Anda di halaman 1dari 4

didaptasi dari Puisi “Orang-orang Miskin” Karya WS.

Rendra

Situasi: Seperti di emperan ruko diantara gang-gang pemukiman kumuh, terdapat seorang
gelandangan tidur beralaskan kardus.
Pembaca puisi 1
Orang-orang miskin di jalan,
Yang tinggal di dalam selokan,
Yang kalah di dalam pergulatan,
Yang diledek oleh impian,
Janganlah mereka ditinggalkan.
Kemudian setelah membaca puisi, ia diam disalah satu sisi panggung dengan menunduk.
Gelandangan:
Ia bangun dari tidurnya, kemudian mencari-cari nasi bungkus yang ia simpan dan memakannya
dengan lahap. (saat tengah makan, orang kedua masuk).
Orang hamil:
Orang hamil masuk ke panggung dengan berteriak, menangis, dan depresi. Sesekali Ia bersimpuh
disaat mengelilingi panggung dengan masih berteriak dan menangis, kemudian ia terdiam ketika
mendapati seorang gelandangan yang sedang makan, ia mendekatinya dengan mengesot.
(Tiba-tiba keduanya memperebutkan nasi bungkus).
Orang hamil: “Aku lapaaaaar, aku lapaaaar....” (dengan nada memelas). Mereka tetap
berebutan, gelandangan mendorong orang hamil hingga terjerembap. Nasi bungkusnya tumpah.
Pembaca puisi 2:

Angin membawa bau baju mereka.


Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
Mengandung buah jalan raya.
Gelandangan & Orang hamil:
Keduanya memunguti nasi yang tercecer. Gelandangan memandang sinis orang hamil, sementara
orang hamil menangis ketika memunguti nasi tersebut.
Pembaca puisi 3:
Orang-orang miskin.
Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin.
Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Gelandangan:
Ia bangun dari duduk menuju tempatnya semula (alas kardus) setelah mengambil bungkusan nasi
yang tumpah, kemudian melanjutkan makannya. (orang hamil masih memunguti nasi).
Pembaca puisi 2:

Bila kamu remehkan mereka,


Di jalan  kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
Dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Pemulung:
Masuk seorang pemulung, ia lewat didepan gelandangan dan orang hamil menuju tempat sampah
sambil memunguti botol air mineral yang terdapat disekitarnya. Kemudian ia mengacak-acak
tempat sampah, memasukkan beberapa botol air mineral, dan menemukan kardus makanan
diantara sampah-sampah tersebut. Ia membukanya dan membaui makanan sisa didalamnya
berkali-kali. Kemudian ia makan sambil berjalan keluar panggung, memasukkan kardus
makanan kekarungnya, dan menjilati jari-jarinya sambil berkata “ enak.. enak..”
Pembaca puisi:

Jangan kamu bilang negara ini kaya


Karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
Bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
Agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Penjabat:
Seorang penjabat masuk sambil menelepon.
Penjabat: “(tertawa), sudah beres pak? (jeda sebentar), terus bagaimana pak? bapak sudah
mentransfer uangnya kerekening saya? (jeda) 500 juta?(tertawa)…. ” Orang hamil:
Ia Mendekati penjabat yang sedang menelepon dengan mengesot, dan memegang kakinya.
Penjabat:
Kaget, ia menghentikan percakapannya. Berusaha menyingkirkan tangan orang hamil dengan
mengayun-ayunkan kaki, tapi tidak berhasil.
Penjabat : “Hei, apa-apaan ini. lepaskan!”
Orang hamil : “lapaaaar, lapaaaarr..” (dengan nada memelas, menangis tersedu).
Penjabat mendorong orang hamil sampai terjerembap.

Pembaca puisi :

Orang-orang miskin di jalan


Masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
Menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
Meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Pemulung:
Pemulung menghadang penjabat yang berniat pergi. (sementara gelandangan dan orang hamil
bergerak pelan kearah mereka)
Penjabat: “Aduh banyak sekali gembel disini, salah jalan nih rupanya. Mau apa kamu?”
(Pemulung menyodorkan kardus makanan kepada penjabat)
Penjabat: (tertawa, sambil membuang kardus itu) minggir, saya sibuk!

Pembaca puisi 1:

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.


Mereka akan menjadi pertanyaan
Yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
Akan meringis di muka agamamu.

Pembaca puisi 2:

Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap


Akan hinggap di gorden presidenan
Dan buku programma gedung kesenian

Gelandangan,Orang hamil dan Pemulung: Sudah mengelilingi penjabat, penjabat terpojok,

Penjabat : Kalian mau apa? Uang? (sambil mengambil dompetnya).

Pembaca puisi 3:

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,


Bagai udara panas yang selalu ada,
Bagai gerimis yang selalu membayang.

(disaat pembacaan puisi, penjabat memberi ketiga orang itu uang, tapi justru dilempar oleh
ketiganya dan mereka menodongkan pisau ke penjabat)

Pembaca puisi 1:

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau


Tertuju ke dada kita,
Atau ke dada mereka sendiri.

Gelandangan, Orang hamil dan Pemulung:


Menusuk penjabat. Kemudian ketiganya bergerak memutar, dan menusuk diri mereka sendiri.

Pembaca puisi 1,2&3 :

O, kenangkanlah :
Orang-orang miskin
Juga berasal dari kemah Ibrahim.

Anda mungkin juga menyukai