Anda di halaman 1dari 42

TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOGRAFI ESOFAGUS PADA KLINIS

DISFAGIA DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT ISLAM SUNAN

KUDUS

Laporan Kasus

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Praktek Klinik II

Disusun Oleh :

Finna Tryasti Fidianti

P1337430120061

PRODI RADIOLOGI SEMARANG PROGRAM DIPLOMA TIGA

JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK & RADIOTERAPI SEMARANG

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

TAHUN 2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan ini telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan sebagai laporan

guna memenuhi tugas Praktek Klinik II Jurusan Teknik Radiodiagnostik

dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Semarang.

Nama : Finna Tryasti Fidianti

NIM : P1337430120061

Kelas : 2B

Judul Laporan : Teknik Pemeriksaan Radiografi Esofagus pada Klinis

Disfagia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam

Sunan Kudus

Kudus, 12 Juni 2022

Clinical Instructor

Wiwi Palupi, Amd. Rad

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena telah

memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Teknik Pemeriksaan

Radiografi Esofagus pada Klinis Disfagia di Instalasi Radiologi Rumah

Sakit Islam Sunan Kudus.”

Penyusunan laporan kasus tersebut dimaksudkan untuk memenuhi

salah satu penugasan dalam Praktek Klinik II Jurusan Teknik

Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Semarang di

Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sunan Kudus.

Dalam penyusunan laporan kasus tersebut, penulis telah

mendapatkan bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak

sehingga penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Marsum, B.E, S. Pd, MHP, selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Semarang

2. Ibu Fatimah, S.ST, M.Kes, selaku Ketua Prodi Radiologi Semarang

Program Diploma Tiga

3. Ibu Siti Daryati, S.Si, M.Sc, selaku Dosen Penanggung Jawab Praktek

Klinik II Prodi Radiologi Semarang Program Diploma Tiga

4. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan dan doa kepada

penulis

ii
5. dr. K. Bagus Septian, Sp.Rad, M.Sc, selaku Dokter Radiologi di RSI

Sunan Kudus

6. dr. Lina, Sp.Rad, selaku Dokter Radiologi di RSI Sunan Kudus

7. Ibu Wiwi Palupi, Amd. Rad, selaku Clinical Instructor di Instalasi

Radiologi RSI Sunan Kudus

8. Ibu Nur Chariroh, Amd. Rad, selaku Pembimbing Laporan Kasus pada

Praktek Klinik II

9. Seluruh radiografer dan staff di Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus

yang telah membimbing saya selama Praktek Klinik II

10. Seluruh dosen dan staff Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan

Radioterapi Poltekkes Kemenkes Semarang

11. Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan laporan kasus

Praktek Klinik II

Penulis menyadari dalam pembuatan laporan kasus tersebut masih

memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis

mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk dikaji dalam

penyempurnaan laporan kasus tersebut.

Kudus, 12 Juni 2022

Penulis

Finna Tryasti Fidianti

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................. 2

1.3 Tujuan Penulisan ................................................ 3

1.4 Sistematika Penulisan ........................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................... 4

2.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus ....................... 4

2.1.1 Anatomi Esofagus ...................................... 4

2.1.2 Fisiologi Esofagus ...................................... 8

2.2 Patologi Esofagus : Disfagia .............................. 10

2.2.1 Definisi Disfagia .......................................... 10

2.2.2 Klasifikasi Disfagia ..................................... 11

2.3 Teknik Radiografi Esofagus ............................... 14

2.3.1 Definisi ....................................................... 14

iv
2.3.2 Indikasi Pemeriksaan ................................. 14

2.3.3 Kontra Indikasi ............................................ 15

2.3.4 Persiapan Pasien ....................................... 15

2.3.5 Persiapan Alat dan Bahan .......................... 15

2.3.6 Teknik Pemeriksaan Esofagus ................... 16

2.4 Proteksi Radiasi .................................................. 24

BAB III PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN ........................ 26

3.1 Profil Kasus ......................................................... 26

3.1.1 Identitas Pasien .......................................... 26

3.1.2 Riwayat ..................................................... 26

3.2 Pembahasan ........................................................ 26

3.2.1 Prosedur Pemeriksaan ............................... 26

3.2.2 Alasan Mengapa ........................................ 30

3.3 Proteksi Radiasi ................................................... 31

BAB IV PENUTUP ..................................................................... 33

4.1 Kesimpulan .......................................................... 33

4.2 Saran .................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 34

LAMPIRAN ................................................................................ 35

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Esofagus adalah tabung muskularis yang terbentang dari

hipofaring (C6) sampai ke lambung (T11) dengan panjang 23-25 cm

pada orang dewasa. Esofagus pada awalnya berada di garis tengah

kemudian berbelok ke kiri dan kembali ke tengah setinggi

mediastinum (T7), kemudian berdeviasi ke kiri ketika melewati hiatus

diafragma (Henry Gray, 1918).

