Anda di halaman 1dari 31

TUGAS MAKALAH SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

Anggota :
Hendry Adi Saputra ( 71210081 ) Indra Pramana Widya ( 71210086 )
Hendy Rachmat Primana ( 71210082 ) M. Septian Feri Irawan ( 71210087 )
Hilda Dahriana ( 71210083 ) Malvin Owen Hardicar ( 71210088 )
Imelda Miami ( 71210084 ) Marisa Julinda ( 71210089 )
Indra Gunawan ( 71210085 ) Muhammad Boggi Riswanto ( 71210090 )

Dosen :
Dr. dr. Agus Hadian Rahim, SpOT(K), M.Epid, M.Hkes
Dr. dr. Ardini Saptaningsih Raksanagara, MPH

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN


KONSENTRASI MANAJEMEN RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS ADHIRAJASA RESWARA SANJAYA
BANDUNG
2021
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

A. Definisi Surveilans Epidemiologi


Surveilans adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan
untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian
dan penanggulangan secara efektif dan efisien (Kemenkes, 2014). Surveilans memantau
terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi
outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit,
seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya
surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last dalam Murti,
2010).
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan
secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten
atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dansistematis maka perubahan-
perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau
diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian
penyakit dengan tepat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa system surveilans meliputi
kapasitas fungsional dari pengumpulan data, analisis dan diseminasi terkait berbagai
program kesehatan masyarakat (Last dalam Najmah, 2015).

B. Tujuan dan Manfaat Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi


Tujuan utama dari epidemiologi surveilans ialah untuk mendapat gambaran kejadian
morbiditas dan mortalitas serta kejadian peristiwa vital secara teratur sehingga dapat
digunakan dalam berbagai kepentingan perencanaan dan tindakanyang berkaitan dengan
kesehatan masyarakat.
Tujuan epidemiologi surveilans secara rinci meliputi (Noor, 2008:149) :
1. Identifikasi, investigasi dan penanggulangan situasi luar biasa atau wabahyang terjadi
dalam masyarakat sedini mungkin.
2. Identifikasi kelompok penduduk tertentu dengan risiko tinggi.
1
3. Untuk penentuan penyakit dengan prioritas penanggulangannya.
4. Untuk bahan evaluasi antara input pada berbagai program kesehatan denganhasil
luaranya berupa insiden dan prevalensi penyakit dalam masyarakat.

5. Untuk memonitoring kecenderungan (tren) perkembangan situasi kesehatanmaupun


penyakit dalam masyarakat.

2.2 Sumber Data Surveilans Epidemiologi


Untuk mendukung analisis pelaksanaan surveilans di masyarakat dan perencanaan
program tindak lanjut, maka diperlukan data yang akurat. Sumber data yang dapat digunakan
untuk memenuhi tujuan surveilans meliputi (Amiruddin, 2017) :
1. Laporan mortalitas
Data mortalitas atau kematian dapat diperoleh dari data statistik vital.
Pencatatan kematian dilakukan di tingkat desa, kemudian dilaporkan ke kantor desa atau
kelurahan kemudian ke kantor kecamatan dan puskesmas, dan dari kantor kecamatan dikirim
ke kantor kabupaten/kota.
2. Laporan morbiditas
Data morbiditas atau kesakitan dapat diperoleh dari institusi pelayanan kesehatan dari
tingkat terendah sampai tingkat nasional (puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas
kesehatan provinsi dan kementrian kesehatan) mempunyai kewajiban untuk melaporkan data
morbiditas untuk kegiatan surveilans. Data morbiditas dapat digunakan untuk mengetahui
penyebaran atau distribusi penyakit menurut karakteristik orang, tempat, dan waktu, serta
mengetahui ukuran endemisitas suatu kejadian penyakit.
3. Hasil tes laboratorium.
Laporan laboratorium dapat digunakan sebagai basis data untuk kegiatan surveilans
penyakit. Hasil laboratorium merupakan sarana yang penting untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab penyakit menular ataupun pemeriksaan tertentu untuk penyakit-
penyakit lainnya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes mellitus.
4. Laporan outbreak atau wabah.
Data outbreak atau wabah berbentuk data laporan adanya wabah penyakit, misalnya
keracunan makanan , campak dan polio. Laporan wabah meliputi distribusi penyakit menurut

2
waktu, tempat, dan orang, yang akan digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data
dalam rangka mengetahui sumber dan penyebab wabah.
5. Data petugas kesehatan
Petugas pemeriksa penyebab kematian dan pemeriksa kesehatan dapat menyediakan
informasi kematian yang mendadak atau yang tidak terduga. Mereka melaporkan pada tingkat
kabupaten, dan termasuk rincian penyebab dan kematian alami yang tidak diberikan
sertifikat kematian. Laporan-laporan ini berharga untuk surveilans kecelakaan yang
disengaja atau tidakdisengaja dan kematian yang tidak diketahui penyebabnya.
6. Data demografi dan data lingkungan.
Data demografi dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan tentang jumlah
penduduk dan untuk menetapkan jumlah populasi yang beresikoterkena penyakit (population
at risk). Data lingkungan adalah data mengenai lingkungan yang dapat mendukung terjadinya
penyakit di masyarakat. Contohnya yaitu data curah hujan, data tentang penyediaan atau
suplai air bersih di masyarakat, data tempat-tempat potensial perindukan nyamuk Aedes
aegypti, dan lain sebagainya.
7. Data Rumah sakit
Hampir semua rumah sakit mempunyai pencatatan, terutama untuk tujuan keuangan.
Laporan-laporan ini dapat digunakan untuk tujuan surveilans dan sekarang sekarang beberapa
daerah menyusun data rumah sakit yang dapat digunakan oleh masyarakat. Pencacatan khasus
ini termasukdata demografi, diagnosa, prosedur operasi, lama tinggal, dan biaya terapi tanpa
menggunakan nama, alamat, dan informasi lain yang akan mengidentifikasi individu.
Beberapa sumber menyediakan data-data rumah sakit pada tingkat nasional. Sistem surveilans
nasional mengumpulkan data dari sampel-sampel rumah sakit untuk variasi kejadian
kesehatan yang spesifik. Sistem ini termasuk untuk surveilans catatan kelahiran, infeksi
nosocomial, kecelakaan dan obat yang dibutuhkan pada kunjungan di ruang gawat darurat.
8. Data perawatan kesehatan pasien yang sudah sembuh
Pada tingkat nasional, data pasien dari National Ambulatory Medical Care Survey,
yang telah dilaksanakan secara priodik oleh NCHS, dan dari NationalDrug and
Theurapeutic Index. Keduanya secara random mengambil sampel dari data dasar praktik
diagnostik, spesialis, perawatan, dan data disposisi. Akhirnya data pasien dapat diperoleh
dari jaringan praktik dokter keluarga yang dilaporkan secara selektif tentang masalah
kesehatan.
3
9. Survey kesehatan dan populasi
Semua sistem surveilans yang telah dijelaskan di atas tentang pengumpulan data
terhadap beberapa jenis penyakit atau gangguan kondisi kesehatan yang lain. Beberapa
sistem mengambil secara sampel tentang status kesehatan dari warga dalam komunitas.
Contoh NCHS secara periodik menyelenggarakan survey kesehatan dan uji gizi secara
nasional (National Health and Nutrition Examination Survey/NHANES). Sistem surveilans
ini menggunakan interview dengan telepon untuk mengumpulkan informasi tentang
kebiasaan merokok,minum alcohol, penggunaan seat belt, hipertensi, berat badan, dan
faktor lainyang berpengaruh terhadap kesehatan.
10. Informasi reservoir dan vektor
Pengumpulan data dalam surveilans dapat dilakukan melalui berbagai elemen dalam
rantai penyebab penyakit seperti faktor resiko perilaku, kegiatan pencegahan penyakit, kasus
dan program serta biaya pengobatan.

