Bismillah (Repaired) New
Bismillah (Repaired) New
Halaman
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Peumusan Masalah…………………………………………..................... 5
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 6
1.3.1. Pertanyaan utama........................................................................... 6
1.3.2. Pertanyaan tambahan..................................................................... 6
1.4. Tujuan Penelitian....................................................................................... 7
1.4.1. Tujuan umum................................................................................ 7
1.4.2. Tujuan khusus............................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian.................................................................................... 8
1.5.1. Bidang pendidikan....................................................................... 8
1.5.2. Bidang penelitian.......................................................................... 9
1.5.3. Bidang pelayanan masyarakat...................................................... 9
1.6. Orisinalitas............................................................................................... 10
1.7. Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual................................................... 10
1.8. Rencana publikasi ilmiah......................................................................... 10
ii
2.2.6.1. Resiko penyakit kardivaskular …………………….
2.2.6.2. Peran IL-6 sebagai faktor resiko penyakit
Kardivaskular ……………………………………..
2.2.6.3. Manifestasi penyakit kardivaskular ……………….
2.2.6.4. Patogenesis kalsifikasi vaskular …………………..
2.2.7. Harapan hidup pasien hemodiálisis ………………………..
2.2.7.1. Defenisi …………………………………………....
2.2.7.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ………………..
2.3. α-2 heremans schmid glycoprotein (AHSG)……………………….
2.3.1. Defenisi ………………………………………....................
2.3.2. Fungsi Fetuin-A ………………………………....................
2.3.2.1. Peranan Fetuin-A pada kalsifikasi vaskular ………
2.3.2.2. Peranan Fetuin-A pada inflamasi ............................
2.3.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar Fetuin-A................
2.3.4. Metode pemeriksaan Fetuin-A serum ………........................
2.3.5. Gen AHSG…………………………………………...............
2.3.6. Polimorfisme gen AHSG.........................................................
2.3.7. Metode pemeriksaan polimorfisme gen AHSG.......................
2.4. Kerangka Teori..................................................................................
2.5. Kerangka Konsep..............................................................................
2.6. Hipotesis Penelitian............................................................................
2.6.1. Hipotesis mayor ....................................................................
2.6.2. Hipotesis minor
iii
3.7.4. Cleaning data ………………………………………
3.8. Analisis data .....................................................................................
3.8.1. AnalisisUnivariat ……..……………………………...
3.8.2. Analisis Bivariat…..………………………………….
3.8.3. AnalisisMultivariat …………………………………
3.9. Etika Penelitian ………………………….........................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit ........
Tabel 4. Pasien Baru dan pasien aktif yang menjalani HD di Indonesia dari
pasien diálisis......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
vi
DAFTAR SINGKATAN
DM : Diabetes Melitus
DN : Diabetes Nefropati
Hb : Hemoglobin
HD : Hemodialisis
HN : Hipertensi Nefropati
KNG : Kininogen
vii
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
LPS : Lipopolisakarida
Survey
OC : Osteocalcin
ON : Osteonectin
OPG : Osteoprotegerin
OPN : Osteopontin
PD : Peritoneal Dialisis
RR : resiko relative
viii
TGF : Transforming Growth Factor
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
Angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik (PGK) tahap
akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15-20 persen per tahun,
infeksi dan terapi dialisis (USRDS, 2009). Resiko kematian pada kelompok usia 25-
34 tahun lebih tinggi (sampai 1000 kali) dibanding populasi umum begitu juga pada
pasien berusia 45 tahun (sampai 100 kali) (Kuzniar et al, 2008). Harapan hidup
setelah memulai diálisis pada pasien yang berusia 40-45 tahun yaitu lebih kurang 8
tahun dan hanya 4.5 tahun pada pasien yang berusia 60-64 tahun. Menurut United
State Renal Data System (USRDS) (2009) harapan hidup kumulatif 5 tahun pasien
hemodialisis (HD) kronik di Amerika Utara sekitar 25% dibandingkan tahun 2005
yang hanya 20%. Angka kematian ini lebih tinggi 2-3 kali dibanding dengan kanker
prostat dan payudara pada usia yang sama. Angka mortalitas ini akan terus
bertambah oleh karena meningkatnya insidensi pasien PGK yang menjalani dialisis.
Data pada Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan insidensi pasien PGK
yang menjalani HD meningkat dua kali lipat selama tiga tahun yaitu 4.977 orang pada
Salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien PGK tahap akhir
di berbagai negara adalah PKV (Foley et al, 1998; Levin, 2003). Di Jepang hal ini
merupakan penyebab lebih dari 40% kematian pasien HD (Oikawa et al, 2007).
2
Menurut IRR pada tahun 2010, penyebab kematian pasien HD yang terbanyak di
umum, namun pola ini tidak diikuti pada pasien HD, sehingga penyakit ini masih
terjadi pada 50% kasus kematian pasien HD (USRDS, 2010). Pada pasien dialisis,
mortalitas akibat penyakit ini 20-30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum
(Foley et al, 1998; Qunibi W, 2007). Angka kematian ini lebih tinggi 100 kali pada
2007).
Salah satu petanda prognostik terhadap kematian akibat PKV pada pasien HD
adalah kalsifikasi vaskular khususnya kalsifikasi arteri koroner yang derajatnya lebih
berat 2.5-5 kali dibanding pasien non HD. Hal ini memprihatinkan karena lebih dari
90% pasien HD yang berusia 19-39 tahun mengalami kalsifikasi arteri koroner
(Ketteler et al, 2005). Data lain menunjukkan bahwa pada usia 30 tahun pasien
dialisis memiliki resiko kematian 500 kali lebih besar dibanding populasi umum pada
usia yang sama akibat kalsifikasi arteri koroner (Ketteler et al, 2005).
Meskipun prevalensinya sangat tinggi, tetapi masih ada 30% pasien PGK dan
15% pasien dialisis yang tidak mengalaminya, walaupun terdapat banyak faktor yang
mendukung terjadinya kalsifikasi vaskular ini pada pasien tersebut (Qunibi, 2007).
Hal ini menyebabkan munculnya dugaan bahwa faktor genetik dan produknya juga
memiliki peranan.
lagi sekedar fenomena degeneratif pasif tetapi sama aktifnya seperti pembentukan
tulang, yang dipengaruhi oleh interaksi faktor stimulator dan inhibitor. Salah satu
3
rendah kadarnya semakin luas kalsifikasi vaskular (Moe et al, 2005; Cozzolino et al,
2006; Wang et al, 2009) dan semakin meningkat kekakuan aorta (Hermans et al,
akibat penyakit non kardiovaskular (Hermans et al, 2007) maupun PKV, yaitu
semakin rendah kadarnya semakin cepat kematian terjadi dan peningkatan kadarnya
0.1 g/L mengurangi semua penyebab kematian sebanyak 13% (Bláha et al, 2009).
Sampai saat ini di Indonesia belum ada data mengenai kadar fetuin-A sebagai
superfamili cystatin dari cysteine protease inhibitor, disintesis pada jaringan hati
manusia dan ditemukan diseluruh tubuh pada bagian ekstraselular. Peranan Fetuin-A
secara fisiologi masih dalam penelitian. Namun beberapa laporan telah membuktikan
pospat (Schaver et al, 2003, Cozzolino et al, 2005). Fetuin-A sebagai protein fase
akut negatif juga berperan dalam proses inflamasi yaitu mencegah perburukan
inflamasi (Suliman et al, 2008; Zeidan et al, 2012) dengan membatasi produksi
polimorfisme pada gen AHSG yang mengkode Fetuin-A. Hal ini dibuktikan oleh
4
kalsifikasi pada berbagai organ, dimana keparahan dan lokasi kalsifikasi tergantung
pada genetiknya (Westerfeld et al, 2007). Di Indonesia belum ada data mengenai
Gen AHSG pada manusia terletak pada kromosom 3q27, terdiri dari 7 exon
yang terentang sepanjang 8.2 kb (Osawa et al, 2001). Sampai saat ini telah diketahui
319 single nucleotide polymorphism (SNP) pada gen AHSG. SNP rs4918 terletak
pada exon ke-7 dan mengkodekan asam amino Thr256Ser (NCBI, 2013) merupakan
SNP yang paling banyak dianalisis dalam hubungannya dengan kadar Fetuin-A serum
di berbagai populasi.
Thr256Ser pada gen AHSG menurunkan kadar Fetuin-A pasien HD. Penurunan ini
meningkatkan resiko mortalitas PKV akibat kalsifikasi vaskular dan mortalitas non
Thr256Ser (alel G) gen AHSG pada mortalitas pasien HD {HR 0.99 (95%CI 0.81-
1.21)}. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa adanya polimorfisme Thr256Ser pada
mendapatkan tidak ada hubungan antara polimorfisme Thr256Ser gen AHSG dengan
penurunan kadar Fetuin-A pasien HD. Sehingga secara tersirat penelitian ini
perkembangan PKV pada pasien HD. Sampai saat ini belum ada data di Indonesia
mengenai polimorfisme Thr256Ser pada gen AHSG dan pengaruhnya terhadap kadar
kesimpulan:
PKV cukup tinggi. Angka ini akan terus meningkat oleh karena insidensi
terus bertambah.
dan produknya.
stimulator dan inhibitor. Salah satu faktor inhibitor tersebut adalah α2-
saat ini belum ada data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kadar
5. Sampai saat ini pengaruh polimorfisme gen AHSG pada kadar Fetuin-A
kroniknya.
berikut:
e. Adakah pengaruh kadar IL-6 terhadap lama harapan hidup pada pasien
HD kronik di Indonesia?
kronik di Indonesia?
