Anda di halaman 1dari 21

REFERAT ILMU PENYAKIT

KULIT DAN KELAMIN


KELOID DAN SKAR HIPERTROFIK

Disusun oleh:
Angel - 00000005599
Brilyant Sabatino Raintama - 00000013938
Fabianus Dean - 00000012404

Pembimbing:
Dr. dr. Muljani Enggalhardjo, Sp.KK, FINSDV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 28 JANUARI – 2 MARET 2019
TANGERANG

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 2


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 4
2.1 Definisi ............................................................................................................................. 4
2.2 Epidemiologi .................................................................................................................... 4
2.3 Etiologi ............................................................................................................................. 4
2.4 Patogenesis ....................................................................................................................... 5
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................................................ 7
2.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................................. 10
2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding.................................................................................. 11
2.8 Tatalaksana ..................................................................................................................... 11
2.8.1 Nonmedikamentosa ................................................................................................. 12
2.8.2 Medikamentosa ........................................................................................................ 13
2.8.3 Tindakan .................................................................................................................. 16
2.9 Prognosis ........................................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

2
BAB I
PENDAHULUAN

Luka adalah suatu keadaan dimana terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan
oleh trauma, operasi, ischemia/vaskuler, tekanan dan keganasan (1). Penyembuhan luka terdiri
dari tiga fase, yaitu fase inflamasi yang terjadi pada awal kejadian atau saat luka terjadi (hari 0-
5), fase proliferasi yang terjadi mulai hari ke 2 sampai hari ke 24 yang terdiri dari proses deduktif
(pembersihan), proses proliferasi atau granulasi (pelepasan sel-sel baru/pertumbuhan), dan
epitelisasi (migrasi sel/penutupan), fase remodeling atau maturasi yang menjadi fase terakhir dan
terpanjang selama proses penyembuhan luka, yaitu 21 hari hingga 1-2 tahun. Pada fase ini terjadi
sintesis matriks ekstraseluler, degradasi sel, proses remodeling kolagen dan elastin pada kulit.
Kondisi umum yang terjadi adalah adanya gatal dan penonjolan epitel (keloid) pada permukaan
kulit (2).
Keloid merupakan pertumbuhan jaringan ikat padat hiperproliferatif jinak akibat dari
respon penyembuhan luka yang tidak normal. Keloid dapat terjadi karena adanya penumpukan
kolagen dan sintesis yang tidak terkontrol pada kulit yang sebelumnya mengalami trauma dan
mengalami penyembuhan (3).
Berbeda dengan skar hipertrofik, skar hipertrofik mengalami penumpukan kolagen dan
sintesis yang terkontrol pada kulit yang mengalami luka. Walaupun sejumlah artikel dan tulisan
telah mempublikasikan mengenai manajemen skar hipertrofik dan keloid , belum ada sampai
saat ini protokol terapi yang diterima secara umum. Pencegahan terhadap skar hipertrofik dan
keloid masih merupakan strategi yang terbaik (4)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Keloid adalah penyembuhan dengan pertumbuhan berlebihan jaringan ikat melebihi
ukuran luka, sedangkan parut hipertrofik/skar hipertrofik sesuai dengan ukuran luka dan akan
mengalami resolusi (5).

2.2 Epidemiologi
Keloid lebih banyak dijumpai pada ras kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih dan
perempuan lebih sering dari lelaki. Remaja dan wanita hamil juga lebih mungkin untuk
terbentuknya keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik. Di sisi lain, insidensi terendah
ditemukan pada individu - individu yang menderita albino. Diperkirakan bahwa 70% dari luka
bakar yang dalam akan meninggalkan parut hipertrofik/skar hipertrofik (6).

2.3 Etiologi
Keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik disebabkan oleh kerusakan dan iritasi kulit,
termasuk trauma, gigitan serangga, luka bakar, benda asing, operasi, vaksinasi, skin piercing,
akne, folikulitis, chicken pox, dan infeksi herpes zoster (7)(8).
Terdapat berbagai faktor predisposisi yang meningkatkan risiko individu untuk
mengalami keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik. Salah satu faktor risiko yang sangat
penting dan umum ditemukan adalah tegangan pada daerah luka. Keloid dan parut
hipertrofik/skar hipertrofik seringkali terbentuk pada daerah tubuh yang paling banyak
mengalami tegangan kulit, yakni punggung, dada, dan lengan atas. Sebaliknya skar hipertrofik
jarang terbentuk pada daerah dengan sedikit tegangan kulit seperti kelopak mata atas.
Faktor - faktor sistemik tertentu juga dapat meningkatkan risiko skar hipertrofik. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa hipertensi berhubungan dengan meningkatnya keparahan keloid.
Faktor sistemik lain yaitu inflamasi. Inflamasi sistemik yang terjadi setelah luka bakar
meningkatkan risiko terbentuknya keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik selama hingga
satu tahun.