2.3 Jenis-Jenis Surveilans Epidemiologi


Secara umum, surveilans epidemiologi dibagi menjadi 3 jenis, yakni (Najmah,2015):
1. Surveilans Aktif
Adalah kegiatan surveilans dimana proses pengumpulan data dilakukan secara aktif
menggunakan segala sumber, termasuk berbagai media. Umumnya menggunakan petugas
khusus surveilans yang akan melakukan kunjungan berkala ke lapangan, tempat praktik
pribadi dokter dan tenaga medis lainnya meliputi puskesmas, klinik dan rumah sakit. Tujuan
kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian yang disebut
penemuan kasus (case finding) dan konfirmasi laporan kasus yang terindeks.
Kelebihan surveilans aktif yakni tingkat keakuratannya lebih baik dibandingkan
surveilans pasif, karena petugas kesehatan secara khusus ditunjuk untuk melakukan kegiatan
surveilans pada penyakit tertentu. Selain itu surveilans aktif juga memiliki kelemahan yakni
membutuhkan biaya yang lebih besar serta tingkat kesulitan untuk operasionalisasinya lebih
tinggidibandingkan surveilans pasif.
2. Surveilans Pasif
Prinsip surveilans pasif adalah memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan
data penyakit harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan

4
kesehatan meliputi puskesmas, klinik dan rumah sakit. Surveilans pasif memiliki beberapa
kelebihan juga yakni relative murah dan mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan
surveilans aktif. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit
infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis
perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitive
dalam mendeteksi kecenderungan atau trend penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under
reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi
dengan tanggung jawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat
sederhana dan ringkas.
3. Surveilans Sentinel
Sistem surveilans sentinel diaplikasikan ketika daya dengan kualitastinggi dibutuhkan
mengenai penyakit tertentu yang tidak bias diperoleh dari surveilans pasif. Sistem sentinel
membutuhkan jaringan atau pusat titik pelaporan kasus yang terpilih. Penggunaan situasi
sentinel telah menjadi pendekatan yang lebih disukai untuk human immunodeficiency
virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS). Pendekatan ini didasarkan pada
survey serologi perodik dilakukan di lokasi yang dipilih dengan subkelompok populasi yang
terdefinisi dengan baik (misalnya, klinik prenatal). Dalam strategi ini, pejabat kesehatan
menentukan subkelompok populasi dan daerah untuk belajar dan kemudian mengidentifikasi
sarana pelayanan kesehatan yang melayani para penduduk yang mampu dan bersedia untuk
berpartisipasi. Fasilitas ini kemudian melakukan survei serologi setidaknya setiap tahun untuk
memberikan perkiraan statistik yang valid dari prevalensi HIV.
Sedangkan Menurut Murti (2010) dikenal beberapa jenis surveilans yaitu:
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-
individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya cacar, tuberkulosis, tifus,
demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional
segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak danaktivitas orang-orang
atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama
periode menular. Tujuan karantinaadalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi
5
seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
2. Surveilans penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus- menerus
terhadap penyebaran dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan
sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan- laporan penyakit dan kematian, serta data
relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di
banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal
(pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya gagal, karena pemerintah kekurangan biaya.
3. Surveilans Sindromik
Surveilans sindromik (syndromic surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus
terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans
sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi
yang bisa diamati sebelum diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang
dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu
penyakit. Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun
nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para
dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana
(demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah
kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total
kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang
menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan
peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah
berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
4. Surveilans berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit
infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri
6
tertentu memungkinkan deteksi wabah penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada
sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma (kumpulan gejala) dari klinik-klinik (DCP2,
2008).
5. Surveilnas Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan
surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/provinsi/kabupaten/kota) sebagai sebuah
pelayanan publik bersama. Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang
surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakanpendekatan
solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan
sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan)
dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium,
komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan
pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu
tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda
(WHO, 2002).
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah,
dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang
melintasi batas-batas negara.
Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru
muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda
surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku
kepentinganpertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).

2.4 Metode-metode Surveilans Epidemiologi


Sebelum melaksanakan surveilans, petugas surveilans harus menetapkan metode
surveilans apa yang akan diterapkan.

7
Setidaknya ada 5 jenis metode surveilans yaitu (Subaris, 2004:81):
A. Metode Hospital Wide Traditional Surveillance
Melalui metode ini Infection Control Personnel (ICP) melakukan survey secara prospektif
dan berkesinambungan pada semua area di rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien
yang menderita Acquired infection selama di rawat di rumah sakit. Informasi diperoleh
dari laporan harian mikrobiologi, catatan medic pasien, catatan perawat,laporan otopsi,
dan sebagainya. Setiap bulan tim pengendali infeksi akan melakukan perhitungan angka
kejadian infeksi berdasarkan unit keperawatan, jenis layanan medic, atau prosedur
operasi. Kelemahan metode ini adalah biaya yang dibutuhkan cukup besar dan terkadang
jenis infeksi yang ditemukan terlalu banyak sehingga menyulitkan pengumpulan data.
B. Metode Periodic Surveillance
Pada metode ini ICP melakukan surveilans pada satu atau beberapa unit dalam kurun
waktu tertentu yang selanjutnya juga dikerjakan untuk unit-unit lainnya. Dengan cara ini
maka tim pengendali infeksi rumah sakit dapat mengetahui secara lebih rinci masalah
infeksi nosocomial di masing-masing unit pelayanan.
C. Metode Prevalence Survey
Dalam metode ini ICP menghitung jumlah infeksi aktif yang terjadi selama kurun waktu
tertentu. Infeksi aktif yaitu semua infeksi yang terjadi selama periode survey, termasuk
mereka yang baru saja didiagnosis maupun yang sedang menjalani pengobatan.
D. Metode Targeted Surveillance
Metode ini berfokus pada populasi yang spesifik seperti misalnya pasien pada ruang ICU,
pasien dengan risiko tinggi infeksi (misalnya karena transplantasi organ), atau pasien
yang memerlukan peralatan medic khusus, misalnya ventilator associated
pneumonia(VAP).
E. Metode Outbreak Threshold
Melalui metode ini surveilans dilakukan untuk menilai baseline angka infeksi yang
kemudian dikembangkan menjadi suatu outbreak threshold. Angka threshold bisa
bervariasi, misalnya 80% di atas baseline. Dengan mendasarkan pada threshold ini maka
dapat diputuskan untuk melakukan upaya intervensi jika hasil surveilans melapaui angka
threshold.

8
2.5 Langkah-langkah Surveilans Epidemiologi
Dalam pelaksanaan kegiatannya, epidemiologi surveilans secara teratur dan terencana terdiri
dari langkah-langkah, yaitu (Noor, 2008:51).
a. Pengumpulan atau pencacatan kejadian (data) yang dapat dipercaya. Data yang
dikumpulkan meliputi data epidemiologi yang jelas, tepat, dapat dipercaya dengan
validitas dan reliabilitas yang tinggi dan ada hubungannya dengan penyakit yang
mengalami surveilans. Jenis dan bentuk data yag dikumpulkan disesuaikan dengan
tujuan surveilans.
b. Pengelolaan data untuk dapat memberikan keterangan yang berarti. Data yang diperoleh
biasanya masih dalam bentuk mentah (raw data) yang disusun sedemikian rupa
sehingga mudah untuk dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel,
grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat
memberikan keterangan yang berarti.
c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan. Data yag telah disusun dan
dikompilasi, kemudian dianalisis dan dilakukan interpretasi untuk memberikan
kejelasan tentang situasi yang ada dalam masyarakat.
d. Penyebarluasan data atau keterangan termasuk umpan balik. Setelah analisis dan
interpretasi data serta telah memiliki nilai keterangan yang cukup jelas dan sudah
disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada semua
pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Penyebarluasan data atau informasi dilakukan dalam tiga arah yang meliputi:

(1) ditujukan untuktingkat informasi yang lebih tinggi sebagai informasi untuk dapat
menentukan kebijakan selanjutnya;

(2) dikirim kepada instansi pelapor atau ke tingkat administrasi yang lebih rendah dan
berfugsi sebagai pengumpul dan pelapor data dalam bentuk umpan balik;

(3) disebarluaskan kepada instansi terkait dan kepada masyarakat luas.


e. Hasil evaluasi data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untukperencanaan
penanggulangan khusus dan program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut
(follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan- perbaikan program dan
pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi atau penilaian hasil kegiatan.