Indonesia?
kronik di Indonesia?
HD kronik di Indonesia.
di Indonesia
pasien HD kronik.
b. Jika hipotesa terbukti, hasil penelitian ini sebagai masukan bagi peneliti
lain untuk meneliti alel yang sama pada ras yang berbeda atau meneliti
c. Sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk menggunakan petanda yang
d. Sebagai data dasar bagi peneliti lain untuk mencari faktor lain yang
a. Jika hipotesa terbukti, hasil penelitian ini sebagai masukan bagi praktisi
1.6. Orisinalitas
HD kronik di Indonesia
Indonesia.
Hasil disertasi ini akan disusun dalam bentuk bentuk beberapa artikel ilmiah
yang diharapkan dapat dipublikasikan pada jurnal maupun acara nasional dan
internasional.
11
pasien HD kronik di
Indonesia
Indonesia
pada pasien HD
kronik di Indonesia
Indonesia Hypertension
kronik di Indonesia
Indonesia
kronik di Indonesia
HD kronik di Indonesia
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal irreversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat penyakit
(tabel 1) dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar penyakit,
(ml/mnt/1,73 m2)
meningkat
ringan
sedang
berat
2.1.2. Terapi
fungsi ginjal
dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol glukosa, kontrol tekanan
darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-obatan dan edukasi. Pada pasien yang
sudah mengalami penyakit ginjal dan terdapat gejala uremia, hemodialisis atau terapi
2.2. Hemodialisis
terjadi difusi partikel terlarut (salut) dan air secara pasif melalui kompartemen
cair yaitu darah menuju kompartemen cairan dialisat melewati membran semi
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Price and Wilson,
2005).
16
Dalam suatu proses HD, darah penderita dipompa oleh mesin untuk
pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan
tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan diálisis dan darah yang
dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi
zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses diálisis, dengan
2009).
limbah yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis dengan
cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau
cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama HD
akan semakin optimal (Depkes, 1999; Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005
2.2.2. Epidemiologi
2012).
ginjal di Indonesia tahun 1967 oleh R.P. Sidabutar dan mulai aktif tahun 1970.
banyak rumah sakit (Rahardjo et al, 2009). Data pada IRR (2011) menunjukkan
insidensi pasien PGK yang menjalani HD meningkat tiga kali lipat selama
empat tahun yaitu 4977 orang pada tahun 2007 menjadi 15353 orang pada tahun
2011.
Tabel 4. Pasien baru dan pasien aktif yang menjalani HD di Indonesia dari
2.2.3. Indikasi
HD kronik.29
a) Kegawatan ginjal
K>6,5 mmol/l).
e. Asidosis berat (pH < 7,1 atau bikarbonat < 12 mEq/l).
f. Uremia (BUN > 150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum.
h. Neuropati/miopati uremikum.
i. Perikarditis uremikum.
j. Disnatremia berat (Na >160 atau < 115 mmol/L)
k. Hipertermia.
b) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi HD kronik
baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini: 29
2.2.4. Komplikasi
tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang
mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien
20
serta adanya berbagai perubahan bentuk dan fungsi sistem dalam tubuh.
kronik:
a. Komplikasi akut
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, pruritus, demam, dan
menggigil.
b. Komplikasi kronik
HD kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Penyakit kardiovaskular
Malnutrisi
Infeksi
Inflamasi kronik
Anemia
21
Neuropathy
Disfungsi reproduksi
Gangguan perdarahan
kronis pada PGK dapat terjadi dengan atau tanpa adanya infeksi akut atau
dan reaksi akibat dialisat yang terkontaminasi bakteri sehingga berakibat pada
terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten, 2007). Selama proses HD, terjadi
(PTX3) mengalami absorbsi ke dalam membran dialiser dan sebagian dari zat
tersebut akan dieliminasi dari darah (Tzanatos, 2000; Malaponte, 2002). Faktor
komplemen yang teraktivasi, seperti C3a dan C5a, meningkat selama HD dan
aktivasi leukosit, produksi dan pelepasan sitokin, serta produksi ROS (Reactive
dengan morbiditas dan mortalitas PKV pada pasien PGK (Stevinkel, 2008).
pasien dialisis dan berkorelasi dengan prevalensi PKV yang tinggi pada
populasi tersebut. Hal tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal
tahap akhir yang telah menjalani dialisis, bahkan pasien dengan gangguan
menginisiasi kedua keadaan PGK dan PKV (Stevinkel, 2008). Progresivitas dari PGK
menjadi PKV melalui beberapa jalur, antara lain: inflamasi akibat pelepasan sitokin
proinflamasi dan disfungsi endotel akibat retensi dari toksin uremik dan
Mancini, 2002).
yang disekresikan oleh monosit terakativasi, makrofag, fibroblast, sel adiposit dan sel
endotel sebagai respon terhadap berbagai stimuli seperti TNF-α, IL-1β , endotoksin
suatu status inflamasi, dimana stimulus inflamasi yang banyak terdapat pada pasien
23
PGK menyebabkan dilepaskannya sitokin termasuk IL-1, IL-6 dan TNF- α (Guntur,
2004). Kadar IL-6 ditemukan meningkat pada 40-50% pasien PGK. Secara
merupakan biomarker yang lebih kuat dibandingkan albumin, CRP dan Fetuin-A
menyebabkan peningkatan kadar IL-6 pada pasien PGK adalah hilangnya fungsi
ginjal, uremia beserta komplikasinya (seperti penimbunan cairan, stress oksidatif dan
kerentanan terhadap infeksi) serta faktor yang berkaitan dengan proses dialisis itu
dialisat yang tidak steril) (Stenvinkel et al, 2005). Oleh Caglar et al dilaporkan
terjadinya peningkatan kadar IL-6 dua jam setelah proses HD selesai, di mana hal ini
response (Stenvinkel et al, 2005). Temuan temuan yang memperkuat bukti bahwa IL-
utama ekpresi ICAM yang akan menarik lekosit bermigrasi ke permukaan endotel,
metabolik, endothelial dan koagulasi, serta IL-6 juga berperan pada pembentukan
plak fibrous pada proses atherosclerosis, peningkatan IL-6 juga berperan secara
umum, namun pola ini tidak diikuti pada pasien HD. Sebagai gambaran,
Mortalitas akibat PKV 20-30 kali lebih tinggi pada pasien dialisis
mortalitas pasien HD yang masih muda (<30 tahun) lebih tinggi 500 kali
dibanding usia yang sama pada populasi umum (Ketteler et al, 2005) dan
tingkat mortalitas ini tetap lebih tinggi lima kali lipat, meskipun pada pasien
usia tua (Gambar…)(Sarnak, 2003). Angka kematian ini ternyata lebih tinggi
lagi pada pasien dialisis anak-anak yaitu 100 kali dibanding populasi umum
(Qunibi, 2007) dan 1000 kali lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak
penderita PKV non dialisis. Resiko kematian akibat PKV meningkat 22%
menunjukkan bahwa tingkat mortalitas PKV per tahun jauh lebih tinggi pada
40% pasien PGK dan 50% pasien HD (USRDS, 2010). Oikawa et al (2007)
prognostik terhadap kematian akibat PKV pada pasien HD. Sebuah penelitian
menunjukkan kalsifikasi arteri koroner pada pasien HD 2.5-5 kali lebih berat
derajatnya dibanding pasien non HD. Menurut London dkk, harapan hidup pasien
dengan kalsifikasi arteri media lebih lama dibandingkan pasien dengan kalsifikasi
arteri intima. Namun harapan hidup ini lebih pendek bila dibandingkan dengan pasien
tanpa kalsifikasi (Ossareh, 2011). Hal ini menjadi lebih memprihatinkan karena
kalsifikasi arteri koroner akibat gangguan metabolisme kalsium dan pospat ini,
dialami oleh lebih dari 90% pasien HD yang berusia 19-39 tahun (Ketteler et al,
2005).
Terdapat dua alasan potensial untuk peningkatan risiko mortalitas PKV yang
dramatis pada pasien HD. Pertama adalah tingginya prevalensi PKV, dan kedua
adalah tingginya tingkat kasus kematian pada pasien yang telah memiliki PKV.
iskemik dan gagal jantung kongestif yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum,
yaitu sekitar 30% pasien. Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri meningkat dengan
Faktor resiko tradisional yaitu faktor resiko pada penelitian Framingham seperti
morbiditas dan mortalitas akibat faktor ini lebih tinggi pada pasien PGK dibanding
Faktor resiko non tradisional merupakan faktor resiko yang muncul akibat
penurunan fungsi ginjal yang dikenal dengan faktor resiko sehubungan uremia seperti
vaskular serta proses dialisis (Stenvinkel et al, 2003; Cozzolino et al, 2008).
dengan morbiditas dan mortalitas PKV pada pasien PGK (Stenvinkel et al, 2008).
Age —
Male gender —
28
Hypertension —
Smoking —
risk factors
Anemia Hemoglobin
blood cell count; MPO, myeloperoxidase; CRP, C-reactive protein; PTX3, pentraxin-
Terdapat beberapa kelainan patologik dan manifestasi klinik PKV pada PGK.