Esofagus merupakan saluran makanan menuju lambung.

Menurut Sloane, Ethel (2004:285), fungsi esofagus adalah

menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak

peristaltik. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus

untuk melumasi dan melindungi esofagus.

Teknik pemeriksaan radiografi esofagus pada klinis disfagia

menggunakan empat proyeksi, yaitu proyeksi Right Anterior Oblique

(RAO) dengan posisi pasien prone atau berdiri tegak dan tubuh

pasien dirotasikan 35-40 derajat, proyeksi Lateral dengan posisi

pasien tiduran lateral atau berdiri dengan salah satu sisi tubuh

menempel pada bidang kaset, proyeksi Antero-Posterior (AP)

dengan posisi pasien supine atau berdiri tegak dan proyeksi Left

1
Anterior Oblique (LAO) dengan posisi pasien prone atau berdiri tegak

dan tubuh pasien dirotasikan 35-40 derajat (Bontrager, 2014).

Di Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus teknik radiografi

esofagus pada klinis disfagia dilakukan dengan dua proyeksi saja,

yaitu Antero-Posterior (AP) dan Left Posterior Oblique (LPO).

Adapun untuk proyeksi AP dilakukan dengan posisi pasien berdiri

tegak dengan arah sinar tegak lurus dan proyeksi LPO dengan posisi

pasien berdiri tegak dengan tubuh dirotasikan 35-40 derajat.

Dari berbagai uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk

meneliti lebih lanjut dan mengangkatnya sebagai Laporan Kasus

Praktek Klinik II dengan judul “Teknik Pemeriksaan Radiografi

Esofagus pada Klinis Disfagia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit

Islam Sunan Kudus.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang

akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana prosedur pemeriksaan radiografi esofagus pada

klinis disfagia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sunan

Kudus?

2. Mengapa pada pemeriksaan esofagus pada klinis disfagia

hanya menggunakan 2 proyeksi saja (AP dan LPO)?

2
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan radiografi esofagus

pada klinis disfagia di Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus.

2. Untuk mengetahui alasan mengapa hanya dibuat 2 proyeksi

saja (AP dan LPO).

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan laporan ini adalah sebagai berikut :

A. Bagian Awal / Pendahuluan

1. Halaman Judul

2. Halaman Pengesahan

3. Kata Pengantar

4. Daftar Isi

B. Bagian Isi

1. Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan

sistematika penulisan

2. Bab II berisi tinjauan pustaka

3. Bab III berisi profil kasus dan pembahasan

C. Bagian Akhir / Penutup

1. Bab IV berisi kesimpulan dan saran

2. Daftar Pustaka

3. Lampiran-lampiran berisi copy surat permintaan, hasil

bacaan dan sebagainya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Esofagus

2.1.1 Anatomi Esofagus

Esofagus adalah tabung muskularis yang merupakan

bagian dari saluran cerna yang menghubungkan hipofaring

dengan gaster dan menyalurkan makanan dari rongga

mulut dan faring ke gaster.

Esofagus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu servikal,

torakal dan abdominal. Esofagus servikal merupakan

segmen yang pendek, mulai dari pertemuan faring dan

esofagus menuju ke suprasternal notch sekitar 4-5 cm, di

bagian depan dibatasi oleh trakea, belakang oleh vertebra

dan di lateral dibatasi oleh carotid sheaths dan kelenjar

tiroid. Selanjutnya, esofagus torakal yang memanjang dari

suprasternal notch ke dalam hiatus diafragma. Pada bagian

torakal dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu esofagus

torakal bagian atas yang memanjang pada level margin

superior dari manubrium sterni ke level margin inferior dari

percabangan trakea, esofagus torakal bagian tengah yang

memanjang dari level margin inferior percabangan trakea

dengan daerah pertengahan antara percabangan trakea

4
dan daerah pertemuan esofagus-gaster, terakhir esofagus

torakal bagian bawah yang memanjang dari daerah

pertengahan tersebut-level diafragma. Esofagus abdominal

memanjang dari hiatus diafragma hingga ke orifisium dari

kardia gaster.

