Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab IV penulis akan memaparkan tentang pembahasan kasus yang


dilaksanakan tanggal 7 Desember 2016-10 Desember 2016 pada Ny.I dengan
Gangguan Sistem Integumen Steven Johnson Syndrome (SJS) di Ruang Amarilis
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, dengan tujuan mendapatkan gambaran
kesenjangan antara konsep teori dengan konsep kasus nyata dalam memberikan
asuhan keperawatan. Pembahasan ini meliputi komponen asuhan keperawatan
yakni, pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, penatalaksanaan dan
evaluasi, berikut pelaksanaaanya.

A. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan


proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pengkajian
keperawatan merupakan dasar pemikiran dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan klien. Pengkajian yang lengkap, dan sistematis sesuai
dengan fakta atau kondisi yang ada pada klien sangat penting untuk merumuskan
suatu diagnosis keperawatan dan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan respon individu (Budiono, 2015).

Asuhan keperawatan pada Ny.I dengan SJS dilakukan penulis pada


tanggal 7 Desember 2016. Ada beberapa data yang penulis peroleh dari catatan
medis dan juga wawancara terhadap pasien. Bahwa Ny.I sebelum dibawa
kerumah sakit sering megalami sakit gigi sebelah kiri setelah operasi pencabutan
gigi 1 tahun yang lalu, sudah 3 bulan pasien kontrol rutin di poli gigi Rumah
Sakit Ujung Berung. Karena keluhan sakit giginya tidak berkurang, pasien berobat
ke Dokter saraf dan mendapatkan obat Tegretol 200 mg 1x/hari, Folavit 2x/hari,
dan Ibuprofen 400 mg 3x/hari. Kemudian 2 hari setelah pasien mengkonsumsi

75
76

obat tersebut, tubuh pasien demam dan timbul bercak-bercak kemerahan disekitar
wajah, mulut, leher dan dada.

Menurut analisa yang telah penulis lakukan, bercak-bercak kemerahan


tersebut muncul karena reaksi alergi obat Tegretol 200 mg yang didalamnya
mengandung Karbamazepin. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-
2002) 20% penyebab SJS adalah Karbamazepin. Reaksi alergi pada Ny.I adalah
reaksi alergi type III dan type IV. Reaksi alergi type III terjadi akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibodi. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
diantaranya mulut, mata dan bibir. Reaksi alergi type IV terjadi akibat limfosit T
yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang pada kulit pasien berupa
bercak-bercak kemerahan dan vesikel. Pada tanggal 30 November 2016 pasien
dibawa ke Rumah Sakit Ujung Berung, selama 4 hari mendapatkan perawatan di
Rumah Sakit Ujung Berung, bercak-bercak kemerahan semakin bertambah
keseluruh tubuh. Kemudian pada tanggal 5 Desember 2016 pasien dirujuk ke
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Pasien sampai di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tanggal 5


Desember 2016 jam 20.25 WIB, kemudian pasien di ukur tanda-tanda vitalnya,
tekanan darah 100/60 mmHg, suhu 36.5ºC, nadi 82x/menit, pernafasan 20x/menit.
Setelah itu pasien diinfus NaCl 0,9% 2000cc/24 jam dan mendapatkan injeksi
intravena deksametasone 5 mg dan ranitidine 50 mg. Pada jam 00.50 WIB tanggal
6 Desember 2016 pasien dipindah ke ruang Amarilis untuk mendapatkan terapi
lebih lanjut. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 7 Desember 2016 pada pukul
14.05 WIB keluhan utama yang dirasakan pasien adalah nyeri pada rahang kiri
bawah.

Adapun pengkajian biodata pada pasien dimasukkan untuk lebih mengenal


pasien. Hingga diketahui latar belakang yang kemungkinan mempengaruhi
intervensi yang akan diberikan pada pasien tersebut. Pengkajian riwayat kesehatan
digunakan untuk mengetahui adanya keluhan utama, riwayat kesehatan keluarga,
77

riwayat kesehatan dahulu dalam pengkajian kesehatan dahulu dan riwayat


kesehatan keluarga, alat yang digunakan penulis untuk mengkaji pasien adalah
stetoskop, tensi meter, dan termometer. Dalam pengkajian kesehatan sekarang
dimasukkan untuk mengetahui jenis penyakit dan lokasinya.