9
2.6 Penilaian Surveilans Epidemiologi
Untuk penilaian terhadap sistem surveilans, dapat dilakukan terhadap beberapa sifat utama
sistem yang meliputi (Noor, 2008:157).
2.6.1 Kesederhanaan
Kesederhanaan suatu sistem surveilans berarti struktur yang sederhana dan mudah
dioprasikan. Sistem surveilans harus sesederhana mungkin, tetapitetap bisa mencapai
tujuan.
2.6.2 Fleksibilitas
Sistem surveilans yang fleksibel dapat diartikan dengan suatu sistem yang mampu
menyesuaikan diri terhadap perubahan informasi yang dibutuhkan dan keadaan lapangan
dengan terbatasnya waktu, personel dan anggaran.
2.6.3 Tingkat penerimaan terhadap sistem
Adanya penerimaan sistem surveilans dapat dapat dilihat dari keinginan individu maupun
organisasi tertentu untuk ikut serta dalam sistem tersebut.
2.6.4 Sensitivitas sistem surveilans
Sensitivitas sistem surveilans dimaksudkan dengan tingkat kemampuan sistem tersebut untuk
dapat menjaring data dan informasi yang akurat
2.6.5 Nilai ramal positif
Nilai ramal positif adalah proporsi orang-orang yang diidentifikasi sebagai kasus yang
sesungguhnya yang berada dalam kondisi atau yang sedang mengalami surveilans.
2.6.6 Sifat representatifnya sistem
Yang dimaksud dengan representatif adalah suatu sistem surveilans yang dapat menguraikan
dengan tepat berbagai kejadian atau peristiwa kesehatan atau penyakit sepanjang waktu
termasuk penyebarannya terhadap populasi menurut waktu dan tempat.
2.6.7 Ketepatan waktu
Ketepatan waktu yang dimaksudkan adalah tinkat kecepatan atau keterlambatan diantara
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam suatu sistem surveilans.

10
2.7 Kendala dan Keterbatasan dalam Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi
Dalam pelaksanaan program epidemiologi surveilans, seringkali dialami berbagai kendala
dan keterbatasan, antara lain (Noor, 2008:152) :
a. Untuk melaksanakan berbagai kegiatan suatu sistem surveilans, dibutuhkan sejumlah
tenaga khusus dengan kegiatan yang cukup intensif.
b. Untuk mendapatkan hasil analisis dibutuhkan waktu untuk tabulasi dan analisis data.
c. Masih terbatasnya indikator kunci untuk berbagai nilai-nilai tertentu dari hasil analisis
sehingga sering mengalami kesulitan dalam membuat kesimpulan hasil analisis,
umpamanya indikator kunci tentang peran aktif masyarakat, tingkat pengetahuan dan
motivasi masyarakat terhadap kehidupan sehat dan lain-lain.
d. Untuk dapat melakukan analisis kecenderungan suatu proses dalam masyarakat
dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk pengumpulan data. Data yang terbatas hanya
satu atau dua tahun saja, sulit untuk dijadikan patokan dalam membuat analisis
kecenderungan.
e. Untuk melakukan penilaian terhadap tingkat keberhasilan suatu program, biasanya,
mengalami kesulitan bila dilakukan pada populasi yang jumlahnya kecil, atau bila tidak
ada populasi atau kelompok pembanding (kontrol).
f. Seringkali diperoleh laporan hasil surveilans yang kurang lengkap sehingga sulit
membuat analisis maupun kesimpulan.

11
METODE PDSA

Metode Plan-Do-Study-Act (PDSA) adalah cara untuk menguji perubahan yang


diterapkan dalam rangka memastikan berjalannya peningkatan mutu yang
berkesinambungan. Empat langkah dalam PDSA berfungsi untuk memandu proses berpikir
dalam memecah tugas menjadi beberapa langkah teknis dan kemudian mengevaluasi
hasilnya, meningkatkannya, dan mengujinya kembali. Dokumen PDSA digunakan pula
sebagai bukti tindak lanjut dan perbaikan yang dipersyaratkan juga dalam akreditasi maupun
re-akreditasi rumah sakit dan fasilitas kesehatan primer (puskesmas, klinik, dan lain
sebagainya).
PDSA memiliki kelebihan-kelebihan sehingga mudah diterapkan sebagai alat
peningkatan mutu berkelanjutan (CQI/ Continuous Quality Improvement), meliputi hal-hal
sebagai berikut.

1. Satu Langkah — Setiap PDSA seringkali hanya berisi segmen atau satu langkah dari
seluruh implementasi yang lebih kompleks.
2. Durasi Singkat — Setiap siklus PDSA harus sesingkat mungkin agar Anda mengetahui
bahwa itu berfungsi atau tidak (beberapa bisa sesingkat 1 jam).
3. Ukuran Sampel Kecil — PDSA mungkin hanya akan melibatkan sebagian dari praktik
kesehatan (mungkin 1 atau 2 dokter atau petugas lainnya). Setelah umpan balik
diperoleh dan proses disempurnakan, implementasi dapat diperluas (scale up) untuk
mencakup seluruh praktik.

AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality) memberikan contoh alat sederhana
untuk menggunakan PDSA dalam proses perubahan dalam fasilitas kesehatan sebagai berikut:
Cara mengisi:

1. Alat: Bagian ini diisi dengan “nama alat” atau tentang kegiatan yang akan dilaksanakan.
Misalnya, umpan balik pasien.
2. Langkah: Bagian ini diisi dengan langkah yang lebih kecil yang akan
diimplementasikan. Misalnya, penyebaran kuesioner kepuasan pelanggan.
3. Siklus: Bagian ini diisi nomor siklus PDSA yang akan dilakukan. Ketika menerapkan
strategi untuk implementasi, kita seringkali perlu memperbaiki sesuatu dan ingin
12
menguji kembali apakah perubahan yang kita buat menjadikan suatu proses atau
outcome menjadi lebih baik atau tidak. Setiap kali kita melakukan penyesuaian
(adjustment/ koreksi) dan mengujinya kembali, maka kita akan melakukan siklus
berikutnya. Oleh karena itu catatan siklus keberapa yang kita lakukan penting untuk
menjadi dokumentasi dan acuan langkah perubahan berikutnya. Misal, diisi dengan
siklus ke 1 atau 2, dan seterusnya.

4. PLAN/ Rencana:

 I plan to/ Saya berencana untuk: Di bagian ini kita akan menulis pernyataan singkat
tentang apa yang direncanakan untuk dilakukan dalam pengujian ini. Yang ditulis
dalam bagian ini cukup berfokus pada bagian kecil saja dari implementasi yang
akan dilakukan. Misalnya, saya berencana untuk menguji proses survey kepuasan
pelanggan, termasuk bagaimana mereka mengisi dan mengembalikannya.
 I hope this produces/ Saya harap ini menghasilkan: Di bagian ini kita dapat
menuliskan pengukuran atau target hasil yang ingin dicapai. Kita dapat membuat
target secara kuantitatif, seperti: minimal 25 % formulir harus kembali.
 Langkah-langkah untuk mengeksekusi: Di bagian ini, kita akan menulis secara rinci
langkah-langkah yang akan diambil dalam siklus ini. Misalnya, dalam pengisian
survei kepuasan pelanggan dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut.
 Menempatkan formulir survei pada tempat mudah dilihat dan dijangkau pada
bagian kepulangan pasien
 Petugas memotivasi pasien dan keluarga untuk mengisi formulir survei kepuasan
pelanggan
 Pasien/ keluarga diminta mengembalikan formulir survei yang telah diisi ke dalam
box yang telah dipersiapkan.

Sehingga, pada aspek ini harus secara rinci dituliskan tentang siapa saja populasi yang terlibat
dan batas waktu yang telah ditentukan. Batas waktu yang ditentukan tidak boleh terlalu lama,
yaitu hanya berkisar 1 minggu namun kemajuannya dapat diketahui sejak beberapa jam setelah
diterapkan.