Salah satunya adalah kalsifikasi vaskular. Ada 2 tipe kalsifikasi vaskular pada
penderita PGK yaitu kalsifikasi aterosklerotik ditandai dengan kalsifikasi pada tunika
intima dan terbentuknya plak aterosklerotik serta kalsifikasi tunika media ditandai
dinamis pada otot polos pembuluh darah, berupa kombinasi disfungsi endotel dan
inflamasi, remodeling dan deposit lemak vaskuler, fibrosis serta thrombosis (Arici
beberapa tahap. Pada fase awal, yang terjadi adalah disfungsi endotel dengan
plasma darah seperti low density lipoprotein (LDL) menerobos dan mengendap pada
perlahan akan mengecilkan penampang pembuluh darah dalam rentang waktu dekade
(Deanfield, 2007).
PELEPASAN
DISFUNGSI SITOKIN
ENDOTEL PROINFLAMASI
Gambar 5. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Santoro and Mancini, 2002).
seluler yang dimediasi oleh sel seperti monosit dan makrofag, terbukti
diperantarai oleh mediator inflamasi lewat jalur kemotaktik dan haptotatik. (Stinghen
and Pecoits-Filho,2007).
Toksin ureum terdiri dari kelompok zat yang heterogen seperti zat organik dan
peptida yang pada kondisi normal diekskresikan lewat ginjal yang sehat dan ditahan
jika didapatkan gangguan fungsi ginjal. Secara teori toksin ureum pada PGK dapat
menyebabkan perubahan fenotip sel-sel endotel dimana lebih mudah mensintesa dan
kadar atau sintesa IL-1β dan TNF-α. IL-1β (Stinghen and Pecoits-Filho,2007).
monosit akan terikat pada permukaan endotel dan masuk ke dalam subendotel (per-
memakan lipid (vLDL dan LDL yang telah diopsonifikasi oleh ROS), dan menjadi
32
sel busa (foam cells) yang disebut juga ateroma. Foam cell akan mengekspresikan
growth factor dan sitokin yang lain sehingga membentuk plak aterosklerosis
keadaan ini dipengaruhi secara garis besar oleh tiga faktor (Ossareh, 2011):
1. Kerentanan genetik
vaskular di populasi gagal ginjal dibandingkan pada populasi non gagal ginjal.
Beberapa gen yang terlibat pada kalsifikasi vaskular dapat dilihat pada
tabel....dibawah.
hiperparatiroidisme dan peningkatan produk CaxPO4 (Block et al, 2004). Ada dua
Yang dkk membuktikan induksi mineralisasi pada sel otot polos manusia secara
invitro terjadi akibat peningkatan kadar kalsium dan pospat jangka lama. Kadar
33
tetapi penelitian terbaru telah membuktikan bahwa proses ini sama aktifnya seperti
pembentukan tulang yang dipengaruhi oleh interaksi antara faktor stimulator seperti
bone matrix 2a (BMP2a), tumor necrosis factor (TNF)-α, fibroblast growth factor
(FGF)-23, osteocalcin (OC), osteonectin (ON), core binding factor (Cbfa)-1, alkaline
dengan faktor inhibitor seperti matrix Gla protein (MGP), BMP7, osteoprotegerin
vascular smooth muscle cells (VSMCs), yang berada di lapisan medial dinding
pembuluh darah menjadi sel pembentuk tulang.17 Pada kondisi normal, mesenchymal
pada PGK, diabetes, usia lanjut dan inflamasi, VSMCs ini dapat berde-diferensiasi
anggota superfamili transforming growth factor (TGF)-β1 seperti core binding factor
Pada awalnya, jika terdapat kelebihan mineral kalsium fosfat terjadi deposit
membahayakan jika ada protein inhibitor fetuin A, MGP, OPN, dan OPG.1,17 Menurut
studi terbaru, bahwa awal terjadinya kalsifikasi dan diferensiasi sel pembuluh darah
dimulai dari adanya formasi nanocrystals.1 Nanocrystals ini diambil oleh VSMCs
dengan cara endositosis. Degradasi lisosom dari kristal yang sudah terendositosis
menyebabkan pelepasan kalsium dan phosphor dari dalam sel. Selain itu, fosfat
transporter Pit-1 (dan Pit-2). Dalam usaha untuk kompensasi kelebihan kalsium dan
yang berisi produk kalsium dan phosphor serta inhibitor mineral, seperti fetuin A.
mineral ini menumpuk pada arteri menyebabkan trauma sel lokal dan abnormalitas
pembuluh darah. Vesikel matrik inilah merupakan awal kalsifikasi di semua jaringan
tulang dimana kristal hidroksiapatit berasal dari mereka selama fase 1 mineralisasi
phosphatase-dependent.
didalam sel yang diinduksi oleh nanocrystal terendositosis dan uptake fosfat ke
dalam sel akan memicu apoptosis dari VSMC, yang pada dinding pembulah darah
normal hanya sedikit terjadi. Tetapi adanya sel inflamasi seperti TNF-α yang
dan kematian sel, sehingga terjadi peningkatan pembentukan matrix vesicles yang
35
berisi apoptotic bodies. Apoptotic bodies dan matrix vesicles akan menyebabkan
crystal. (gambar 3)
Gangguan metabolisme mineral dan tulang sering tejadi pada pasien PGK.
Fungsi ginjal yang menurun, disertai dengan peningkatan kadar FGF23, menurunnya
ekskresi fosfat inorganik, dan disregulasi metabolisme tulang. Kelainan ini saling
biomarker seperti OPG, Klotho, FGF23, PTH dan calcitriol. Hasil dari gangguan
metabolisme mineral, adalah perubahan kadar Ca, Pi, Mg di dalam serum dan
36
jaringan pembuluh darah, disertai dengan perubahan metabolik dan inflamasi. Hal ini
PPi, dan MGP, sehingga mendukung terjadinya kalsifikasi pembuluh darah. Ca,
kalsium; FGF23, fibroblast growth factor 23; Mg, magnesium; MGP, matrix Gla
Mekanisme Deskripsi
Kerentanan genetik
Apolipoprotein E null
Klotho null
mineral
kappa B ligand
Osteopontin
Osteoprotegerin
Fetuin-A
Smad6
Pyrophosphate
1. Usia
karenanya, usia diduga sebagai faktor penentu yang penting terhadap adanya
hubungan yang positif antara kalsifikasi vaskular dengan usia. Studi terbesar
dilakukan oleh Reaven dan Sack pada 245 partisipan, dengan mengunakan
bahwa pasien yang berusia diatas 61 tahun mempunyai kalsifikasi aorta yang berat.4
Studi yang dilakukan oleh Allison dkk menyatakan bahwa pada usia dibawah
50 tahun, prevalensi kalsifikasi aorta abdominalis hanya 16% (perempuan) dan 20%
(laki-laki). Hal ini menjadi meningkat sampai 93% (perempuan) dan 98% (laki-laki)
2. Diabetes mellitus
media. Terdapat enam studi yang meneliti hubungan kalsifikasi aorta abdominalis
Sedangkan studi yang dilakukan Matsushita dkk, tidak menemukan hubungan antara
diabetes mellitus dengan kalsifikasi pembuluh darah. Namun, studi retrospektif ini
3. Lama hemodialisis
Terdapat empat studi yang meneliti faktor resiko terhadap kalsifikasi aorta
abdominalis pada pasien PGK. Studi ini menunjukkan bahwa kalsifikasi aorta
abdominalis lebih sering terjadi pada pasien yang telah menjalani dialisis lebih lama,
Kawaguchi dkk menemukan bahwa rata-rata lama dialisis pada pasien dengan
produk kalsium fosfor memegang peran penting pada tingginya angka kejadian
peningkatan kadar kalsium serum >10,5 mg/dl dengan kalsifikasi pada pasien PGK.
kalsifikasi vaskular menurut lapisan arteri dibagi menjadi dua yaitu, intima dan
media.4 Kedua tipe ini dapat diamati melalui aorta abdominal, meskipun kalsifikasi
media lebih sering terjadi pada aorta abdominalis.4 Kalsifikasi media sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal dan diabetes mellitus, sehingga diduga kalsifikasi ini timbul
mulai dari pemeriksaan radiografi yang simpel, ultrasound dua dimensi, sampai
electron beam CT, sering digunakan untuk diagnosis dan follow-up dari progresi
intima dan media. Ultrasonografi digunakan secara luas, tidak mahal, sehingga dapat
superficial, seperti arteri karotis dan arteri femoralis.17 Tetapi tidak ada satupun
40
modalitas pencitraan yang dijadikan sebagai gold standard dalam menilai kalsifikasi
vaskular.4
dan media dapat ditentukan dengan pemeriksaan radiografi, dimana jika terdapat
gambaran dengan distribusi irregular dan patchy, disebut kalsifikasi intima, sementara
jika ditemukan gambaran seperti rail-road track maka disebut sebagai kalsifikasi
media (gambar 4). Semenjak diketahui bahwa kalsifikasi media sering ditemukan
adanya kalsifikasi.17
Foto lateral abdominal atau lateral lumbal adalah metode yang paling
sederhana dalam menilai kalsifikasi aorta abdominalis. Pencitraan ini lebih disukai
pemeriksaaan cepat, digunakan secara luas serta radiasi yang lebih rendah
Gambar 7. Kalsifikasi intima dan media pada PGK. (A) distribusi irregular dan
menggunakan segmen aorta abdominalis yang berada di depan vertebra lumbal satu
sampai keempat. Derajat 0 artinya tidak ada deposit kalsifikasi di depan vertebra;
derajat 1 artinya terdapat deposit kalsifikasi kurang dari 1/3 dari dinding aorta; derajat
2 artinya terdapat kalsifikasi 1/3-2/3 dari dinding aorta; dan derajat 3 artinya
Berdasarkan sistem skoring ini, maka nilai skor minimal adalah 0 sampai
maksimal yaitu 24. Pasien dikatakan tidak ada kalsifikasi jika skornya 0, kalsifikasi
ringan jika skor 1-4, kalsifikasi berat jika skor diatas 4 (gambar 5) 5 Studi yang
42
dilakukan oleh Shantha dkk menyatakan bahwa AAC scores mempunyai sensitifitas
83% dan spesifisitas 75% dalam mendeteksi adanya kalsifikasi vaskular dan
echocardiogram pada pasien dialisis.18 Tehnik ini juga menunjukkan korelasi yang
Pada studi yang dilakukan oleh Kawaguchi dkk, derajat 1 sama artinya dengan
tidak ada kalsifikasi; derajat 2 berarti kalsifikasi patchy (hanya sebagian); sedangkan
menggunakan foto polos radiografi sangat subjektif dan kurang sensitif jika
Walaupun terdapat kontroversi dalam hal ini, The Kidney Disease Improving
untuk mendeteksi ada atau tidaknya kalsifikasi vaskular sebagai suatu alternatif
kalsifikasi dinilai di dinding anterior dan posterior aorta abdominalis yang letaknya
hidup adalah lama usia rata-rata seseorang dapat bertahan hidup dalam
pasien HD adalah sekitar 5-10 tahun, namun banyak pasien yang dapat
yaitu 2 tahun, ini merupakan periode follow-up tersingkat secara teori. Hal ini
juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Muzasti (2011) yang
selama 25,83 bulan dengan harapan hidup terendah selama 2 bulan sedangkan
a. Lama HD
a. Usia memulai HD
prognosa paling baik yaitu usia <45 tahun dan prognosa paling buruk adalah
usia lanjut dengan harapan hidup 5 dan 10 tahun hanya 15% dan 5% (USRDS,
2010).