Pada kasus Steven Johnson Syndrome analisa data hasil pengkajian


penulis menggunakan Teori Gordon tentang pola fungsional. Pola fungsional
kesehatan adalah pendekatan holistic yang bersifat sistematis untuk mengevaluasi
segala bidang kebutuhan manusia dan bidang-bidang tersebut saling bergantung
satu sama lain. Pendekatan yang sistematis ini memungkinkan perawat untuk
mampu memeriksa dan menilai lebih komperhensif mengenai tindakan dan respon
pasien, mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan mengevaluasi dari hasil
perawatan. Dalam melakukan pengkajian pada Ny.I digunakan teori Gordon
karena pada teori tersebut lebih menekankan pada pendekatan holistik yang
sistematis meliputi bio, psiko, spiritual dan cultural pasien. Pada hasil pengkajian
didapatkan gangguan pada pola fungsional Gordon salah satunya yaitu, pola
sensorik dan kognitif. Keluarga pasien mengatakan penglihatan pasien sedikit
kabur karena terdapat lendir di mata pasien. Pasien mampu mencium bau minyak
angin dan bau masakan, pasien merasakan nyeri pada rahang sebelah kiri akibat
operasi gigi geraham kiri bawah 1 tahun yang lalu, skala nyeri pasien 4
(pengkuran skala nyeri menggunakan Wong-Baker) nyeri seperti dipukul-pukul,
nyeri pasien hilang timbul tidak menentu dan pasien merasakan nyeri saat
bergerak. Pasien terlihat meringis menahan sakit dan mengerutkan dahi, tekanan
darah 100/70 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36 ºC, pernapasan 22 x/menit.

B. Diagnosa Keperawatan, Intervensi Keperawatan, Implementasi


Keperawatan & Evaluasi

Diagnosa Keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons manusia


terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan respons dari
seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (NANDA, 2015).
78

Menurut Budiono, (2015) intervensi keperawatan merupakan


pengembangan strategi desian untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi
masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan.
Implementasi keperawatan adalah realisasi rencana tindakan/intervensi untuk
mencapai tujuan yang ditelah ditetapkan. Kegiatan dalam
pelaksanaan/implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi repsons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta
menilai data yang baru, sedangkan evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan
cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan.

Sesuai dengan teori yang telah ditulis pada BAB II didapatkan diagnosa
keperawatan :

1. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan turgor kulit.


2. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d intake tidak
adekuat repons sekunder dari kerusakan krusta pada mukosa mulut.
3. Infeksi b.d leukositopenia.
4. Resiko perdarahan b.d trombositopenia.
5. Nyeri b.d agen cidera fisik.
6. Insomnia b.d ketidaknyamanan fisik.
7. Intoleransi aktifitas b.d kelemahan fisik.
8. Defisit perawatan diri b.d kelemahan fisik secara umum.
9. Gangguan citra tubuh b.d perubahan struktur kulit, perubahan peran
keluarga.
10. Kecemasan b.d kondisi penyakit, penurunan kesembuhan

Dalam kasus ini penulis mendapatkan delapan diagnosa keperawatan yang


muncul dalam pengkajian yang telah dilakukan. Pada pembahasan ini dimulai dari
pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
impementasi dan evaluasi keperawatan.

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik


79

Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak


menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau
potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan (International
Association fot the Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat di antisipasi atau
diprediksi ( Nanda, 2015).

