Anda di halaman 1dari 7

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

ISSN :2620-5580
International Journal Of Healthcare Research Vol 1,
Nomor 2 Edisi 1, Bulan Desember 2018

Penentu Stunting di Indonesia:


Artikel Ulasan
2
Indah Budiastuti1, Sri Achadi Nugraheni

1Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak


2Universitas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro Jl.A.Yani No.111 Pontianak, Indonesia
Email: indahbudiastutik@gmail.com

ABSTRAK

Latar belakang:Data prevalensi stunting di Indonesia memiliki jumlah yang cukup relatif sama dengan hasil
Riskesdas tahun 2007 (36,8%), 2010 (35,6%) hingga tahun 2013 meningkat menjadi 37,2% (1),meskipun hasil
riskesdas 2018 turun 6,4%. Menjadi 30,8%(2),namun masalah stunting di Indonesia masih di atas prevalensi
secara global, 22,2%(3).WHO menetapkan definisi kasus gizi kurang dari 20% (4), oleh karena itu Indonesia
termasuk negara yang memiliki masalah kesehatan masyarakat khususnya kasus stunting. Stunting memiliki
risiko panjang seperti PTM saat beranjak dewasa, meski sebenarnya bisa dicegah sejak dini.

Objektif: review artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor determinan yang berisiko terjadinya stunting pada
anak Indonesia.

Metodologi: Kami menerapkan kerangka konsep dari WHO tentang stunting pada anak. Dengan menggunakan
desain uji coba kontrol non-acak, studi observasional, tinjauan artikel ini diterapkan melalui penelusuran artikel
menggunakan Google scholer, Proquest, Medline dan beberapa jurnal online yang diterbitkan 10 tahun
terakhir, kemudian mengambil subjek penelitian ibu dan anak, Penelitian terapan di Kalimantan Barat.

Hasil: Dari penelusuran penelusuran diperoleh 2.435 artikel yang relevan untuk melakukan sitasi,
terdapat 2.122 yang memenuhi syarat setelah melakukan tinjauan judul dan abstrak, setelah melakukan
penyaringan melalui tinjauan teks lengkap artikel diperoleh 360 judul, kemudian 15 artikel yang
melengkapi inklusi/ kriteria eksklusif. Berdasarkan telaah pustaka secara konsisten menunjukkan bahwa
pemberian ASI yang inklusif, status ekonomi rumah tangga yang rendah, kelahiran prematur, lama
melahirkan dan pendidikan ibu yang rendah, serta anak yang tinggal di desa, sanitasi yang buruk, dan
budaya merupakan faktor penentu. stunting anak di Indonesia.

Kesimpulan: Dari sintesa komprehensif mengenai stunting pada anak Indonesia dapat diketahui siapa
yang paling rentan terhadap stunting dan faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada anak.

Kata kunci: stunting, determinan, balita, faktor risiko, Indonesia

Hak Cipta © 2018 Universitas Ahmad Dahlan, All rights reserved

1. PERKENALAN

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multifaktorial dan terjadi secara lintas
generasi. Di Indonesia, masyarakat sering menganggap tubuh pendek atau tinggi adalah keturunan. Persepsi
yang salah di masyarakat perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat, pemerintah, dan otoritas terkait.
Temuan studi membuktikan bahwa faktor keturunan hanya memberikan kontribusi 15%. Sedangkan faktor
terbesar berkaitan dengan nutrisi, hormon pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang(5)(6).
Variabel lain dalam pertumbuhan stunting adalah asap rokok dan polusi udara yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
stunting.
Masa 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) merupakan simpul kritis sebagai awal pertumbuhan
stunting pada anak balita(4)yang berdampak panjang dan berulang dalam siklus hidup. Kurang nutrisi

Penentu Stunting di Indonesia: Artikel Review (Budiastutin & Nugrahaeni)