4
Kejadian trauma yang berulang pada daerah yang sama juga merupakan faktor risiko
keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik. Salah satu contohnya yaitu pemakaian anting
telinga. Tempat terpasangnya anting telinga dapat mengalami trauma setiap kali seseorang
memasang atau melepaskan anting pada telinga, sehingga keloid sering ditemukan di daerah
tersebut. Luka bakar juga rentan untuk meninggalkan skar hipertrofik, khususnya jika melibatkan
lapisan dermis dalam. Suatu penelitian mendapati bahwa skar hipertrofik lebih mungkin terjadi
pada luka bakar yang membutuhkan waktu 3 minggu untuk sembuh. Infeksi merupakan faktor
risiko lain untuk terjadinya keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik. Sebagai tambahan,
faktor genetik juga berperan dalam pembentukan keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik.
Single-nucleotide polymorphisms tertentu berhubungan dengan terjadinya keloid pada individu -
individu yang berasal dari keturunan Jepang (6).

2.4 Patogenesis
Kerusakan kulit superfisial yang tidak mencapai dermis retikulare tidak pernah
menimbulkan keloid dan skar hipertrofik. Hal ini menunjukkan bahwa keloid dan parut
hipertrofik/skar hipertrofik terjadi akibat adanya kerusakan pada dermis retikulare, yang
selanjutnya diikuti oleh proses penyembuhan abnormal yang ditandai dengan inflamasi lokal dan
terus - menerus yang terdeteksi secara histologis (7)(8).
Dalam proses penyembuhan yang lama dan menyimpang ini, inflamasi yang terjadi
melibatkan partisipasi sel - sel fibroblas yang eksesif beserta deposisi kolagen. Pada
penyembuhan luka yang normal, proses perlukaan langsung segera diikuti oleh inflamasi fase
awal, dimana gumpalan fibrin melepaskan faktor - faktor kemotaktik yang menyebabkan migrasi
leukosit ke daerah luka. Diantara sel - sel inflamatorik yang menginfiltrasi, terdapat sel - sel
neutrofil, yang akhirnya akan digantikan oleh makrofag. Fase inflamasi dini berakhir pada titik
ini dan selanjutnya inflamasi fase lanjutan dimulai(9). Setelah itu, fase proliferasi berlangsung.
Pada proses penyembuhan luka yang abnormal, makrofag dalam jumlah yang besar akan
melepaskan sitokin - sitokin secara abnormal saat transisi antara inflamasi fase lanjutan dan fase
proliferasi. Hal ini kemudian memperpanjang lama inflamasi serta memperlambat respon
penyembuhan. Hal inilah yang menjadi kunci terbentuknya keloid dan parut hipertrofik/skar
hipertrofik (10)(11). Di sisi lain, pada daerah luka yang tidak terdapat neutrofil, penyembuhan
terjadi secara normal (12). Ini menandakan bahwa sel neutrofil tidak harus terlibat dalam

5
partisipasi makrofag pada penyembuhan luka yang normal. Fase proliferasi diikuti oleh fase
remodeling. Pada fase ini, molekul - molekul matriks ekstraselular yang baru terdeposisi dalam
urutan sebagai berikut: fibronektin, lalu kolagen tipe III, kemudian kolagen tipe I (13). Oleh
karena remodeling kolagen ini, kekuatan jaringan skar meningkat secara gradual hingga
mencapai masa stabil (plateau) sekitar 7 minggu setelah perlukaan. Akibatnya, kekuatan regang
maksimum jaringan skar hanya mencapai 70% dari kekuatan kulit normal (14)(15).
Pada akhirnya, lapisan dermis retikulare terisi oleh keloid dan parut hipertrofik/skar
hipertrofik, serta sel - sel inflamatorik, sel fibroblas dalam jumlah yang semakin besar, pembuluh
darah yang baru terbentuk, dan deposit kolagen. Adapun sitokin - sitokin yang dilepaskan pada
saat fase inflamasi diantaranya adalah TGF-beta, yang menstimulasi fibroblas lokal dan di tulang
menjadi miofibroblas. Sehingga, juga akan tampak miofibroblas yang semakin banyak. Namun
pada keloid yang matang, miofibroblas yang terlihat dalam jaringan granulasi sudah tidak ada
dan kadang-kadang berkas miofilamen telihat dalam fibroblas (7)(8).

