Anda di halaman 1dari 3

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,  

Sering kali kita mendengar istilah “musibah” yang


biasanya dilawankan dengan istilah “anugerah” atau “nikmat”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, musibah berarti kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; bisa juga
bermakna malapetaka atau bencana. Sedangkan anugerah atau nikmat berarti pemberian atau
karunia (dari Allah), atau enak, lezat, dan kesenangan. Secara umum kira-kira bisa ditarik
kesimpulan bahwa musibah berkenaan dengan hal-hal yang menyedihkan, sementara anugerah
berkaitan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan.   Secara permukaan, orang kemudian
memaknai bencana alam hampir selalu sebagai musibah. Hal tersebut sangat wajar karena
peristiwa-peristiwa menyedihkan yang mengiringinya, seperti kehilangan anggota keluarga,
kehilangan tempat tinggal, mengalami luka-luka, hingga kehidupan yang mendadak berubah
menjadi serba-sulit: kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, sanitasi yang layak, dan lain
sebagainya.   Secara lebih mendalam, sejatinya bencana alam bersifat relatif: bisa bermakna
musibah, bisa juga justru merupakan anugerah (karunia dari Allah). Hal itu sangat tergantung
pada diri seseorang dalam menyikapi bencana. Karena relatif, bencana alam bagi tiap orang
memiliki sudut pandang berbeda-beda: bisa jadi adalah musibah bagi satu orang, namun
anugerah bagi orang lainnya—tergantung cara dia merespons peristiwa itu. Dengan bahasa lain,
bencana adalah kiriman yang mengandung pelajaran, bukan hanya bagi yang tertimpa bencana
tapi juga yang tidak terkena bencana. Sekali lagi, pelajaran itu berlaku buat semua orang, entah
mengalami bencana itu ataupun tidak.   Kapan bencana alam itu menjadi musibah dan kapan ia
merupakan anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana
alam itu terserap dan berpengaruh positif pada diri seseorang, baik yang tertimpa bencana itu
atau yang sekadar menyaksikannya. Dalam kesempatan kali ini, khatib memaparkan setidaknya
tiga pelajaran penting dalam peristiwa bencana alam.   Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,   
Pelajaran pertama adalah muhâsabah atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi
diri kita, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana alam seperti
tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan
manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya bencana alam menyadarkan mereka
untuk kian merendah serendahnya di hadapan Allah ‫ﷻ‬. Bila bencana itu disadari akibat
kesalahan manusia, maka seharusnya bencana alam berdampak pada perubahan sikap kita
menjadi lebih baik.   Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban
maupun bukan korban. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkutbah:   ‫َحا ِسبُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم قَ ْب َل َأ ْن تُ َحا َسبُوا‬
‫ فَِإنَّهُ َأ ْه َونَ لِ ِح َسابِ ُك ْم‬  Artinya: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu
akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).”   Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas
bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi
korban, bencana adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan
kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini. Bagi mereka
yang bukan korban dan di luar lokasi bencana, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk
kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar.  
Sangat disesalkan bila ada orang yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa bencana
alam yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya.
Apalagi jika tuduhan itu dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Sikap yang demikian tak
hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain),
tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan
menunjukkan tidak adanya empati kepada korban. Terkait hal ini, Imam Nawawi dalam kitab al-
Adzkâr pernah membolehkan orang yang selamat dari bencana untuk mengucap syukur tapi
sembari memberi catatan: harus dengan suara sangat pelan (sirr) agar tidak melukai perasaan
mereka yang sedang mengalami penderitaan.   Pelajaran kedua adalah rasa syukur dan
optimisme. Sikap ini berdasar pada hadits Rasulullah ُ‫صيب‬ ِ ُ‫قال رسو ُل هللا ﷺ ال ي‬ ْ
َ ‫قالت‬ َ‫ عن عاِئ َشة‬  :‫ﷺ‬
ِ ‫ ال ُمؤ ِمنَ َشوْ َكةٌ فَ َما فَوْ قَهَ ا إالّ َرفَ َع هُ هللا بِهَ ا د ََر َج ةً َو َح طّ َع ْن هُ به ا‬  Dari 'Aisyah, ia berkata, Rasulullah ‫ﷺ‬
ً‫خَطيَئة‬
bersabda: "Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali
Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan." (HR. Tirmidzi)  
Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridha atas bencana yang menimpanya
dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan
kualitas kepribadiannya. Sebagaimana ujian akhir semester bagi siswa sekolah untuk naik ke
semester berikutnya, bencana merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada
derajat yang lebih mulia.   Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme
kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh,
apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudh dhan (berprasangka baik)
bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk meningkatkan mutu diri kita, baik dalam ibadah
(menghamba kepada Allah) maupun muamalah (hubungan sosial).   Bagi mereka yang tak
terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah
kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi
juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara-saudaranya yang
tertimpa musibah. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap
perjalanan ke depan.   Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh,    Pelajaran ketiga adalah tentang
ladang amal ibadah pascabencana. Jika bencana adalah ujian kenaikan derajat, maka kenaikan
tersebut hanya terjadi bila yang bersangkutan benar-benar lulus dari ujian. Bencana alam
merupakan wasilah bagi para korban yang isinya menuntut manusia untuk sabar, ikhtiar,
tawakal, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah ‫ﷻ‬. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn,
sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita kembali. Kualitas
kepribadian mereka sebagai hamba meningkat manakala “materi ujian” dapat dilalui dengan
baik dan benar.   Bagi mereka yang tidak menjadi korban, bencana alam adalah ujian untuk
menunjukkan kepedulian kemanusiaan atas mereka yang sedang ditimpa kesulitan.
Pertolongan berupa tenaga, pikiran, dana, harta benda, makanan, doa, dan lain sebagainya
penting disalurkan. Syukur atas keselamatan diri kita dari bencana bisa ditunjukkan dengan
kesediaan berbagi kepada mereka yang membutuhkan uluran tangan. Bisa dengan menjadi
relawan, donatur bantuan, atau keterlibatan lainnya yang dapat meringankan beban para
korban.    ‫ َوهللاُ فِي عَوْ ِن ْال َع ْب ِد َما َكانَ ْال َع ْب ُد فِ ْي عَوْ ِن َأ ِخ ْي ِه‬  “Allah akan menolong seorang hamba selama
hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)   Apabila kita mendengar kata hikmah di
balik bencana, maka itu artinya terkait dengan sikap-sikap bijak kita dalam menyikapi bencana.
Karena kata hikmah bermakna kebijaksanaan. Semoga bencana alam yang merupakan bagian
dari fenomena alamiah tak menimbulkan bencana baru dalam kehidupan spiritual kita. Wallâhu
a‘lam bish shawâb   ‫ َونَفَ َعنِي َوِإيَّا ُك ْم بِ َمافِ ْي ِه ِم ْن آيَ ِة َو ِذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم َوتَقَبَّ َل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم‬،‫بَا َركَ هللا لِي َولَ ُك ْم فِى ْالقُرْ آ ِن ْال َع ِظي ِْم‬
ِ ‫َو ال َغفُ وْ ُر ال ر‬
‫َّحيْم‬ ُ‫أس تَ ْغفِ ُر هللاَ ال َع ِظ ْي َم ِإنَّهُ ه‬ ْ َ‫َذا ف‬ َ‫ َوَأقُ وْ ُل قَ وْ لِي ه‬،‫ِم ْي ُع ال َعلِ ْي ُم‬ َّ ‫َو‬
‫الس‬ ُ‫تِالَ َوتَ هُ َوِإنَّهُ ه‬

Anda mungkin juga menyukai