Anda di halaman 1dari 16

DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT

PENDAHULUAN
Perkembangan seks terdiri dari 2 komponen yaitu perkembangan fisik organ
seksual (internal dan eksternal) dan perkembangan psikoseksual. Perkembangan
fisik organ seksual meliputi sex determination dan sex differentiation pada organ
genital dan sistem hormonal, 1,2 sedangkan perkembangan psikoseksual meliputi
identitas gender seseorang, yang tampak dalam perilaku seseorang sehari-hari
dalam masyarakat umum serta orientasi seksual. 3,4

Penyimpangan dapat terjadi pada kedua komponen ini. Penyimpangan klinis


dari perkembangan seksual dikenal sebagai Disorders of sex development (DSDs).
Insidens DSD antara 1:4.500 hingga 1:5.000. 5 Definisi DSD adalah kelainan
perkembangan seks kongenital ditandai oleh perkembangan kromosomal, gonadal
dan anatomi seksual yang atipikal. 3,5-7
Pada DSD terjadi diskrepansi antara organ
genital interna dan eksterna.8 DSD menarik untuk ditangani, melihat manusia
seutuhnya tidak hanya sebatas memilih jenis kelamin namun bagaimana mencapai
identitas seksual yang optimal didukung dengan fungsi organ seksual dan
meminimalkan risiko pada fisik, psikis, mempertahankan fertilitas, memberi kualitas
dalam menikmati kehidupan seksual yang baik tanpa merasa dikucilkan dalam
masyarakat.5

FISIOLOGI PERKEMBANGAN SEKSUAL


Perkembangan fisik organ seksual meliputi determinasi seks (sex
determination) dan diferensiasi seks (sex differentiation) pada organ genital dan
sistem hormonal.1,2 Perkembangan seksual janin sejak awal sudah ditentukan oleh
genetik seks saat fertilisasi. Hal ini tergantung pada kromosom yang dibawa oleh
sperma, apakah kromosom X atau Y. Pada tahap ini, embrio mengalami tahap
determinasi seks (sex determination) yang akan menentukan janin memiliki

1
konfigurasi kromosom seks XX atau XY. Tahap selanjutnya adalah diferensiasi seks
(sex differentiation) yang merupakan proses respon sex-specific jaringan terhadap
hormon yang diproduksi oleh gonad yang telah terdiferensiasi menjadi laki-laki atau
perempuan.1,9 Rangkaian proses ini akan menyebabkan perkembangan saluran
genitalia interna dan eksterna serta menentukan fenotipe seks sebagai laki-laki atau
perempuan. Proses ini sempurna saat pubertas dengan adanya perkembangan dari
karakteristik seks sekunder.10

TAHAP DETERMINASI SEKSUAL1,9


Secara embriologis, gamet berasal dari jaringan primordial germ cells (PGCs)
yang dibentuk dalam epiblas pada janin berusia 2 minggu, kemudian bergerak ke
yolk sac. Selama minggu ke empat, sel-sel ini mulai bermigrasi dari yolk sac menuju
gonad yang sedang berkembang. Pada perjalanannya, sel-sel ini mengalami mitosis
dan meiosis serta diferensiasi untuk mencapai maturasi. Tiap sel memiliki 22
pasang kromosom autosom dan 1 pasang kromosom seks. Jika pasangan
kromosom seks terdiri atas XX, maka individu itu secara genetik adalah perempuan;
sedangkan jika pasangan kromosom seks terdiri atas XY, maka individu itu secara
genetik adalah laki-laki. Kromosom seks dari primordial germ cells (PGC) ini akan
menentukan perkembangan gonad bipotensial selanjutnya (Gambar 1)

Gambar 1 Pengaruh primordial germ cell terhadap gonad bipotensial9

Kunci dismorfisme seksual ada pada kromosom Y, yang mengandung gen


SRY (sex-determining region on Y). Gen ini akan memproduksi protein yang

2
merupakan protein faktor transkripsi yang menginisiasi kaskade pembentukan gen
selanjutnya yang menentukan terbentuknya organ seksual. Protein SRY itu adalah
testis-determining factor yang mempengaruhi pertumbuhan menjadi laki-laki; tanpa
protein dari gen ini, akan terjadi perkembangan menjadi perempuan.