13
5. DO/ Melakukan

Setelah memiliki rencana, kita akan menjalankannya atau menggerakkan perubahan. Pada saat
mulai implementasi ini, penting memperhatikan apa yang terjadi segera setelah perubahan
diterapkan.

What did you observe/ Apa yang kamu amati? Di bagian ini pengamatan yang dilakukanselama
implementasi dicatat. Hal ini mungkin meliputi bagaimana pasien bereaksi, bagaimana petugas
kesehatan bereaksi, bagaimana keluarga pasien bereaksi, apakah perubahan ini sesuai dengan
sistem yang sudah berjalan atau maupun flow pasien. Penting direfleksikan pertanyaan,
“Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?” “Apakah harus memodifikasi rencana?”

Contoh catatan pada bagian ini:

1. Pada bagian kepulangan, pasien dan keluarga Nampak sibuk dengan berbagai aktivitas,
seperti mengurus pembayaran, melengkapi administrasi, berkoordinasi dengan bagian
transportasi pasien, dan lain sebagainya.
2. Petugas terkadang lupa menawarkan pasien maupun keluarga untuk mengisi form
survey.
3. Jam-jam kepulangan pasien umumnya merupakan jam yang sibuk dan padat, sehingga
area di bagian kepulangan pasien cukup crowded.

Berdasarkan pengamatan di atas, nampaknya perlu dilakukan perubahan strategi.

6. STUDY/ Belajar

Setelah implementasi diterapkan, hasilnya mulai dipelajari.

Apa yang kita pelajari? Apakah memenuhi tujuan pengukuran? Penting dicatat seberapa baik
kerjanya jika yang dilakukan memenuhi target tujuan.

Contoh pengisian pada bagian ini:

14
Pada siklus pertama, hanya ada 10 kuesioner yang diisi dan dikembalikan dari 100 formulir
yang disediakan di bagian kepulangan pasien. Perlu ada perubahan strategi untuk meperbaiki
pencapaian target.

7. ACT/ Bertindak

Apa yang dapat disimpulkan dari siklus ini? Di bagian ini dituliskan apa yang didapatkan untuk
implementasi ini, apakah hal tersebut berhasil atau tidak. Dan, jika hal itu tidak berhasil, apa
yang dapat dilakukan secara berbeda pada siklus berikutnya untuk mengatasi masalah atau
kegagalan yang terjadi. Jika berhasil, apakah kita siap untuk scale-up atau menyebarkannya ke
seluruh sistem/ praktik di fasilitas kesehatan?

Selanjutnya, siklus pengisian ini dapat terus bergulir seiring proses perbaikan tyang terus
dikerjakan oleh organisasi kesehatan. Laporan ini dapat digunakan dalam proses akreditasi RS.

Tabel 1. Rekapitulasi Capaian Indikator Mutu Sasaran Keselamatan Pasien di RS X

Bulan
No Indikator Standar
Januari Februari Maret April Mei Juni
1 Angka kepatuhan pemasangan
gelang identitas pasien sesuai =100 98,80 100 100 100 100 100
dengan standar
2 Angka dilaksanakannya
konfirmasi komunikasi antara
perawat dan dokter pada saat =100 32,86 85,50 87,31 88,50 68,70 50,90
komunikasi per telepon (read
back)
3 Angka kepatuhan
melaksanakan penempatan =100 100 100 100 100 100 100
obat high alert
4 Angka dilaksanakannya =100 100 100 100 100 100 100
surgical safety check list
5 Angka kepatuhan cuci tangan =100 61 78
6 Angka tidak adanya kejadian =100 100 100 100 100 100 100
pasien jatuh

Pertama, perawat yang lupa untuk memintakan paraf dokter dan dokter yang sibuk
sehingga terlambat visite merupakan penyebab rendahnya capaian indikator tersebut.

“Capaian read back ini rendah karena perawat suka lupa memintakan
paraf dokter. Hanya terdapat satu dokter yang selalu berinisiatif untuk
segera menandatangani hasil komunikasi per telepon. Selain itu ada
dokter yang terlalu sibuk. Visite bentar, atau terlambat visite, jadi melewati
batas 1x24 jam,” papar Informan 1.

15
Rendahnya capaian read back menunjukkan bahwa terdapat masalah komunikasi
efektif di Rumah Sakit X. Masalah komunikasi dan pemahamam dalam tim pelayanan
kesehatan dapat menyebabkan 70-80% kesalahan (error) pemberian pelayanan kesehatan yang
berisiko pada keselamatan pasien. Peningkatan kualitas perawatan dan keselamatan pasien
dapat dilakukan dengan memperbaiki unsur komunikasi antar petugas di rumah sakit
(Rokhmah & Anggorowati, 2017).

Unit
Kerja

Data
Laporan
Analisis
dan
Evaluasi

Komite mutu dan


keselamatan pasien

Validasi Analisis
dan
Evaluasi
Direktur

Gambar 1. Alur Pencatatan dan Pelaporan Mutu Rumah Sakit X

Kedua, capaian angka kepatuhan cuci tangan di Rumah Sakit X juga belum memenuhi
standar. Kepatuhan cuci tangan adalah ketaatan petugas dalam melakukan prosedur cuci
tangan dengan menggunakan metode 6 langkah dan lima momen. Hal tersebut disebabkan
oleh kurangnya pengetahuan petugas tentang cuci tangan. Petugas biasanya lupa mencuci
tangan sebelum kontak dengan pasien sesuai dengan pernyataan Informan 2.
“Petugas itu karena terbiasa menangani pasien dengan segera justru
malah lupa momen cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan
pasien,” papar Informan 2.

Rendahnya capaian kepatuhan cuci tangan di Rumah Sakit X menunjukkan bahwa upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit belum optimal. Sementara itu, kepatuhan
cuci tangan yang baik adalah metode yang paling sederhana dan berarti dalam pengendalian
dan pencegahan infeksi di rumah sakit (Abdella, et al., 2014)

Perbaikan Proses
Perbaikan proses merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk memperbaiki dan
meningkatan mutu (Pinney, et al., 2016). Ketidakmampuan proses pelayanan dalam
mencapai standar mutu yang ditetapkan merupakan masalah yang perlu diperbaiki. Perbaikan
16
proses dapat dilakukan dengan pendekatan “plan-do-study- act” atau PDSA. PDSA
merupakan sebuah siklus yang dikembangkan untuk menerapkan perbaikan secara terus-
menerus dan meningkatkan kerja sama tim dalam implementasi proses perubahan
(Laverentz & Kumm, 2017).
Sasaran keselamatan pasien Rumah Sakit X memiliki 6 indikator yang dimonitoring
dan dievaluasi secara periodik. Prioritas perbaikan proses dapat ditentukan dengan membuat
matriks tren dan capaian Indikator Sasaran Keselamatan Pasien (ISKP). Gambar 2
menunjukkan bahwa terdapat empat kuadran pada matriks tersebut.
Kuadran I merupakan area bagi indikator yang memiliki tren positif (meningkat) serta
memiliki hasil capaian yang memenuhi standar. Indikator yang terdapat pada kuadran I akan
dievaluasi untuk dipertahankan atau diganti dengan indikator lain yang dapat dinilai sebagai
ukutan mutu keselamatan pasien di Rumah Sakit X. Berdasarkan hasil pengukuran pada
Tabel 1, beberapa indikator yang terdapat pada kuadran I adalah angka kepatuhan
pemasangan gelang identitas pasien, angka kepatuhan melaksanakan penempatan obat high
alert, angka dilaksanakannya surgical safety checklist, dan angka tidak adanya kejadian
pasien cedera akibat jatuh.
Kuadran II adalah area bagi indikator yang memiliki tren positif (meningkat) namun
nilai capaian tidak memenuhi standar atau fluktuatif. Sedangkan indikator yang berada pada
kuadran III adalah indikator yang memiliki tren negatif (menurun) atau fluktuatif, namun
memiliki hasil capaian yang memenuhi standar. Indikator yang terdapat pada kuadran II dan
III perlu dievaluai sehingga dapat memenuhi tujuan yang diinginkan. Hasil pengukuran
ISKP Rumah Sakit X triwulan x tidak menunjukkan adanya indikator yang terdapat pada
kuadran II dan III.
Indikator yang terdapat pada kuadran IV merupakan indikator yang memerlukan
tindakan segera karena memiliki tren yang menurun atau fluktuatif dan capaian tidak sesuai
standar. Indikator pada kuadran IV merupakan prioritas area untuk dilakukan perbaikan.
Angka dilaksanakannya konfirmasi antar perawat dan dokter pada saat komunikasi per
telepon (read back) dan angka kepatuhan cuci tangan di Rumah Sakit X berada pada kuadran
IV. Tren capaian kedua indikator tersebut terlihat pada Gambar 2 dan 3.