45
( >80 tahun atau usia lain, dengan dua tahun menjalani terapi
sedangkan yang terburuk adalah diabetes nefropati (DN) yaitu hanya 20%. Pada
c. Kadar albumin
penyimpanan protein visceral (Pifer et al, 2002). Nilai albumin yang rendah
dengan (IMT)] memiliki resiko lebih besar mengalami kematian (Dwyer et al,
2005), dibandingkan dengan pasien yang memiliki IMT dan massa otot tinggi
(Ramkumar et al, 2005; Kakiya et al, 2006). Berbeda dengan populasi umum,
pasien HD dengan IMT berlebih memiliki harapan hidup yang lebih lama
(Leavey et al, 2001; Salahudeen et al, 2003; Beddhu et al, 2003; Johansen et al,
2004; Stack et al, 200; de Mutsert et al, 2007). de Mutsert R et al (2007) pada
sebanyak 30%.
peningkatan resiko PKV (Kovesdy, 2010; Slinin, 2005 dalam Yusop et al,
akibat PKV pada pasien HD. Pasien dengan kadar fosfat >6,5 mg/dL,
Resiko relatif kematian paling rendah terlihat pada pasien dengan konsentrasi
serum antara 3-5 mg/dL (0.97-1.61 mmol/L) (Block et al, 2004). Mereka juga
48
mendapatkan resiko relatif kematian meningkat menjadi 1.5 dan 1.8 kali jika
produk CaxP diatas 70 mg2/dL2 (Young et al, 2005; Slinin et al, 2005;
Noordzij et al, 2005; Noordzij et al, 2006). Hal ini terbukti pada penelitian
dimana mortalitas tertinggi terlihat jika kadar kalsium diatas 10.0 mg/dL dan
6. Kadar Fetuin-A
merupakan prediktor prognosis yang buruk pada pasien PGK. Kadar Fetuin-A
rendah kadar Fetuin-A semakin luas kalsifikasi vaskularnya (Moe et al, 2005;
Cozzolino et al, 2006; Wang et al, 2009) dan semakin meningkat kekakuan
mortalitas akibat PKV pada pasien dialisis (Ketteler, 2003; Hermans, 2007).
bahwa makin tinggi kadar Fetuin-A maka makin rendah resiko kematian
Menurut Honda dkk nilai cut off Fetuin-A untuk memprediksi kematian
7. Genetik
Peranan genetik pada penyakit ginjal meliputi rentang yang luas mulai
dari gangguan ginjal monogenik simpel seperti sindroma Alport dan penyakit
seperti nefropati diabetik dan nefropati IgA. Bukti adanya hubungan gen
dengan penyakit ginjal telah terbukti dan dapat direplikasi di beberapa lokus
Faktor genetik ini juga berpengaruh pada outcome klinis pasien PGK
tahap akhir. Sejumlah variasi genetik yang dikenal dengan single nucleotide
PGK (Nordfors et al, 2005; Axelsson et al, 2006; Luttropp et al, 2008).
Contohnya adalah masih ada 30% pasien PGK dan 15% pasien dialisis yang
(Qunibi, 2007). Hal ini diduga karena adanya peranan faktor genetik yaitu gen
2.3.1. Defenisi
Fetuin-A adalah protein yang dikodekan oleh gen AHSG. Pertama kali diisolasi
dari sapi pada tahun 1944. Fetuin-A merupakan glikoprotein kaya histidin
protein plasma ortolog yang ditemukan pada manusia, domba, babi, sapi dan
hewan pengerat. AHSG manusia ditemukan oleh Heremans dan Schmid yang
osteoblast, lidah dan plasenta sehingga kadarnya lebih banyak pada janin
sirkulasi tidak selalu berasal dari hati. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa
367, yang terdiri dari dua rantai yaitu rantai berat dan rantai ringan yang
51
rantai berat terdiri dari 2 domain seperti cystatin (D1 dan D2) yang tersusun
secara tandem dan domain terminal-C (D3) yang unik dimana kaya dengan
prolin dan glisin, yang tidak dapat dijumpai pada cystatin mamalia lain (Döring
pada cairan ekstraseluler dengan konsentrasi serum berkisar antara 0.4 to 1.0 g/liter
dan berat molekul kira-kira 60-kDa (Ketteler et al, 2003; Kuzniar et al, 2008).
52
pada jaringan kalsifikasi seperti tulang, gigi dan lesi kalsifikasi ektopik sebagai
protein nonkolagen selama proses mineralisasi oleh karena afinitasnya yang tinggi
Fetuin-A pada PGK secara sinergis berperan terhadap patogenesis kalsifikasi vaskular
pada tikus percobaan. Hal ini dibuktikan juga oleh Schaver et.al (2003) bahwa
defisiensi Fetuin-A pada tikus dapat menyebabkan kalsifikasi pada berbagai organ,
dimana derajat keparahan dan lokasi kalsifikasi tergantung pada genetiknya. Peran
Fetuin-A sebagai inhibitor utama kalsifikasi vaskular yaitu dengan cara mengikat
BMP2a dan transforming growth factor β (TGF-β) (Suliman et al, 2008), dapat
Diperkirakan bahwa Fetuin-A memiliki dua fungsi pada permukaan koloid mineral,
yaitu mengurangi difusi ion pada inti mineral dan mencegah agregasi partikel (Zeidan
dari koloid stabil sebagai hasil interaksi fetuin-A dengan inti mineral di dalam
plasma dengan mengikat kelebihan molekul kalsium dan pospat (Moe et al, 2008).
54
endapan mineral yang tidak larut tersebut dari lokasi diluar tulang ke dalam jaringan
tulang (Moe et al, 2005) dan jika memungkinkan memfagositosis endapan tersebut
calcium phosphate (BCP) yaitu bentuk inti mineral baru yang tidak larut pada
VSMC ke dalam matrik vesikel untuk mencegah pembentukan inti BCP. Fetuin-A
sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk nukleasi BCP (Ford et al, 2010).
serum dan diet tinggi kalsium, bukti terbaru menunjukkan bahwa kalsifikasi di luar
tulang pada pasien dialisis bukan hanya suatu proses degeneratif pasif
Fetuin-A dinyatakan juga berperan sebagai protein fase akut negatif, oleh
seperti yang ditemukan oleh LeBreton et al lebih dari 25 tahun yang lalu (Suliman et
al, 2008). Namun pada kondisi peradangan kronis seperti pada pasien dialisis kadar
Fetuin-A juga mengalami penurunan (Ketteler, 2003; Stevinkel et al 2005). Sifat anti
Inflamasi dan protein energy wasting (PEW) merupakan penyebab utama rendahnya
kadar Fetuin-A sirkulasi pada pasien PGK (Stenvinkel et al, 2005; Wang et al, 2005;
Cozzolino et al, 2006; Jung et al, 2010). Hal ini juga terbukti oleh Porazko et al
(2009) yang mendapatkan hubungan terbalik antara kadar Fetuin-A dengan IL-6.
pertambahan usia dan diabetes (Stenvinkel et al, 2005; Verduijn et al, 2010), jenis
terapi pengganti ginjal, dimana kadar Fetuin-A pasien HD lebih rendah dibanding
56
pasien PD (Hermans, et al 2007) serta lama HD, yaitu semakin lama seseorang
menjalani HD semakin rendah kadar Fetuin-Anya (Ketteler et al, 2003; Oikawa et al,
2007).
dibuktikan oleh Ix dkk (2006) yang mendapatkan kadar fetuin-A serum tidak
berkurang pada PGK derajat 1, tetapi mulai menurun dari derajat 2 sampai PGK
tahap akhir. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah ras. Wang dkk (2005)
mendapatkan kadar Fetuin-A serum pasien ras Cina lebih rendah dibanding ras
Kaukasia.
suatu pengikat pospat bebas kalsium dapat meningkatkan kadar Fetuin-A serum
pada gen AHSG yang mengkode Fetuin-A. Stenvinkel et.al (2005) memperlihatkan
bahwa SNP Thr256Ser (alel serin) gen AHSG berhubungan dengan penurunan kadar
(Verduijn et al, 2010). Bahkan pengaruh polimorfisme Thr256Ser (alel serin) gen
AHSG terhadap penurunan kadar Fetuin-A ini juga terlihat pada pasien dengan fungsi
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah teknik
2008).
manusia fetuin-A kelinci sama dengan yang digunakan dalam metodologi
Tabel 9. Beberapa penelitian yang menghubungkan Fetuin-A dan outcome pasien diálisis
follow up)
merupakan prediktor
semua penyebab
60
kematian.