43
ISSN :2620-5580

sebagai faktor langsung terutama pada balita berdampak pendek yaitu meningkatnya angka kesakitan. Masalah gizi ini
bersifat kronis, dan akan berdampak pada fungsi kognitif yaitu tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada
kualitas sumber daya manusia. Dalam kondisi berulang (dalam siklus hidup), maka anak-anak yang kekurangan gizi di
awal kehidupan (masa 1000 PKH) memiliki risiko penyakit tidak menular atau dengan kata lain disebut penyakit
degeneratif ketika beranjak dewasa.(8).
Stunting merupakan masalah kesehatan sosial yang harus ditangani secara serius. Temuan Riskesdas menunjukkan bahwa
kasus stunting relatif stagnan sekitar 36,8% (2007) dan mencapai 37,2% (2013) dari 33 provinsi di
Indonesia. Lebih dari setengah memiliki tingkat prevalensi lebih dari rata-rata nasional(1).Misalnya,
ketimpangan prevalensi menakjubkan antara DIY (22,5%) dan NTT (58,4%) menunjukkan adanya
ketimpangan dan keterpisahan pembangunan dengan baik. (1),Prevalensi BBLR menurut Riskesdas
adalah 11,1% (2010) dan 10,2 (2013); proporsi lahir pendek (<48 cm) adalah 20,25% (2003).
Proporsi ASI eksklusif rendah (15,3%) selama enam bulan(9).
Dari penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan
berat badan lahir dengan pemberian ASI inklusif dan pemberian makanan tambahan yang tidak optimal.(10).
Pertumbuhan stunting yang terjadi pada usia dini memungkinkan untuk berlanjut dan berisiko terhadap tubuh
pendek ketika mereka tumbuh menjadi remaja. Anak berbadan pendek pada usia dini (0-2 tahun) dan masih pendek
pada usia 4-6 tahun berisiko 27 kali lipat bertubuh pendek hingga masa pubertas; Sebaliknya, anak yang memiliki
pertumbuhan normal pada usia dini yang dapat mengalami gangguan pertumbuhan pada usia 4-6 tahun berisiko 14
kali lipat menjadi pendek pada masa pra pubertas. Oleh karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan stunting
masih diperlukan bahkan setelah 1000 HPK(11).
Fenomena di atas menarik untuk dianalisa mengingat stunting berdampak serius;
seperti dampak jangka pendek yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/ balita, dampak jangka menengah yang
berkaitan dengan rendahnya intelektualitas dan keterampilan kognitif, dan jangka panjang yang berkaitan dengan kualitas sumber daya
manusia dan penyakit degeneratif pada masa dewasa.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN


Berdasarkan data yang digunakan untuk mencari literatur adalah melalui pemilihan berdasarkan kriteria
stunting anak, yang berkaitan dengan penelitian sosial dan kesehatan sosial. Selanjutnya, penerapan literature
review yang berkaitan dengan stunting, pertumbuhan dan outcome menggunakan indikator gizi buruk dengan
zscore <-2 SD, dan berbagai literatur dan tools pencarian terapan adalah Proquest, science Direct, PubMed,
Scopus, Google Schooler, hasil survey nasional seperti rikesdas dan Susenas. Untuk mengidentifikasi faktor
penentu stunting di Indonesia dengan menggunakan kata kunci determinan DAN stunting‖ Risiko DAN Faktor
DAN stunting DAN anak-anak‖ stunting DAN Indonesia‖ kami juga mendefinisikan dan mengambil jurnal yang
terbit mulai 2008-2018. Dari hasil pencarian online didapatkan 2.435 artikel yang relevan untuk sitasi, terdapat
2.122 yang memenuhi syarat setelah dilakukan review judul dan abstrak, setelah dilakukan screening melalui
review full text artikel ditemukan 630 judul, 15 pasal yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi. Menggunakan
konsep WHO, penyebab stunting dapat dikategorikan sebagai penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab
langsung terdiri dari makanan tambahan yang tidak mencukupi, termasuk ASI, dan penyakit infeksi. Penyebab
tidak langsung meliputi masalah sosial, politik, kesehatan, pendidikan, budaya, pertanian, sistem pangan,
sanitasi air, dan lingkungan(12).
Tinjauan pustaka dilakukan dari berbagai sudut pandang; dari teori, buku, dan jurnal hingga
mempelajari dan mempelajari determinan dan faktor risiko yang berhubungan dengan variabel outcome stunting. Kajian hasil
analisis data Riskesdes 2013 merupakan salah satu informasi berbasis sosial yang digunakan dalam analisis determinan yang
berkaitan dengan stunting.
Catatan kunci:
sebuah. Faktor determinan stunting anak di Indonesia adalah jenis kelamin, kelahiran prematur, panjang
lahir, pemberian ASI inklusif, tinggi badan ibu, pendidikan ibu rendah, penyakit infeksi, status ekonomi
rendah, tinggal di lingkungan kumuh, air minum yang tidak dimasak, pelayanan kesehatan yang buruk.
akses, tinggal di desa.
b. Faktor penentu stunting dengan bukti kurang adalah pendidikan rendah, sosial budaya, sistem
pangan dan pertanian, tinggal di desa.
c. Kerangka konsep WHO ingin membuktikan ada perbedaan dan ketidaksesuaian antara
kausalitas dan stunting.
Desain: Non RCT dan observasional. Hasil penelitian menunjukkan adanya pertumbuhan yang menakjubkan pada anak 0-59 bulan
dengan faktor determinan yang berkaitan dengan kerangka konsep WHO, penelitian yang relevan menggunakan bahasa Inggris.

