Anda di halaman 1dari 8

F4  

Gizi Seimbang (masy)

LB:
Gizi seimbang adalah gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui makanan sehari-hari
sehingga tubuh bisa aktif, sehat optimal, tidak terganggu penyakit, dan tubuh tetap sehat (Ira
Mafira, 2012). Pemenuhan kebutuhan gizi merupakan indikator penting dalam proses tumbuh
kembang balita. Anak di bawah 5 tahun (balita) merupakan kelompok yang menunjukkan
pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang maksimal setiap kilogram
berat badannya. Permasalahan gizi balita adalah kurangnya pemenuhan gizi seimbang yang
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ibu mengenai gizi yang harus dipenuhi balita pada
masa pertumbuhan (Sibagariang, 2010: 98). Jika masalah gizi pada balita tidak mampu teratasi
maka akan menyebabkan berat badan kurang, mudah terserang penyakit, badan letih, penyakit
defisiensi gizi, malas, terhambatnya pertumbuhan dan perkambangan baik fisik maupun
psikomotor dan mental (Widodo, Rahayu, 2010: 45). Menurut World Health Organization
(WHO) diperkirakan 165 juta anak usia di bawah lima tahun mengalami gizi yang buruk. Resiko
meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
normal (WHO, 2013). Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) pada tahun
2007 prevalensi gizi kurang pada balita angkanya sebesar 18,4 %, terjadi peningkatan pada
tahun 2013 angkanya yaitu 19,6%. Di Indonesia jumlah balita yang 1 2 mengalami kekurangan
gizi sebesar 3,7 juta. Pada tahun 2012 jumlah gizi buruk di jawa timur 2,35%, gizi lebih 2,90%,
gizi kurang 10,28%, gizi baik 84,45%. Di Ponorogo jumlah anak sangat kurus 12,77%, kurus
32,73%, normal 54,55% (DinKes Ponorogo, 2014). Dari hasil studi pendahuluan melalui
kuesioner yang dilakukan tanggal 27 Desember 2014 di posyandu Dusun Mangunsuman
Wilayah Kerja Puskesmas Ronowijayan Ponorogo, dari 10 responden yang mempunyai persepsi
positif 40% responden, sedangkan yang mempunyai persepsi negatif 60%. Sampai saat ini
belum di ketahui bagaimanakah persepsi ibu balita tentang gizi seimbang pada balita di Wilayah
tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor lingkungan, dan ketidak tahuan orang
tua dalam memenuhi gizi seimbang pada anaknya (Sibagariang, 2010). Keterbatasan ekonomi
sering dijadikan alasan untuk tidak memenuhi kebutuhan gizi pada anak, sedangkan apabila kita
cermati pemenuhan gizi pada anak tidak mahal, terlebih lagi apabila dibandingkan dengan
harga obat yang harus dibeli ketika berobat di Rumah Sakit. Lingkungan yang kurang baik juga
dapat mempengaruhi gizi pada anak, sebagai contohnya “seringnya anak jajan sembarangan di
tepi jalan”. Faktor yang paling terlihat pada lingkungan adalah kurangnya pengetahuan ibu
mengenai gizi-gizi yang harus dipenuhi anak pada masa pertumbuhan. Ibu biasanya justru
membelikan makanan yang enak kepada anaknya tanpa tahu apakah makanan tersebut
mengandung gizi-gizi yang cukup atau tidak, dan tidak mengimbangi dengan makanan sehat
yang mengandung banyak gizi (Eva Ellya, 2010: 96)
Permasalahan:
Pemenuhan gizi pada balita pada dasarnya masih jauh dari indikator yang diharapkan.
Perhatian orangtua yang seharusnya bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan
gizi pada anakanaknya belum sepenuhnya diwujudkan. Dua alasan pokok yang secara rasional
sulit untuk diterima, anggapan mereka menyiapkan makanan khusus pada anak diusia balita
hanya sampai usia 1 tahun, selebihnya mengikuti makanan orang dewasa mereka menganggap
tidak perlu secara khusus disiapkan makanannya. Hal tersebut akibat dari ketidaktahuan
orangtua dalam memenuhi gizi seimbang pada balita.