CaxPO4.
- Konsentrasi Fetuin-
berhubungan dengan
61
tingginya semua
penyebab kematian
dan kejadian
kardiovaskular fatal
Hemodialysis kardiovaskular.
Patients.
hemodialysis
patients.
concentration kontrol.
dialisis dengan
aktivitas inflamasi
yang rendah.
Levels with et al., 2007 lintang; HD dan 323 dengan CRP yang
dibandingkan wanita
Fetuin-A serum
menurunkan 9%
semua penyebab
kematian dan
kardiovaskular.
withaortic stiffness
in patients on
dialysis.
rendah berhubungan
dan kalsifikasi
mortality risk factor et al. (kaukasia) & PD baru Fetuin-A maka makin
Fetuin-A dan
peningkatan
mortalitas
67
Gen AHSG pada manusia terletak pada kromosom 3q27, terdiri dari 7
Sampai saat ini telah diketahui 319 SNP pada gen AHSG. Ada yang
rs2518136) dan di ekson (rs4831, rs4917, rs4918). SNP rs4918 terletak pada
pada SNP Thr256Ser ini yaitu Thr/Thr (alel C), Thr/Ser (heterozigot) dan
proses replikasi didalam sel (invivo). Tehnik ini pertama kali ditemukan oleh
dinaikkan pada kisaran 92-950C sehingga satu untai ganda DNA cetakan akan
pada tahap berikutnya yaitu elongasi. Sehingga pada akhir setiap siklus, satu
untai DNA digandakan menjadi dua untai. Jumlah siklus dalam setiap reaksi
PCR biasanya 30-35 siklus. Waktu yang diperlukan untuk setiap siklus sangat
pendek yaitu sekitar 3-4 menit, sehingga dalam beberapa jam sudah didapat
Pada proses PCR selain cetakan DNA, diperlukan juga enzim DNA
nukleotida (dNTP), bufer PCR, ion Mg++ dan gene cycler. DNA yang
digunakan dalam reaksi PCR merupakan DNA hasil isolasi dari sampel sel.
Berbagai tehnik isolasi DNA telah banyak dikembangkan dari berbagai jenis
yang sudah lama disimpan. Pada sampel darah, presipitasi dilakukan dengan
salting-out yaitu supernatan dipisahkan dari protein atau debris sel dengan
molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk mengawali proses
2005).
tunggal selain sebagai pelacak, juga sebagai pembatas fragmen untai DNA
Salah satu cara untuk mengenali urutan nukleotida pada titik tertentu adalah
dengan menggunakan tehnik RFLP, yaitu tehnik pemotongan segmen DNA pada titik
enzim endonuklease atau disebut juga sebagai enzim restriksi (Fatchiyah, 2011).
hibridisasi dengan probe yang terdiri dari molekul DNA untai tunggal berkomplemen
ke satu atau lebih nukleotida dari fragmen hasil restriksi, sehingga gambaran
(Fatchiyah, 2011).
Enzim endonuklease merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri dan mampu
memotong untaian DNA pada atau dekat dengan urutan nukleotida yang spesifik
70
untuk setiap jenis enzim. Urutan spesifik tersebut dikenal dengan nama situs
pengenalan atau situs restriksi. Situs pengenalan biasanya antara empat atau enam
memotong DNA hanya jika ada situs pengenalannya, maka enzim ini banyak
digunakan untuk mendeteksi adanya polimorfisme urutan DNA pada tempat tertentu
dengan melihat terjadi atau tidaknya pemotongan oleh enzim restriksi (Micklos,
1989).
RFLP merupakan metode yang mempunyai akurasi yang tinggi dan mudah
ditransfer antar laboratorium. Selain itu, RFLP jauh lebih sederhana, murah dan cepat
(Fatchiyah, 2011).
kemurnian tinggi dalam jumlah banyak, (2) tidak mungkin dilakukan otomatisasi, (3)
pada beberapa spesies mempunyai level polimorfisme yang rendah, (4) sedikit lokus
yang terdeteksi, (5) memerlukan pustaka probe yang sesuai, (6) membutuhkan waktu
yang banyak, dan (7) membutuhkan biaya yang besar (Fatchiyah, 2011).
71
Tabel 10. Beberapa penelitian yang menghubungkan polimorfisme gen AHSG, kadar fetuin dan mortalitas pasien
dialisis
Low fetuin-A levels are Stenvink Swedia Pasien HD Cohort - Pasien dengan alel AHSG
malnutrisi, inflamasi
Serum AHSG Levels in o et al,. (kaukasia) lama control tidak berhubungan dengan
Patients
72
factor in dialysis patients or et al., (kaukasia) & PD baru memiliki pengaruh yg lemah
berpengaruh terhadap
Novel Markers for al., PGK tetapi control tidak berhubungan dengan
ROS
IL-6
Demineralisasi
GEN
Hepatosit
Kalsium
↓↓
Ca. Fospat FETUIN A
Kalsifikasi Vaskular
Aterosklerosis
Mortalitas
74
Keterangan:
: menaikkan
: menurunkan
: mengaktivasi
Gagal ginjal adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang
Penurunan fungsi ginjal pada PGK akan disertai peningkatan kadar fosfat di
Pada pasien PGK dan diálisis juga terjadi peningkatan stres oksidatif dan
2010; Fontanet and Lavin, 2011). Salah satunya adalah jalur NfKẞ, dimana jalur ini
akan memicu inflamasi dan fibrogenesis melalui pelepasan sitokin pro inflamasi (…).
75
kedudukan variabel bebas yang diteliti tidak sama. Pada kerangka konsep etiologik,
variabel bebas terdiri dari variabel utama dan variabel perancu berupa konfounder
atau interaksi. Tujuan kerangka konsep etiologik adalah untuk memperoleh hubungan
yang murni antara variabel bebas utama dengan variabel terikatnya (Dahlan, 2012).
-Data Klinis
1. Inflamasi (IL-6)
2. Produk Ca.PO4
3. Status gizi (IMT)
4. Penyakit ginjal primer
5. Albumin
-Data demografi
1. Usia memulai HD
2. Lama HD
(var. perancu)
pengaruh tambahan
76
gen AHSG terhadap mortalitas akibat penyakit kardiovaskular dan lama harapan
pada gen AHSG akan menurunkan kadar Fetuin-A, sehingga fungsinya sebagai
melalui inflamasi, sehingga lama harapan hidup pasien HD kronik menjadi lebih
singkat.
Fetuin-A dan mortalitas serta lama harapan hidup pasien HD kronik juga dipengaruhi
oleh faktor lain. Untuk mengontrol variabel yang berpotensi sebagai perancu terhadap
kadar fetuin-A dan lama harapan hidup pada pasien HD kronik dilakukan analisis
multivariat.
kronik di Indonesia.
Indonesia.
HD kronik di Indonesia.
Indonesia.
78
BAB III
METODE PENELITIAN
kesintasan ini dipilih oleh karena penelitian ini bertujuan menentukan lama harapan
hidup pasien HD kronik, sehingga hal yang terpenting dalam penelitian ini adalah
kapan terjadinya event, bukan terjadinya event atau tidak (Dahlan, 2009). Pada
lebih dari satu kali yaitu semenjak subjek menjalani HD pertama kali (data dari rekam
medik) kemudian diikuti sampai penelitian dihentikan pada waktu yang ditentukan
Penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
data diambil secara retrospektif dari rekam medik, yaitu data dari pasien yang telah
menjalani HD minimal selama 27 bulan. Tahap kedua adalah data diambil secara
sampai tercapainya median survival. Lama penelitian 30 bulan ini ditetapkan karena
Indonesia adalah 24 bulan (Muzasti et al, 2011). Oleh karena harapan hidup pasien
HD kronik semakin baik maka diasumsikan median survival pada penelitian ini lebih
79
lama yaitu 30 bulan. Penelitian ini direncanakan dilakukan di beberapa lokasi antara
lain:
3.3.1. Populasi
1. Populasi target
2. Populasi terjangkau
Medan.
80
1. Sampel
Pada penelitian ini tidak tersedia sampling frame karena subjek penelitian
adalah pasien HD kronik yang telah menjalani HD dengan kurun waktu yang
teknik pemilihan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling yaitu
1. Kriteria penerimaan
secara
81
(informed consent).
2. Kriteria penolakan
rumus besar sampel pada penelitian kesintasan. Pada penelitian ini rumus
yang digunakan adalah rumus yang ke empat karena rekrutmen harus sudah
dihentikan pada waktu tertentu sehingga subjek diikuti hanya sampai waktu
(λ2 - λ1)2
Φ(λ1,2 ) = (λ1,2) 2
n = besar sampel
82
diketahui
TM2 = median survival kelompok yang sudah diketahui (Muzasti et al, 2011)
= 24 bulan
= 0,0008
= 0,001
= 110.7 ~ 111
83
Dari perhitungan besar sampel diatas, didapat besar sampel minimal 111 orang.