International Journal Of Healthcare Research Vol 4


1,
International Journal Of Healthcare Research ISSN :2620-
Vol 1, Nomor 2 Edisi 5, Bulan Desember 2018

“determinant AND stunting“determinant OR risk factors AND stunting AND children AND Indonesia” dengan publikasi 10 tahu
inggris, subyek:bayi, dan anak

Batasan pada jurnal pendidikan dan


hasil:2.122 artikel artikel bahasa inggris

Pemilihan kata kunci : anak, determinan,


Hasil: 630 artikel faktor risiko, stunting, indonesia

Kesesuaian dengan tujuan peninjauan dan penyertaan


Hasil: 15 kriteria

3. HASIL PENELITIAN

Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan upaya global, dilakukan tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga di semua negara yang memiliki masalah stunting. Upaya ini diprakarsai oleh Majelis Kesehatan
Dunia(13). Sasaran yang ditetapkan untuk menurunkan prevalensi stunting antara lain: menurunkan
prevalensi stunting, mencegah kelebihan berat badan pada balita, menurunkan prevalensi anemia pada
wanita produktif, menurunkan prevalensi berat badan lahir rendah (BBLR), meningkatkan cakupan ASI
eksklusif. Sebagai anggota PBB dengan prevalensi stunting yang tinggi, negara kita berpartisipasi dan
berkomitmen untuk mempercepat perbaikan gizi melalui peningkatan gizi (SUN) di masyarakat.
UU no. 17 tahun 2007 tentang RPJP (2005-2025) menyatakan bahwa pembangunan pangan
dan perbaikan gizi dilakukan lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi
dengan gizi yang cukup, seimbang, dan aman. Kemudian UU Kesehatan no. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan menyatakan bahwa tujuan perbaikan gizi adalah untuk meningkatkan kualitas gizi pribadi
dan sosial melalui perbaikan pola konsumsi yang tepat gizi seimbang, peningkatan kesadaran gizi,
aktivitas fisik dan kesehatan; peningkatan akses gizi dan kualitas pelayanan yang sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan perbaikan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
Sejalan dengan UU tersebut, diterbitkan UU Pangan No. 18 tahun 2012 yang memutuskan kebijakan
pangan untuk meningkatkan status gizi masyarakat,