Gambar 2.1 Skema esofagus dan hubungan dengan struktur sekitar.

Pada esofagus didapatkan dua penyempitan yang

definitif, yaitu penyempitan anatomis dan penyempitan

fisiologis serta sedikitnya ada tiga penyempitan lain yang

kurang definitif. Penyempitan anatomis adalah pada

orifisium esofagus atas setinggi C6 yang dsebabkan

karena muskulus krikofaring menarik kartilago krikoid ke

belakang ke arah spina sehingga mengakibatkan

penutupan esofagus. Penyempitan definitif lainnya adalah

5
pada hiatus esofagus yang disebabkan karena adanya

penekanan esofagus oleh krura diafragma sehingga

esofagus menutup. Bagian esofagus di bawah diafragma

disebut esofagus abdominal dan berakhir pada kardia yang

tidak mempunyai sfingter yang definitif. Penyempitan

lannya adalah pada apertura torakal atas setinggi T1, yatu

sedikit di bawah krikofaring. Penyempitan ini disebut

penyempitan fisiologis yang tidak tampak secara anatomis.

Penyempitan berikutnya adalah pada waktu esofagus

menyilang aorta setinggi T4 dan bifurkasio trakea atau

bronkus setinggi T6. Pada tempat-tempat penyempitan

inilah benda asing biasanya berhenti, dengan tempat yang

tersering adalah pada sepertiga atas esofagus pada tepi

bawah muskulus krikofaringeus.

Pada esofagus terdapat dua daerah bertekanan tinggi

yang berfungsi untuk mencegah terjadinya aliran balik dari

makanan, yaitu sfingter esofagus atas (SEA) dan sfingter

esofagus bawah (SEB). Sfingter esofagus atas terletak

diantara faring dan esofagus servikal, sedangkan sfingter

esofagus bawah terletak pada perbatasan antara esofagus

dan lambung. Kedua sfingter tersebut selalu dalam

keadaan tertutup kecuali saat ada makanan yang

melewatinya.

6
Dinding esofagus terdiri atas 4 lapisan, yaitu lapisan

mukosa, submukosa, lapisan muskularis propria (otot) dan

jaringan fibrous. Berbeda dengan daerah lain pada saluran

pencernaan, esofagus tidak memiliki lapisan serosa. Hal ini

menyebabkan esofagus lebih sensitif terhadap trauma

mekanik.

Gambar 2.2 Lapisan dinding esofagus.

Panjang esofagus sekitar 25 cm, terbentang dari

hipofaring pada daerah pertemuan faring dan esofagus

(vertebra servikal 5-6) di bawah kartilago krikoid, kemudian

melewati diafragma melalui hiatus diafragma (vertebra

torakal 10) hingga ke daerah pertemuan esofagus dan

gaster serta berakhir di orifisium kardia gaster.

7
Esofagus servikal dan sfingter esofagus atas

mendapatkan suplai darah dari cabang arteri tiroid inferior,

sedangkan esofagus torakal mendapatkan supai darah dari

sepasang arteri esofageal aorta atau cabang terminal dari

arteri bronkial. Esofagus abdominal dan daerah esofagus

bagian bawah mendapatkan suplai darah arteri gastrik kiri

dan arteri frenika kiri (Sri Herawati, 2013).

2.1.2 Fisiologi Esofagus

Fungsi esofagus selain sebagai saluran makan, juga

sebagai proses menelan. Proses menelan adalah suatu

aktivitas neuromuskuler yang kompleks dan meliputi

koordinasi yang cepat dari struktur-struktur dalam kavum

oris, faring, laring dan esofagus (Sri Herawati, 2013).

Proses menelan yang normal pada orang dewasa

yang sehat, dalam keadaan tidak tidur dan tidak makan

akan terjadi proses menelan saliva 1 kali tiap menit, yaitu

2000 kali per hari. Saliva yang ditelan sekitar 0,5-1,5 liter.

Dalam keadaan tidur, produksi saliva dan proses menelan

hampir istirahat total. Proses menelan terdiri dari 3 fase,

yaitu sebagai berikut :

1. Fase Oral

Terdiri atas fase preparasi oral dan fase propulsif

oral. Fase preparasi oral merupakan fase pertama dari

8
proses menelan yang memerlukan gigi geligi yang intak,

fungsi kelenjar saliva dan fungsi neurologis yang baik.

Fase propulsif oral atau disebut juga dengan fase

transfer, dimulai pada saat diputuskan untuk menelan.

