1
PREEKLAMPSI
I. Pengertian
Preeklampsi adalah penyakit yang diderita oleh bumil yang ditandai
dengan adanya hipertensi, oedema, dan proteinuri. Tetapi bumil tidak menunjukan
tanda-tanda kelainan hipertensi sebelum hamil (Rustam Mucthar, 1998). Di mana
gejala preeklampsi biasanya muncul setelah kehamilan berumur 28 minggu atau
lebih.
II. Etiologi
Secara pasti penyebab timbulnya gejala tersebut belum diketahui secara
pasti, teori yang digunakan oleh ilmuwan belum dapat menjawab beberapa hal
berikut :
1. Frekuensi bertambah banyak pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramion, dan mola hidatidosa.
2. Sebab bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan.
3. Sebab jarang terjadinya preeklampsi pada kehamilan-kehamilan
berikutnya.
4. Sebab timbulnya hipertensi, oedema, dan proteinuri.
2
Dari semua gejala tersebut, gejala awal yang muncul adalah hipertensi, di
mana untuk menegakkan diagnosa tersebut adalah yaitu kenaikan tekanan sistole
paling tidak naik hingga 30 mmHg atau lebih dibandingkan dengan tekanan darah
sebelumnya. Kenaikan diastolik 15 mmHg atau menjadi 90 mmHg atau lebih.
Untuk memastikan diagnosa tersebut harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah
minimal dua kali dengan jarak waktu 6 jam pada saat istirahat.
Oedema adalah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam
jaringan tubuh dan biasanya dapat diketahui dengan kenaikan BB yang berlebihan
serta pembengkakan kaki, jari tangan dan muka. Bila kenaikan BB lebih dari 1 Kg
setiap minggunya selama beberapa kali, maka perlu adanya kewaspadaan akan
timbulnya preeklampsi.
Proteinuri berarti konsentrasi protein dalam urin > 0, 3 gr/liter urin 24 jam
atau pemeriksaan kuantitatif menunjukkan + 1 atau + 2 atau 1 gr/liter atau lebih
dalam urine midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam.
Proteinuri timbul lebih lambat dari dua gejala sebelumnya, sehingga perlu
kewaspadaan jika muncul gejala tersebut.
III. Patofisiologi.
Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan terjadi
peningkatan hematokrit, di mana perubahan pokok pada preeklampsi yaitu
mengalami spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi hipertensi (suatu
usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifir agar oksigenasi jaringan
tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah menyebabkan perubahan –
perubahan ke organ ntara lain :
a. Otak.
Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan terjadi
oedema yang menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan pusing
dan CVA, serta kelainan visus pada mata.
b. Ginjal.
Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran darah ke
ginjal berkurang maka terjadi filtrasi glomerolus negatif, di mana filtrasi
natirum lewat glomelurus mengalami penurunan sampai dengan 50 % ari
normal yang mengakibatkan retensi garam dan air, sehingga terjadi oliguri
dan oedema.
c. URI
Di mana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan gangguan
plasenta maka akan terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang sehingga akan
3
terjadi gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, serta kematian janin
dalam kandungan.
d. Rahim
Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan
menyebabkan partus prematur.
e. Paru
Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru sehingga
oksigenasi terganggu dan cyanosis maka akan terjadi gangguan pola nafas.
Juga mengalami aspirasi paru / abses paru yang bisa menyebabkan
kematian.
f. Hepar
Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati, dan
perdarahan subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri epigastrium,
serta ikterus.
IV.Klasifikasi Preeklampsi :
a. Preeklampsi ringan ditandai :
- Tekanan darah sistol 140 atau kenaikan 30 mmHg dengan intrerval 6
jam pemeriksaan.
- Tekanan darah diastol 90 atau kenaikan 15 mmHg.
- BB naik lebih dari 1 Kg/minggu.
- Proteinuri 0, 3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif 1 – 2 pada setiap
urine kateter atau midstearh.
b. Preeklampsi berat ditandai :
- Tensi 160/110 mmHg atau lebih.
- Oliguri, urine, 400 cc/24 jam.
- Proteinuri > dari 3 gr/l.
- Keluhan subyektif : nyeri epigastrium, nyeri kepala, gangguan
penglihatan, gangguan kesadaran, oedema paru dan sianosis.
4
Walaupun kejadian preeklampsi lebih besar pada primigravida,
insidennya meningkat juga pada multipara kejadiannya hampir mendekati
30 %.