Selanjutnya diterbitkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJM (200-
2014) bahwa tujuan pembangunan pangan dan gizi adalah meningkatkan stabilitas pangan dan
status kesehatan dan gizi masyarakat. Kemudian Inpres No. 3 Tahun 2010 mengatur tentang
penyusunan rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi. (RAN-PG) 201-2015 di 33 provinsi(1)
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Pembangunan Gizi
diterbitkan untuk mendukung rencana penegakan peran serta dan kepedulian para pemangku
kepentingan secara terkoordinasi untuk mempercepat perbaikan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan.
Oleh karena itu, instrumen pendukung kebijakan perbaikan gizi sudah lengkap dan perlu dilaksanakan
secara terorganisir dan dapat diterapkan oleh setiap elemen yang terlibat. Melalui penerbitan Undang-
Undang Pemerintah ini, diperlukan upaya konkrit dan fokus pada 1000 HPK serta keterpaduan kegiatan
lintas program (upaya khusus) dan lintas sektor (upaya sensitif) oleh seluruh pemangku kepentingan.(14).
Berdasarkan beberapa penelitian tentang faktor determinan stunting disebutkan bahwa stunting
di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor seperti ASI inklusif, status ekonomi rendah, kelahiran
prematur, persalinan pendek, pendidikan ibu yang rendah, dan tinggal di desa, lingkaran kotor, sanitasi
dan budaya yang buruk merupakan faktor penentu stunting anak Indonesia.
1. Memberikan ASI inklusif
Pemberian ASI eksklusif sangat erat kaitannya dengan kematian anak stunting. Karena itu, anak-anak
yang tidak mendapatkan ASI eksklusif berisiko mengalami stunting(15), dua analisis terbaru bahwa bayi
yang disapih sebelum 6 bulan memiliki risiko lebih tinggi mengalami stunting(16). Pemberian ASI pada
usia 0-5 bulan akan berkontribusi dalam menurunkan stunting pada anak(17).

Penentu Stunting di Indonesia: Artikel Review (Budiastutin & 4


ISSN :2620-5580

2. Status ekonomi dan sosial keluarga


Pendapatan keluarga merupakan salah satu indikator sosial ekonomi untuk memenuhi dan memenuhi kebutuhan dalam
keluarga, hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa keluarga petani berisiko mengalami stunting.
(18) . Pendapatan rendah berisiko stunting(19). Penelitian dilakukan di 3 provinsi di Indonesia; Bali, Jawa Barat, dan NTT
menunjukkan bahwa faktor risiko stunting adalah pendapatan ayah yang rendah(20). Sedangkan penelitian yang
dilakukan di Semarang menunjukkan bahwa status sosial ekonomi keluarga yang rendah memiliki risiko 11 kali lipat
untuk mengalami stunting(21)
3. Melahirkan dengan Berat Badan Rendah

Kelahiran bayi prematur memiliki risiko Bayi Berat Badan Rendah (BBLR), hal ini membawa risiko serius
terjadinya stunting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR memiliki risiko 1,74 kali
hambatan pertumbuhan TB/U(9). Berdasarkan penelitian lain ditemukan bahwa bayi yang lahir dengan BBLR
memiliki risiko 5,87 kali untuk stunting(22). Hasil penelitian di Brebes menunjukkan bahwa BBLR membutuhkan
6,63 kali stunting.
4. Persalinan panjang bayi
Penelitian yang dilakukan di Kulon Progo menyebutkan bahwa jika bayi lahir dengan panjang kurang dari 48 cm akan
berisiko mengalami stunting di kemudian hari (19). Berdasarkan penelitian di India, bayi yang lahir dengan tubuh
pendek memiliki risiko stunting(24). Penelitian di Depok menemukan bahwa bayi dengan tubuh pendek memiliki risiko
stunting di masa depan(25).
5. Pendidikan ibu
Ibu memegang peranan utama dalam menentukan kesehatan bayi, oleh karena itu pendidikan ibu yang
berkualitas membuatnya lebih selektif dan kreatif dalam memberikan makanan bergizi bagi anak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendidikan ibu yang rendah berisiko 1,6 kali lipat menjadi stunting(26).
Penelitian yang dilakukan di Banjar Baru menunjukkan rendahnya pendidikan ibu menyebabkan 5,1 kali
stunting pada anak(22).
6. Penyakit menular
Berdasarkan konsep WHO, infeksi sering menyerang anak stunting, seperti diare, kecacingan,
radang, malaria, dan gangguan pernapasan. Terdeteksi yang paling berisiko adalah diare, karena
anak-anak tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap. Berdasarkan temuan penelitian di
masyarakat miskin dan di desa, menunjukkan bahwa penyakit menular seperti diare berisiko
terjadinya stunting(27). Temuan penelitian di Etiopia menunjukkan bahwa anak-anak yang
mengalami diare berisiko 6,3 risiko stunting(28).
Mengacu pada teori dan konsep WHO, maka determinan stunting dapat ditemukan sebagai
mengikuti:

Gambar 1. Konsep WHO tentang faktor determinan stunting pada anak. Modifikasi Steaweart et. Al.,
2013

4. DISKUSI

International Journal Of Healthcare Research Vol 4


1,
International Journal Of Healthcare Research ISSN :2620-
Vol 1, Nomor 2 Edisi 5, Bulan Desember 2018

Konsep WHO menunjukkan tinjauan menyeluruh terhadap artikel-artikel tentang determinan


anak stunting di Indonesia. Dari tinjauan pustaka yang kami lakukan menemukan secara konsisten bahwa
variabel tinggi badan ibu, kelahiran prematur, BBLR, lama melahirkan, pendidikan ibu yang rendah, penyakit
menular, dan sosial ekonomi keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia. (12), baru-baru ini
dilakukan penelitian cross sectional yang menunjukkan bahwa penyapihan dini, panjang badan ayah, konsumsi
air matang, lingkaran kotor memiliki risiko stunting. (29), sedangkan penelitian di Madura menunjukkan bahwa
pemberian makanan tambahan lebih awal berisiko terjadinya stunting pada anak(30).
Upaya penanggulangan stunting dilakukan melalui penelitian eksperimental dengan pemberian
suplemen zinc pada anak untuk melihat Z-score TB/U(31), ada perbedaan pertumbuhan linier pada balita stunting
setelah diberikan zinc kalsium(32). Kami juga mendapatkan bahwa peran masyarakat, akses layanan kesehatan,
layanan kesehatan yang berkualitas juga memiliki peran penting dalam stunting di Indonesia.
Selain melakukan penelitian dari kalangan akademisi, di Indonesia telah dikembangkan kebijakan
Peningkatan Gizi‖ dimaknai sebagai Gerakan Nasional 1000 Hari Pertama Kehidupan. Mengingat kasus gizi
memiliki variabel multifaktorial, maka dalam pelaksanaannya perlu adanya keterlibatan lintas sektor.
Kajian terkait keberhasilan implementasi kebijakan penurunan kasus gizi melalui berbagai metode
(systemic review, problem analysis) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan penurunan kasus gizi
secara global tidak nyaman.(33).
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia berkomitmen untuk mengambil peran dalam menurunkan prevalensi
stunting. Diterbitkannya Peraturan Presiden no. 42/2013 merupakan salah satu strategi dalam SUN yang melibatkan lintas
sektor. Aturan Preseden ini penting karena pengerdilan berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan rendah, penyakit,
produktivitas wanita rendah(13,34). Studi di Bangladesh menunjukkan hubungan antara kemiskinan dan gizi buruk terjadi pada
ibu yang buta huruf, berpenghasilan rendah, memiliki banyak saudara kandung, memiliki akses yang buruk ke media, memiliki
gizi buruk, dan sanitasi yang rendah dan lingkaran kesehatan yang buruk mengambil risiko masalah gizi.
(35)Namun, perbedaan pembangunan lintas wilayah di Indonesia juga berpengaruh terhadap disparitas
prevalensi stunting yang besar. Hasil penelitian di Ghana menunjukkan bahwa kemiskinan dan karakteristik
kabupaten sebagai penyebab perbedaan masalah gizi balita(37). Oleh karena itu perlu penanganan serius untuk
mengatasi masalah tersebut dan menurunkan kasus stunting pada usia dini, bahkan pada 1000 HPK sebagai usia
emas dalam mencegah pertumbuhan stunting.(38). Rendahnya pertumbuhan masa janin atau sekitar 1000 HPK
berdampak jangka panjang. Jika faktor eksternal (setelah lahir) tidak mendukung, pertumbuhan stunting bisa
permanen seperti remaja pendek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang memiliki tubuh pendek
atau stunting saat lahir, secara biologis memiliki ukuran yang berbeda dengan yang memiliki ukuran lebih besar
saat lahir.(39). Oleh karena itu, pengendalian kasus stunting harus dimulai jauh dari anak-anak lahir (masa 1000
HPK) bahkan sejak remaja untuk memutus mata rantai stunting.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil identifikasi dan beberapa artikel dapat disimpulkan bahwa faktor determinan
stunting di Indonesia secara konsisten adalah status sosial ekonomi (pendapatan keluarga), pendidikan
ibu, BBLR, kelahiran prematur, ASI inklusif, lama melahirkan, defisiensi makro dan mikro, komunitas dan
masyarakat. faktor juga sangat berpengaruh terhadap stunting. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
terkait variabel ekonomi, politik, sosial budaya, pertanian dan sistem pangan, air dan sanitasi lingkungan
terhadap stunting di Indonesia. Melakukan produktivitas dalam meningkatkan status gizi masyarakat.