Glycoprotein (AHSG).
d. Variabel perancu yaitu data klinis (produk Ca.PO4, penyakit ginjal primer,
status inflamasi, IMT dan albumin) serta data demografi (usia memulai HD,
definisi, cara ukur, alat ukur, hasil ukur dan skala ukur.
84
Jenis Variabel Defenisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil ukur
variabel Ukur
pertama setelah
menjalani HD reguler
selama 3 bulan)
pengamatan
(terjadinya kematian
sampai dengan
85
penelitian di
hentikan).
Status Status pasien pada observasi Kuesioner Nominal 1. Event: jika pasien
0. Sensor: jika
saat penelitian
dihentikan atau
hilang dari
pengamatan
2. non kardio-
serebro-
variabel
Polimor Suatu bentuk variasi Pemeriksaan Mesin Esco Swift Nominal 1.Ada
86
terpotong dengan
mengalami
polimorfisme)
dikatakan
polimorfisme
SNP(+). Pada
gambaran
elektroforesis
87
(alel normal)
dikatakan
polimorfisme
gambaran
elektroforesis
dan 212 bp
negatif dan
88
kalsifikasi, dinilai
kadarnya di dalam
serum.
abdominalis lateral
1x menjalani HD pertama
menjalani HD,
89
menjalani HD sampai
penelitian dihentikan
pasien menjalani HD
Status Kondisi pasien yang di Mengukur kadar Alat Archi-tect numerik mg/dL
inflamasi nilai dari kadar IL-6. IL-6 dengan No. Katalog 6K26-
metode 30
Turbidimetri
(Abbott)
tubuh menurut rumus berat dan mengukur merek ... dan (≥ 23 kg/m2)
(<18,5 kg/m2)
Sistems, Produk
Bayer
HealthCare
Chemistry
Sistems, Produk
Bayer
91
HealthCare
Green (Abbott) 22
92
(1)
Memenuhi kriteria
Anamnesa & Rekam medik Pengambilan sampel darah Foto lateral abdomen
(3)
Follow up
(4)
Penelitian selesai/dihentikan
Analisa Data
93
Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU,
mengumpulkan data dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan rekam medik untuk
mendapatkan beberapa data yaitu jenis kelamin, tanggal lahir, BB, TB, usia
Sampel darah (whole blood) diambil pada pagi hari setelah pasien berpuasa
alkohol 70% dan dibiarkan kering, 5-10 menit sebelum proses HD dimulai. 2 ml whole
dibagi ke dalam 2 tabung eppendorf dengan dan tanpa EDTA untuk pemeriksaan
Pembacaan hasil dilakukan oleh satu orang dokter spesialis radiologi yang tidak
3.6.3. Follow up
yang didapatkan dan memastikan status pasien. Jika pasien meninggal harus
ditentukan tanggal dan penyebab kematian. Semua data selama follow up tercatat
dalam log book pasien yang dilakukan oleh tim tambahan setiap pasien menjalani HD
semua pasien selesai, namun jika median survival telah tercapai (50% pasien telah
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahap sebagai berikut:
3.7.1. Editing
3.7.2. Coding
3.7.3. Entry
Data yang telah diedit dan diberi kode dimasukkan ke dalam program
komputer.
menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data. Salah satu cara yang
menilai kelogisannya.
Statistical Product and Science Service (SPSS). Analisis data dilakukan dalam 3
variabel yang diteliti baik variabel dependen, variabel independen maupun variabel
antara. Analisis ini menggunakan ukuran sentral (mean, median atau proporsi) dan
96
ukuran variasi sebarannya (standar deviasi atau kisaran). Untuk menilai distribusi data
numerik digunakan uji Kolmogorov-Smirnov satu sampel. Bila nilai p<0.05, maka
sebaran distribusi data termasuk tidak normal, bila nilai p>0.05, maka sebaran
distribusi data termasuk normal. Variabel yang terdistribusi normal dinyatakan sebagai
mean ± SD, sedangkan variabel yang tidak terdistribusi normal dinyatakan sebagai
antara variabel independen dan variabel dependen, variabel independen dan variabel
hazard (PH) pada uji kesintasan. Jika hubungan variabel dengan lama harapan hidup
beda rerata yang digunakan tergantung pada kelompok kategoriknya. Oleh karena
kelompok maka digunakan Uji T independen jika data numeriknya (kadar fetuin-A)
berdistribusi normal atau uji U Mann whitney jika data numeriknya tidak berdistribusi
97
normal. Namun apabila kedua variabel merupakan variabel kategorik digunakan uji
Chi Kuadrat atau uji fischer bila tidak memenuhi kriteria uji Chi Kuadrat.
jika nilai p<0,05 dan nilai confidence interval (CI) adalah 95%, dengan CI tidak ada
angka 1 pada perbandingan proporsi atau angka 0 pada perbedaan rerata. Untuk
maka dilihat nilai Rasio Prevalens (RP). Bila nilai RP = 1 artinya tidak ada hubungan
antara variabel independen mayor/minor dengan variabel dependen. Jika nilai RP < 1
dependen dan jika nilai RP > 1 artinya variabel independen mayor/minor merupakan
antara banyak variabel bebas dengan satu variabel tergantung. Dalam analisis ini,
dapat diketahui variabel yang paling besar pengaruhnya, bentuk hubungan antar
yang masuk analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat
mempunyai nilai p<0.25. Selain itu, variabel yang tidak memenuhi asumsi PH tetapi
memprediksi kemungkinan suatu subjek bisa bertahan hidup pada suatu waktu
pada waktu tertentu (hazard function). Bila semua variabel yang masuk pada analisis
ini memenuhi asumsi PH maka digunakan analisis time independen cox regression.
Apabila terdapat variabel yang tidak memenuhi asumsi PH maka dilakukan analisis
cox regression full model atau cox regression reduced model. Setelah menyelesaikan
Y = β1X1+ β2X2+…..+βnXn
Y = β1X1+ β2X2+…..+βnXn
Untuk memperoleh persetujuan etik dari Komisi Etika Penelitian Kesehatan FK USU,
sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu harus membuat lembar
penjelasan yang jujur dan terbuka tentang prosedur, tujuan, keuntungan dan kerugian yang
dapat terjadi selama penelitian berlangsung. Selain itu dijelaskan juga bahwa segala
pembiayaan adalah tanggung jawab peneliti dan tidak membebani pasien. Apabila pasien
1. Self Determination
Dalam penelitian ini responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah akan ikut
berpartisipasi atau tidak. Responden juga diberi kebebasan untuk mengundurkan diri
2. Informed Consent
informasi tentang tujuan penelitian dan manfaatnya, kemudian responden yang bersedia
untuk ikut serta dalam penelitian ini diminta untuk menandatangani lembar persetujuan
subjek penelitian.
3. Privacy
Semua informasi pasien yang diperoleh selama penelitian dijamin kerahasiaannya dan
Lembar pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kode responden, sehingga
informasi yang didapatkan dalam penelitian hanya digunakan untuk keperluan analisis
selama penelitian responden merasa tidak aman dan tidak nyaman, maka responden
dalam penelitian.
101
DAFTAR PUSTAKA
Beddhu S, Pappas LM, Ramkumar N, Samore M. 2003. Effects of body size and body
doi:10.1016/j.clinbiochem.2009.03.021
Block GA, Klassen PS, Lazarus JM, et al. 2004. Mineral metabolism, mortality, and
Caglar K, Yilmaz MI, Saglam M, Cakir E, Kilic S, Eyileten T, et al. 2007. Endothelial
Transplantation; 83(4):392–397.
Caglar K, Yilmaz MI, Saglam M, Cakir E, Kilic S, Eyileten T, et al. 2008. Short-Term
113.
52(2):150–156.
Coresh J, Selvin E, Stevens LA, et al. 2007. Prevalence of chronic kidney disease in the
United States. JAMA.;298(17):2038-2047
Cozzolino M, Galassi A, Biondi ML, Butti A, Russo M, Longhini C, et al. 2007. Decreased
Transplant;22(1):290–291.
10.1159/000111827
Cheung AK, Sarnak MJ, Yan G, et al. 2004. Cardiac diseases in maintenance hemodialysis
Chung SH, Lindholm B, Lee HB. 2000. Influence of initial nutritional status on continuous
Dahlan, M.S. 2009. Evidence Based Medicine Seri 2: Besar Sampel dan Cara Pengambilan
Medika.
Dahlan, M.S. 2010. Evidence Based Medicine Seri 3: Langkah-langkah membuat proposal
Dahlan, M.S. 2010. Evidence Based Medicine Seri 7: Mendiagnosis dan Menata Laksana
Seto.
Dahlan, M.S. 2011. Evidence Based Medicine Seri 1: Statistik untuk Kedokteran dan
Dahlan, MS., 2009. Evidence Based Medicine Seri 4: Analisis Survival. Edisi 1. Jakarta:
Sagung Seto.
Dahlan, M.S. 2010. Evidence Based Medicine Seri 6: Membaca dan Menelaah Jurnal Uji
de Mutsert R, Snijder MB, van der Sman-de Beer F, et al. 2007. Association between body
mass index and mortality is similar in the hemodialysis population and the
Nephrol; 18:967.
Döring Y, Zechner U, Roos C et al. 2010. Accelerated Evolution of Fetuin-A (FETUA, also
Dwyer JT, Larive B, Leung J, et al. 2005. Are nutritional status indicators associated with
Eisenstein EL, Sun JL, Anstrom KJ, et al. 2009. Do income level and race influence
Ford ML, Tomlinson LA, Smith ER et al. 2010. Fetuin-A is an independent determinant of
change of aortic stiffness over 1 year in non-diabetic patients with CKD stages 3
13341.