TAHAP DIFERENSIASI SEKSUAL1,4,9


Perkembangan Gonad
Gonad janin merupakan gonad bipotensial hingga mencapai usia 7 minggu
kehidupan. Gonad muncul pertama kali sebagai sepasang parit longitudinal yang
disebut genital atau gonadal ridges. Mereka dibentuk oleh proliferasi epitel dan
mesenkim di bawahnya. Sel-sel gamet baru akan tampak dalam parit ini pada
minggu ke enam. Jika sel-sel gamet ini gagal bermigrasi ke parit, maka gonad tidak
akan terbentuk. Dengan demikian, sel-sel primordial germ cells (PGC) memiliki
peranan penting dalam perkembangan gonad menjadi ovarium atau testis.
Perkembangan gonad bipotensial selanjutnya dipengaruhi oleh kromosom seks.
SRY adalah gen kunci pada perkembangan testis dan berpengaruh langsung
terhadap bakal gonad. SRY juga mempengaruhi sintesa steroidogenesis factor 1
(SF1), yang menginduksi diferensiasi sel Sertoli dan sel Leydig melalui pengaruh
faktor transkripsi SOX9. Sel Sertoli akan memproduksi mullerian inhibiting
substance (MIS, juga disebut antimullerian hormone, AMH) yang menyebabkan
regresi duktus paramesonefron/ duktus mulleri. Sel Leydig memproduksi
testosteron, yang diubah dalam sel target menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α
reductase.
Diferensiasi seksual pada perempuan selama ini diketahui hanya karena
ketiadaan kromosom Y, namun ternyata ada gen spesifik yang menginduksi
perkembangan ovarium. Contohnya, DAX1 yang berlokasi pada lengan pendek
kromosom X, berperan menekan aktivitas SF1 sehingga akibatnya mencegah
diferensiasi sel Sertoli dan Leydig. Growth factor WNT4 juga berperan dalam
diferensiasi ovarium. Determinasi gonad dan diferensiasi seksual dapat dilihat pada
gambar 2.11

3
Gambar 2 Gen yang mempengaruhi determinasi dan diferensiasi seksual4

Perkembangan Organ Genital Interna


Selanjutnya dibawah pengaruh hormon, terjadi diferensiasi organ seksual
interna dan eksterna selanjutnya. Pada laki-laki, testosteron dan dihidrotestosteron
berikatan dengan reseptor protein spesifik intrasel, membentuk kompleks dengan
DNA untuk regulasi transkripsi gen spesifik jaringan lain serta produk protein
lainnya. Kompleks reseptor testosterone akan memediasi virilisasi duktus
mesonefron sedangkan kompleks reseptor dihidrotestosteron akan memodulasi
diferensiasi genitalia eksterna laki-laki. Sedangkan pada perempuan estrogen akan
menstimulasi duktus mulleri untuk membentuk tuba uteri, uterus, serviks dan vagina
bagian atas. Estrogen juga berperan dalam mempengaruhi genitalia eksterna
membentuk labia mayora, labia minora, klitoris, dan vagina bagian bawah.(Gambar
3)

4
Gambar 3 Pengaruh hormon seks terhadap diferensiasi seksual9

Pada minggu ke tujuh intrauterin, janin telah memiliki primordium saluran


genitalia baik laki-laki maupun perempuan. Duktus műlleri akan membentuk duktus
fallopi, uterus, serviks dan 1/3 vagina bagian atas. Duktus Wolfii akan berkembang
menjadi epididimis, vas deferens, dan vesikula seminalis di bawah pengaruh
androgen dan menjadi sistem vas deferens (vas deferen, vesikula seminalis dan
duktus ejakulatorius). Bagian anterior dari duktis Wolfii berhubungan dengan tubulus
seminiferus dan bagian posterior membentuk vas deferen, vesikula seminalis .11

Gambar 4. Perkembangan genitalia interna4

5
Perkembangan Organ Genital Eksterna
Pada usia 3 minggu, sel-sel mesenkim dari lipatan primitif bermigrasi ke
sekitar membran kloaka membentuk sepasang lipatan kloaka. Bagian kranial lipatan
ini bersatu membentuk tuberkel genital. Lipatan bagian kaudal terbagi atas 2 bagian
yaitu lipatan uretral di anterior dan lipatan anal di posterior. Dalam perkembangan,
tampak sepasang lipatan di kedua sisi lipatan uretral yang membentuk lipatan
genital sebagai bakal pembentuk skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada
perempuan. (Gambar 5)

Gambar 5. Stadium indiferen genitalia eksterna. A. Kira-kira 4 minggu. B. Kira-kira 6


minggu9

Perkembangan genitalia eksterna bipotensial sampai minggu ke-8 kehamilan.