REFERENSI

1. RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar. Kementeri Kesehat Republik Indonesia. 2013;1–384.


2. Kementerian RH. Hasil Utama Laporan Riskesdas 2018. 2018;
3. Tabel S. Tingkat dan Tren Gizi Buruk Anak , 1990 –. 2015;9–13.
4. de Onis M, Onyango AW. {WHO} standar pertumbuhan anak. Lanset. 2008;371(9608):204. Calkins K,
5. Devaskar SU. Asal Usul Penyakit Janin Dewasa Kara. Curr Masalah Pediatr Adolsc Heal Care
[Internet]. 2011;41(6)::158–76. Tersedia dari: doi:10.1016/j.cppeds.2011.01.001
6. Sari M, de Pee S, Bloem MW, Sun K, Thorne-Lyman AL, Moench-Pfanner R, dkk. Pengeluaran
Rumah Tangga yang Lebih Tinggi untuk Pangan Sumber Hewani dan Bukan Biji-bijian
Turunkan Risiko Stunting pada Anak Usia 0-59 Bulan di Indonesia: Implikasi Kenaikan Harga
Pangan. J Nutr [Internet].2010;140(1):195S–200S.Tersedia dari: http://jn.nutrition.org/cgi/doi/
10.3945/jn.109.110858
7. Kyu HH, Georgiades K, Boyle M. Ibu merokok, paparan asap biofuel dan tinggi badan anak menurut
usia di tujuh negara berkembang. Int J Epidemiol. 2009;38(5):1342–50.