Gambar 2.1 Fase - fase dalam pembentukan skar patologis

6
Keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik umumnya terlihat pertama kali sekitar 3
bulan setelah terjadi kerusakan. Ini menandakan bahwa inflamasi pada dermis retikulare dimulai
dengan segera setelah pertama kali terjadi kerusakan dan baru tampak secara kasat mata pada
titik ini. Pada luka operasi, tampaknya luka yang dijahit telah menjadi matur ketika jahitan
dilepaskan, karena (sekitar 7 - 14 hari setelah operasi), epidermis sudah beregenerasi dan luka
telah menutup serta kering. Namun, pada tahap ini, matriks dermal sedang berada dalam proses
maturasi dan masih terdapat inflamasi yang sedang berlangsung pada dermis retikulare. Jika
pada titik ini dermis retikulare mengalami rangsangan eksternal dan/atau internal, inflamasi tidak
berkurang, tetapi menjadi semakin berat. Hal ini akan akhirnya menghasilkan skar patologis
yang akan tampak beberapa bulan setelah operasi.
Intensitas, frekuensi, dan durasi rangsangan menentukan seberapa cepat skar akan
muncul, arah dan kecepatan pertumbuhan, serta intensitas gejala. Seperti faktor - faktor
risikonya, berbagai rangsangan yang mempengaruhi karakteristik dan kuantitas keloid dan parut
hipertrofik/skar hipertrofik juga mencakup faktor - faktor lokal (misalnya benda asing dalam
kulit, infeksi, luka bakar, dan lainnya), sistemik (misalnya hormonal), dan genetik (misalnya ras
dan familial). Dengan demikian, perbedaan gambaran klinis antara lesi - lesi keloid dan parut
hipertrofik/skar hipertrofik menandakan adanya perbedaan pada intensitas, frekuensi, dan durasi
dari inflamasi yang terjadi pada dermis retikulare (7)(8).

2.5 Manifestasi Klinis


Keloid dan skar hipertrofik berupa lesi padat kemerahan dan menimbul dengan
permukaan licin dan berkilat (Gambar 2.2 dan 2.3). Kelainan ini dapat tumbuh terus, tetapi bila
mengalami resolusi penumbuhan akan berkurang dan warnanya akan menjadi lebih pucat.
Setelah 2-3 bulan, bila pertumbuhan masih terjadi dan melebihi ukuran luka, kemungkinan besar
akan menjadi keloid. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keloid lebih banyak tumbuh di
daerah predileksi dada, punggung dan deltoid (5).

7
Gambar 2.2 Keloid Gambar 2.3 Skar hipertrofi

Keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik seringkali menimbulkan iritasi, pruritus, dan
bahkan nyeri neuropatik. Keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik yang berat dan mencakup
area yang luas dapat menyebabkan kontraktur, yang bisa melumpuhkan penderita (6).
Adapun keloid dan skar hipertrofik dapat dibedakan berdasarkan temuan - temuan
tertentu (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Perbedaan keloid dengan skar hipertrofik (16)

Keloid Skar hipertrofik

Pertumbuhan jaringan ikat melampaui batas Pertumbuhan jaringan ikat terbatas sesuai
luka dengan ukuran luka

Gatal dan sangat nyeri Lebih tidak gatal dan jarang nyeri

Terjadi pada daerah anatomis yang Tidak terjadi pada daerah anatomis yang
predominan (cuping telinga, dada, bahu, predominan (namun sering terjadi pada sisi
punggung, leher belakang, pipi, lutut) ekstensor dari sendi atau ketika kulit
terlipat/mengerut dengan sudut tertentu)

8
Keloid Skar hipertrofik

Terjadi post-traumatik atau secara spontan Hanya terjadi post-traumatik

Tidak menyebabkan kontraktur Menyebabkan kontraktur

Tidak mengalami regresi secara spontan Mengalami regresi secara spontan

Tidak membaik seiring berjalannya waktu; Membaik seiring berjalannya waktu (regresi
terdapat pertumbuhan jaringan yang terus - atau stabil)
menerus

Terbentuk kemudian: Terbentuk lebih segera:


Muncul setelah 3 bulan atau lebih pasca Umumnya muncul dalam 1 bulan,
terbentuknya skar awal, lalu berproliferasi bertumbuh selama 6 bulan, lalu seringkali
secara gradual dan tanpa batas mengalami regresi dalam 1 tahun

Lebih sering pada jenis kulit gelap Lebih jarang dipengaruhi pigmentasi kulit

Predisposisi genetik (pewarisan secara Lebih jarang ditemukan predisposisi genetik


autosomal dominan, lokasi rentan terdapat
pada kromosom 2q23 dan 7p11; dapat juga
resesif)