- Penyakit Hipertensi kronik.
- Penyakit Ginjal kronik.
- Hidramnion, gemmeli.
- Usia ibu lebih dari 35 tahun.
- Cenderung Genetik.
- Memiliki riwayat Preeklampsi.
- DM, insiden 50 %.
- Obesitas.
VI.Penanganannya.
a. Preeklampsi Ringan :
Jika kehamilan kurang 37 minggu dilakukan pemeriksaan 2 kali seminggu
secara rawat jalan :
Pantau tensi, proteinuri, reflek patela, dan kondisi janin.
Lebih banyak istirahat.
Diet biasa.
Tidak perlu obat-obatan.
b. Preeklampsi Berat :
Penangananya sama, kecuali persalinan harus berlangsung dalam 12 jam
setelah kejang.
VII. Pengkajian
a. Anamnese :
- Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkwinan, berapa
kali nikah, dan berapa lama.
- Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah
pernah melakukan ANC, terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing,
nyeri epigastrium, mual muntah, dan penglihatan kabur.
- Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal, HT,
paru.
- Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi atau
preeklampsi.
- Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita
penyakit jantung, ginjal, HT, dan gemmeli.
5
- Pola pemenuhan nutrisi.
- Pola istirahat.
- Psiko-sosial- spiritual :emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan.
b. Pemeriksaan fisik :
- Inspeksi : oedema, yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
- Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi oedema dengan
menekan bagian tertentu dari tubuh.
- Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal
distress, kelainan jantung, dan paru pada ibu.
- Perkusi : untuk mengetahui reflek patela sebagai syarat pemberian Mg
SO4.
- Pemeriksaan penunjang :
Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam.
Laboratorium : proteinuri dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0, 3 gr/lt atau + 1 sampai + 2 pada skala
kualitatif), kadar hematokrit menurun, berat jenis urine meningkat,
serum kreatinin meningkat, uric acid > 7 mg/100 ml.
USG : untuk medeteksi keadaan kehamilan, dan plasenta.
NST : untuk menilai kesejahteraan janin.
6
Diagnosa PER
Cemas sehubungan dengan Ketidaktahuan tentang penyakit dan
penanganannya.
Resiko tinggi terjadinya PEB.
7
KETUBAN PECAH DINI
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila
pembukaan pada premi < 3 cm dan pada multi para < 5 cm (Rustan M, 1998).
Biasanya terjadi + 7-12% dari kehamilan (Taber, Ben-zion 1994).
Apabila Ketuban pecah pada atau mendekati saat persalinan, persalinan
terjadi secara spontan dalam beberapa jam. Bila ketuban pecah dini dihubungkan
dengan kehamilan preterm. Ada resiko peningkatan morbiditas dan mortalitas
perinatal akibat imaturitas janin. Bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam, juga
terjadi resiko peningkatan infeksi intrauterin (Taber, Ben-zion 1994). Disamping
itu ketuban pecah dini disertai kelainan letak akan mempersulit pertolongan
persalinan.
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung karena
selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat berkurangnya jaringan ikat dan
vaskularisasi dan juga bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban
sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.
Anjuran mengenai penatalaksanaan dari kehamilan dengan komplikasi
ketuban pecah prematur tergantung pada umur kehamilan janin, tanda infeksi
intra uterin dan populasi kx, pada umumnya KT dengan ketuban pecah dan usia
kehamilan > 36 minggu sebelum 24 jam dari pecahnya ketuban maka
memperkecil resiko infeksi intra uterin. Dan persalinan diinduksi dengan
oksitosin selama presentasi janin adalah bagian kepala. Induksi gagal dilakukan
sectio cesaria.
