Agraria Materi Hak Tanah
Agraria Materi Hak Tanah
NPM : B1A019102
Kelas : B
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolo ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek
privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak,
yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak
untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau
mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga
penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain,
misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi
disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik
tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara
yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara
fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan
tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik
penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut
diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek
publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan orang atau badan hukum
tertentu sebgai pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu sebagai obyek dan
orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah Nasional, adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan
meliputi semua tanah yang adadalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama,
bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1
ayata (1)-(3) UUPA.
2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah, yang
hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung
unsur hukum publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan
sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya, Bangsa Indonesia
sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2
ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam pasal 2 ayat
(2) UUPA, adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
tanah (lihat pasal 10, 14, 15 UUPA).
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan tanah
(lihat pasal 7, 16, 17, 53 UUPA).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum
dan perbuatan –perbuatan hukum yang mengenai tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak bangsa.
Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik semata. Tujuan hak menguasai
dari negara atas tanah, yatitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang berdeka, berdaulat, adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat (3) UUPA).
3. Hak ulayat masyarakat Hukum adat.
Menurut pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah
kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah
tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu
b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut.
c. Masih adanya tatanam hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada
perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga negara asing, sekelompok orang
secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum
publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi 2,
yaitu:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya
sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk
menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada
tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan
dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan
menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk
Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak
Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah
Negara, HP Atas Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak
Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah
Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
A. Hak Milik
Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, 20 s/d 27, 50
ayat (1), 56 UUPA.
Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah. Turun temurun artinya Hak
Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya
meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang
memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat
dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah
dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik
atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada
hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain.
Subyek Hak Milik. Yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan
pelaksanaanya, adalah:
1. Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (lihat Pasal 9, 20 (1)
UUPA)
2. Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang
didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21
(2) UUPA, PP No.38/1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai
Hak Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan).
Terjadinya Hak Milik. Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana
disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:
1. Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat;
- Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
- Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
2. Hak Mili Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah;
- Pemberian hak baru (melalui permohonan)
- Peningkatan hak
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang;
- Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI
Hapusnya Hak Milik. Pasal 27 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak
Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara, yaitu;
1. Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
2. Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya.
3. Dicabut untuk kepentinga umum.
4. Tanahnya ditelantarkan.
5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik atas tanah.
6. Karena peralihan hak yang mengakibatkantanahnya berpindah kepada pihak lain yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.
Ketentuan umum. Ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan
HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara
dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau
peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal dan terjadinya HGU. Asal HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa
tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak ole4h
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU. Terjadinya
HGU dapat melalui penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang
(ketentuan konversi hak erpacht).
Luas HGU. Luas tanah HGU adalah untuk perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha.
Sedangkan untuk badan hukum luas minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih
(menurut UUPA). Ketentuan luas maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No.
40/1996 menyebutkan luas maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan
pertimbangan pejabat yang berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat
Keputusan Pemberian Hak seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil
BPN maksimal 200 Ha, di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU.HGU mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA).
Sedang menurut Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya
35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGU. Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan
perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah;
1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian
haknya.
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Ketentuan umum. Ketentuan menegnai Hak Guna Bangunan (HGB) disebutkan dalam Pasal
16 ayat (1) huruf c, 35 s/d 40, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 19 s/d 38 PP No. 40/1996).
Pengertian HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Subyek HGB. Yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA Jo. Pasal 19 PP No.
40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Asal atau obyek tanah HGB. HGB berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara,
tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain (lihat Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No.
40/1996).
Jangka waktu HGB. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, sbb:
1. HGB atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. HGB atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat
diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib
didaftarkan pada kantor BPN setempat.
Kewajiban pemegang HGB (lihat Pasal 30 dan Pasal 31 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga
kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada negara, pemegang Hak
Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HGB hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang
tanah yang terkuryng oleh tanah HGB.
D. Hak Pakai
Ketentuan umum. Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal 16 ayat 9!) huruf d, 41 s/d 43, 50 ayat
(2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat Pasal
41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
4. Badan-badan keagamaan dan sosial.
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Jangka waktu HP. Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (lihat Pasal 45 s/d
49 PP No. 40/1996) sbb:
1. HP atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan
dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh
Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan
sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan
waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat diperbarui
dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada
kantor BPN setempat.
Ketentuan umum. Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) disebutkan
dalam Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat(2) UUPA.
Pengertian HSUB adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar sejumlah
uang sewa tertentu dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan
pemegang HSUB (lihat Pasal 44 (1) UUPA). HSUB merupakan hak pakai yang mempunyai
sifat-sifat khusus. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-banguna yang berhubung
dengan pertanian (Lihat Pasal 10 (1)).