Penulis memprioritaskan diagnosa nyeri akut sebagai masalah


pertama, karena apabila nyeri tidak segera diatasi akan menyebabkan efek
yang membahayakan diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya selain
merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak reda
dapat mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal,
endokrin dan imunologik. Respon stress ( respon neuro endokrin terhadap
stress) yang terjadi dengan trauma juga terjadi dengan penyebab nyeri
hebat lainya. Respon stress umumnya terdiri atas meningkatnya laju
metabolisme dan curah jantung , kerusakan respon, insulin, peningkatan
produksi kortisol dan maningkatnya retensi cairan. Respon stress dapat
meningkatkan resiko pasien terhadap gangguan fisiologis yaitu infark
miokard, infeksi pulmonar, tromboebolisme dan praltik ileus yang lama.
Pasien dengan nyeri dan stress yang berkaitan dengan nyeri dapat tidak
mampu untuk bernafas dalam dan mengalami peningkatan nyeri dan
mobilitas menurun ( Devey, 2005).

Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal


7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa nyeri ini, yaitu didapatkan
data subyektif pasien mengatakan nyeri pada rahang sebelah kiri bawah,
pasien merasakan nyeri saat bergerak, nyeri seperti dipukul-pukul, nyeri
skala 4, nyeri pasien hilang timbul tidak menentu dan data obyektif
didapatkan pasien meringis menahan sakit dan mengerutkan dahi, tekanan
darah 100/70 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36.8ºC, RR 22 x/menit.

Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan


selama 3x24 jam nyeri hilang atau dapat teratasi dengan kriteria hasil
80

sebagai berikut : 1. Secara subyektif dapat melaporkan nyeri berkurang 2.


Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri 3. Mampu mengenali nyeri 4. Pasien tidak gelisah.

Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji nyeri dengan pendekatan


PQRST. 2. Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri
nonformakologi dan noninvasif. 3. Atur posisi fisiologi. 4. Istirahatkan
klien. 5. Bila perlu premedikasi sebelum melakukan perawatan luka. 6.
Manajemen lingkungan : lingkungan tenang dan batasi pengunjung. 7.
Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam. 8. Ajarkan teknik distraksi
pada saat nyeri. 9. Lakukan manajemen sentuhan. 10. Kolaborasi dengan
dokter, pemberian analgetik.

Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari


teori yaitu : 1. Kaji skala nyeri dengan pendekatan PQRST. 2. Lakukan
manajemen sentuhan. 3. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam. 4.
Kolaborasi pemberian analgetik Gabapentin 50 mg.

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
pasien mengatakan nyeri pada rahang kiri bawah, nyeri seperti dipukul-
pukul, pasien nyeri saat bergerak, nyeri skala 2, nyeri hilang timbul .
Sedangkan data obyektif yang ditemukan adalah tekanan darah 110/70
mmHg, nadi 84 x/menit, RR 20 x/menit, suhu 37ºC pasien lebih relaks,
tidak gelisah dan tidak menahan sakit.

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah teratasi maka penulis mempertahankan
intervensi 1. Kaji skala nyeri dengan pendekatan PQRST. 2. Lakukan
manajemen sentuhan. 3. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam. 4.
Kolaborasi pemberian analgetik Gabapentin 50 mg.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhungan


dengan intake tidak adekuat respons sekunder dari kerusakan krusta
pada mukosa mulut
81

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah


asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
(NANDA, 2015).

Kekurangan nutrisi merupakan keadaan yang dialami seseorang


dalam keadaan tubuh berpuasa (normal) arau risiko penurunan berat badan
akibat ketidakmampuan menyerap nutrisi untuk kebutuhan metabolisme
(Wahyudi, 2016).

Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal


7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh ini, yaitu didapatkan data subyektif keluarga
pasien mengatakan, pasien hanya mengkonsumsi susu yang diberikan
rumah sakit, pemberiannya 3x sehari dan hanya setengah porsi susu
(±200cc) yang habis diminum pasien setiap kali pemberian dan data
obyektif didapatkan pasien terlihat lemah, pucat, kurus, mukosa bibir
kering dan pecah-pecah, Hb : 9.1 (12.0-16.0 g/dL), Ht : 28 (35-47 %),
Trombosit : 80,000 (150000-450000 /mm³), TB : 148 cm, intepretasi
LILA 87,7 % (Underweight), tidak memungkinkan dilakukan pengkajian
berat badan karena pasien sangat lemah dan lemas.

Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan


selama 3x24 jam diharapkan asupan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil
sebagai berikut : 1. Pasien dapat mempertahankan status asupan nutrisi
yang adekuat. 2. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. 3. Mampu
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji status nutrisi pasien, turgor


kulit, badan dan derajat penurunan berat badan, integritas mukosa oral,
kemampuan menelan, serta riwayat mual/muntah. 2. Evaluasi adanya
alergi makanan dan kontraindikasi makanan. 3. Fasilitas pasien
memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi). 4. Lakukan
dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum
dan sesudah intervensi / pemeriksaan peroral. 5. Fasilitas pasien
82

memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari asupan dari


agen iritan. 6. Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang
tenang. 7. Anjurkan pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam
pemenuhan nutrisi. 8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan
komposisi dan jenis diet yang tepat.

Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari


teori yaitu : 1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, badam dan derajat
penurunan berat badan, integritas mukosa oral. 2. Berikan makanan yang
terpilih (sudah dikonsulkan dengan ahli gizi). 3. Anjurkan pasien dan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan nutrisi. 4. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan pasien hanya mengkonsumsi susu yang
diberikan rumah sakit, pemberiannya 3x sehari, susu yang dihabiskan
pasien seiap kali pemberian ±300 cc. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan adalah pasien terlihat lemah, kurus, mukosa bibir kering Hb :
9.2 (12.0-16.0 g/dL), Ht : 28 (35-47%), Trombosit : 154,000 (150000-
450000 /mm³), TB : 148 cm, tidak memungkinkan dilakukan pengkajian
berat bada karena pasien sangat lemah.

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah belum teratasi maka penulis melanjutkan
intervensi 1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, badam dan derajat
penurunan berat badan, integritas mukosa oral. 2. Berikan makanan yang
terpilih (sudah dikonsulkan dengan ahli gizi). 3. Anjurkan pasien dan
keluarga untuk berpartisipasi dalam pemenuhan nutrisi. 4. Kolaborasi
dengan ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

3. Risiko Perdarahan berhungan dengan trombositopenia.


83

Risiko perdarahan adalah rentan mengalami penurunan volume


darah yang dapat mengganggu kesehatan (NANDA, 2015).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa risiko perdarahan ini, yaitu
didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, bibir pasien pecah-
pecah dan sedikit berdarah. Sedangkan data obyektif didapatkan bibir
pasien pecah pecah dan sedikit berdarah, Hb : 9.1 (12.0-16.0 g/dL), Ht : 28
(35-47 %), Trombosit : 80.000 (150.000-450.000 /mm³).

Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan


selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi perdarahan dengan kriteria hasil
sebagai berikut : 1. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg). 2.
Hb, Ht dan trombosit dalam batas normal.

Adapun intervensi sesuai teori : 1. Monitor TTV dan tanda-tanda


perdarahan. 2. Berikan penjelasan pada keluarga untuk segera melaporkan
jika ada tanda-tanda perdarahan. 3. Anjurkan pasien banyak istirahat. 4.
Kolaborasi pemberian suplemen tambah darah.

Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari


teori yaitu : 1. Monitor TTV dan tanda-tanda perdarahan. 2. Berikan
penjelasan pada keluarga untuk segera melaporkan jika ada tanda-tanda
perdarahan. 3. Anjurkan pasien banyak istirahat. 4. Kolaborasi pemberian
suplemen tambah darah Asam folat 1 mg, Vit. B12 50 mg, Callos 500 mg.

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan tidak ada tanda-tanda perdarahan pada bibir
pasien. Sedangkan data obyektif yang ditemukan adalah bibir pasien pecah
tidak berdarah, tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi : 84 x/menit, RR : 20
x/menit, Suhu : 37ºC, Hb : 9.2 (12.0-16.0 g/dL, Ht : 28 (35-47 %),
Trombosit : 154,000 (150,000-450,000/mm³).