Hermans MMH, Brandenburg V, Ketteler M et al. 2006. Study on the relationship of serum
Transplant;21 (5);1293-1299
Hermans MMH, Brandenburg V, Ketteler M, Kooman JP, Sande FMVD, Boeschoten EW,
Leunissen KML, Krediet RT, Dekker FW. 2007. Association of Serum Fetuin-A
doi:10.1038/sj.ki.5002178
Hermans MM, Kooman JP, Brandenburg V, Ketteler M, Damoiseaux JG, Cohen Tervaert
Kidney Dis;47(1):139–148.
106
Indonesian Renal Registry . 2011. 3rd Report of Indonesian Renal Registry 2010. Bandung.
Ix JH, Chertow GM, Shlipak MG, Brandenburg VM, Ketteler M, Whooley MA. 2006.
Fetuin-A and kidney function in persons with coronary artery disease: Data from
the Heart and Soul Study. Nephrol Dial Transplant; 21: 2144–2151.
Johansen KL, Young B, Kaysen GA, Chertow GM. 2004. Association of body size with
Jung HH, Kim SW, Han H. 2006. Inflammation, mineral metabolism and progressive
Transplant; 21(7):1915–1920.
Jung JY, Hwang YH, Lee H et al. 2010. Association of AHSG Gene Polymorphisms and
10.1159/000309789
Kakiya R, Shoji T, Tsujimoto Y et al. 2006. Body fat mass and lean mass as predictors of
Kazama JJ. 2007. What does the circulating AHSG/fetuin-A level tell us? Clin Exp
10.1007/s10157-005-0385-4
Kovesdy CP, Regidor DL, Mehrotra R et al. 2007. Serum and dialysate potassium
2:999.
Leavey SF, McCullough K, Hecking E et al. 2001. Body mass index and mortality in
Transplant; 16:2386.
Mailloux LU, Henrich WL. 2011. Patient survival and maintenance dialysis. Up ToDate.
Version 19.1.
Marshall MR, Byrne BG, Kerr PG, McDonald SP. 2006. Associations of hemodialysis dose
and session length with mortality risk in Australian and New Zealand patients.
Mehrotra R. 2007. Emerging role for fetuin-A as contributor to morbidity and mortality in
doi:10.1038/sj.ki.5002355
3364.
Metry G, Stenvinkel P, Qureshi AR et al. 2008 Low serum fetuin-A concentration predicts
2362.2008.02032.x
109
Micklos, D.A., Freyer, G.A., Crotty, D.A. 1989. A laboratory introduction to DNA
Moe SM, Reslerova M, Ketteler M et al. 2005. Role of calcification inhibitors in the
Int;67(6);2295-2304.
Moe SM, Chen NX. 2008. Mechanisms of Vascular Calcification in Chronic Kidney
Muzasti RA, Wahyuni AS, Lubis AR R, Lubis HR. 2011. Phase Angle as Predictor of
National Kidney Foundation. 2002. KDOQI clinical practice guidelines for cardiovascular
National Kidney Foundation. 2002. KDOQI clinical practice guidelines for cardiovascular
in children
Noordzij M, Korevaar JC, Boeschoten EW et al. 2005. The Kidney Disease Outcomes
Noordzij M, Korevaar JC, Bos WJ et al. 2006. Mineral metabolism and cardiovascular
coronary and carotid arteriopathy in young adults with childhood onset chronic
a negative acute phase protein, attenuates TNF synthesis and the innate
Osawa, M., et al. 2001. Haplotype analysis of the human alpha2-HS glycoprotein (fetuin)
O'Seaghdha CM, Foley RN. 2005. Septicemia, access, cardiovascular disease, and death in
Porażko T, Kuźniar J, Kusztal M, et al. 2009. Increased Aortic Wall Stiffness Associated
Pillon L, Piccoli A, Lowrie EG, et al. 2004. Vector length as a proxy for the adequacy of
Price PA, Williamson MK, Nguyen TM, Than TN. 2004. Serum levels of the fetuin-
mineral complex correlate with artery calcification in the rat. J Biol Chem;
279(3):1594–1600.
Qunibi W. 2007. Cardiovascular disease in patients with chronic and end stage renal
Rahardjo P, Susalit E, Suharjono. 2009. Hemodialisis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Edisi V. Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing: 1050-2
Ramkumar N, Pappas LM, Beddhu S. 2005. Effect of body size and body composition on
et al. 2005. Multifunctional roles for serum protein fetuin-a in inhibition of human
Robinson BM, Joffe MM, Pisoni RL, et al. 2006. Revisiting survival differences by race
and ethnicity among hemodialysis patients: the Dialysis Outcomes and Practice
Roos M, Richarrt T, Kouznetsova T, et al. 2009. Fetuin-A and arterial stiffness in patients
158.
Saiki, RK. 1989. The design and optimization of the PCR. In PCR Tecnology: Principle
Salahudeen AK. 2003. Obesity and survival on dialysis. Am J Kidney Dis; 41:925
Saran R, Bragg-Gresham JL, Levin NW, et al. 2006. Longer treatment time and slower
Sastroasmoro, S, Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. 4th ed.
Satko SG, Freedman BI, Moossavi S. 2005. Genetic factors in endstage renal disease.
Schoppet M, Shroff RC, Hofbauer LC, Shanahan CM. 2008. Exploring the biology of
International;73:384–390; doi:10.1038/sj.ki.5002696
Slinin Y, Foley RN, Collins AJ. Calcium, phosphorus, parathyroid hormone, and
Stack AG, Murthy BV, Molony DA. 2004. Survival differences between peritoneal dialysis
and hemodialysis among "large" ESRD patients in the United States. Kidney Int;
65:2398.
important factors in the altered cytokine network of end-stage renal disease – the
good, the bad and the ugly. Kidney Int; 67: 1216–33
Stenvinkel P, Wang K, Qureshi A.R, et al. 2005. Low fetuin-A levels are associated with
International;67: 2383–92
114
Disease Patient: How Do New Pieces Fit into the Uremic Puzzle? Clin J Am Soc
association between coronary artery calcification score, lipid profile, and selected
kidney disease. Advances in clinical chemistry. In: Makowsky GS, ed. USA.
Elsevier Inc:223-239
Suwitra, K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Dalam:
InternaPublishing: 1035-7
Tanna MM, Vonesh EF, Korbet SM. 2000. Patient survival among incident peritoneal
36:1175.
Tentori F, Blayney MJ, Albert JM, et al. 2008. Mortality risk for dialysis patients with
different levels of serum calcium, phosphorus, and PTH: the Dialysis Outcomes
United States Renal Data System. 2010. Excerpts from the USRDS 2009 annual data
report: Atlas of end-stage renal disease in the United States. Am J Kidney Dis;
1(Suppl 1):S1.
U.S. Renal Data System. 2005. Annual Data Report: Atlas of End Stage Renal Disease in
the United States, Section I. Patient survival. Bethesda. MD: National Institutes
Diseases;:575-652.
USRDS. 2010. Volume one: Atlas of chronic kidney disease in the United States.
In: United States Renal Data System 2010 Annual Data Report. Bethesda, MD:
Kidney Diseases;1-187
http://www.usrds.org/2011/view/v2_01.asp
Unruh ML, Evans IV, Fink NE, et al. 2005. Skipped treatments, markers of nutritional
Dis; 46:1107.
Verduijn M, Prein RA, Stevinkel P et al. 2010. Is fetuin-A a mortality risk factor in dialysis
Wang AY, Woo J, Lam CW, Wang M, Chan IH, Gao P, Lui SF, Li PKT, Sanderson JE.
Yang W, Israni RK, Brunelli SM, et al. 2007. Hemoglobin variability and mortality in
Young EW, Albert JM, Satayathum S, et al. 2005. Predictors and consequences of altered
mineral metabolism: the Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study. Kidney
Int; 67:1179.
Yuwono, T., 2005. Replikasi bahan genetik. Dalam: Yuwono, T. Biologi Molekuler.
Zeidan MA, Shahara GM, Suliman HS, et al. 2012. Visfatin and Fetuin-A: Novel Markers
Lampiran 1.
Saya Dr. Riri Andri Muzasti, M.Ked (PD), Sp.PD, sedang menjalani pendidikan
Program Doktor (S3) Ilmu Kedokteran di Program Pascasarjana FK USU. Saya sedang
melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Polimorfisme Thr256Ser pada Gen α-2
Kronik”. Penelitian ini menganalisa pengaruh suatu gen terhadap lama harapan hidup
hidup pasien HD, diantaranya adalah gen atau faktor keturunan. Salah satu gen atau faktor
(AHSG). Adanya variasi (polimorfisme) pada Thr256Ser gen AHSG ini akan mengganggu
produksi suatu protein yaitu Fetuin A; yang fungsinya menghambat proses pengapuran
kematian pada pasien HD akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Jadi penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui apakah ada pengaruh variasi pada Thr256Ser gen AHSG
terhadap lama harapan hidup pasien HD kronik di Indonesia, melalui penurunan produksi
Fetuin A.
Adapun manfaat dari penelitian ini nantinya akan diketahui siapa yang lebih lama
bertahan hidup dan siapa yang tidak akibat variasi pada Thr256Ser gen AHSG tersebut.
