Anda di halaman 1dari 9

PROSES BELAJAR DALAM PENYULUHAN

(Tugas Responsi Teori Komunikasi dan Penyuluhan / Pemberdayaan Masyarakat)

oleh

Nur Afni Aprilia


2020021005

JURUSAN ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN / PEMBERDAYAAN


MASYARAKAT
FAKULTAS MULTIDISIPLIN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor atau alat penerangan dalam
keadaan yang gelap secara harfiah. Obor dalam konsep penyuluhan tersebut tetap
menyala sebagai penerangan beragam masalah masyarakat yang harus diselesaikan
sesuai potensi wilayah dan sumber daya manusianya. Penyuluhan pertanian adalah
sistem pendidikan di luar sekolah agar perilaku petani dan keluarganya dapat berubah
untuk bertani lebih baik, berusaha lebih menguntungkan, kehidupan lebih sejahtera,
bermasyarakat lebih baik, dan kelestarian lingkungan terjaga. Petani harus diajak
belajar tentang cara memelihara dan memanfaatkan sumber daya yang ada dan
lingungannya untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan (Bahua, 2015).

Menurut Bahua (2015), penyuluhan pertanian bukan hanya menyangkut proses


produksi, tetapi juga keperluan pertanian modern yang mencakup seluruh aspek
sistem agribisnis (produksi, pascapanen, pengolahan, pemasaran, penentuan harga,
dan lain-lain). Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan dukungan hasil-
hasil penelitian teknologi, sosial, dan ekonomi pertanian yang kuat untuk
menghindari stagnansi. Selain itu, peran dari lembaga perguruan tinggi dalam
melaksanakan kerjasama baik secara teori maupun praktik yang berguna bagi
kehidupan petani dan keluarganya. Oleh karena itu, penyuluhan pertanian adalah
proses pendidikan non formal untuk petani dan keluarganya dalam sistem pendidikan
orang dewasa. Program penyuluhan dikembangkan secara efektif dan efisien sesuai
dengan tingkat permasalahan yang dihadapi untuk perubahan perilaku petani agar
mau meninggalkan kebiasaan lamanya demi mencapai kesejahteraan.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan didefinisikan sebagai aktivitas penyebarluasan
informasi dan penjelasan sehingga mendorong proses perubahan perilaku. Perubahan
perilaku dapat dilaksanakan melalui beberapa cara, antara lain, pembujukan,
pemberian insentif/hadiah, atau bahkan melalui kegiatan-kegiatan pemaksaan (baik
melalui penciptaan kondisi lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi, maupun
pemaksaan melalui aturan dan ancaman-ancaman). Perubahan tersebut akan pudar
dalam waktu yang relatif singkat, ketika bujukan, hadiah, atau pemaksaan dihentikan
maka perubahan akan berhenti juga. Beda halnya dengan perubahan perilaku melalui
pendidikan, perubahan biasanya terjadi lebih lambat tetapi relatif bertahan lebih lama.
Hal ini hanya akan memudar ketika ada penggantu yang lebih unggul dan bermanfaat,
baik secara ekonomi maupun non-ekonomi (Hidayati, 2014).

1.2. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Memahami proses belajar dalam kegiatan penyuluhan pertanian.
2. Mengetahui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar.
II. ISI

Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran yang dilakukan terhadap orang