Setelah bolus terbentuk, lidah akan membentuk

cekungan pada permukaan dorsal lidah yang akan

menangkap atau meletakkan bolus diantara lidah

dengan palatum, dengan kontraksi ujung dan sisi-sisi

lidah. Pergerakan lidah ini akan merangsang reseptor

aferen pada arkus anterior, palatum mole, orofaring dan

dimulailah fase faringeal dengan membersihkan bolus

dari kavum oris.

2. Fase Faringeal

Fase ini merupakan fase menelan yang paling

singkat tetapi paling kompleks. Apapun konsistensi

makanan, fase faringeal akan berlangsung dengan

cepat dan overlapping. Pada fase ini terjadi :

a. Penutupan velofaringeal, elevasi palatum mole

yang menutup nasofaring sehingga bolus tidak

masuk ke hidung.

b. Penutupan laring, sehingga bolus tidak penetrasi ke

glotis dan masuk ke jalan napas.

c. Peristaltik dinding faring yang akan mendorong

9
bolus dengan gelombang kontraksi yang mengikuti

bolus dengan adanya kontraksi muskulus

konstriktor superior dan pangkal lidah yang

mendorong bolus ke posterior

d. Elevasi laring dan pergerakan laring ke anterior ke

arah pangkal lidah

e. Pembukaan regio krikofaring. Sfingter esofagus

atas akan mengalami relaksasi selama fase

faringeal dan akan terbuka oleh pergerakan ke

depan dari os hioid dan laring. Sfingter ini akan

menutup setelah makanan lewat dan struktur

faringeal akan kembali ke posisi semula.

3. Fase Esofageal

Sebagian besar bolus cair bergerak ke gaster

oleh gravitasi apabila orang tersebut berdiri. Fase

esofageal ini ada di bawah kontrol saraf involunter

melalui nervus V.

2.2 Patologi Esofagus

2.2.1 Definisi Disfagia

Disfagia adalah gangguan dalam proses menelan

dengan defisit anatomi atau fisiologis dalam mulut, faring,

laring, dan esofagus serta berkontribusi dalam berbagai

10
perubahan status kesehatan yang negatif, terutama

peningkatan resiko kekurangan gizi dan pneumonia.

Disfagia merupakan kesulitan dalam menggerakan

makanan dari mulut ke dalam lambung. Disfagia sering

ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok usia

dan sering berhubungan dengan multiple systemic

disorders, misalnya diabetes mellitus, lupus eritematosus,

stroke, parkinson dan alzheimer. Disfagia dapat

mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi infeksi

saluran napas dan juga dapat menyebabkan kematian.

Oleh karena itu, diagnosis dan penanganan dini terhadap

disfagia sangat penting dilakukan (Pandaleke, et al 2014).

2.2.2 Klasifikasi Disfagia

Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar,

yaitu disfagia orofaring dan disfagia esofagus. Disfagia

orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan

esofagus. Hal ini dapat disebabkan oleh stroke, penyakit

Parkinson, kelainan neurologis, oculopharyngeal muscular

dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia, masalah

gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik, osteofi,

meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,

radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, anti kejang

dan antihistamin).

11
Gejala disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan,

termasuk ketidakmampuan untuk mengenali makanan,

kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut,

ketidakmampuan untuk mengontrol makanan dan air liur di

dalam mulut, kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan

tersedak saat menelan, penurunan berat badan yang tidak

jelas penyebabnya, perubahan kebiasaan makan,

pneumonia berulang, perubahan suara dan regurgitasi

nasal.

Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus

esofagus, sfingter esofagus bagian bawah atau kardia

gaster. Biasanya disebabkan oleh struktur esofagus,

keganasan esofagus, esophageal rings and webs,

achalasia, skleroderma, kelainan motilitas spastik termasuk

spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus

non-spesifik makanan biasanya tertahan beberapa saat

setelah ditelan, dan akan berada setinggi suprasternal

notch atau dibelakang sternum sebagai lokasi obstruksi,

regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan

makan, dan pneumonia berulang. Apabila terdapat disfagia

makanan padat dan cair, kemungkinan besar merupakan

suatu masalah motilitas. Jika pada awalnya pasien

mengalami disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya

12
disertai disfagia makanan cair, maka kemungkinan besar

merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat

dibedakan antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik,

penting untuk memperhatikan apakah disfagianya

sementara atau progresif.