17
PDSA Capaian Indikator Angka Dilaksanakannya Konfirmasi antar Perawat dan
Dokter pada saat Komunikasi per Telepon (read back)

Gambar 3 menunjukkan bahwa capaian setiap bulan dari indikator Angka Read Back di
Rumah Sakit X adalah fluktuatif dan tidak memenuhi standar, sehingga perlu dilakukan
analisis PDSA. Analisis PDSA pada pelayanan kesehatan dilakukan dengan paradigma
struktur (input), proses, dan output (Varkey, 2010).

Dengan demikian, identifikasi variasi atau kesenjangan proses yang sedang berlangsung saat
ini perlu dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap input terlebih dahulu, dilanjutkan
dengan identifikasi proses dan output sehingga kemudian dapat diketahui secara spesifik
perbaikan proses yang diperlukan pada setiap unsur.
CAPAIAN
+ -

1. Angka kepatuhan pemasangan


gelang identitas pasien
2. Angka kepatuhan melaksanakan
penempatan obat high alert
+ 3. Angka dilaksanakannya surgical
safety checklist
T
4. Angka tidak adanya kejadian
R
pasien cedera akibat jatuh
E
N

1. Angka dilaksanakannya konfirmasi


antar perawat dan dokter pada saat
- komunikasi per telepon (read back)
2. Angka kepatuhan cuci tangan

Gambar 2. Matriks Tren dan Capaian ISKP Rumah Sakit X

Tabel 2 menunjukkan hasil analisis PDSA pada indikator angka dilaksanakannya


konfirmasi antar perawat dan dokter pada saat komunikasi per telepon (read back). Plan
merupakan tahap pertama siklus dimana identifikasi dan pengukuran proses pelayanan
dilakukan, sehingga didapat pernyataan masalah, penyebab masalah, prioritas masalah dan
rencana perbaikan, begitupun dengan rencana monitoring dan evaluasi dari tahap plan
(Morelli, 2016).

18
Berdasarkan hasil wawancara, rendahnya capaian angka dilaksanakannya konfirmasi antar
perawat dan dokter pada saat komunikasi per telepon (read back) disebabkan oleh beberapa
hal berikut: 1) Perawat yang lupa memintakan tanda tangan saat dokter visite, 2) Dokter tidak
melakukan visite atau terlambat visite dalam waktu 1x24 jam, 3) Kepatuhan petugas
melaksanakan SPO read back. Selain wawancara, observasi yang dilakukan terhadap
ketersediaan SPO read back, daftar tilik read back, serta lembar konfirmasi menghasilkan
bahwa tidak terdapat SPO dan daftar tilik read back di sekitar area telepon di unit rawat inap.
Analisis akar penyebab masalah dan solusi kemudian dilakukan dengan menggunakan teknik
why-why analysis.
Perawat yang lupa memintakan tanda tangan saat dokter visite dan dokter yang tidak
melakukan atau terlambat visite dalam 1x24 jam disebabkan oleh petugas tersebut tidak
mematuhi SPO read back. Penyebab masalah kepatuhan tersebut adalah petugas tidak
mengingat prosedur read back secara sistematis. Perawat mengaku bahwa komunikasi efektif
sesuai SPO sulit diterapkan karena membutuhkan proses, tidak ringkas, dimulai dari
memberikan salam di telepon hingga memintakan paraf saat dokter visite.
Dokter yang tidak melaksanakan visite atau terlambat visite dalam waktu 1x24 jam biasa
dikarenakan adanya operasi atau jadwal praktik di tempat lain. Hal tersebut tidak akan
menjadi alasan jika dokter mematuhi SPO read back dengan mempertimbangkan keselamatan
pasien.

Kepatuhan dokter dalam menerapkan SPO read back akan memunculkan inisiatif dokter
untuk visite tepat waktu dan dapat memberikan paraf. Berdasarkan informasi yang diberikan
oleh informan, belum terdapat kebijakan yang menyatakan bahwa proses konfirmasi oleh
dokter dapat didelegasikan kepada petugas lain.
kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien sesuai standar
(Wulandari, 2017).
Selain itu, perawat kurang termotivasi untuk melaksanakan prosedur read back sesuai
SPO karena belum ada insiden keselamatan pasien. Motivasi menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kepatuhan petugas dalam pelaksanaan SPO (Natasia, et al., 2014). Semakin
tinggi motivasi yang ada di dalam diri, maka semakin tinggi tingkat kepatuhannya. Terdapat
hubungan antara motivasi dan kepatuhan perawat dalam melakukan pelayanan sesuai dengan
SPO. Maka kepatuhan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan motivasi melalui pemberian
insentif atau penghargaan dan pendalaman pengetahuan seperti sosialisasi, pendidikan serta
19
pelatihan (Putriana, et al., 2015).
Rencana perbaikan yang dibutuhkan adalah sosialisasi SPO read back. Hal tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan memotivasi petugas betapa pentingnya prosedur
read back dilaksanakan sesuai dengan SPO. Pelaksanaan prosedur read back dapat
menjamin kebenaran informasi dan pemahaman petugas dalam melakukan pelayanan
kesehatan. Sosialisasi SPO read back dapat dilakukan oleh manajer unit rawat inap di Rumah
Sakit X.
Selain itu, pengadaan SPO dan daftar tilik prosedur read back di sekitar telepon dapat
dilakukan. Tujuan pengadaan tersebut adalah sebagai pedoman, pengingat dan bahan self-
evaluation petugas di unit rawat inap dalam melakukan prosedur read bac
Tahap siklus PDSA yang kedua adalah Do, implementasi rencana perbaikan mulai
dilakukan di tahap ini. Input yang diperlukan dalam tahap ini adalah rencana sosialisasi SPO
read back. Sosialisasi SPO read back dilaksanakan pada minggu ke dua bulan x, saat
pertemuan rutin bulanan oleh Manajer Unit Rawat Inap bekerja sama dengan Komite Medik
dan KMKP. Target sasaran sosialisasi adalah petugas di unit rawat inap yang terdiri dari
perawat dan dokter.
Implementasi sosialisasi sebagai elemen proses perlu dibuat bukti pelaksanaannya,
sehingga dapat menghasilkan output pada tahap Do, yaitu berita acara sosialisasi. Tidak
berhenti pada hal tersebut, monitoring dan evaluasi implementasi rencana perbaikan dilakukan
juga di tahap Do. Hal tersebut bertujuan untuk memantau perubahan dan progres capaian
indikator.

Rumah sakit biasanya tidak memperhatikan bahwa tahap Do bergantung pada output
yang dihasilkan pada tahap Plan, sehingga tidak terdapat detail rencana perbaikan yang dapat
dilakukan. Sementara monitoring dan evaluasi membutuhkan perencanaan yang baik
meliputi siapa yang harus Hasil tersebut menunjukkan bahwa petugas tidak memahami dan
menggunakan SPO read backsebagai panduan komunikasi efektif. Sedangkan pemberian
setiap pelayanan harus mengacu pada SPO. Implementasi SPO dapat menghindari kesalahan
proses pelaksanaan suatu bertanggung jawab, kapan, dimana, dan bagaimana hal tersebut
dapat dilakukan. Dengan demikian, dapat diketahui rencana perbaikan yang sudah dan belum
dilakukan. Rekomendasi tahap Do adalah pelaksanaan perbaikan sesuai dengan
perencanaan.