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah teratasi maka penulis mempertahankan
84

intervensi : 1. Monitor TTV dan tanda-tanda perdarahan. 2. Berikan


penjelasan pada keluarga untuk segera melaporkan jika ada tanda-tanda
perdarahan. 3. Anjurkan pasien banyak istirahat. 4. Kolaborasi pemberian
suplemen tambah darah Asam folat 1 mg, Vit. B12 50 mg, Callos 500 mg.

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan turgor kulit.


Kerusakan integritas kulit adalah kerusakan pada epidermis
dan/atau dermis (NANDA, 2015).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa kerusakan integritas kulit
ini, yaitu didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, timbul
bercak-bercak kemerahan di seluruh tubuh pasien. Sedangkan data
obyektif didapatkan terdapat bercak-bercak kemerahan dan vesikel di
seluruh tubuh.

Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan


selama 3x24 jam diharapkan integritas kulit membaik secara optimal
dengan kriteria hasil sebagai berikut : 1. Pertumbuhan jaringan membaik.
2. Lesi berkurang.

Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji kerusakan jaringan kulit


yang terjadi pada klien. 2. Lakukan tindakan peningkatan integritas
jaringan. 3. Lakukan oral higine. 4. Tingkatkan asupan nutrisi. 5. Evaluasi
kerusakan jaringan dan perkembangan pertumbuhan jaringan. 6. Lakukan
intervensi untuk mencegah komplikasi. 7. Kolaborasi untuk pemberian
kortikosteroid. 8. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.

Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari


teori yaitu : 1. Kaji kerusakan jaringan kulit yang terjadi pada pasien. 2.
Berikan kompres NaCl pada area luka. 3. Anjurkan pasien meningkatkan
nutrisi. 4. Kolaborasi pemberian kortikosteroid dexamethasone 5 mg.

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan bercak-bercak kemerahan pada tubuh pasien
85

berkurang. Sedangkan data obyektif yang ditemukan adalah bercak-bercak


kemerahan berkurang, vesikel berkurang.

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah teratasi maka penulis mempertahankan
intervensi : 1. Kaji kerusakan jaringan kulit yang terjadi pada pasien. 2.
Berikan kompres NaCl pada area luka. 3. Anjurkan pasien meningkatkan
nutrisi. 4. Kolaborasi pemberian kortikosteroid dexamethasone 5 mg.

5. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik.


Insomnia adalah gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang
menghambat fungsi (NANDA, 2015).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa insomnia ini, yaitu
didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, pasien tidak
pernah tidur disiang hari dan pasien susah tidur dimalam hari, ± 4-5 jam
pasien tidur dimalam hari dan sering terbangun karena merasakan sakit
pada rahang sebelah kiri. Sedangkan data obyektif didapatkan pasien
tampak lemah, konjungtiva anemis, terdapat lingkaran hitam disekitar
mata.
Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan
selama 3x24 jam diharapkan insomnia teratasi dengan kriteria hasil
sebagai berikut : 1. Jam tidur bertambah. 2. Pola tidur teratur. 3. Kualitas
tidur meningkat. 4. Perasaan segar setelah tidur.
Adapun intervensi sesuai teori : 1. Monitor pola tidur pasien. 2.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan mendukung. 3. Singkirkan selimut
untuk meningkatkan kenyamanan terhadap suhu. 4. Tawarkan bantuan
untuk meningkatkan tidur (musik).

Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari


teori yaitu : 1. Monitor pola tidur pasien. 2. Ciptakan lingkungan yang
tenang dan mendukung. 3. Singkirkan selimut untuk meningkatkan
86

kenyamanan terhadap suhu. 4. Tawarkan bantuan untuk meningkatkan


tidur (musik).

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan ± 1 jam pasien tidur pada siang hari dan ± 6-7
jam pasien tidur pada malam hari, tidur pasien nyenyak dan tidak
terbangun ketika sudah tertidur. Sedangkan data obyektif yang ditemukan
adalah pasien tampak lebih segar, lingkaran hitam pada mata berkurang.