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:


Sosialisasi tentang gizi seimbang melalui ceramah atau edukasi kepada pasien yang berobat ke
Puskesmas dan datang ke Posyandu.

Pelaksanaan:
Sosialisasi kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bontomatene kepulauan Selayar
melalui edukasi lisan maupun ceramah saat pasien berobat ke Puskesmas maupun datang ke
Posyandu.

Monitoring Evaluasi:
Terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat tentang gizi seimbang dan untuk anak. Kegiatan
promosi kesehatan melalui penyuluhan ini sebaiknya dapat dikembangkan pula ke berbagai
topik kesehatan lainnya, dan dapat disampaikan ke bagian masyarakat lain melalui media sosial
atau elektronik lainnya.

F4 Kekurangan Energi Protein (KEP) pada Anak (masy)


LB:
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun
penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan
saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan
penanggulangannya melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di
negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), anemia besi,
gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), kurang vitamin A (KVA) dan obesitas terutama di
kota-kota besar yang perlu ditanggulangi.
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan seharihari sehingga tidak memenuhi angka
kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan
hanya nampak kurus. Gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga,
adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmik kwashiorkor. Kwashiorkor disebabkan karena
kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmik kwashiorkor disebabkan
karena kurang energi dan protein
Penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah
umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Anak dalam
golongan umur 1-3 tahun sangat rentan terhadap penyakit gizi. Angka tertinggi untuk
morbiditas KEP terdapat dalam golongan umur ini. Pemberian makanan adalah salah satu
faktor yang mempengaruhi status gizi bayi. Pemberian makanan yang kurang tepat dapat
menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan pemberian yang berlebih akan terjadi
kegemukan. Pada usia 7 bulan, secara fisiologis bayi telah siap menerima makanan tambahan,
karena secara keseluruhan fungsi saluran cerna sudah berkembang.
Permasalahan:
Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan
protein (KEP) dalam makanan sehari-hari. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama
KEP masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Masalah gangguan tumbuh kembang pada bayi dan anak di bawah 2 tahun merupakan masalah
yang perlu ditanggulangi dengan serius, kerena merupakan masa yang sangat penting sekaligus
masa kritis dalam proses tumbuh kembang baik fisik maupun kecerdasan, oleh kerena itu bayi
dan anak sejak usia 7 bulan harus memperoleh asupan gizi sesuai yang dibutuhkannya.

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:


Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diaatas, maka kami mengadakan penyuluhan
kesehatan dengan topik Mengenali Gizi Buruk (Kekurangan Energi Protein (KEP)) Pada Balita
dengan membuat media informatif berupa power point presentasi yang berisi materi tentang
penjelasan serta gambaran mengenai gizi buruk pada anak khususnya balita. Metode yang
digunakan adalah metode penyuluhan, ceramah dan diskusi tanya jawab. Dalam proses
penyuluhan ada proses interaksi atau feed back antara pemeteri dan sasaran yang berguna bagi
masyarakat khususnya orang tua dalam memperjelas tujuan penyampaian isi materi
penyuluhan.

Pelaksanaan:
Sosialisasi dan edukasi mengenai KEP dan gizi buruk pada masyarakat diberikan dalam bentuk
ceramah dan diskusi pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Bontomatene baik yang
datang ke Puskesmas maupun ke Posyandu, terutama ibu-ibu yang memiliki anak bayi dan
balita.