20
Progres yang dihasilkan pada tahap Do, kemudian dievaluasi. Evaluasi progres
tersebut merupakan tahap Study pada PDSA capaian angka konfirmasi read back. Jika
sosialisasi SPO read back berhasil dilaksanakan pada bulan x, maka penilaian hasil capaian
bulan x diperlukan sebagai input pada tahan Study. Proses evaluasi capaian indikator angka
konfirmasi read back dapat dilakukan dengan membandingkan hasil dan standar indikator.
Output yang dihasilkan pada tahap Study adalah laporan hasil evaluasi capaian read back
dan rekomendasi tindakan terhadap hasil evaluasi. Apabila terjadi peningkatan, proses
pelayanan dapat dipertahankan. Sementara jika masih menjadi masalah, maka perlu
dilakukan tahap Plan dan Do kembali.
Rumah Sakit X telah melakukan study dengan pendekatan input-proses-output, namun
hasil study tidak menunjukkan kajian terhadap pelaksanaan perencanaan yang telah dan
belum dapat menyelesaikan masalah capaian. Sehingga sebaiknya terdapat informasi
mengenai pelaksanaan plan yang telah disusun.
Tahap terakhir pada siklus PDSA adalah Act. Act merupakan tahap dimana petugas
melakukan rekomendasi hasil evaluasi. Rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan dalam
mengatasi hasil evaluasi capaian indikator angka konfirmasi read back merupakan input
pada tahap ini. Jika capaian masih fluktuatif tidak mencapai standar, maka pelatihan
komunikasi efektif mungkin diperlukan. Unsur proses pada tahap Act adalah penyusunan
pelaksanaan rekomendasi. Sementara itu, output dari tahap Act adalah rencana operasional
pelatihan komunikasi.
PDSA Capaian Indikator Angka Kepatuhan Cuci Tangan
Rumah Sakit X menetapkan lima momen dimana cuci tangan harus dilakukan yaitu:
1) Saat sebelum kontak dengan pasien, 2) Saat sebelum melakukan tindangan bersih/aseptik,
3) Saat setelah terpapar dengan darah/cairan tubuh pasien, 4) Saat setelah kontak dengan
pasien, dan
5) Saat setelah kontak lingkungan sekitar pasien.Cuci tangan atau hand hygiene merupakan
suatu tindakan membersihkan tangan,baik dengan menggunakan sabun antiseptik di bawah
air mengalir atau dengan menggunakan handrub beralkohol. Cuci tangan dapat mengurangi
jumlah bakteri yang berada pada tangan sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi
nosokomial (Fauzi & Azzuhri, 2015).

21
Hasil analisis PDSA pada capaian indikator angka kepatuhan cuci tangan ditunjukkan
oleh tabel 3. Rendahnya angka kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan di semua area
layanan medis Rumah Sakit X disebabkan oleh kurangnya pengetahuan petugas terkait
prosedur cuci tangan. Petugas mengaku sering melupakan cuci tangan terutama saat sebelum
kontak dengan pasien. Sementara berdasarkan hasil observasi, ketersediaan fasilitas cuci
tangan di Rumah Sakit X sudah terpenuhi dengan baik. Selain itu, ketersediaan SPO cuci
tangan di tempat cuci tangan juga telah terpenuhi.

22
Tabel 2. Analisis PDSA pada indikator angka dilaksanakannya konfirmasi antar
perawat dan dokter pada saat komunikasi per telepon (read back) di Rumah Sakit X
Plan
Prioritas Rencana Rencana
Masalah Penyebab Masalah Penyebab Perbaikan Monitoring dan
Evaluasi
Rendahnya 1. Perawat yang Kepatuha 1. Petugas tidak 1. Sosialisasi 1. Monitoring
capaian lupa memintakan n petugas mengingat prosedur SPO read back dan evaluasi
angka read tanda tangan saat dalam readback oleh manajer pelaksanaan
back dokter visite melaksan (pengetahuan) unit rawat inap sosialisai sesuai
2. Dokter tidak akan SPO 2. Kurangnya 2. Pengadaan rencana
melakukan visite read motivasi SPO dan daftar 2. Monitoring
atau terlambat visite back menerapkan SPO tilik prosedur capaian angka
dalam waktu1x24 karena belum ada read back di read back
jam kasus yang tidak sekitar telepon setiap bulan
3. Kepatuhan petugas diinginkan unit rawat inap oleh PJ KPRS
dalam melaksanakan dan dievaluasi
SPO setiap tiga
read back bulan
Do
Input: rencana sosialisasi read back Proses: implementasi sosialiasi Output: bukti pelaksanaan berupa
Sosialisasi akan dilaksanakan pada berita acara dan rencana tindak lanjut
minggu ke 2 bulan x saat pertemuan dalam melakukan monitoringdan
rutin bulanan oleh manajer unit rawat evaluasi
inap bekerja sama dengan komite
medik dan KMKP Monitoring dilakukan setiap bulan
Target sasaran sosialisasi adalah sejak bulan x dan dievaluasi pada
perawat dan dokter di unit rawat bulan x
inap

Study
Evaluasi progress terhadap hasil Proses: study dilakukan dengan Output: laporan hasil capaian read
monitoring dan evaluasi sejak bulanx mengevaluasi hasil capaian hingga back dan rekomendasi upaya
hingga beberapa bulan berikutnya bulan x dengan membandingkan perbaikan.
hasil dan standar indikator. Apabila
Input: data capaian angka read back terjadi peningkatan, proses
bulan x pelayanan dapat dipertahankan.
Sementara jika masih menjadi
masalah, maka perlu dilakukan
tahap Plan dan Do kembali

Act
Input: laporan hasil capaian read Proses: penyusunan Output: rencana operasional
back dan rekomendasi upaya pelaksanaan rekomendasi pelatihan komunikasi efektif
perbaikan. perbaikan dari hasil study
Jika capaian masih fluktuatif tidak
mencapai standar, maka pelatihan
komunikasi efektif mungkin
diperlukan

Beberapa studi menunjukkan hasil yang signifikan bahwa mencuci tangan sebelum dan
setelah kontak dengan pasien dapat menurunkan angka infeksi (Pittet, et al., 2017).
Tidak hanya di momen satu, mencuci tangan selama pelaksanaan tindakan keperawatan
merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Fauzia,
et al., 2014).
23
Kurangnya pengetahuan tentang cuci tangan dapat menyebabkan rendahnya kepatuhan
petugas dalam melakukan cuci tangan sesuai dengan standar. Pengetahuan tentang cuci tangan
dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman petugas akan manfaat cuci tangan serta
konsekuensi yang ditimbulkan bila prosedur cuci tangan tidak dilakukan dengan benar.
Berdasarkan hal tersebut, maka pelatihan tentang cuci tangan diperlukan.

Monitoring pelaksanaan cuci tangan di Rumah Sakit X hanya dilakukan setiap tiga bulan
oleh tim PPI. Penanggung jawab tim PPI mengatakan bahwa tidak terdapat supervisi yang
dilakukan secara rutin oleh kepala ruangan atau manajer unit pelayanan di Rumah Sakit X.
Menurut informan, sekalipun terdapat supervisi, biasanya dilakukan secara tidak sengaja dan
tidak terdokumentasi. Oleh karena itu, tidak terdapat pelaporan di luar pengukuran indikator
angka kepatuhan cuci tangan yang dilakukan oleh tim PPI. Sedangkan supervisi secara
periodik terbukti dapat meningkatkan kepatuhan petugas dalam mencuci tangan (Abdella, et
al., 2014).

