ekonomi 1999 di beberapa daerah miskin di
Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr [Internet]. 2007;16(3):512–26. Tersedia dari: http://
www.healthyeatingclub.org/APJCN/Volume16/vol16.3/Finished/(512-
526)SaptawatiBardosono.pdf%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=referensi
e&D=emed8&NEWS=N&AN=17704034
28. Batiro B, Demissie T, Halala Y, Anjulo AA. Determinan stunting pada anak usia 6-59 bulan di
Kindo Didaye Wearda, Wolaita Zone, Southern Ethiopia: Unmatched case control
study.PLoSOne[Internet].2017;12(12):1–16.Tersedia dari: http://dx. doi.org/10.1371/
journal.pone.0189106
29. Hwalla N, Al Dhaheri AS, Radwan H, Alfawaz HA, Fouda MA, Al-Daghri NM, dkk.
Prevalensi kekurangan dan ketidakcukupan mikronutrien di timur tengah dan
pendekatan untuk intervensi. Nutrisi. 2017;9(3):1–29.
30. Illahi RK, Muniroh L. Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik Madura. Media Gizi
Indonesia. 2016;11(2):135–43.
31. Pertiwi D, Kusudaryati D, Muis SF, Widajanti L. Pengaruh suplementasi Zn terhadap perubahan
indeks TB/U anak terhambat usia 24-36 bulan. J Gizi Indonesia. 2017;5(2):98–104.
32. Saraswati E dan Budiman B. Dampak Suplementasi Makanan Berkalsium Terhadap Pertumbuhan
Tulang Anak Umur 9-11 Bulan. hal. 1999;(7):5–15.
33. Morris SS, Cogill B, Uauy R. Tindakan internasional yang efektif melawan kekurangan gizi:
mengapa terbukti begitu sulit dan apa yang dapat dilakukan untuk mempercepat kemajuan?
Lanset. 2008;371(9612):608–21.
34. Keats EC, Imdad A, Das JK, Bhutta ZA. Protokol : Khasiat dan efektivitas intervensi suplementasi
dan fortifikasi mikronutrien pada kesehatan dan status gizi balita di negara berpenghasilan
rendah dan menengah: tinjauan sistematis. 2018; (Agustus).
35. Shafiur Rahman M, Nazrul Islam Mondal M, Rafiqul Islam M, Mohiuddin Ahmed K, Reazul Karim
M, Shamsher Alam M. Di Bawah Bobot di antara Wanita Tidak Hamil Pernah Menikah di
Bangladesh: Studi Berbasis Populasi. Univers J Food Nutr Sci [Internet]. 2015;3(2):29– 36.
Tersedia dari: http://www.hrpub.org
36. Atsu BK, Guure C, Laar AK. Penentu kelebihan berat badan dengan pengerdilan bersamaan di antara
anak-anak Ghana. BMC Pediatr. 2017;17(1):1–12.
37. Vollmer S, Harttgen K, Subramanyam MA, Finlay J, Klasen S, Subramanian S V. Asosiasi antara
pertumbuhan ekonomi dan kekurangan gizi anak usia dini: Bukti dari 121 Survei Demografi
dan Kesehatan dari 36 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lanset
Menyembuhkan glob. 2014;2(4):225–34.
38. De Onis M, Blössner M, Borghi E. Prevalensi dan tren pengerdilan di antara anak-anak pra-sekolah,
1990-2020. Nutrisi Kesehatan Masyarakat 2012;15(1):142–8.
39. Krebs NF. Pembaruan pada defisiensi dan kelebihan seng dalam praktik pediatrik klinis. Ann Nutr Metab.
2013;62(SUPPL.1):19–29.