Disfagia motilitas sementara dapat disebabkan

spasme esofagus difus atau kelainan motilitas esofagus

non-spesifik. Disfagia motilitas progresif dapat disebabkan

skleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di daerah

ulu hati yang kronis, regurgitasi, masalah respirasi, atau

penurunan berat badan. Disfagia mekanik sementara dapat

disebabkan esophageal ring dan disfagia mekanik progresif

dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan

esofagus. Jika sudah dapat disimpulkan bahwa

kelainannya adalah disfagia esofagus, maka langkah

selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan barium atau

endoskopi bagian atas. Pemeriksaan barium harus

dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi untuk

menghindari perforasi. Jika dicurigai adanya akhalasia

pada pemeriksaan barium, selanjutnya dilakukan

manometri untuk menegakkan diagnosa akhalasia. Jika

dicurigai adanya striktur esofagus, maka dilakukan

endoskopi. Jika tidak dicurigai adanya kelainan-kelainan

13
seperti di atas, maka endoskopi dapat dilakukan terlebih

dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi yang

normal, harus dilanjutkan dengan manometri dan bila

manometri juga normal, maka diagnosanya adalah disfagia

fungsional.

Foto thorax merupakan pemeriksaan sederhana untuk

pneumonia. CT scan dan MRI memberikan gambaran yang

baik mengenai adanya kelainan struktural, terutama bila

digunakan untuk mengevaluasi pasien disfagia yang

sebabnya dicurigai karena kelainan sistem saraf pusat.

Setelah diketahui diagnosanya, penderita biasanya dikirim

ke Bagian THT, Gastrointestinal, Paru atau Onkologi,

tergantung penyebabnya. Konsultasi dengan Bagian Gizi

juga diperlukan, karena kebanyakan pasien memerlukan

modifikasi diet (Pandaleke, et al 2014).

2.3 Teknik Radiografi Esofagus (Bontrager, 2014)

2.3.1 Definisi

Teknik pemeriksaan radiografi khusus untuk melihat

Oesophagus dan Pharynx dengan menggunakan media

kontras positif.

2.3.2 Indikasi Pemeriksaan

1. Achalasia (penurunan pergerakan peristaltic 2/3 distal

14
Oesophagus)

2. Anatomic anomalies

3. Foreign bodies (bolus of food, metalic object, fish bone)

4. Carcinoma

5. Dysphagia

6. Esophagitis

7. Refluks

8. Spasmeoesophagus

2.3.3 Kontra Indikasi

Adanya komplikasi perforasi pada Oesophagus yang tidak

diketahui sebelumnya.

2.3.4 Persiapan Pasien

Tidak ada persiapan khusus, sebelum dilakukan

pemeriksaan dianjurkan untuk melepas benda logam yang

dapat menimbulkan gambaran yang mengganggu radiograf

seperti gambaran artefak.

2.3.5 Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat X-Ray dengan Fluoroskopi

2. Kaset dan grid

3. BaSO4 atau bahan kontras perbandingan dengan air

(encer 1:1), kental (4:1)

4. Baju pasien

5. Tissue

15
6. Sendok, sedotan, gelas

7. Air

8. Foto pendahuluan (foto plain)

2.3.6 Teknik Pemeriksaan Radiografi Esofagus

Teknik Pemeriksaan Radiografi Esofagus dengan

klinis Disfagia, menurut Bontrager (2014), menggunakan

empat proyeksi, yaitu RAO, Lateral, AP dan LAO.

1. Proyeksi RAO

a. Posisi Pasien

Pasien dalam posisi prone atau berdiri menghadap

bidang kaset. Posisi prone lebih disukai karena

media kontras dapat mengisi dengan baik.

b. Posisi Objek

1) Tubuh pasien dirotasikan 35-40 derajat dari

posisi prone, dengan sisi kanan tubuh

menempel pada meja pemeriksaan.

2) Tangan kanan diletakkan di samping tubuh

16
bagian belakang dan tangan kiri untuk

memegang gelas barium. Gunakan sedotan

untuk minum barium.

3) Untuk pasien tiduran, lutut difleksikan

c. Batas atas : 5 cm dari puncak shoulder

d. CR : tegak lurus terhadap kaset

e. CP : pada pertengahan kaset setinggi thoracal 5-6

atau 7,5 cm inferior jugular notch

f. FFD : 100 cm untuk pasien tiduran, 180 cm untuk

pasien berdiri

g. Kriteria Evaluasi

1) Anatomi menunjukkan :

Esofagus harus terlihat antara columna

vertebralis dan jantung.