Monitoring Evaluasi:
Setiap orang tua yang mendapatkan penyuluhan menunjukkan perhatian dan antusias yang
sangat baik mengenai pentingnya menjaga status gizi, pertumbuhan dan perkembangan anak
serta mengenali sejak dini tanda gizi buruk pada anak. Ibu-ibu di wilayah kerja Puskesmas
Bontomatene sangat antusias ingin mengetahui informasi mengenai cara menjaga status gizi
bayi dan balita sebagai upaya menghindari terjadinya gizi buruk pada anak. Sehingga hal ini
membuktikan bahwa masyarakat sadar akan pentingnya menjaga status gizi anak dan
mencegah terjadinya gizi buruk yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan
anak.

F4 Kebutuhan Gizi Ibu Hamil dan Menyusui (masy)


LB:
Kehamilan akan meningkatkan metabolisme energi karena itu kebutuhan energi dan zat gizi
lainnya juga mengalami peningkatan selama masa kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi
tersebut dibutuhkan untuk tumbuh kembang janin, penambahan ukuran organ kandungan,
perubahan komposisi dan metabolisme tubuh sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang
diperlukan saat hamil dapat menyebabkan pertumbuhan janin yang tidak sempurna.
Maka dari itu penting bagi ibu hamil dan menyusui agar senantiasa memenuhi kebutuhan gizi
seimbang agar pertumbuhan janin selama dalam kandungan dan pada saat awal kehidupan
mampu berkembang secara maksimal.

Permasalahan:
Kebutuhan energi ibu hamil dipengaruhi oleh dua hal, yaitu peningkatan angka metabolisme
basal untuk menunjang kebutuhan tumbuh-kembang janin dan jaringan yang menyertainya,
serta aktivitas fisik. Jumlah energi yang dibutuhkan bervariasi dan berbeda untuk setiap ibu
hamil. AKG 2004 menetapkan tambahan kebutuhan energi ibu hamil pada trimester I sebanyak
180 kkal di atas kebutuhan sebelum hamil dan sebanyak 300 kkal pada trimester II dan III.
Dengan demikian AKG energi ibu hamil berusia antara 19-49 tahun berkisar antara 2000-2200
kkal/hari
Selama kehamilan terjadi pembentukan sel-sel yang luar biasa banyaknya, disertai penambahan
volume darah. Semua zat gizi berperan dalam proses ini, namun kebutuhan akan asam folat,
kobalamin, besi dan seng memerlukan perhatian secara khusus karena memiliki peran yang
amat penting dalam sintesis DNA, RNA dan sel-sel baru.
Setelah melahirkan, para ibu memiliki kebutuhan energi dan gizi yang lebih banyak dari
sebelum ibu melahirkan. Karena sang ibu memiliki kewajiban memberikan ASI eksklusif pada
bayi selama minimal 6 bulan pertama pasca kelahiran, demi meningkatkan kekebalan tubuh
dan pemenuhan protein utama pada bayi. Selain menyusui, ibu juga mengalami masa nifas
selama 6 minggu sampai 3 bulan pasca melahirkan. Nifas adalah keluarnya darah dari rahim ibu
hamil setelah atau bersamaan dengan proses kelahiran bayi. Darah nifas ini keluar disebabkan
adanya pemulihan organ genetalia agar berfungsi normal seperti masa sebelum hamil dan
melahirkan. Untuk itu para ibu memerlukan gizi dan nutrisi yang sangat menunjang bagi
pemulihan organ genetalia ini dan proses menyusui bayi dengan ASI eksklusif.

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:


Penyuluhan tentang kebutuhan gizi ibu hamil dan menyusui disampaikan dalam bentuk
ceramah dan edukasi kepada ibu hamil dan menyusui.

Pelaksanaan:
Penyuluhan dalam bentuk edukasi diberikan kepada ibu hamil yang melakukan pemeriksaan
kesehatan di puskesmas maupun posyandu. Sosialisasi juga bisa dalam bentuk ceramah yang
dibantu dengan media presentasi di ruang tunggu pemeriksaan Kesehatan ibu hamil secara
terus menerus per hari pada setiap masyarakat yang datang berobat ke Puskesmas.
Selain itu, ibu hamil yangmengalami KEK (kekurangan energi kronik) yang dibuktikan dengan
pengukuran LILA (lingkar lengan atas) diberikan makanan tambahan ibu hamil dan dilakukan
evaluasi keadaan ibu oleh kader maupun bidan desa.