Serat kolagen tebal Serat kolagen tipis

Tidak adanya miofibroblas dan α-SMA Adanya miofibroblas dan α-SMA

Ekspresi COX-2 yang berlebih Ekspresi COX-1 yang berlebih

9
Keloid Skar hipertrofik

Tingkat rekurensi tinggi setelah eksisi Tingkat rekurensi rendah setelah eksisi
(walaupun seringkali terjadi kemudian, yakni
6 bulan sampai 2 tahun setelah operasi)
Jika dieksisi, perlu diberikan tatalaksana
kombinasi (kortikosteroid lebih baik
dibandingkan radiasi)

Kejadian lebih langka Kejadian lebih sering

α-SMA, α-smooth muscle actin; COX, cyclooxygenas

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi yang menunjukkan serat kolagen yang
tersusun, seperti nodus, tersusun konsentris, serta tumbuh perlahan menjadi kolagen yang tebal
dan padat. Pada skar hipertrofik, dapat ditemukan deposisi berkas - berkas kolagen tipe-3 yang
tersusun paralel terhadap epidermis. Sedangkan pada keloid, terdapat deposisi kolagen tipe-1 dan
tipe-2 yang tersusun secara tidak teratur (kadang disebut “kolagen keloid”). Pada keloid,
perkembangan ini terus berlanjut, sedangkan pada skar hipertrofik, berkas kolagen berangsur-
angsur menipis dan tersusun lurus sesuai dengan permukaan kulit. Selain itu, pembuluh darah
secara histologis tampak lebih banyak pada keloid dibandingkan pada skar hipertrofik (6).

10
Gambar 2.4 Perbandingan histologi kulit normal (a) dibandingkan keloid (b) dan skar
hipertrofik (c). Histologi ini menggunakan pewarnaan haematoksilin and eosin (H&E).
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam susunan serat kolagen dari ketiga jaringan
diatas. Pada keloid (b) dan skar hipertrofik (c) tampak zona - zona yang dihuni oleh
banyak sel (17).

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis dari gambaran klinis biasanya mudah dengan adanya riwayat trauma atau
radang kulit sebelumnya. Bila perlu, ditambah dengan pemeriksaan histopatologis. Keloid dapat
juga tumbuh spontan, biasanya di daerah prestemal atau dada atas. Diagnosis banding antara lain
ialah dermatofibroma (tumor ini agak hiperpigmentasi dibandingkan keloid dan skar hipertrofik),
dermatofibrosarkoma protuberans, skleroderma nodular, dan infeksi seperti lobomikosis (6).

2.8 Tatalaksana
Perawatan skar hipertrofik dan keloid hanya ada sedikit perbedaan (18). Bekas luka skar
hipertrofik cenderung lebih responsif daripada keloid dan umumnya akan kembali rata setara
kulit seiring dengan berjalannya waktu. Meskipun injeksi dan bekas luka hipertrofik keloid

11
dengan steroid intralesi adalah pengobatan lini pertama dalam banyak kasus, tetapi tetap
tergantung pada situasinya misalnya luka yang sebelumnya terinfeksi, luka melintang pada
sendi), bekas luka hipertrofik dapat merespons cukup baik dengan pembedahan sebagai
perawatan awal. Pembedahan sendiri umumnya tidak dianjurkan untuk keloid, karena keloid
akan sering kambuh sebagai lesi yang lebih besar. Pengecualian untuk keloid pada daun telinga.
Garis besar penatalaksanaan skar hipertrofi dan keloid dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Tatalaksana Skar Hipertrofik dan Keloid (19)

Skar Hipertrofik Keloid

Lini pertama Kortikosteroid intralesi atau Kortikosteroid intralesi


terkadang pembedahan
eksisi/revisi

Modalitas potensial untuk Seringkali tidak perlu Cryotherapy


digunakan dalam kombinasi Aplikasi tekanan
dengan lini pertama atau lini Silicone gel sheeting
kedua pengobatan

Lini kedua Seringkali tidak perlu Terapi laser


Intralesional 5-fluorouracil
Pembedahan*
Radiasi
Bleomycin
* = Seringkali dikombinasikan dengan suntikan steroid pasca operasi, aplikasi imiquimod
topikal, aplikasi tekanan, radiasi, intralesional verapamil.