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah teratasi maka penulis mempertahankan
intervensi : 1. Monitor pola tidur pasien. 2. Ciptakan lingkungan yang
tenang dan mendukung. 3. Singkirkan selimut untuk meningkatkan
kenyamanan terhadap suhu. 4. Tawarkan bantuan untuk meningkatkan
tidur (musik).

6. Infeksi berhubungan dengan leukositopenia.


Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan
berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry,
2010).
Infeksi adalah inivasi dan multiplikasi mikroorganisme di jaringan
tubuh, terutama yang menyebabkan cedera selular lokal akibat
metabolisme yang kompetitif, konsin, replikasi intraselular atau respon
antigen-antibodi (Dorland, 2009).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa risiko infeksi ini, yaitu
didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, terdapat luka pada
bibir pasien. Sedangkan data obyektif didapatkan adanya lesi pada bibir
pasien, Hb : 9.1 (12.0-16.0 g/dL), Lekosit : 2.600 (4400-11.300 /mm³).
Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan
selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi infeksi, terjadi perbaikan pada
integritas jaringan lunak dengan kriteria hasil sebagai berikut : 1. TTV
87

dalam batas normal. 2. Lekosit dalam batas normal. 3. Tidak ada tanda-
tanda infeksi.
Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji kondisi lesi, banyak dan
besarnya bula, serta apakah adanya order khusu dari tim dokter dalam
melakukan perawatan luka. 2. Buat kondisi balutan dalam kondisi bersih
dan kering. 3. Lakukan perawatan luka steril setiap hari. 4. Kolaborasi
penggunaan antibiotik.
Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari
teori yaitu : 1. Kaji kondisi luka. 2. Lakukan perawatan luka. 3. Kolaborasi
pemberian Omeprazole 40 mg.

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan terdapat luka pada bibir pasien. Sedangkan
data obyektif yang ditemukan adalah adanya lesi pada bibir pasien, Hb :
9.2 (12.0-16.0 g/dL), Lekosit : 3,500 (4400-11300 /mm³).

Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil


didapatkan bahwa masalah belum teratasi maka penulis melanjutkan
intervensi : 1. Kaji kondisi lesi, banyak dan besarnya bula, serta apakah
adanya order khusu dari tim dokter dalam melakukan perawatan luka. 2.
Buat kondisi balutan dalam kondisi bersih dan kering. 3. Lakukan
perawatan luka steril setiap hari. 4. Kolaborasi penggunaan antibiotik.
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau
fisiologis untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan
sehari-hari yang harus dilakukan (NANDA, 2015).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa intoleransi aktivitas ini,
yaitu didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, semua
aktivitas pasien dibantu oleh keluarga. Sedangkan data obyektif
didapatkan pasien terliahat lemah dan lemas.
88

Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan


selama 3x24 jam diharapkan toleransi aktivitas pasien meningkat dengan
kriteria hasil sebagai berikut : 1. Mampu melakukan aktivitas secara
mandiri. 2. Mampu berpindah dengan atau tanpa bantuan. 3. Tekanan
darah dalam batas normal (120/80 mmHg).
Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji respon pasien terhadap
aktivitas. 2. Bantu pasien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan
tingkat keterbatasan yang dimiliki pasien. 3. Anjurkan keluarga terlibat
dalam pemenuhan aktivitas pasien. 4. Kolaborasi dengan tenaga
rehabilitasi dalam merencanakan program terapi yang tepat.
Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari
teori yaitu : 1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas. 2. Bantu pasien dalam
memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
pasien. 3. Anjurkan keluarga terlibat dalam pemenuhan aktivitas pasien. 4.
Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi dalam merencanakan program terapi
yang tepat.
Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.
Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan semua aktivitas pasien masih dibantu oleh
keluarga. Sedangkan data obyektif yang ditemukan adalah pasien terlihat
lemas dan lemah.
Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil
didapatkan bahwa masalah belum teratasi maka penulis melanjutkan
intervensi : 1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas. 2. Bantu pasien dalam
memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
pasien. 3. Anjurkan keluarga terlibat dalam pemenuhan aktivitas pasien. 4.
Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi dalam merencanakan program terapi
yang tepat.
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik secara
umum.
89

