Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
A. PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon
dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi
difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi
oksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga
menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan
peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
B. KLASIFIKASI
1. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu
menunjukkkan kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu
PaCO2>50mmHg. Hal ini disebabkan karena kadar CO2 meningkat
dalam ruang alveolus, O2 yang tersisih di alveolar dan PaO2 arterial
menurun. Oleh karena itu biasanya diperoleh hiperkapneu dan
hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara inspirasi diberi
tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada level dari
bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi
nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang
membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah
utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih
sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu.
2. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam
jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul
pada pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
b. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi
pada pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik
dan emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia
dan hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
3. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
a. Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema
paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya
sehingga terjadi peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke
interstisial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit
kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan
peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV) dan left
ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan
mekanisme backward-forward failure. Penyakit yang menyebabkan
disfungsi miokard :
1) Infark miokard
2) Kardiomiopati
3) Miokarditis
4) Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
5) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan
coartasio aorta
6) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta
insufisiensi
7) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid
insufisiensi.
b. Non cardiac
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah
maupun di pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat
disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak,
dan ARDS
C. ETIOLOGI
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :
1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran
napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar.
Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun
obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada
pasien tidak sadar, spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan
tumor pada trakhea. Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema,
bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama
yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuscular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera
spinal, fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan
gangguan metabolik seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai
dengan depresi saraf pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma,
infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
minute volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering
terjadi pada guillain bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis,
kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas
hipoksemia, seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak),
ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor paru,
aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace, seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
D. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal
nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam.
Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali seperti semula. Pada gagal nafas kronik struktur paru mengalami
kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan
medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi
pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan
efek yang dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid.
Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas
akut.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda
a. Gagal nafas total
1) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat
didengar/dirasakan.
2) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi
supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada
pada inspirasi
3) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha
memberikan ventilasi buatan
b. Gagal nafas parsial
1) Terdengar suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan
wheezing.
2) Adanya retraksi dada
2. Gejala
a. Hiperkapnia, terjadi penurunan kesadaran (peningkatan PCO2)
b. Hipoksemia, terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis
(PO2 menurun)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan
ini juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi
kemajuan terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
a. Hipoksemia :
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
b. Hiperkapnia
Ringan : PaCO2 45 – 60 mmHg
Sedang : PaCO2 60 – 70 mmHg
Berat : PaCO2 70 – 80 mmHg
2. Pemeriksaan Rongent Dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang
tidak diketahui. Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat
terlihat perpindahan letak mediastinum. Berdasarkan pada foto thoraks
dan fluoroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya
hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab
paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83%
prediksi. Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah
dari nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih
besar dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai
dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF,
serta jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan
aritmia jantung sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika
dijumpai ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked),
kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia,
TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan
berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk
sputum yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih
sering merupakan tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
G. PENTALAKSANAAN MEDIS
1. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-
obatan pernapasan dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas.
Pertimbangan untuk insersi jalan nafas artificial seperti ETT.
2. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari
mekanisme hipoksemia dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous
Positive Airway Pressure ) sering menjadi pilihan oksigenasi pada gagal
napas akut. CPAP bekerja dengan memberikan tekanan positif pada
saluran pernapasan sehingga terjadi peningkatan tekanan transpulmoner
dan inflasi alveoli optimal. Tekanan yang diberikan ditingkatkan secara
bertahap sampai toleransi pasien dan penurunan skor sesak serta
frekuensi napas tercapai.
3. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa
jenis bronkhodilator mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema
dan inflamasi. Bronkhodilator merupakan terapi utama untuk penyakit
paru obstruksi, tetapi peningkatan resistensi jalan nafas juga banyak
ditemukan pada penyakit paru lainnya.
4. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas
tidak diketahui secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel
inflamasi.
5. Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana
menyeluruh gagal nafas.
6. Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung
tekanan darah sistemik, tekanan vena central, dan penentuan
hemodinamik yang lebih invasif.
Tindakan primer
A,B,C,D, E
RESIKO INFEKSI
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan/atau vena
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (mis.