2.8.1 Nonmedikamentosa
Pencegahan pembentukan keloid merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
dalam penanganan keloid. Klinisi harus waspada terhadap faktor resiko keloid, termasuk riwayat
keloid, riwayat keloid dalam keluarga, tension di lokasi trauma dan warna kulit gelap. Keloid
timbul jika sebelumnya terjadi cedera kulit walaupun cedera tersebut ringan sekali. Keloid juga
dapat berasal dari proses inflamasi yang lemah, termasuk akne dan injeksi. Perhatian khusus
harus diberikan ketika mengobati pasien dengan riwayat keloid. Faktor yang dapat dikelola
untuk mencegah terjadinya keloid adalah daya mekanik luka (stretching tension), pencegahan

12
infeksi luka dan reaksi benda asing (20). Beberapa hal penting untuk mencegah keloid adalah
(21):
1. Hindari gerakan berlebihan yang dapat meregangkan luka
2. Gunakan perban dan kain pembalut luka dengan tepat.
3. Hindarkan luka dari daya mekanis langsung (misalnya gesekan dan garukan)
4. Gunakan gel sheeting dan plester perekat.
5. Untuk pasien dengan luka di telinga, kurangi kontak dengan bantal ketika tidur,untuk
mencegah gesekan.
6. Untuk pasien wanita dengan luka di dada, gunakan bra dan pakaian dalam ketat untuk
mencegah regangan kulit yang disebabkan oleh berat payudara.
7. Untuk pasien dengan luka di supra pubik, dianjurkan untuk memakai korset.
8. Setelah pembedahan dan trauma, luka yang terjadi harus dijaga tetap bersih dengan
cara melakukan irigasi dan mengoleskan obat antibakteri atau antijamur.
9. Setelah pembedahan dan trauma, hindari kontak antara dermis daerah luka (termasuk
lubang tindik telinga) dengan benda asing

2.8.2 Medikamentosa
1. Kortikosteroid intralesi
Kortikosteroid intralesi dapat diberikan dengan injeksi, salep, dan plester.
Kortikosteroid efektif dalam mengobati keloid dan skar hipertrofik oleh karena bersifat
anti inflamasi. Kortikosteroid juga dapat menyebabkan vasokonstriksi. Hal ini didukung
oleh fakta bahwa pemberian kortikosteroid intralesi menyebabkan keloid menjadi
memutih, sehingga ini menunjukkan bahwa aliran darah pada skar telah berkurang karena
adanya vasokonstriksi. Adapun efek vasokonstriktor dari steroid topikal dimediasi oleh
pengikatannya ke reseptor glukokortikoid dan bukan melalui mekanisme farmakologik
yang nonspesifik. Di sisi lain, pemberian kortikosteroid dapat secara cepat mengurangi
rasa gatal dan nyeri yang berhubungan dengan keloid, karena vasokonstriksi menghalangi
penghantaran perivaskular faktor - faktor inflamasi yang menimbulkan gejala tersebut.
Salah satu kortikosteroid intralesi yang diberikan secara injeksi adalah
triamsinolon asetonid. Triamsionolon asetonid diberikan 10 mg/ml, disuntikkan kira-kira
0,1 ml dalam setiap 1 ml jaringan keloid. Maksimum 2 ml setiap minggu. Triamsionolon

13
asetonid yang diberikan dengan dosis 7,5mg/1cm2 terbukti dapat mengurangi keloid
lebih baik dengan triamsionolon asetonid yang diberikan dengan dosis 15mg/1cm2. Jika
diberikan dengan dosis 15mg/1cm2, akan berefek munculnya ulserasi, akne, dan
gangguan siklus menstruasi lebih sering dibandingkan dengan dengan dosis 7.5mg/1cm2.
Terapi dengan dosis 7.5mg/1cm2 merupakan terapi dengan dosis terbaik untuk keloid
(22). Bersamaan dengan injeksi steroid, plester steroid juga dapat digunakan untuk
mengurangi inflamasi pada keloid dan skar hipertrofik (8). Prosedur ini umum dilakukan,
khususnya di Jepang dan negara - negara lainnya. Plester flurandrenolide (Cordran®),
fludroxycortide (Drenison®), betamethasone patch (Betaflam®), and deprodone
propionate (Eclar®) tersedia secara luas di seluruh dunia. Plester steroid ini harus diganti
setiap 24-48 jam dan dipotong sedemikian rupa agar hanya menutupi daerah luka, dengan
seminimal mungkin (jika ada) meliputi bagian kulit yang sehat. Setiap jenis plester
steroid memiliki tingkat efek yang berbeda - beda, sehingga harus dipilih yang paling
tepat sesuai dengan masing - masing kasus (23).

2. Intralesional Bleomycin
Bleomisin berperan dalam menyebabkan apoptosis lokal dan pengerasan sel endotel,
serta menghambat sintesis kolagen dengan cara menginhibisi enzim lisil-oksidase dan
TGF-β. Suatu penelitian menunjukkan bahwa bleomisin aman dan efektif dalam
mengobati keloid, namun memiliki tingkat rekurensi penyakit yang tinggi setelah
pengobatan (22)

3. Sitostatik:
5-fluorouracil (5-FU) telah berhasil digunakan dalam mengobati keloid. Selain itu,
beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian 5-FU intralesi setelah operasi
dapat menurunkan tingkat rekurensi.13 Salah satu mekanisme kerja 5-FU yaitu
menghambat angiogenesis. Sehingga, 5-FU dapat mengurangi inflamasi yang terjadi pada
skar.12 5-FU diberikan intralesi dengan dosis 50 mg/ml, 0,5-2 ml setiap minggu (5).