Monitoring Evaluasi:
Terjadi peningkatan pemenuhan status gizi dan diikuti dengan meningkatnya status gizi dari ibu
hamil dan ibu menyusui. Kegiatan promosi kesehatan melalui penyuluhan ini sebaiknya dapat
dikembangkan pula ke berbagai topik kesehatan lainnya, dan dapat disampaikan ke bagian
masyarakat lain melalui media sosial atau elektronik lainnya.
F4 Suplementasi Vitamin A pada Balita (masy)

LB:
Vitamin A merupakan zat gizi essensial karena tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus
didapatkan dari sumber di luar luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah
kebutaan, dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pada anak yang tercukupi kebutuhan
vitamin A-nya, apabila mereka terkena diare, campak atau penyakit infeksi lainnya, maka
penyakit-penyakit tersebut tidak akan mudah bertambah parah.
Program penanggulangan Vitamin A di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1995 dengan
suplementasi kapsul Vitamin A dosis tinggi, untuk mencegah masalah kebutaan karena
kekurangan Vitamin A, dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian kapsul Vitamin A
membantu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian anak (30-50%). Maka selain
untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan
hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak.

Permasalahan:
Meski kekurangan vitamin A yang berat sudah jarang ditemui, namun kasus kekurangan vitamin
A tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih didapatkan di
lapangan, terutama pada kelompok usia balita. Padahal kekurangan vitamin A tingkat subklinis
ini hanya dapat diketahui dengan memeriksakan kadar vitamin A dalam darah.

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:


Berdasarkan permasalahan di atas, dan untuk mencegah bertambahnya angka defisiensi
vitamin A, maka intervensi yang diberikan adalah dengan tetap melaksanakan program
Suplementasi Vitamin A untuk balita yang dilakukan setiap bulan Februari dan Agustus (Bulan
Kapsul Vitamin A).

Pelaksanaan:
Kegiatan suplementasi vitamin A dilakukan selama bulan agustus. Untuk memudahkan proses
pelaksanaan, suplementasi dilakukan bersamaan dengan posyandu.

A. Kapsul Suplementasi Vitamin A


Kapsul vitamin A yang digunakan dalam kegiatan suplementasi vitamin A adalah kapsul yang
mengandung vitamin A dosis tinggi.
o Kapsul biru, untuk bayi usia 6-11 bulan.
o Kapsul merah untuk balita usia 12-59 bulan.

B. Sasaran Suplementasi Vitamin A


o Bayi 6-11 bulan : Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali
o Anak balita 12-59 bulan : Kapsul merah (200.000 SI) 2 kali
C. Waktu Pemberian
Suplementasi Vitamin A diberikan kepada seluruh anak balita umur 6-59 bulan secara serentak:
Untuk bayi umur 6-11 bulan, diberikan pada bulan Februari atau Agustus. Untuk anak balita
umur 12-59 bulan pada bulan Februari dan Agustus.

D. Tenaga yang memberikan suplementasi Vitamin A


o Tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, tenaga gizi dll)
o Kader terlatih

E. Cara Pemberian
Sebelum dilakukan pemberian kapsul, tanyakan pada ibu balita apakah pernah menerima
kapsul Vitamin A dalam satu bulan terakhir. Cara pemberian kapsul pada bayi dan anak balita:
o Berikan kapsul biru (100.000 SI) untuk bayi dan kapsul merah (200.000 SI) untuk balita
o Potong ujung kapsul dengan menggunakan gunting bersih
o Pencet kapsul dan pastikan anak menelan semua isi kapsul (dan tidak membuang
sedikitpun isi kapsul)
o Untuk anak yang sudah bisa menelan dapat diberikan langsung satu kapsul untuk
diminum
o Untuk balita yang tidak datang ke Posyandu, vitamin diantar langsung oleh kader ke
rumah balita tersebut.