Nyeri saat bernafas,kelemahan otot pernafasan)
4. Bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan nafas
5. Risiko infeksi saluran pernafasan atas b.d pemasangan selang ETT
INTERVENSI KEPERAWATAN
No SDKI SLKI SIKI
1. Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
efektif intervensi keperawatan Observasi
selama 3x24 jam maka 1. Periksa sirkulasi perifer
perefusi perifer 2. Identifikasi faktor resiko
meningkat dengan gangguan sirkulasi
kriteria hasil: Terapeutik
1. Lemas menurun 3. Lakukan pencegahan
2. Pusing menurun infeksi
3. Warna kulit membaik 4. Lakukan hidrasi
4. Kadar hemoglobin Edukasi
membaik 5. Anjurkan berolahraga
5. Pengisian kapiler rutin
membaik 6. Anjurkan program
6. Akral membai rehabilitasi vaskuler
7. Anjurkan program diet
untuk memperbaiki
sirkulasi
2. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan Terapi oksigen
gas tindakan keperawatan Observasi
3x24 jam maka 1. Monitor posisi alat
pertukaran gas terapi oksigen
meningkat dengan 2. Monitor fektifitas terapi
kriteria hasil: oksigen
1. Dispnea menurun 3. Monitor tanda tanda
2. Bunyi napas hipoventilasi
tambahan menurun Terapeutik
3. Napas cuping hidung 4. Bersihkan secret pada
menurun mulut,hidung dan
trachea
5. Pertahankan kepatenan
jalan nafas
Edukasi
6. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan oksigen
dirumah
Kolaborasi
7. Kolaborasi penggunan
oksigen saat aktivitas
dan atau tidur
3. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Manajemen jalan Napas
intervensi keperawatan Observasi
selama3x24 jam, maka 1. Monitor pola napas
pola napas membaik ( frekuensi, kedalaman,
dengan usaha napas)
kriteria hasil: 2. Monitor bunyi napas
1. Dispnea menurun tambahan
2. Penggunaan otot Terapeutik
bantu napas 3. 3Posisikan semi fowlwer
menurun atau fowler
3. Pemanjangan fase 4. Berikan minum air
ekspirasi menurun hangat
4. Frekuensi napas 5. Lakukan fisioterapi
membaik dada, jika perlu
6. Berikan oksigenasi, jika
perlu
Edukasi
7. Ajarkan tehnik batuk
efektif Kolaborasi 8.
Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukotil,
jika perlu
4. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
tidak efektif intervensi keperawatan Observasi
selama 3x24 jam, maka 1. Identifikasi kemampuan
bersihan jalan napas batuk
meningkat dengan 2. Monitor tanda dan
kriteria hasil: gejala infeksi saluran
1. Produksi sputum napas
menurun Terapeutik
2. Ronchi menurun 3. Atur posisi semi-Fowler
3. Frekuensi napas atau Fowler
membaik 4. Pasang perlak dan
4. Pola napas membaik bengkok di pangkuan
pasien
5. Buang waktu pada
tempat sputum
Edukasi
6. Jelaskan maksud dan
tujuan prosedur batuk
efektif
7. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik ditahan 2
detik, kemudian
keluarga dari mulut
dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8
detik 8. Anjurkan batuk
dengan kuat langsung
setelah tarik napas
dalam yang ke-3
Kolaborasi 9. Kolaborasi
pemberian mukotil atau
ekspektoran, jika perlu
5. Resiko infeksi Setelah dilakukan P encegahan infeksi
intervensi selama 3x24 Observasi :
jam di harapkan Tingkat 1. Monitor tanda dan
infeksi menurun dengan gejala infeksi
kriteria hasil: Teraupeutik :
1. Kebersihan tangan 2. Cuci tngan sebelum dan
meningkat sesudah kontak dengan
2. Kebersihan badan pasien
meningkat 3. Pertahankan tehnik
aseptik
Edukasi :
3. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
4. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi :
5. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Daftar Pustaka
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M,
Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa :
Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun
1999)
Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong, Buku-ajar Ilmu Bedah. Ed: revisi. Jakarta: EGC,
1998
Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001