14
4. Losartan
Losartan ointment 5% yang merupakan golongan angiotensin reseptor blocker (ARB)
bekerja dengan merelaksasi pembuluh darah sehingga darah bisa mengalir lebih mudah,
terbukti dapat menjadi salah satu terapi untuk mengurangi bekas luka keloid dan skar
hipertrofik. Vaskularisasi dan pliability berkurang secara signifikan dengan pengobatan
losartan yang diberikan dua kali sehari selama tiga bulan. Hal ini dapat terjadi karena
bekas luka keloid dan skar hipertrofik adalah dua jenis fibrosis yang disebabkan oleh
ekspresi berlebih matriks ekstraseluler, dan angiotensin II melalui reseptor AT1 yang
memainkan peran kunci dalam stimulasi fibrosis (24).

5. Verapamil
Verapamil merupakan obat golongan kalsium antagonis. Penelitian terbaru
menunjukan bahwa penggunaan obat verapamil yang digabungkan dengan triamcinolone
dapat memperbaiki secara signifikan keloid dan skar hipertrofik secara keseluruhan
dengan hasil stabil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi karena efek menguntungkan dari
verapamil pada bekas luka hipertrofik dan keloid. Verapamil bekerja menurunkan
matriks ekstraseluler dengan menghambat produksi kolagen (25)(26). Selain itu,
verapamil dapat mencegah agregasi trombosit dan menurunkan aktivitas neutrofil dan
dengan demikian menghambat peradangan (27).
Banyak penelitian telah membuktikan efek triamcinolone dan verapamil secara
terpisah, sedangkan triamcinolone masih dianggap sebagai gold standart dalam
manajemen non-bedah untuk jaringan skar hipertrofik dan keloid. Meskipun demikian,
verapamil telah terbukti menjadi modalitas ekstra yang menjanjikan dalam pengobatan
keloid dan bekas luka hipertrofi dan bahkan dapat berfungsi sebagai alternatif yang cocok
digunakan kombinasi dengan triamcinolone dalam pengobatan bekas luka hipertrofik dan
keloid (28)(29).
Kombinasi injeksi triamcinolone dengan dosis 40 mg/mL dengan verapamil
dengan dosis 2.5 mg/mL yang diberikan setiap minggu selama tiga minggu dapat
mengurangi bekas luka, rasa sakit, gatal, dan luas permukaan secara signifikan pada
keloid. Peningkatan yang signifikan pada bekas luka hipertrofik ditemukan pada
pigmentasi bekas luka, vaskularisasi, kelenturan, ketebalan, nyeri, dan luas permukaan.

15
Terapi kombinasi triamcinolone dengan verapamil menunjukkan penurunan yang
signifikan secara statistik dimulai dari pada saat awal, 3-4 bulan, 4-6 bulan, dan lebih dari
12 bulan setelah dimulainya terapi pada keloid dan bekas luka hipertrofik (30).
6. Topikal krim centella asiatica atau ekstrak cephae, namun hasil belum memuaskan.

2.8.3 Tindakan
1. Tekanan dengan bebat tekan atau gel silikon.
Terapi dengan bebat tekan dapat meredakan tanda dan gejala keloid serta skar hipertrofik
(30).
2. Eksisi pada keloid kecil atau keloid yang dapat dieksisi dengan penutupan kulit yang
mudah dan tidak teregang, kemudian diberikan kortikosteroid intralesi atau bebat tekan
untuk mengurangi rekurensi. Dapat pula diberikan krim imiquimod 5% sesudah eksisi.
3. Laser
Laser memiliki harapan baik untuk penanganan terhadap keloid. Pulsed-dye laser (PDL)
memberikan angka respon yang baik dan menurunkan kekambuhan. Mekanisme kerjanya
masih belum jelas. Diketahui PDL 585 nm memiliki target pembuluh darah yang
menyebabkan fototermolisis selektif, sehingga pembuluh darah yang berlebihan pada
keloid dapat dihancurkan, selanjutnya terjadi hipoksia lokal. Hasilnya peningkatan asam
laktat yang menstimulasi kolagenase dan penghancuran kolagen (31)(32). Dapat
dikombinasi dengan injeksi kortikosteroid (33). Laser karbondioksida (CO2) merupakan
salah satu jenis laser yang pertama kali digunakan untuk terapi keloid. Pada tahun 1982
continuous wave CO2 laser sukses dalam eksisi keloid. Keuntungan laser adalah bersifat
non traumatik dan memiliki efek anti inflamasi. Namun selanjutnya didapat bahwa eksisi
keloid menggunakan continuous wave CO2 laser yang dilanjutkan dengan penyembuhan
luka sekunder, gagal menekan pertumbuhan dan mencegah rekurensi keloid. Saat ini
laser CO2 digunakan untuk debulking keloid berukuran besar, sebelum terapi lain
dimulai.