Penentu Stunting di Indonesia: Artikel Review (Budiastutin & 4


ISSN :2620-5580

8. Amin NA, Julia M. Faktor Sosiodemografi dan Tinggi Badan Orang Tua serta Hubungannya
dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-23 Bulan. J Gizi dan Diet Indonesia [Internet].
2014;2:171. Tersedia dari:
http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/article/download/299/271
9. Aryastami NK, Shankar A, Kusumawardani N, Besral B, Jahari AB, Achadi E. Berat badan
lahir rendah merupakan prediktor paling dominan terkait stunting pada anak usia 12–23
bulan di Indonesia. BMC Nutr [Internet]. 2017;3(1):16. Tersedia dari: http://
bmcnutr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40795-017-0130-x
10. Paramashanti BA, Hadi H, Gunawan IMA. Pemberian ASI eksklusif tidak berhubungan dengan
stunting pada anak usia 6–23 bulan di Indonesia. J Gizi dan Diet Indones (Indonesian J Nutr
Diet[Internet].2016;3(3):162.Tersedia dari: http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/IJND/
article/view/312
11. Aryastami NK, Tarigan I. Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting
di Indonesia. Bul Penelit Kesehat [Internet]. 2017;45(4):233–40. Tersedia dari: http://
ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/download/7465/5434
12. Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy D, Neufeld LM. Tinjauan determinan stunting anak di
Indonesia. Nutrisi Anak Ibu. 2018;14(4):1–10.
13. De Onis M, Onyango AW, Borghi E, Garza C, Yang H. Perbandingan Standar Pertumbuhan
Anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pusat Statistik Kesehatan Nasional/ referensi
pertumbuhan internasional WHO: Implikasi untuk program kesehatan anak.
Nutrisi Kesehatan Masyarakat 2006;9(7):942–7.
14. Presiden ajak Bank Dunia atasi stunting.
15. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Penentu stunting pada anak Indonesia: Bukti dari
survei cross-sectional menunjukkan peran penting sektor air, sanitasi dan kebersihan dalam
pengurangan stunting. Kesehatan Masyarakat BMC [Internet]. 2016;16(1):1–11. Tersedia dari:
http://dx.doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8
16. Rachmi CN, Agho KE, Li M, Baur LA. Stunting, kurus dan kelebihan berat badan pada anak
usia 2,0-4,9 tahun di Indonesia: Tren prevalensi dan faktor risiko terkait. PLoS One
[Internet]. 2016;11(5):1–18. Tersedia dari: http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0154756
17. Torlesse H, Cronin AA, Sebayang SK, Nandy R. Penentu stunting pada anak Indonesia: Bukti
dari survei cross-sectional menunjukkan peran penting sektor air, sanitasi dan kebersihan
dalam pengurangan stunting. Kesehatan Masyarakat BMC. 2016;16(1):1–11.
18. Reyes H, Pérez-Cuevas R, Sandoval A, Castillo R, Santos JI, Doubova S V., dkk. Keluarga sebagai penentu
stunting pada anak yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrim: Sebuah studi kasus-kontrol.
Kesehatan Masyarakat BMC. 2004;4:1–10.
19. Illahi RK. Hubungan Pendapatan Keluarga, Berat Lahir, Dan Panjang Lahir Dengan Kejadian
Stunting Balita 24-59 Bulan Di Bangkalan. J Manaj Kesehat Yayasan RSDr Soetomo
[Internet].2017;3(1):1–7.Tersedia dari:http://jurnal.stikesyrsds.ac.id/index.php/JMK/article/
view/85/83
20. Nadiyah. Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 0—23 Bulan Di Provinsi Bali, Jawa Barat, Dan
Nusa Tenggara Timur. J Gizi dan Pangan. 2014;9(2):125–32.
21. Al-Anshori H, Nuryanto N. FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 12-24
BULAN (Studi di Kecamatan Semarang Timur). J Nutr Coll [Internet]. 2013;2(4):675–81.
Tersedia dari: https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jnc/article/view/3830
22. Rahayu A, Yulidasari F, Putri AO, Rahman F. Riwayat Berat Badan Lahir dengan Kejadian
Stunting pada Anak Usia Bawah Dua Tahun. Kesmas Natl Public Heal J [Internet].
2015;10(2):67. Tersedia dari: http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/view/882
23. Wellina WF, Kartasurya MI, Rahfilludin MZ. Faktor risiko stunting pada anak umur 12-24 bulan. J
Gizi Indonesia. 2016;5(1):55–61.
24. Aguayo VM, Nair R, Badgaiyan N, Krishna V. Penentu pengerdilan dan pertumbuhan linier yang buruk
pada anak di bawah usia 2 tahun di India: Analisis mendalam dari survei nutrisi komprehensif
Maharashtra. Nutrisi Anak Ibu. 2016;12:121–40.
25. Isnaini F, Indrawani YM. Faktor Dominan Penyebab Stunting Usia 12-23 Bulan di Posyandu Terpilih
Kelurahan Depok Tahun 2014. 2014;1–19.
26. Nkurunziza S, Meessen B, Van geertruyden JP, Korachais C. Penentu pengerdilan dan
pengerdilan parah di antara anak-anak Burundi berusia 6-23 bulan: Bukti dari survei rumah
tangga crosssectional nasional, 2014. BMC Pediatr. 2017;17(1):1–15.
27. S. B, S. S, WL Penentu gizi buruk anak selama krisis ekonomi 1999 di beberapa daerah miskin di
Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr [Internet]. 2007;16(3):512–26. Tersedia dari: http://
www.healthyeatingclub.org/APJCN/Volume16/vol16.3/Finished/(512-