118
Diharapkan selain untuk keilmuan dan penelitian juga sebagai masukan bagi praktisi
penatalaksanaan yang tepat dan optimal seperti rekayasa genetika dan pemberian Fetuin A
sebagai terapi pencegahan terjadinya pengapuran pembuluh darah yang merupakan salah
satu penyebab kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Apabila pengapuran
pembuluh darah ini dapat dicegah, maka kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh
darah diharapkan dapat juga dicegah, sehingga lama harapan pasien HD dapat
ditingkatkan.
Adapun prosedur penelitian yang bapak/ibu/sdra/sdri akan ikuti dalam penelitian ini
yaitu:
demografi seperti usia memulai HD, serta melakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui
kondisi fisik secara umum dan mengukur tinggi badan serta berat badan. Selain itu kami
juga akan melakukan pengambilan darah dengan jarum suntik sebanyak 10 cc ( 1 jarum
suntik penuh) untuk mengetahui variasi gen AHSG, nilai Fetuin-A dan beberapa parameter
samping yaitu terjadinya robek pembuluh darah sehingga disekitar tempat suntikan akan
membengkak, maka peneliti wajib memberikan pengobatan yaitu dengan cara menekan dan
mengkompres dengan kain kasa yang diberikan air dingin atau alkohol 70%. Setelah itu
belum. Selanjutnya perkembangan kesehatan bapak/ibu/sdra/sdri akan kami tanya dan catat
setiap kali menjalani HD dan melalui telp bilamana bapak/ibu/sdra/sdri tidak datang untuk
menjalani HD.
yang ada dalam penelitian ini akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan
maka dapat menghubungi saya: Dr. Riri Andri Muzasti, M.Ked (PD), Sp.PD (HP.
081260556872)
Medan, 2017
Peneliti
Lampiran 2.
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Telp/HP :
Setelah mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya dari peneliti tentang manfaat dan
resiko yang mungkin terjadi dari penelitian “Pengaruh Polimorfisme Thr256Ser Pada
Gen α-2 Heremans Schmid Glycoprotein Terhadap Lama Harapan Hidup Pasien
bersedia secara sukarela dan tanpa paksaan untuk ikut serta dalam penelitian ini dan patuh
akan ketentuan-ketentuan yang dibuat peneliti. Jika sewaktu-waktu ingin berhenti, saya
berhak untuk tidak melanjutkan mengikuti penelitian ini tanpa ada sanksi apapun.
121
Demikian surat pernyataan bersedia ikut dalam penelitian ini saya buat untuk dapat
dipergunakan seperlunya.
Medan, 2017
Saksi Peserta
(…………………………..) (…………………………..)
122
No. ID:
I. Karakteristik pasien
Nama :
(2). Perempuan
Tanggal Lahir :
Alamat/HP/Telp :
T: 0
C
(2). Non DM
123
Kadar Fetuin-A : ( )
IL-6 : ( )
Kalsium : ( )
Fosfor : ( )
Albumin : ( )
(1). Ada
Kehadiran
Tekanan darah
124
pre/post
BB pre/post
kematian serebro-vaskular
Kehadiran
Tekanan darah
pre/post
BB pre/post
kematian serebro-vaskular
Kehadiran
125
Tekanan darah
pre/post
BB pre/post
kematian serebro-vaskular
memecah dinding sel dan membran inti yang disebut dengan homogenasi yaitu
penambahan bufer ekstraksi atau bufer lisis untuk mencegah DNA rusak. Proses
selanjutnya adalah pemisahan DNA dari komponen sel yang lain atau kontaminan yang
tidak diinginkan yaitu dengan sentrifugasi. Setelah itu dilanjutkan dengan presipitasi DNA,
dimana pada sampel darah dilakukan dengan salting-out yaitu supernatan dipisahkan dari
protein atau debris sel dengan pemberian larutan garam berkonsentrasi tinggi (Fatchiyah,
2011).
126
diperoleh dibantu oleh asisten laboratorium yang sudah tersertifikasi dibawah pengawasan
(PROMEGA)
3,854 g NH4COOH
4. Isopropanolol absolute
5. Ethanol 70%
mM Na2EDTA.2H2O pH 8,0
Alat : micro pipe, micro tube, mesin sentrifugasi biasa EBA 20, mesin
Prosedur : 1. Ambil 300 µl lapisan paling atas dari serum (untuk mendapatkan pellet
leukosit yang tampak sampai tidak ada yang mengalir (jangan di bolak
balik).
kali). Pellet yang berwarna putih menandakan adanya sel limfosit. Pellet
6. Vortex micro tube dengan kuat sampai endapan nuclei lepas dan
tersuspensi kembali.
10. Sentrifugasi micro tube dengan mesin sentrifugasi dingin pada suhu
baru.
isopropanol.
16. Sentrifugasi micro tube dengan mesin sentrifugasi dingin pada suhu
lapisan yang jernih habis dan tinggal endapan (jangan sampai pellet
terbuang).
18. Letakkan micro tube secara terbalik diatas kertas absorben dan
cahaya ultraviolet (UV) akan diserap oleh pita ganda DNA pada panjang gelombang sinar
UV 260 nm sedangkan kontaminan akan menyerap cahaya pada 280 nm sehingga terukur
nilai absorbansinya. Kemurnian DNA diukur dengan membagi nilai absorbansi 260 nm
dengan nilai absorbansi 260 nm, dimana nilai kemurnian DNA berkisar 1,8-2,0 (Fatchiyah,
2011).
130
Alat : nanospektrofotometer
Prosedur :
fragmen DNA adalah elektroforesis gel agarosa. Pada uji kualitatif dengan gel agarosa,
pita DNA atau bentuk struktur DNA. Makin pendek urutan basa DNA-nya maka
konsentrasi gelnya tinggi. Struktur DNA sirkuler lebih ringan dibanding DNA linear.
Prosedur ini dilakukan dengan prinsip kerja secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut. Sampel ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua
ujung gel tersebut diberi aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen
penyusun sampel akan bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan.
Kecepatan gerakan tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran
molekulnya. Makin besar ukuran molekul makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam
satuan waktu yang sama molekul berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih
Bahan : isolat DNA hasil ekstraksi, bubuk agarosa, pewarna etidium bromida (EtBr)
larutan EDTA.
131
Alat : piring cetakan agarosa yang dipasangi sisir pembuat sumuran sampel, GelDoc-
agarosa + EtBr pada piring cetakan yang telah dipasangi sisir pembuat
sumuran sampel.
3. Bila telah mengeras tuangkan buffer TBE sampai gel terendam. Masukkan
gel. Dalam satu baris sumur disertakan satu sumur untuk tempat DNA
penanda.
4. Pemeriksaan PCR-RFLP
2. Fordward Primer: 1 µl
3. Reverse Primer: 1 µl
Alat : micro pipe, micro tube, mesin sentrifugasi biasa EBA 20, mesin pendingin
Swift TM
Maxi Thermal Cycler, Esco Technologies, Inc)
rpm
yaitu:
(dalam freezer)
4.2. Elektroforesis
pemisahan dan purifikasi fragmen DNA. Reaksi PCR akan menghasilkan produk PCR
(amplicon) gen AHSG yang ditandai dengan adanya pita DNA berukuran 405 bp.
pada posisi Thr256Ser gen AHSG dilakukan pemotongan isolat DNA hasil amplifikasi
dengan menggunakan enzim restriksi SacI yang mempunyai situs pengenalan.... Nuleotida
G memunculkan situs pengenalan SacI............. sehingga DNA akan dipotong oleh enzim
restriksi SacI, tetapi urutannya menjadi .........sehingga enzim restriksi tidak mengenali dan
Alat : micro pipe, micro tube, mesin sentrifugasi biasa EBA 20, inkubator
1. water nuclease-free : 17 µl
Prosedur : 1. Campuran reaksi di sentrifugasi selama 1 menit dengan kecepatan 3500 rpm.
4.4. Elektroforesis
Prosedur yang sama dengan b.1.3 dilakukan kembali untuk identifikasi, pemisahan
dan purifikasi fragmen DNA. Alel C yang tidak mengandung bagian SacI ditunjukkan
dengan fragmen yang tidak terpotong (405 bp) sedangkan alel G ditunjukkan dengan
Bahan :
RD191037100)
Alat :
Prosedur :
a. Persiapan sampel
Sesaat sebelum sampel diperiksa, larutkan sampel dengan larutan buffer dengan
larutan yang diinginkan yaitu larutan 1:10000 (larutan B), kocok sampai homogen.
Catatan: Larutan di atas tidak boleh disimpan kembali atau digunakan ulang
b. Prosedur pemeriksaan
1. Siapkan reagen, larutan kalibrator, kontrol dan sampel yang sudah disiapkan.
2. Pipet 100 uL dari setiap konsentrasi kalibrator, kontrol, sampel larutan B dan buffer
3. Inkubasi di suhu ruang (26o C) selama 1 jam, kemudian digetarkan di 300 rpm dengan
4. Lakukan pencucian dengan larutan pencuci 3 kali (0.35 ml per well), kemudian
pencuci.
8. Tambahkan 100 uL larutan substrat, lindungi dari cahaya, tutup plate dengan
aluminium foil
9. Inkubasi 10 menit pada suhu ruang (jika inkubasi dilakukan pada suhu dibawah 20oC,
10. Kemudian akan terjadi perubahan warna, stop perubahan warna dengan
11. Diukur intensitas perubahan warna, dengan membaca absorbansi pada panjang
yaitu kalsium (Ca), fosfor (P), albumin dan IL-6 , seperti yang dijelaskan pada tabel definisi
operasional.
137
138
139