Monitoring Evaluasi:
Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan pencatatan kasus xeroftalmia dan gangguan mata
lain akibat defisiensi vitamin A. Pada program bulan februari ini, semua bayi dan balita yang
datang ke posyandu diberikan suplementasi vitamin A.

F4 MP-ASI (masy)

LB:
MP-ASI atau makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi,
yang diberikan pada balita usia 6-24 bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi selain ASI.Karena
normalnya, pada usia 6 bulan berat badan bayi akan meningkat 2 sampai 3 kali berat badannya
saat lahir. Selain itu pada usia 6 bulan bayi normal memiliki aktivitas yang sudah cukup banyak,
diantaranya sudah mampu untuk berbalik dari telungkup ke telentang, meraih benda
disekitarnya, menggenggam, serta menirukan bunyi. Dengan adanya pertambahan berat badan
dan aktivitas bayi, konsumsi ASI saja tidak akan mencukupi kebutuhan kalorinya. Untuk itu
perlu di berikan MP- ASI guna mencukupi kebutuhan kalori tersebut. MP-ASI bukanlah makanan
pengganti ASI, karena ASI tetap memegang peran penting pada kebutuhan gizi bayi. Maka
selain ASI, pada usia 6-24 bulan pemberian MP-ASI penting peranannya untuk pertumbuhan
dan perkembangan bayi, dimana pemberian MP-ASI tetap harus diperhatian jenis makanan dan
frekuensi pemberiannya yang disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi yang masih dalam
proses perkembangan.2 Berdasarkan guideline dari WHO, ada 10 kriteria pemberian MP-ASI
yang baik, yaitu harus tepat waktu pertama pemberiannya, tetap mempertahankan pemberian
ASI, responsive feeding, persiapan dan penyimpanan ASI yang aman, jumlah MP-ASI dan
kandungan gizi sesuai kebutuhan, konsistensi, frekuensi dan kepadatan MP-ASI yang baik, serta
penggunaan suplemen dan pemberian MPASI saat sakit dengan baik.4 Pemberian MP-ASI tidak
boleh sembarangan karena kesalahan pemberian makanan pada bayi (terlalu banyak, terlalu
sedikit, jenis makanan yang salah) dapat mengakibatkan diare. Diare pada anak sangat
berbahaya, selain karena membuat penyerapan nutrisi terganggu juga dapat menyebabkan
terjadinya dehidrasi. Bayi yang lahir cukup bulan sudah mampu untuk menelan, mencerna, dan
mengabsorpsi protein dan karbohidrat sederhana serta mampu untuk mengemulsikan lemak.
Meski demikian, dari sisi enzim-enzim pencernaan, walaupun enzim tripsin bayi sudah bekerja
optimal sejak lahir, enzim amilase bayi secara bertahap akan mencapai titik optimal pada usia
12 bulan, enzim lipase kadarnya akan sama dengan enzim lipase pada orang dewasa pada usia
24 bulan. Hal ini berkaitan dengan kesiapan sistem pencernaan bayi mengolah makanan selain
ASI.7 Selain itu pemberian makanan dengan kalori tinggi terlalu dini dapat memicu obesitas
pada bayi. Beberapa kasus alergi juga muncul pada anak dengan pemberian makanan terlalu
dini. Hal ini makin kacau jika di suatu kelompok masyarakat memiliki kepercayaan atau tradisi
memberi bayi berusia kurang dari 6 bulan makanan yang diyakini memiliki khasiat tertentu.