8
HAEMORRHAGE POST PARTUM (HPP)
A. Pengertian
Post partum / puerperium adalah masa di mana tubuh menyesuaikan, baik fisik
maupun psikososial terhadap proses melahirkan. Dimulai segera setelah bersalin
sampai tubuh menyesuaikan secara sempurna dan kembali mendekati keadaan
sebelum hamil (6 minggu). Masa post partum dibagi dalam tiga tahap : Immediate
post partum dalam 24 jam pertama, Early post partum period (minggu pertama) dan
Late post partum period (minggu kedua sampai minggu ke enam). Potensial bahaya
yang sering terjadi adalah pada immediate dan early post partum period sedangkan
perubahan secara bertahap kebanyakan terjadi pada late post partum period. Bahaya
yang paling sering terjadi itu adalah perdarahan paska persalinan atau HPP. Menurut
Willams & Wilkins (1988) perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang
terjadi pada masa post partum yang lebih dari 500 cc segera setelah bayi lahir. Tetapi
menentukan jumlah perdarahan pada saat persalinan sulit karena bercampurnya darah
dengan air ketuban serta rembesan dikain pada alas tidur. POGI, tahun 2000
mendefinisikan perdarahan paska persalinan adalah perdarahan yang terjadi pada
masa post partum yang menyebabkan perubahan tanda vital seperti klien mengeluh
lemah, limbung, berkeringat dingin, dalam pemeriksaan fisik hiperpnea, sistolik < 90
mmHg, nadi > 100 x/menit dan kadar HB < 8 gr %.
B. Klasifikasi perdarahan.
Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah
perdarahan berlebihan (600 ml atau lebih) dari saluran genitalia yang
terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan.
Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah
perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska
persalinan.
C. Etiologi
Penyebab perdarahan dibagi dua sesuai dengan jenis perdarahan yaitu :
1. Penyebab perdarahan paska persalinan dini :
a. Perlukaan jalan lahir : ruptur uteri, robekan serviks, vagina dan perineum, luka
episiotomi.
b. Perdarahan pada tempat menempelnya plasenta karena : atonia uteri, retensi
plasenta, inversio uteri.
c. Gangguan mekanisme pembekuan darah.
9
d. Penyebab perdarahan paska persalinan terlambat biasanya disebabkan oleh
sisa plasenta atau bekuan darah, infeksi akibat retensi produk pembuangan
dalam uterus sehingga terjadi sub involusi uterus.
D. Faktor predisposisi
Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak
maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh karena itu
faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu persalinan :
1. Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti
dengan pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir
dan segera dilakukan penjahitan dengan benar.
2. Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi
dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta
pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.
3. Jumlah darah sedikit
Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat
hamil, pre eklampsia dan eklamsi.
4. Kelainan pembekuan darah
Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu
diantisipasi dengan hati-hati dan seksama.
E. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus,
akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang
banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska
persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan
servix, vagina dan perinium.
10
F. Gambaran klinik
Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan
sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda Penyulit Diagnosa penyebab
Uterus tidak Syok Atonia uteri
berkontraksi dan Bekuan darah pada
lembek serviks atau pada
Perdarahan segera posisi terlentang
setelah bayi lahir akan menghambat
aliran darah keluar
Darah segar mengalir Pucat Robekan
segera setelah anak Lemah jalan lahir
lahir Mengigil
Uterus berkontraksi
dan keras
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir Tali pusat putus Retensio
setelah 30 menit Inversio uteri plasenta
Perdarahan segera, Perdarahan lanjutan
uterus berkontraksi
dan keras
Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi Tertinggalnya
selaput tidak lengkap tetapi tinggi fundus sebagian
Perdarahan segera uteri tidak plasenta
berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok, Inversio uteri
Lumen vagina terisi pucat dan limbung
massa
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan
dengan masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
11
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik (keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan
uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL
dengan tetesan 40 tetes/menit).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan
jalan lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan
pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2. Penatalaksanaan khusus
a. Atonia uteri
Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian
uterotonika, lakukan pengurutan uterus
Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi
jalan lahir
Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus
melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua
belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat
kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan di
antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam
vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis
dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam
tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus
dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis,
penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut
arteri femoralis.
b. Retensio plasenta dengan separasi parsial
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan
tindakan yang akan diambil.
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila
ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan
12
40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per
rektal.
Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta secara hati-hati dan halus.
Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
Berikan antibiotik profilaksis (ampicilin 2 gr IV/oral +
metronidazole 1 g supp/oral)
c. Plasenta inkaserata
Tentukan diagnosis kerja
Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi
serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk
menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus
oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi
gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk
melahirkan plasenta.
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta
tampak jelas.
Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan
spekulum
Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta
tampak jelas.
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi
berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten
untuk memegang klem tersebut.
Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah
jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
d. Ruptur uteri
Berikan segera cairan isotonik (RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit
dan siapkan laparatomi
Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas
pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit
rujukan
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan
memungkinkan, lakukan operasi uterus
13
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien
mengkwatirkan lakukan histerektomi
Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi
e. Sisa plasenta
Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta
setelah dilahirkan
Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan
bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh
instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan
kuret.
Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari
selama 10 hari.
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan
sumber perdarahan
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis
demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga
ujung robekan
Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul
sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0
(deton/vierge) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan
klem dan jahit dengan benang no 2/0.
Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa
dengan benang yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur.
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan
sub kutikuler
Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika
untuk terapi.
g. Robekan serviks
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan
14
mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh
kepala bayi.
Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan
kanan porsio
Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi
lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan
dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga
semua robekan dapat dijahit
Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus
uteri dan perdarahan paska tindakan
Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-
tanda infeksi
Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb di
bawah 8 gr% berikan transfusi darah.
H. Pengkajian
1. Identitas : Sering terjadi pada ibu usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun
2. Keluhan utama : Perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar
keringat dingin, kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan : Riwayat hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida,
primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan
jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi
persalinan, manipulasi kala II dan III.
4. Riwayat kesehatan : Kelainan darah dan hipertensi
5. Pengkajian fisik :
Tanda vital :
Tekanan darah : Normal/turun (kurang dari 90-100 mmHg)
Nadi : Normal/meningkat (100-120 x/menit)
Pernafasan : Normal/ meningkat (28-34x/menit)
Suhu : Normal/ meningkat
Kesadaran : Normal / turun
Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil
memanjang
15
Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea (jumlah dan jenis)
Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang.
I. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan sehubungan dengan perdarahan pervaginam
2. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan perdarahan pervaginam
3. Cemas/ketakutan sehubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian
4. Potensial infeksi sehubungan dengan perdarahan
5. Potensial shock hipovolemik sehubungan dengan perdarahan.
16
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9. Berikan antibiotik
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada
subinvolusio
10. Berikan transfusi whole blood (bila perlu)
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
17
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak
diketahui
5. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang
tepat.
K. Intervensi Keperawatan
1. Resiko tinggi terjadinya trauma ibu sehubungan dengan penurunan perfusi organ
atau jaringan
Tujuan : Tidak terjadi trauma pada ibu
Intervensi :
Kaji tanda-tanda perubahan fungsi otak
R : Oedema selebral dan vasokontriksi dapat dievaluasi dari tanda subyektif, tingkah
laku dan gangguan retina
18
Kaji tingkat kesadaran klien
R : Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan sirkulasi otak
Kaji adanya tanda eklamsi (hiperaktif, reflek patella dalam, penurunan nadi dan
respirasi, nyeri epigastrium dan oliguri)
R : Oedema keseluruhan dan vasokontriksi merupakan manivestasi dan perubahan
pada SSP /otak, ginjal, jantung dan paru-paru yang mendahului status kejang
Intervensi :
Lakukan tes albuminuria pada setiap kunjungan atau setiap hari bila klien masuk
rumah sakit, perhatikan jika kadar albumin urine 2+ atau lebih
19
R : Nilai proteinuria ++ atau lebih sebagai indikasi adanya oedema glomerulus, atau
spasme yang dapat meningkatkan permeabilitas glomerulus
20
Anjurkan klien bedrest dengan posisi miring
R : Bedrest dapat meningkatkan cardiac output dan urine output, dan menurunkan
aktivitas kelenjar adrenal
3. Resiko tinggi terjadi trauma pada janin sehubungan dengan perubahan perfusi
plasenta
Tujuan : Tidak terjadi distress pada janin
Intevensi
Jelaskan tanda-tanda solusio plasenta (nyeri perut, perdarahan, rahim tegang, aktivitas
janin turun)
R : Klien tahu tanda dan gejala pre eklampsia dan tahu akibat hipoksia bagi janin
21
4. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit sehubungan dengan retensi air dan
garam
Tujuan : Keseimbangan cairan terjaga
Intervensi :
Timbang BB secara rutin
R : Peningkatan BB > 1 kb/minggu sebagai indikasi adanya retensi cairan abnormal
pada klien
L. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
Gas darah dalam batas normal
Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang
komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam
mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
Klien dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari
22
Klien tidak merasa nyeri
Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasil seminar kegawatan bumil dan neonatus dengan preeklampsi dan eklampsi,
2001. RSUD Dr Soetomo. Surabaya.
Manuaba, Ida Bagus Gede, 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit kandungan dan KB.
Jakarta : EGC.
Myles MF, Text Book For Midwive, Churchillivine Stone, London, 1998.
23