2) Posisi :

 Jika gambaran kerongkongan terletak di

17
atas tulang belakang, maka perlu rotasi CR

dipusatkan pada level T5 dan T6.

 Untuk mencakup seluruh kerongkongan.

3) Eksposi :

 Teknik yang tepat digunakan untuk

memvisualisasikan dengan jelas batas

esofagus yang mengandung media kontras

 Margin structural menunjukkan tidak adanya

pergerakan

2. Proyeksi Lateral

a. Posisi Pasien

Pasien dalam posisi tiduran lateral atau berdiri

dengan salah satu sisi tubuh menempel pada

bidang kaset. Posisi tiduran lateral lebih disukai

karena media kontras dapat mengisi dengan baik.

18
b. Posisi Objek

1) Atur kedua lengan di depan kepala saling

superposisi dan elbow difleksikan

2) MCP pada garis tengah meja atau kaset

3) Shoulder dan hip diatur true lateral dan lutut

difleksikan untuk fiksasi

4) Tangan kanan memegang gelas barium

c. Batas atas : 5 cm di atas shoulder

d. CR : tegak lurus terhadap kaset

e. CP : pada pertengahan kaset setinggi thoracal 5-6

atau 7,5 cm inferior jugular notch

f. FFD : 100 cm untuk pasien tiduran, 180 cm untuk

pasien berdiri

g. Kriteria Evaluasi

1) Anatomi menunjukkan :

Seluruh kerongkongan terlihat antara tulang

belakang dan jantung. Seluruh esofagus terisi

19
atau dilapisi dengan kontras media.

2) Eksposi :

 Teknik yang tepat digunakan untuk

memvisualisasikan dengan jelas batas

esofagus yang mengandung media kontras

 Margin structural menunjukkan tidak adanya

pergerakan

3. Proyeksi AP

a. Posisi Pasien

Pasien dalam posisi supine atau berdiri tegak

dengan bagian punggung menempel pada bidang

kaset. Posisi tiduran supine lebih disukai karena

media kontras dapat mengisi dengan baik.

b. Posisi Objek

1) MSP pada pertengahan kaset

2) Tangan kanan memegang gelas barium

c. Batas atas : 5 cm di atas shoulder

20
d. CR : tegak lurus terhadap kaset

e. CP : pada pertengahan kaset setinggi thoracal 5-6

atau 7,5 cm inferior jugular notch

f. FFD : 100 cm untuk pasien tiduran, 180 cm untuk

pasien berdiri

g. Kriteria Evaluasi

1) Anatomi menunjukkan :

Seluruh esofagus terisi barium.

2) Posisi :

Tidak ada rotasi tubuh pasien yang dibuktikan

dengan simetrisnya sternoklavikular joint.

3) Eksposi :

 Teknik yang tepat digunakan untuk

memvisualisasikan kerongkongan melalui

superposisinya thorax dan vertebrae.

 Margin structural tajam menunjukkan tidak

adanya pergerakan

21
4. Proyeksi LAO

a. Posisi Pasien

Pasien dalam posisi tiduran lateral atau berdiri

tegak dengan salah satu sisi menempel pada

bidang kaset. Posisi tiduran lebih disukai karena

media kontras dapat mengisi dengan baik.

b. Posisi Objek

1) Tubuh pasien dirotasikan 35-40 derajat dari

posisi prone, dengan sisi kiri tubuh menempel

pada meja pemeriksaan.

2) Tangan kiri diletakkan di samping tubuh bagian

belakang dan tangan kanan untuk memegang

gelas barium. Gunakan sedotan untuk minum

barium.

3) Untuk pasien tiduran, lutut difleksikan

4) Garis tengah thorax pada posisi oblik berada di

pertengahan bidang kaset

22
c. Batas atas : 5 cm di atas shoulder

d. CR : tegak lurus terhadap kaset

e. CP : pada pertengahan kaset setinggi thoracal 5-6

atau 7,5 cm inferior jugular notch

f. FFD : 100 cm untuk pasien tiduran, 180 cm untuk

pasien berdiri

g. Kriteria Evaluasi

1) Anatomi menunjukkan :

Esofagus terlihat antara hilar paru-paru dan

tulang belakang thorax. Seluruh esofagus terisi

dengan media kontras.

2) Posisi :

Tungkai atas pasien sebaknya tidak menutupi

kerongkongan

3) Eksposi :

 Teknik yang tepat digunakan untuk

memvisualisasikan dengan jelas batas

23
esofagus yang mengandung media kontras

melalui bayangan jantung.