24
Tabel 3. Analisis PDSA pada indikator angka kepatuhan cuci tangan di Rumah Sakit X
Plan
Prioritas Rencana Rencana
Masalah Penyebab Penyebab Monitoring dan
Masalah Perbaikan
Evaluasi
Rendahnya Petugas tidak Kepatuhan 1. Petugas tidak 1. Pelatihan PPI 1. Monitoring
capaian patuhdalam petugas mengingat seluruh dengan cuci dan evaluasi
angka melaksanakan dalam momenwajib cuci tangan oleh tim pelaksanaan
kepatuhan SPO cuci tangan melaksanak tangan PPI pelatihan dan
cuci tangan an SPO 2. Tidak 2. Pengadaan supervisi sesuai
terdapat supervisi supervisi rutin rencana
rutin oleh kepala 2. Monitoring
oleh kepala ruangan atau capaian angka
ruangan dan manajer unit kepatuhan setiap
manajer unit bulan oleh tim
PPI dan
dievaluasi setiap
tiga bulan
Do
Input: rencana pelatihandan Proses: implementasi pelatihandan Output: bukti pelaksanaan berupa
supervisi supervisi berita acara, daftar hadir dan hasil test
peserta pelatihan serta rencana
Pelatihan akan dilaksanakan pada Pelatihan telah terlaksana, supervisisebagai upaya monitoring dan
tanggal X oleh Tim PPI di Hall RS dibuktikan dengan berita acaradan evaluasi
dengan target sasaran sosialisasi daftar hadir serta hasil pretest
adalah seluruh petugas di RS X dan posttest Supervisi akan dilakukan setiap bulan
Supervisi belum terlaksana oleh kepala ruangan dan manajer unit

Study
Evaluasi progress terhadap hasil Proses: study dilakukan dengan Output: laporan hasil test pelatihan dan
pelatihan dan hasil monitoring- mengevaluasi hasil test serta capaian angka kepatuhan serta
evaluasi sejak bulan Oktober hingga capaian angka kepatuhan dengan rekomendasi upaya perbaikan.
beberapa bulan berikutnya membandingkan hasil dan standar
indikator. Apabila terjadi Hasil posttest menunjukkan bahwa
Input: data hasil test dan capaian peningkatan, proses pelayanan terdapat peningkatan pengetahuan
angka kepatuhan bulan X dapat dipertahankan.Sementara jika tentang cuci tangan. Sehingga rencana
masih menjadi berikutnya adalah melakukan monev
masalah, maka perlu dilakukan
tahap Plan dan Do kembali

Act
Input: laporan hasil capaian angka Proses: penyusunan Output: rencana operasional dari
kepatuhan dan rekomendasi pelaksanaan rekomendasi rekomendasi perbaikan hasil tahap
upaya perbaikan. perbaikan dari hasil study study

Berdasarkan hal tersebut, rencana perbaikan proses untuk meningkatkan angka kepatuhan cuci
tangan di Rumah Sakit X adalah dengan meningkatkan pengetahuan petugas tentang cuci
tangan serta membuat rencana supervisi. Adanya hubungan antara supervisi dan kepatuhan
perawat dalam melaksanakan asuhan mendasari rencana intervensi tersebut agar dapat
meningkatkan kepatuhan petugas untuk cuci tangan (Kasim, et al., 2017).Pengetahuan petugas
tentang cuci tangan dapat ditingkatkan melalui sosialisasi cuci tangan sesuai dengan standar
dan SPO yang telah ditetapkan. Sedangkan supervisi dimaksudkan sebagai upaya monitoring

25
dan evaluasi cuci tangan oleh petugas. Supervisi adalah kegiatan mengamati kegiatan orang
lain dari sudut pandang seseorang yang posisi atau kedudukannya lebih tinggi. Supervisi cuci
tangan pada petugas di setiap pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan oleh setiap manajer
atau kepala unit pelayanan di Rumah Sakit X. Rencana supervisi akan mulai
diimplementasikan setelah sosialisasi cuci tangan.
Sosialisasi cuci tangan telah diimplementasikan oleh Tim PPI pada pelatihan
pengendalian dan pencegahan infeksi di RS. Terdapat peningkatan pengetahuan pada petugas
berdasarkan hasil pretest dan posttest pelatihan.
Tahap Do pada perbaikan proses peningkatan angka kepatuhan cuci tangan tidak
berakhir pada implementasi sosialisasi cuci tangan tersebut. Tim PPI masih harus
melaksanakan rencana supervisi yang telah dibuat di tahap Plan. Selama tahap Do, monitoring
capaian indikator angka kepatuhan cuci.
Capaian indikator angka kepatuhan di ketiga bulan tersebut akan menjadi bahan evaluasi
di tahap Study. Apabila capaian masih belum sesuai standar, Rumah Sakit X dapat
memutuskan untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja petugas berdasarkan standar
tersebut. Selain itu, peninjauan terhadap standar indikator dapat dilakukan. Rumah Sakit X
dapat mempertimbangkan untuk mengubah standar indikator angka kepatuhan cuci tangan dari
100% menjadi 80% atau tergantung kesepakatan. Kajian terkait faktor yang mempengaruhi
kepatuhan petugas dalam melaksanakan SPO cuci tangan perlu dilakukan agar dapat menjadi
dasar pertimbangan tersebut.

SIMPULAN
Terdapat dua indikator sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit X yang tidak sesuai
standar, yaitu angka dilaksanakannya konfirmasi antar perawat dan dokter pada saat
komunikasi per telepon (read back) dan angka kepatuhan cuci tangan. Variasi proses tersebut
dapat menyebabkan masalah mutu pelayanan kesehatan yang terkait dengan upaya
keselamatan pasien. Rendahnya capaian read backakan berisiko pada kesalahan tindakan
akibat komunikasi tidak efektif. Sementara infeksi nosokomial dapat terjadi bila upaya
pencegahan melalui cuci tangan tidak dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dalam
meningkatkan capaian kedua indikator tersebut.
PDSA merupakan salah satu metode yang digunakan dalam perbaikan proses. PDSA
menekankan bahwa upaya perbaikan proses harus dilakukan secara berkesinambungan dan

26
terus-menerus. Analisis menggunakan PDSA dapat mengendalikan variasi proses sehingga
tujuan pelayanan kesehatan bermutu yang berorientasi pada keselamatan pasien dapat tercapai.
Analisis PDSA pada indikator komunikasi efektif menghasilkan bahwa penyebab tidak
tercapainya angka dilaksanakannya konfirmasi antar perawat dan dokter pada saat
komunikasi pertelepon (read back) adalah karena petugas tidak patuh dalam mengikuti
seluruh prosedur dalam SPO read back. Sementara penyebab dari rendahnya angka
kepatuhan cuci tangan di Rumah Sakit X adalah rendahnya pengetahuan petugas tentang cuci
tangan yang baik dan benar serta manfaat cuci tangan dan konsekuensi yang diakibatkan
apabila tidak melakukan cuci tangan. Rumah Sakit X memerlukan penekanan perbaikan pada
tahap Plan dalam melakukan PDSA.
Hasil analisis menunjukkan bahwa upaya perbaikan proses yang dapat dilakukan
adalah: 1) Melakukan sosialisasi kembali SPO read back dan SPO cuci tangan untuk
meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan motivasi akan pentingnya melakukan tindakan
pelayanan sesuai standar pada SPO, 2) Monitoring implementasi pelaksanaan SPO cuci
tangan dengan supervisi secara periodik, 3) Pengadaan daftar tilik prosedur read back dan
cuci tangan di area kerja. Perbaikan tersebut merupakan intervensi pada tahap Plan sehingga
akan berdampak pada proses perbaikan berikutnya. Manajer ruang rawat inap merupakan
aktor yang memiliki peran besar dalam implementasi perbaikan tersebut.
Kesuksesan perbaikan proses menggunakan analisis PDSA bergantung pada komitmen
petugas untuk bekerja secara tim dalam mengimplementasikan setiap tahapnya. Hal tersebut
mempertimbangkan bahwa PDSA merupakan sebuah siklus yang perlu dilakukan secara
berkelanjutan hingga hasil yang diharapkan dapat tercapai. Terakhir, penelitian lebih lanjut
terkait faktor yang mempengaruhi kepatuhan petugas dalam melaksanakan SPO di Rumah
Sakit X diperlukan.