16
2.9 Prognosis
Harus diperhatikan kemungkinan timbulnya keloid pada luka, trauma, atau infeksi di
daerah predileksi dan eksisi keloid pada tempat tersebut, kemungkinan besar akan menimbulkan
rekurensi sehingga penatalaksanaan harus hati-hati (5).

17
BAB III
PENUTUP

Keloid adalah penyembuhan dengan pertumbuhan berlebihan jaringan ikat melebihi


ukuran luka, sedangkan parut hipertrofik/skar hipertrofik sesuai dengan ukuran luka dan akan
mengalami resolusi. Keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik disebabkan oleh kerusakan dan
iritasi kulit, termasuk trauma, gigitan serangga, luka bakar, benda asing, operasi, vaksinasi, skin
piercing, akne, folikulitis, chicken pox, dan infeksi herpes zoster (7,8).
Terdapat berbagai faktor predisposisi yang meningkatkan risiko individu untuk
mengalami keloid dan parut hipertrofik/skar hipertrofik. Salah satu faktor risiko yang sangat
penting dan umum ditemukan adalah tegangan pada daerah luka. Keloid dan parut
hipertrofik/skar hipertrofik seringkali terbentuk pada daerah tubuh yang paling banyak
mengalami tegangan kulit, yakni punggung, dada, dan lengan atas. Sebaliknya skar hipertrofik
jarang terbentuk pada daerah dengan sedikit tegangan kulit seperti kelopak mata atas.
Penatalaksanaan keloid dan skar hipertrofi ada berbagai macam, contohnya terapi medika
mentosa seperti kortikosterioid intralesi, intralesional bleomycin, sitostatik (5-FU), losartan.
Terdapat juga tindakan yang bisa dilakukan pada keloid dan skar hipertrofi seperti bebat tekan
atau gel silikon, eksisi pada keloid, dan laser. Laser seperti Pulsed-dye laser (PDL) memiliki
target pembuluh darah yang menyebabkan fototermolisis selektif, sehingga pembuluh darah yang
berlebihan pada keloid dapat dihancurkan, selanjutnya terjadi hipoksia lokal. Dapat dilakukan
juga laser CO2 yang sudah digunakan dari tahun 1982, namun laser CO2 gagal menekan
pertumbuhan, dan mencegah keloid, sehingga penggunaan laser CO2 terbatas hanya keloid yang
berukuran besar, sebelum treatment lain dimulai.
Perlu diperhatikan kemungkinan timbulnya keloid pada luka, trauma, atau infeksi di
daerah predileksi dan eksisi keloid pada tempat tersebut, kemungkinan besar akan menimbulkan
rekurensi sehingga penatalaksanaan harus hati-hati.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Erb G, Kozier B, Berman A, Snyder S, Levett-Jones T, Dwyer T et al. Kozier and Erb's
fundamentals of nursing. 1st ed. Australia: Pearson Australia; 2010:950-951.
2. Hu M, Rennert R, McArdle A, Chung M, Walmsley G, Longaker M et al. The Role of
Stem Cells During Scarless Skin Wound Healing. Advances in Wound Care.
2014;3(4):304-314
3. Robles, D. and Berg, D. (2007). Abnormal wound healing: keloids. Clinics in
Dermatology, 25(1), pp.26-32.
4. Lee, H. and Jang, Y. (2018). Recent Understandings of Biology, Prophylaxis and
Treatment Strategies for Hypertrophic Scars and Keloids. International Journal of
Molecular Sciences, 19(3), p.711.
5. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016: 265-266
6. Schmieder SJ, Ferrer-Bruker SJ. Hypertrophic Scarring. [Updated 2018 Oct 27]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2018 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470176
7. Huang C., Akaishi S., Hyakusoku H., Ogawa R. Are keloid and hypertrophic scar
different forms of the same disorder? A fibroproliferative skin disorder hypothesis based
on keloid findings. Int. Wound J. 2014;11:517–522. Doi: 10.1111/j.1742-
481X.2012.01118.x.
8. Ogawa R., Akaishi S. Endothelial dysfunction may play a key role in keloid and
hypertrophic scar pathogenesis—Keloids and hypertrophic scars may be vascular
disorders. Med. Hypotheses. 2016;96:51–60. doi: 10.1016/j.mehy.2016.09.024.
9. Sahl WJ Jr, Clever H. Cutaneous scars: part I. Int J Dermatol. 1994;33:681–691
10. Huang C, Akaishi S, Hyakusoku H, et al. Are keloid and hypertrophic scar different
forms of the same disorder? A fibroproliferative skin disorder hypothesis based on keloid
findings. Int Wound J. 2012 Nov 22
11. Wahl SM, Wahl LM, McCarthy JB. Lymphocyte-mediated activation of fibroblast