dewasa agar terjadi perubahan. Pandangan tentang orang dewasa bukan seperti gelas
kosong (tidak mengetahui apa-apa), melainkan segelas air (memiliki pengetahuan
dalam bentuk pengalaman). Proses belajar yang sebaiknya berlangsung dalam
penyuluhan pertanian adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran terjadi secara lateral, sebagai proses belajar bersama secara
partisipatif dan di dalamnya terjadi pertukaran (sharing) informasi,
pengetahuan, dan pengalaman. Proses sharing tersebut berlangsung antara
penyuluh dengan masyarakat yang menjadi penerima manfaat penyuluhan dan
juga antarpeserta penyuluhan;
2. Kedudukan penyuluh dan petani berada di posisi yang sejajar, dimulai dari
sikap dalam berkomunikasi, tempat duduk, saling menghargai, menghormati,
dan mempedulikan satu sama lain karena ada perasaan saling membutuhkan
dan mempunyai kepentingan bersama;
3. Penyuluh berperan sebagai fasilitator yang membantu proses belajar dalam
penyuluhan, misalnya sebagai moderator (pembawa acara), motivator
(pendorong dalam proses belajar), atau narasumber ketika terjadi hambatan
dalam proses belajar;
4. Memperhatikan karakteristik fisik dan emosional orang dewasa dalam kegiatan
penyuluhan. Pada umumnya orang dewasa mengalami penurunan kualitas
indera (penglihatan dan pendengaran) dan penalarannya. Selain itu, orang
dewasa biasanya lebih perasa dan merasa lebih berpengalaman sehingga mudah
tersinggung dan tidak mau digurui;
5. Materi penyuluhan yang diberikan harus sesuai kebutuhan yang dirasakan
petani, terutama yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan, masalah
yang ada, dan perubahan yang diperlukan. Oleh karena itu, inovasi yang
diharapkan terjadi melalui kegiatan penyuluhan harus berkaitan dengan
kebutuhan yang sedang dirasakan oleh petani;
6. Tempat dan waktu pelaksanaan penyuluhan sesuai kesepakatan masyarakat
tentang tempat dan waktu yang digunakan untuk kegiatan serupa. Tempat
penyuluhan tidak harus selalu di lahan usaha tani dan tidak harus menetap, bisa
berpindah-pindah disesuaikan dengan materi dan kesempatan. Sama halnya
dengan hari dan waktu pertemuan tidak harus tetap, yang penting ada kepastian
selang waktu, misalnya dua kali dalam sebulan;
7. Berhasil atau tidaknya proses belajar berfokus pada sejauh mana dialog (diskusi
dan sharing) yang terjadi antara penyuluh dan peserta kegiatan penyuluhan.
Hal ini sangat penting dan berkaitan dengan penggalian invovasi yang
ditawarkan dari luar, pengalaman, atau warisan generasi tua; inovasi yang
ditawarkan dapat diterima dan berhasil; serta perkembangan partisipasi
masyarakat dengan adanya rasa memiliki dan keinginan untuk mengamankan
keputusan yang telah disepakati bersama (Shantini, tanpa tahun).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan proses belajar yang
berlangsung dalam kegiatan penyuluhan, yaitu:
1. Proses belajar yang memungkinkan seluruh peserta kegiatan penyuluhan untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar bersama, tidak harus melalui sistem
sekolah;
2. Perkembangan semangat belajar secara berkelanjutan (rangsangan, dorongan,
dukungan, dan pendampingan secara terus-menerus);
3. Tempat dan waktu penyuluhan sesuai dengan kesepakatan antara penyuluh dan
peserta penyuluhan, penentuannya tidak boleh dilakukan secara sepihak;
4. Ketersediaan perlengkapan penyuluhan, sebaiknya alat bantu dan peraga berupa
contoh riil yang mudah ditemukan dan penggunaannya sesuai kondisi setempat;
5. Sumber materi penyuluhan tidak harus dari buku, tetapi dapat dari media masa
(koran, tabloid, majalah, laporan-laporan), radio, televisi, pertunjukan kesenian,
perjalanan, cerita rakyat, pesan-pesan dari para pendahulu, atau pengalaman
sehari-hari;
6. Materi tidak harus baru, dapat juga berupa cerita kuno atau praktik lama yang
telah pernah dilaksanakan namun sudah lama ditinggalkan;
7. Sumber bahan ajar dapat diperoleh dari siapa saja, tidak hanya berasal dari para
petinggi, orang-orang pintar, tokoh masyarakat, tetapi juga pihak-pihak yang
sering direndahkan;
8. Kebiasan untuk mengkaji bersama atau mengkritisi setiap inovasi harus
dikembangkan, hal ini berhubungan dengan peluang dan ancaman, keuntungan
yang diharapkan dan resiko yang akan ditanggung, serta kesesuaiannya dengan
kondisi masyarakat setempat;
9. Peranan fasilitator atau narasumber tidak selalu sebagai penentu, tetapi hanya
sebagai pemberi pertimbangan.

Beberapa faktor psikologis dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kondisi belajar


yang menguntungkan. Padmowihardjo (1994) dalam Gitosaputro dkk. (2012)
menyatakan bahwa faktor-faktor psikologis yang berpengaruh dalam proses belajar
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan belajar, sebagai penentu tindakan dan kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai hasilnya pada waktu tertentu;
2. Tingkat aspirasi, yaitu tercapainya sesuatu di masa depan yang menentukan
upaya-upaya pribadi seseorang untuk mewujudkan hal tersebut;
3. Pengetahuan tentang keberhasilan dan kegagalan yang berkaitan dengan tujuan
seseorang;
4. Bakat, yaitu faktor genetis yang tidak dapat dibuat atau ditolak oleh manusia
dan bersifat “given”. Seseorang yang berbakat dalam bidang yang dipelajari
akan terbantu efektivitas belajarnya;
5. Umur, biasanya kemampuan belajar anak-anak lebih baik daripada orang
dewasa, sehingga pembelajaran yang dilakukan ketika muda dapat dikatakan
tepat untuk memacu semangat dan peningkatan hasil belajar seseorang;
6. Pemahaman tentang hal yang dipelajari berkaitan dengan kemampuan berpikir
seseorang. Pemahaman timbul karena ada proses berpikir yang sistematis dan
jelas sehingga meningkatkan kualitas dan kuantitas pemikiran tersebut;
7. Kapasitas belajar menunjukkan kemampuan belajar melalui aktivitas seseorang
karena kapasitas belajar yang dimiliki setiap individu berbeda-beda.
III. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini adalah sebagai berikut:


1. Proses belajar dalam kegiatan penyuluhan pertanian adalah pembelajaran terjadi
secara lateral, kedudukan penyuluh dan petani berada di posisi yang sejajar,
penyuluh berperan sebagai fasilitator, memperhatikan karakteristik fisik dan
emosional petani, materi penyuluhan sesuai kebutuhan petani, tmpat dan waktu
pelaksanaan penyuluhan sesuai kesepakatan masyarakat, dan keberhasilan
proses belajar berfokus pada sejauh mana dialog yang terjadi antara penyuluh
dan penerima manfaat (petani).
2. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi proses belajar adalah tujuan
belajar, tingkat aspirasi, pengetahuan tentang keberhasilan dan kegagalan,
bakat, umur, pemahaman tentang hal yang dipelajari, dan kapasitas belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Bahua, M. I. 2015. Penyuluhan dan Pemberdayaan Petani Indonesia. Ideas


Publishing. Gorontalo.

Gitosaputro, S., Listiana, I., Gultom, D. T. 2012. Dasar-Dasar Penyuluhan dan


Komunikasi Pertanian. Anugrah Utama Raharja. Bandar Lampung.

Shantini, Y. Tanpa tahun. Jurnal Pendidikan Luar Sekolah.


http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/1973012820
05012-YANTI_SHANTINI/media_edit.pdf. Diakses pada 17 November 2020
pada pukul 07.25 WIB.

Anda mungkin juga menyukai