International Journal Of Healthcare Research Vol 4


1,
International Journal Of Healthcare Research ISSN :2620-
Vol 1, Nomor 2 Edisi 5, Bulan Desember 2018

526)SaptawatiBardosono.pdf%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=referensi
e&D=emed8&NEWS=N&AN=17704034
28. Batiro B, Demissie T, Halala Y, Anjulo AA. Determinan stunting pada anak usia 6-59 bulan di
Kindo Didaye Wearda, Wolaita Zone, Southern Ethiopia: Unmatched case control
study.PLoSOne[Internet].2017;12(12):1–16.Tersedia dari: http://dx. doi.org/10.1371/
journal.pone.0189106
29. Hwalla N, Al Dhaheri AS, Radwan H, Alfawaz HA, Fouda MA, Al-Daghri NM, dkk.
Prevalensi kekurangan dan ketidakcukupan mikronutrien di timur tengah dan
pendekatan untuk intervensi. Nutrisi. 2017;9(3):1–29.
30. Illahi RK, Muniroh L. Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik Madura. Media Gizi
Indonesia. 2016;11(2):135–43.
31. Pertiwi D, Kusudaryati D, Muis SF, Widajanti L. Pengaruh suplementasi Zn terhadap perubahan
indeks TB/U anak terhambat usia 24-36 bulan. J Gizi Indonesia. 2017;5(2):98–104.
32. Saraswati E dan Budiman B. Dampak Suplementasi Makanan Berkalsium Terhadap Pertumbuhan
Tulang Anak Umur 9-11 Bulan. hal. 1999;(7):5–15.
33. Morris SS, Cogill B, Uauy R. Tindakan internasional yang efektif melawan kekurangan gizi:
mengapa terbukti begitu sulit dan apa yang dapat dilakukan untuk mempercepat kemajuan?
Lanset. 2008;371(9612):608–21.
34. Keats EC, Imdad A, Das JK, Bhutta ZA. Protokol : Khasiat dan efektivitas intervensi suplementasi
dan fortifikasi mikronutrien pada kesehatan dan status gizi balita di negara berpenghasilan
rendah dan menengah: tinjauan sistematis. 2018; (Agustus).
35. Shafiur Rahman M, Nazrul Islam Mondal M, Rafiqul Islam M, Mohiuddin Ahmed K, Reazul Karim
M, Shamsher Alam M. Di Bawah Bobot di antara Wanita Tidak Hamil Pernah Menikah di
Bangladesh: Studi Berbasis Populasi. Univers J Food Nutr Sci [Internet]. 2015;3(2):29– 36.
Tersedia dari: http://www.hrpub.org
36. Atsu BK, Guure C, Laar AK. Penentu kelebihan berat badan dengan pengerdilan bersamaan di antara
anak-anak Ghana. BMC Pediatr. 2017;17(1):1–12.
37. Vollmer S, Harttgen K, Subramanyam MA, Finlay J, Klasen S, Subramanian S V. Asosiasi antara
pertumbuhan ekonomi dan kekurangan gizi anak usia dini: Bukti dari 121 Survei Demografi
dan Kesehatan dari 36 negara berpenghasilan rendah dan menengah. Lanset
Menyembuhkan glob. 2014;2(4):225–34.
38. De Onis M, Blössner M, Borghi E. Prevalensi dan tren pengerdilan di antara anak-anak pra-sekolah,
1990-2020. Nutrisi Kesehatan Masyarakat 2012;15(1):142–8.
39. Krebs NF. Pembaruan pada defisiensi dan kelebihan seng dalam praktik pediatrik klinis. Ann Nutr Metab.
2013;62(SUPPL.1):19–29.

Penentu Stunting di Indonesia: Artikel Review (Budiastutin & 4

Anda mungkin juga menyukai