19
12. Hedayatyanfard K, Ziai S, Niazi F, Habibi I, Habibi B, Moravvej H. Losartan ointment
relieves hypertrophic scars and keloid: A pilot study. Wound Repair and Regeneration.
2018;26(4):340-343.
13. Clark RAFClar RAF. Wound repair: overview and general consideration. The Molecular
and Cellular Biology of Wound Repair. 19962nd ed. New York Plenum Press:3–50
14. Miller MC, Nanchahal J. Advances in the modulation of cutaneous wound healing and
scarring. BioDrugs. 2005;19:363–381
15. Levenson SM, Geever EF, Crowley LV, et al. The healing of rat skin wounds. Ann Surg.
1965;161:293–308
16. Arno AI, Gauglitz GG, Barret JP, Jeschke MG. Up-to-date approach to manage keloids
and hypertrophic scars: A useful guide. Burns 2014;40:1255–66.
17. Suarez E, Syed F, Alonso-Rasgado T, Bayat A. Identification of biomarkers involved in
differential profiling of hypertrophic and keloid scars versus normal skin. Archives of
Dermatological Research 2014;307:115–33.
18. Wolfram D et al: Hypertrophic scars and keloids—A review of their pathophysiology,
risk factors, and therapeutic management. Dermatol Surg 35:171, 2009
19. Goldsmith LA, Katz SL, Gilchrest BA, Paller AS, Wolff K. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. Edisi kedelapan. New York: The MacGraw-Hill Companies.
20. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in Dermatology
25:26-32.
21. Berman, B., Villa A.M., Ramirez, C.C. 2005. Novel opportunities in the treatment and
prevention of scarring. J Cutan Med Surg 32-6
22. Dinh Huu N, Nguyen Huu S, Le Thi X, Nguyen Van T, Thi Minh P, Trinh Minh T et al.
Successful Treatment of Intralesional Triamcilonon Acetonide Injection in Keloid
Patients. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. 2019;7(2).
23. Ogawa R. Keloid and Hypertrophic Scars Are the Result of Chronic Inflammation in the
Reticular Dermis. International Journal of Molecular Sciences 2017;18:606.
24. Hedayatyanfard K, Ziai S, Niazi F, Habibi I, Habibi B, Moravvej H. Losartan ointment
relieves hypertrophic scars and keloid: A pilot study. Wound Repair and Regeneration.
2018;26(4):340-343.

20
25. Roth M, Eickelberg O, Kohler E, Erne P, Block LH. Ca2+ channel blockers modulate
metabolism of collagens within the extracellular matrix. Proc Natl Acad Sci U S A.
1996;93:5478–5482. doi: 10.1073/pnas.93.11.5478
26. Juckett GH-AH. Management of keloids and hypertrophic scars. Am Fam Physician.
2009;80:253–260.
27. Slemp AE, Kirschner RE. Keloids and scars: a review of keloids and scars, their
pathogenesis, risk factors, and management. Curr Opin Pediatr. 2006;18:396–402. doi:
10.1097/01.mop.0000236389.41462.ef.
28. Shanti M, K. E, Dhanraj P (2007) Comparison of intralesional verapamil with
intralesional triamcinolone in the treatment of hypertrophic scars and keloids. Indian J
Dermatol Venereol Leprol 74:343–348
29. Wang R, Mao Y, Zhang Z, Li Z, Chen J, Cen Y (2015) Role of verapamil in preventing
and treating hypertrophic scars and keloids. Int Wound J. doi:10.1111/iwj.12455
30. Kant S, van den Kerckhove E, Colla C, Tuinder S, van der Hulst R, Piatkowski de
Grzymala A. A new treatment of hypertrophic and keloid scars with combined
triamcinolone and verapamil: a retrospective study. European Journal of Plastic Surgery.
2017;41(1):69-80.
31. Butler, P.D., Longaker, M.T., Yang, G.P. Current progress in keloid research and
treatment. J Am Coll Surg. 2008 206:731-41
32. Robles, D.T., Berg, D. 2007. Abnormal wound healing: keloids. Clinics in Dermatology
25:26-32.
33. Urioste, S.S., Arndt, K.A., Dover, J.S. Keloids and hypertrophic scars: Review and
treatment strategies. Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery 1999, 18(2):159-71

21

Anda mungkin juga menyukai