Permasalahan:
Munculnya masalah kesehatan akibat kesalahan pemberian MP-ASI secara tidak langsung akan
mempengaruhi status gizi pada bayi. Di Indonesia pada rentang tahun 2007 – 2013 angka gizi
kurang mencapai 19,6. Dari data Riskesdas 2013 kasus bayi dengan BBLR statusnya sebesar 10,2
persen, belum mencapai target WAS sebesar 7,1 persen dan cakupan ASI eksklusif bayi usia 0-6
bulan masih 42 persen, belum juga mencapai target WAS sebesar 50 persen. Hal ini
menunjukkan 58 persen masyarakat belum mempraktikkan ASI eksklusif, bisa jadi tidak
memberi ASI sama sekali atau memberi MP-ASI sebelum usia 6 bulan. Sedangkan di Jawa
Tengah, dari hasil capaian indikator makro tahun 2015, terdapat 936 kasus balita kurang gizi,
dimana di Kota Semarang terdapat 14 kasus dan di Kabupaten Semarang terdapat 26 kasus.
Dari profil kesehatan kota Semarang tahun 2014, dari 26.992 bayi lahir hidup, 1 persen
diantaranya atau 227 bayi lahir dengan berat badan lahir rendah. Sedangkan tren kasus gizi
buruk di Kota Semarang di tahun 2014 ada 32 kasus, menurun dari tahun sebelumnya yaitu 32
kasus, dimana salah satu daerah yang diberi warna merah dalam peta kasus gizi buruk di
Semarang tahun 2014 adalah Kelurahan Bandarharjo sebanyak 1 kasus di tahun. Selain itu, dari
sumber yang sama, didapatkan masih rendahnya cakupan ASI eksklusif Kelurahan Bandarharjo,
dimana kelurahan ini hanya memiliki angka cakupan ASI eksklusif sebesar 46,98%, masih
dibawah target 55% dan rata-rata kota Semarang 64,68%. Dari sini diketahui bahwa 54,02%
penduduk di Kelurahan Bandarharjo belum memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya,
atau dengan kata lain lebih memilih memberi susu formula atau memberi MP-ASI kurang dari 6
bulan. 10 Meski demikian, cakupan balita gizi mendapat perawatan sudah terlaksana dengan
baik dengan persentase 100 persen. Walaupun pencapaian tujuan 1 MDGs dalam hal
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan sudah baik, terlihat dari penurunan proporsi
penduduk yang menderita kelaparan dari tahun 1989 ke tahun 2013 yang ditunjukkan dengan
prevalensi balita dengan berat badan lahir rendah dari 31,00 persen menjadi 19,60 persen,
perhatian pemerintah akan pentingnya gizi masih terus ada. Terbukti dari penyusunan SDGs,
dimana tujuan 2 adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan
gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan [8 target], yang menargetkan pada tahun
2030, mengakhiri kelaparan dan menjamin akses pangan yang aman, bergizi, dan mencukupi
bagi semua orang, khususnya masyarakat miskin dan rentan termasuk bayi, di sepanjang tahun.
Tujuan 2 ini juga termasuk satu dari empat hal yang mendapat perhatian khusus sektor
kesehatan selain sistem kesehatan nasional, akses kesehatan reproduksi dan KB, serta sanitasi
dan air bersih. Dalam pengembangan pendidikan gizi masyarakat juga ditulis pertama dalam
faktor penting yang berperan, karena kecukupan intake zat gizi akan mengurangi morbiditas
dan mortalitas balita, meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor, meningkatkan
kapasitas belajar di sekolah sehingga meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:


Penyuluhan tentang MP-ASI yang disampaikan dalam bentuk ceramah, dibantu media
presentasi.

Pelaksanaan:
Penyuluhan dengan cara ceramah dibantu media presentasi serta edukasi kepada ibu-ibu
dengan bayi yang datang ke Posyandu serta Puskesmas.

Monitoring Evaluasi:
• Diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya MP ASI
• Diharapkan terjadi penurunan kasus stunting dan gizi buruk di wilayah kerja puskesmas
Bontomatene Selayar.

F4

LB:

Permasalahan:

Perencanaan &Pemilihan Intervensi:

Pelaksanaan:

Monitoring Evaluasi:

Anda mungkin juga menyukai