Di bawah pengaruh hormon andogen yang dihasilkan testis yaitu testosteron dan
dihidrotestosteron (DHT) serta reseptor androgen normal (Ars), anak laki-laki akan
tervirilisasi menjadi pria. Dengan DHT, tuberkel genital akan berdiferensiasi menjadi
penis, dengan fusi slit urogenital untuk membentuk uretra, penis, dan dengan fusi
lipatan labioskrotal menjadi skrotum. 12 Pada anak perempuan, di bawah pengaruh
hormon estrogen, terbentuk genitalia eksterna perempuan. (Gambar 6)

6
Gambar 6 Perkembangan genitalia eksterna4

KLASIFIKASI DISORDERS OF SEX DEVELOPMENT

Secara garis besar, DSDs dibagi atas 2 kelompok berdasarkan tahap


perkembangan seksual:
1. Abnormalitas determinasi seksual, umumnya disebabkan abnormalitas
kromosom seks atau gen yang mempengaruhi gonadogenesis, dan
2. Kelainan pada diferensiasi seksual, yang umumnya disebabkan defek genetik
dan faktor lainnya selama janin dalam kandungan .
Saat ini, telah ditemukan beberapa gen yang juga berperan terhadap proses
determinasi dan diferensiasi seks tahap awal maupun lanjut yang mengakibatkan
penyimpangan fenotipe.1

Tabel 1. Mutasi gen yang berperan pada terjadinya Disorders of Sexual Development 1

7
Sebelumnya pengelompokkan beberapa kelainan gangguan perkembangan seks ini
menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Masculinized females (female
pseudohermaphroditism), Incompletely masculinized male (male
pseudohermaphroditism), dan true hermaphrodite. Sejak tahun 2006, European
Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) dan Lawson Wilkins Pediatrics
Endocrine Society (LWPES) telah mengeluarkan konsensus mengenai nomenklatur
baru dalam diagnosis DSD. Dalam konsensus ini, terdapat perubahan-perubahan
dalam penyebutan kelainan-kelainan DSD maupun klasifikasi dari DSD.
Konsensus ini telah mengganti istilah Female pseudohermaphroditism menjadi 46
XX DSD, male pseudohermaphroditism menjadi 46 XY DSD, sedangkan true
hermaphrodite menjadi Ovotesticular DSD.
Klasifikasi berdasarkan genotipe individu, DSD dapat dibagi atas 4 kategori: 5,8,13

a. 46, XX DSD (female pseudohermaphroditism)

8
b. 46, XY DSD (male pseudohermaphroditism)
c. True Gonadal DSD
d. DSD kompleks atau undetermined

46, XX DSD (female pseudohermaphroditism ).

Individu dengan kromosom XX, perempuan, memiliki ovarium namun genital


eksterna nampak seperti laki-laki. Ini disebabkan karena janin perempuan terpapar

9
oleh hormon laki-laki secara berlebih sebelum ia lahir. Labia mengalami fusi dan
klitoris membesar sehingga tampak seperti penis. Umumnya individu ini memiliki
uterus dan tuba Falopi yang normal. Keadaan ini juga disebut 46, XX dengan
virilisasi. Sebelumnya, kelainan DSD ini disebut dengan female
pseudohermaphroditism. Dari pemeriksaan fisik tampak pembesaran klitoris dan
gonad tidak teraba.

Beberapa kemungkinan etiologi 46, XX DSD:


 Congenital adrenal hyperplasia (etiologi
paling sering).
 Hormon laki-laki (seperti testosteron) yang
dikonsumsi ibu saat hamil.
 Tumor penghasil hormon laki-laki pada ibu,
paling sering pada tumor ovarium
 Defisiensi aromatase. Hal ini baru akan terdeteksi saat pubertas. Enzim
aromatase berperan dalam mengkonversi hormon laki-laki menjadi hormon
perempuan. Kelebihan enzim akan menyebabkan kelebihan estrogen sedangkan
defisiensi enzim ini menyebabkan 46, XX DSD. Saat pubertas, anak XX yang
sudah dibesarkan sebagai anak perempuan, akan mulai menunjukkan fenotipe
laki-laki.
Rekonstruksi yang dilakukan berupa genitoplasti feminisasi yang meliputi
clitoroplasti, labioplasti dan vaginoplasti.

10
46, XY DSD ( male pseudohermaphroditism).
Individu dengan kromosom XY/ laki-laki namun genital eksternanya tidak
terbentuk dengan sempurna, ambigus atau seperti genitalia perempuan. Secara
organ genital interna, testis dapat normal, mengalami malformasi atau vanishing
testis sindrome. Keadaan ini juga disebut 46, XY with undervirilization, dahulu
dikenal dengan istilah male pseudohermaphroditism. Manifestasi klinis anak lahir
dengan genetalia externa perempuan dan terdiagnosa saat pubertas, dimana
mengalami amenore primer atau saat operasi repair hernia inguinal ditemukan
testis, dengan kariotipe XY. Pemeriksaan radiologis dengan ultrasonografi tidak
ditemukan uterus dan ovarium di pelvis.
Beberapa etiologi 46, XY DSD:
 Masalah pada testis. Testis merupakan penghasil hormon laki-laki. Jika testis
tidak terbentuk/ berfungsi dengan baik, maka individu mengalami
undervirilization. Hal ini dapat disebabkan XY pure gonadal dysgenesis.
 Masalah pada pembentukan testosteron. Defisiensi enzim tertentu menyebabkan
kekurangan testosteron dan menyebabkan sindrom lain pada 46, XY DSD.
 Kegagalan dari sel leydig ( leydig cell failure ) , tidak respon pada hormone
human chorionic gonadotropin (hCG) dan LH.
 Syndrome persisten duktus mullerian
 Primary testicular failure ( vanishing testis syndrome )