 Margin structural tajam menunjukkan tidak

adanya pergerakan

2.4 Proteksi Radiasi

Menurut Rasad (2005), proteksi radiasi adalah suatu

tindakan yang dilakukan untuk mengurangi pengaruh radiasi yang

merusak akibat paparan radiasi. Proteksi radiasi dilakukan baik

terhadap pasien, petugas radiasi dan masyarakat umum yang

sedang berada disekitar Instalasi Radiologi.

1) Proteksi Radiasi Terhadap Pasien

a. Pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X hanya

dilakukan atas permintaan dokter

b. Mengatur luas lapangan pemeriksaan sesuai dengan

kebutuhan

c. Menggunakan faktor eksposi yang tepat guna

menghindari pengulangan eksposi

d. Tidak melakukan kesalahan fatal yang berakibat pada

pengulangan foto

e. Waktu penyinaran sesingkat mungkin

f. Petugas memakaikan apron pada pasien

g. Apabila pasien sedang hamil, maka pemeriksaan tidak

24
boleh dilakukan pada trisemester pertama

2) Proteksi Radiasi Terhadap Petugas Radiasi

a. Tidak menggunakan berkas sinar-X yang mengarah ke

petugas

b. Petugas berlindung dibalik tabir atau tirai saat melakukan

eksposi

c. Menggunakan alat monitoring radiasi secar terus

menerus selama menjadi petugas radiasi

3) Proteksi Radiasi Terhadap Masyakat Umum

a. Pintu ruang pemeriksaan tertutup rapat selama

pemeriksaan dilakukan

b. Tidak mengarahkan sumber sinar-X ke ruangan umum

c. Bagi yang tidak memiliki kepentingan tidak diizinkan

masuk kedalam ruang pemeriksaan

d. Apabila dibutuhkan orang lain untuk membantu

pelaksanaan pemeriksaan, maka orang tersebut harus

dilindungi dengan menggunakan lead apron

25
BAB III

PROFIL KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Profil Kasus

3.1.1 Identitas Pasien

1. Tanggal Pemeriksaan : 30 Mei 2022

2. Nama : Ny. S

3. Umur : 30 Tahun

4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Permintaan Foto : Esofagus

6. Diagnosa : Disfagia

3.1.2 Riwayat

Pada tanggal 30 Mei 2022, pasien Ny. S datang ke

Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus dengan membawa

surat permintaan untuk pemeriksaan esofagus. Gejala

yang dialami pasien adalah sulit menelan makanan.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Prosedur Pemeriksaan Radiografi Esofagus Pada Klinis

Disfagia Di Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus

A. Persiapan Alat dan Bahan

1. Pesawat Sinar-X

a. Merek : Siemens

26
b. Nomor Seri : 887101956

c. Model : Multix Fusion Max

d. Nama Alat : X-ray General

2. Kaset 35 x 43 cm

3. Bucky Stand

4. BaSO4 dan air dengan perbandingan 1 : 1

5. Baju pasien

6. Tissue

7. Gelas, sendok

B. Persiapan Pasien

Pada pemeriksaan radiografi esofagus di RSI

Sunan Kudus, persiapan pasien sudah sesuai dengan

teori. Sebelum melakukan pemeriksaan, petugas

melakukan anamnesa secara singkat, memberikan

penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan yang akan

dilakukan dan memberikan arahan kepada pasien

untuk mengganti pakaian dengan baju pasien dan

melepaskan semua benda logam agar tidak

mengganggu gambaran radiograf.

C. Posisi Pasien dan Posisi Objek

1. Proyeksi AP Pendahuluan

Pada proyeksi AP Pendahuluan atau polos,

pasien dalam posisi berdiri tegak dengan bagian

27
punggung menempel pada bucky, MSP pada

pertengahan kaset., CR yaitu tegak lurus terhadap

kaset, CP yaitu setinggi thoracal 5 – 6, FFD yaitu

150 cm dan faktor eksposi yaitu 58 kV dan 4 mAs

Hasil Radiograf

Gambar 3.1 Proyeksi AP Pendahuluan

2. Proyeksi AP Kontras

Pada proyeksi AP Kontras, pasien dalam

posisi berdiri tegak dengan bagian punggung

menempel pada bucky, MSP pada pertengahan

kaset, CR yaitu tegak lurus terhadap kaset, CP

yaitu thoracal 5 – 6, FFD yaitu 150 cm dan faktor

eksposi yaitu 65 kV dan 6 mAs.