27
DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Dedi dan Muliawati, Ratna.2013. Pilar Dasar Kesehatan Masyarakat


.Yogyakarta: Nuha Medika.
Amiruddin, Ridwan.2017. Surveilans Kesehtan Masyarakat.Jakarta: Trans Info
Media.
Budiarto, Eko dan Anggraeni, Dewi. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Hikmawati, Isna. 2011.Buku Ajar Epidemiologi.Yogyakarta: Nuha Medika.
Kemenkes, 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 45 Tahun 2014
(Online)
http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/20141001102656.permenkes_ri_no_45_tahun
_2014_tentang_penyelenggaraan_surveilans_kesehatan.pdf diakses tanggal 15 April2018
Murti, Bhisma. 2010. Surveilans Kesehatan Masyarakat, (Online)
http://fk.uns.ac.id/static/materi/Surveilans_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf diakses tanggal15
April 2018
Najmah. 2015. Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Natalia, Aryanti. 2012. Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam
Berdarah Dengue Ditinjau Dari Aspek Petugas di Tingkat Puskesmas Kota Semarang
Tahun 2011, (Online) http://eprints.undip.ac.id/38321/ diakses tanggal 18April 2018
Noor, Nur Nasry.2008. Epidemiologi.Jakarta: Rineka Cipta.
Subaris, dkk. 2004. Manajemen Epidemiologi.Yogyakarta: Media Pressindo. World
Health Organization. 2003. STEPS: A Framework for Surveillance,
(Online) http://www.who.int/ncd_surveillance/en/steps_framework_dec03.pdf
diakses tanggal 16 April 2018.

Plan-Do-Study-Act (PDSA) Directions and Examples. Content last reviewed February 2015.
Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville,
MD. https://www.ahrq.gov/health-literacy/quality-resources/tools/literacy-
toolkit/healthlittoolkit2-tool2b.html

Abdella, N. M. et al. (2014) ‘Hand hygiene compliance and associated factors among
health care providers in Gondar University Hospital, Gondar, North West Ethiopia’, BMC
Public Health, 14(96), pp. 1–7. doi: 10.1186/1471-2458-14-96.

Babamohamadi, H. et al. (2016) ‘Evaluation of Patient Safety Indicators in Semnan City


Hospitals by Using the Patient Safety Friendly Hospital Initiative (PSFHI)’, Global
Journal of Health Science. Canada: Canadian Center of Science and Education, 8(8), pp.
1–7. doi: 10.5539/gjhs.v8n8p1.

28
Dewi, A. P. (2013) ‘Analisis Pengendalian Kualitas Dengan Pendekatan P.D.C.A (Plan-Do-
Check-Act) Berdasarkan Standar Minimal Pelayanan Rumah Sakit Pada RSUD DR.
Adhyatma Semarang (Studi Kasus Pada Instalasi Pradiologi)’, Diponegoro Journal of
Social and Politic, 3(1), pp. 1–12. Available
at:http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod= viewarticle&article=142769.

Fauzi, N. and Azzuhri, M. (2015) ‘Pengaruh Faktor Individu , Organisasi dan Perilaku
terhadap Kepatuhan Perawat dalam Melaksanakan Hand Hygiene di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Tk . II Dr . Soepraoen Malang’, Jurnal Aplikasi Manajemen, 13(4), pp. 566–
574. Available at: http://jurnaljam.ub.ac.id/index.php/jam/article/view/807/756.

Fauzia, N., Ansyori, A. and Hariyanto, T. (2014) ‘Kepatuhan Standar Prosedur Operasional
Hand Hygiene pada Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit’, Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 28(1), pp. 95–98. Available at: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/5 26.

Kasim, Y., Mulyadi and Kallo, V. (2017) ‘Hubungan Motivasi & Supervisi Dengan
Kepatuhan Perawat Dalam Penggunan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Penanganan Pasien
Gangguan Muskuloskeletal Di IGD RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado’, e-journal
Keperawatan, 5(1), pp. 1–10. Available at: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/arti
cle/view/14898.

Laverentz, D. and Kumm, S. (2017) ‘Concept Evaluation Using the PDSA Cycle for
Continuous Quality Improvement’, NCBI, 38(5), pp. 288–290. doi:
10.1097/01.NEP.0000000000000161.

Morelli, M. S. (2016) ‘Using the Plan, Do, Study, Act Model to Implement a Quality
Improvement Program in Your Practice’, American Journal of Gastroenterology. Nature
Publishing Group, 111, pp. 1220–1222. doi: 10.1038/ajg.2016.321.

Natasia, N., Loekqijana, A. and Kurniawati, J. (2014) ‘Faktor yang


Mempengaruhi Kepatuhan Pelaksanaan SOP Asuhan Keperawatan di ICU-
ICCU RSUD Gambiran Kota Kediri’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(1), pp.
21–25. Available at: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/5 13/393.

Nazri, F., Juhariah, S. and Arif, M. (2015) ‘Implementasi Komunikasi Efektif Perawat-
Dokter dengan Telepon di Ruang ICU Rumah Sakit Wava Husada Implementation of
Nurse-Physician Effective Communication via Telephone in ICU Room of Wava Husada
Hospital’, Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(2), pp. 174–180. Available
at: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1 009/483.

Ningsih et al. (2013) Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dan Motivasi Perawat Dengan
Perilaku Pencegahan Infeksi Nosokomial Di Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo. Skripsi
thesis, . Universitas Muhammadiyah Surakarta. Available at:
http://eprints.ums.ac.id/27524/.

Pinney, S. et al. (2015) ‘Current concept review: quality and process improvement in
orthopedics’, Orthopedic Research and Reviews, 8, pp. 1–11. doi: 10.2147/ORR.S92216.

29
Pittet, D., Boyce, J. M. and Allegranzi, B. (2017) Hand hygiene : a handbook for medical
professionals. West Sussex: John Wiley & Sons, Inc.

Putriana, N., Nurchayati, S. and Utami, S. (2015)‘Hubungan Motivasi Perawat dengan


Kepatuhan Pelaksanaan Pemberian Obat Oral’, Jurnal Online Mahasiswa Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas Riau •, 2(1), pp. 802–811. Available at:
https://www.neliti.com/id/publications/187282/none.

Rahayu, S. B. (2017) ‘Pengaruh Dimensi Staffing Terhadap Insiden Keselamatan Pasien


Berdasarkan Agency For Healtcare Research And Quality (AHRQ) Di RSU Haji
Surabaya’, Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume, 5(1), pp. 41–51. Available
at:https://e-journal.unair.ac.id/JAKI/article/view/7049/423 4.

Rokhmah, N. A. and Anggorowati (2017) ‘Komunikasi Efektif Dalam Praktek Kolaborasi


Interprofesi Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pelayanan’, Journal of Health Studies,
1(1), pp. 65–71. Available at: https://ejournal.unisayogya.ac.id.

Setiyani, M. D., Zuhrotunida and Syahridal (2016) ‘Implementasi Sasaran Keselamatan


Pasien Di Ruang Rawat Inap Rsu Kabupaten Tangerang’, Jurnal Kesehatan Fikes
Tangerang, 2(2), pp. 59–69. Available at: https://jurnal.umt.ac.id/index.php/jkft/article/vi
ew/63.

Sollecito, W. A. and Johnson, J. K. (2013) McLaughlin and Kaluzny’s Continuous Quality


Improvement in Health Care. 4th edn. Burlington: Jones & Bartlett Learning.

Syurandhari, D. H. (2016) ‘Hubungan Patient Safety dengan Mutu Pelayanan di Ruang


Rawat Inap RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto’, Hospital Majapahit,
8(2), pp. 87–99.Available at: http://ejurnalp2m.poltekkesmajapahit.ac.id/in
dex.php/HM/article/view/138/177.

Varkey, P. (2010) Medical Quality Management Theory and Practice. 2nd edn. Sudbury:
Jones & Bartlett Publisher.

Wulandari, T. and Fidiana (2017) ‘Peranan Audit Internal Terhadap Kepatuhan Standar
Operasional Prosedur ( Sop ) Pada PT X’, Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, 6(7), pp. 1–
15.Available at:ttps://ejournal.stiesia.ac.id/jira/article/view/3 313.

30

Anda mungkin juga menyukai