Defisit perawatan diri adalah hambatan kemampuan untuk


melakukan atau menyelesaikan mandi/aktivitas perawatan diri untuk diri
sendiri; berpakaian dan berhias untuk diri sendiri; aktifitas makan sendiri;
dan aktifitas eleminasi sendiri (Mashitoh, 2013).
Berdasarkan data pengkajian yang dilakukan penulis pada tanggal
7 Desember 2016 untuk menegakkan diagnosa defisit perawatan diri ini,
yaitu didapatkan data subyektif keluarga pasien mengatakan, pasien mandi
2 kali sehari dengan disibin. Sedangkan data obyektif didapatkan rambut
terlihat kotor, mata ada beleknya, telinga ada penumpukan serumen dan
tercium bau tidak sedap.
Untuk mengatasi masalah tersebut, penulis menentukan tujuan
selama 3x24 jam diharapkan perawatan diri pasien meningkat dengan
kriteria hasil sebagai berikut : 1. Pasien mampu mempertahankan
kebersihan dirinya meskipun dibantu oleh keluarga. 2. Pasien terbebas dari
bau badan.
Adapun intervensi sesuai teori : 1. Kaji perubahan pada sistem
saraf pusat. 2. Tinggikan sedikit kepala pasien dengan hati-hati, cegah
gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala dan leher, hindari fleksi
leher. 3. Bantu seluruh aktivitas dan gerakan-gerakan pasien. Beri
petunjuk untuk BAB (jangan enema), anjurkan pasien untuk
menghembuskan napas dalam bila miring dan bergerak di tempat tidur,
cegah posisi fleksi pada lutut. 4. Waktu prosedur-prosedur perawatan
disesuaikan dan diatur tepat waktu dengan periode relaksasi; hindari
rangsangan lingkungan yang tidak perlu. 5. Beri penjelasan kepada
keadaan lingkungan pada pasien.
Intervensi yang dilakukan oleh penulis dengan menyesuaikan dari
teori yaitu : 1. Kaji kemampuan perawatan diri pasien. 2. Bantu pasien
dalam melakukan perawatan diri. 3. Libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan diri pasien. 4. Ajarkan pasien dan keluarga pasien BAB dan
BAK menggunakan pispot.
90

Penulis mengevaluasi tindakan keperawatan selama 3 hari.


Evaluasi pada tanggal 10 Desember 2016, didapatkan data subyektif
keluarga pasien mengatakan pasien mandi 2 kali sehari dengan disibin.
Sedangkan data obyektif yang ditemukan adalah rambut kotor, mata bersih
tidak ada belek, telinga bersih.
Dari evaluasi pasien, penulis bandingkan dengan kriteria hasil
didapatkan bahwa masalah teratasi maka penulis mempertahankan
intervensi : 1. Kaji kemampuan perawatan diri pasien. 2. Bantu pasien
dalam melakukan perawatan diri. 3. Libatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan diri pasien. 4. Ajarkan pasien dan keluarga pasien BAB dan
BAK menggunakan pispot.

C. Diagnosa keperawatan yang tidak muncul


Diagnosa yang tidak muncul pada kasus ini :
1. Gangguan gambaran diri (citra diri) b.d perubahan struktur kulit,
perubahan peran keluarga.
Diagnosa ini tidak ditegakkan karena pasien tidak merasa terganggu
dengan kondisi tubuhnya, pasien merasa sakit yang dideritanya adalah cobaan
dari Allah SWT, sehingga pasien yakin p asti sembuh.
2. Kecemasan b.d kondisi penyakit, penurunan kesembuhan
Diagnosa ini tidak ditegakkan karena pasien tidak merasa cemas
dengan kondisi tubuhnya, pasien bersabar dan selalu menerima anjuran dari
dokter maupun perawat demi kesembuhannya.

Anda mungkin juga menyukai