28
Hasil Radiograf

Gambar 3.2 Proyeksi AP Kontras

3. Proyeksi LPO Kontras

Pada proyeksi LPO Kontras, pasien dalam

posisi berdiri tegak dengan bagian punggung

sebelah kiri menempel pada bucky, tubuh pasien

dirotasikan 35 – 40 derajat dengan sisi kiri tubuh

menempel pada bucky, kedua tangan diletakkan di

samping tubuh, CR yaitu tegak lurus terhadap

kaset, CP yaitu thoracal 5 – 6, FFD yaitu 150 cm

dan faktor eksposi yaitu 68 kV dan 7 mAs.

29
Hasil Radiograf

Dari paparan di atas menunjukkan bahwa

pemeriksaan esofagus dengan klinis Disfagia di

Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus berbeda

dengan apa yang ada dalam teori. Pemeriksaan

esofagus di Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus

hanya menggunakan proyeksi AP dan LPO.

3.2.2 Alasan Mengapa Hanya Dibuat 2 Proyeksi Saja (AP Dan

LPO)

Menurut literatur Bontrager 2014, Pemeriksaan

radiografi esofagus dengan klinis disfagia dilakukan

dengan menggunakan empat proyeksi, yaitu RAO, Lateral,

AP dan LAO.

Berdasarkan pengamatan penulis di Instalasi

Radiologi RSI Sunan Kudus, umumnya pemeriksaan

30
esofagus dilakukan dengan proyeksi AP dan LPO. Hal

tersebut dilakukan karena sudah dapat memvisualisasikan

keadaan esofagus dengan baik dan dapat menegakkan

diagnosa.

3.3 Proteksi Radiasi

Menurut Bontrager (2018), aspek-aspek proteksi radiasi

yang perlu diperhatikan saat melakukan pemeriksaan radiografi

esofagus adalah sebagai berikut.

a. Pengulangan Foto

Pengaturan posisi pasien dan pemilihan faktor eksposi

yang tepat mampu mengurangi kejadian pengulangan foto.

Memberikan penjelasan yang terang juga membantu

pengulangan eksposi karena pergerakan pada saat

bernapas.

b. Kolimasi

Mengatur kolimasi sesuai obyek yang diperiksa

termasuk ke dalam usaha proteksi radiasi. Pada pasien

berukuran kecil, kolimasi lateral dapat diatur pada tepi tubuh

pasien. Kolimasi atas dan bawah pada pasien dewasa

sebaiknya dilebarkan hingga batas atas dan bawah kaset,

mengingat sifat divergensi sinar-X.

31
Pada pemeriksaan esofagus di Instalasi Radiologi RSI

Sunan Kudus, kolimasi diatur sesuai dengan obyek yang

diperiksa, akan tetapi terjadi pengulangan foto pada saat proyeksi

AP setelah media kontras diminum oleh pasien. Hal ini

disebabkan karena tidak menggunakan pesawat fluoroskopi

sehingga tidak dapat memantau jalannya media kontras yang

masuk.

32
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Prosedur pemeriksaan esofagus pada klinis disfagia di

Instalasi Radiologi RSI Sunan Kudus menggunakan dua proyeksi,

yaitu proyeksi AP dan LPO.

Alasan menggunakan proyeksi AP dan LPO saja karena

sudah mampu menunjukkan anatomi esofagus dengan jelas dan

dapat menegakkan diagnosa.

4.2 Saran

Sebaiknya, pada saat pasien menelan media kontras

dipastikan waktu eksposi yang tepat.

33
DAFTAR PUSTAKA

Bontrager. 2014. Radiographic and Releated Anatomy. Eight edition.

St. Lois: The CV. Mosby Company.

Bontrager, Kenneth L. Lampignano, John P. 2018. Text

Book of Radiographic Positioning and Related Anatomy. Ninth

Edition. China : The CV. Mosby Company.

Gray, Henry, Anatomy of Human Body, 1918.

Juniati, Sri Herawati. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL

Esofagus. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan

Universitas Airlangga.

Pandaleke, J.C.J, Lidwina, S.S., & Engeline, A. (2014). Rehabilitasi

medik pada penderita disfagia. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 6,

Nomor 3, November 2014, hlm. 157-164

Sjahriar Rasad. Radiologi Diagnostik. Iwan Ekayuda. BPFKUI.. 2005.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

34
LAMPIRAN

35
36

Anda mungkin juga menyukai