11
 Efek hormone eksogen
 Masalah pada penggunaan testosterone dengan testis normal.
o Defisiensi 5-alpha-reductase. Individu dengan defisiensi 5-alpha-reductase
mengalami kekurangan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron
(DHT).
o Androgen insensitivity syndrome (AIS). Ini adalah etiologi 46, XY DSD paling
umum. Hormon pada AIS normal namun reseptor hormon tidak berfungsi
dengan baik. AIS juga disebut sebagai testicular feminization.
Manajemennya dengan pemberian hormonal replacement, gonadektomi karena
resiko terjadinya keganasan. Gonadektomi dilakukan saat pre atau post pubertas
masih controversial, kalau dilakukan sebelum pubertas diperlukan hormonal
replacement untuk perkembangan normal pubertas.

Ovo testicular DSD (True Gonadal DSD).


Pada kelainan ini, individu memiliki kedua jaringan ovarium maupun testis. Ini
mungkin terdapat pada satu gonad (ovotestis), atau seseorang dapat memiliki satu
ovarium dan satu testis. Individu ini mungkin memiliki kromosom XX, kromosom XY
atau keduanya. Genital eksterna dapat tampak ambigus, atau seperti laki-laki
maupun perempuan. Keadaan ini dulu dikenal dengan istilah true hermaphroditism.
Etiologi true gonadal DSD belum diketahui, namun pada beberapa studi terhadap
binatang, kemungkinan berhubungan dengan pestisida .

12
DSD kompleks atau undetermined.
Banyak konfigurasi kromosom di luar 46, XX atau 46, XY yang dapat menyebabkan
terjadinya DSD. Contoh DSD kompleks antara lain sindrom Turner 45, XO (hanya memiliki
kromosom X), dan sindrom Klinefelter (47, XXY), atau 47, XXX – dengan kromosom seks
ektra, baik kromosom X atau Y.

Tabel 2 Klasifikasi Disorders of Sexual Development 4

I. Disorders of Gonadal Differentiation


A. Seminiferous tubule dysgenesis (Klinefelter syndrome)
B. Syndrome of gonadal dysgenesis and its variants (Turner syndrome)
C. Complete and incomplete forms of XX and XY gonadal dysgenesis
D. True hermaphroditism
II. Female Pseudohermaphroditism
A. Androgen-induced
1. Congenital virilizing adrenal hyperplasia
2. CYP19 (P450arom) aromatase deficiency
3. Glucocorticoid receptor gene mutation
4. Androgens and synthetic progestagens transferred from maternal circulation
B. Other teratologic factors (non–androgen-induced) associated with malformations of intestine and
urinary tract

13
III. Male Pseudohermaphroditism
A. Testicular unresponsiveness to hCG and LH (Leydig cell agenesis or hypoplasia due to hCG/LH
receptor defect)
B. Inborn errors of testosterone biosynthesis
1. Enzyme deficits affecting synthesis of both corticosteroidsand testosterone (variants of
congenital adrenal hyperplasia)
a. StAR deficiency (congenital lipoid adrenal hyperplasia)
b. Side-chain (P450scc) cleavage deficiency heterozygote
c. 3_-Hydroxysteroid dehydrogenase/_4,5-isomerase type 2 (3_-HSD-2) deficiency
d. CYP17 (P450c17 [17_-hydroxylase/17,20 lyase]) deficiency
e. Smith-Lemli-Opitz syndrome: 7-dehydrocholesterol reductase deficiency
2. Enzyme defects primarily affecting testosterone biosynthesis by the testes
a. CYP17 (P450c17 [17,20 lyase]) deficiency
b. 17_-Hydroxysteroid dehydrogenase type 3 (17_-HSD 3) deficiency
C. Defects in androgen-dependent target tissues
1. End-organ resistance to androgenic hormones
a. Syndrome of complete androgen resistance and its variants (testicular feminization
and its variant forms)
b. Syndrome of incomplete androgen resistance and its variants (Reifenstein’s syndrome)
c. Androgen resistance in phenotypically normal males (infertile and fertile)
2. Defects in testosterone metabolism by peripheral tissues; 5_-reductase-2 (SRD5A2)
deficiency pseudovaginal perineoscrotal hypospadias
D. Dysgenetic male pseudohermaphroditism
1. XY gonadal dysgenesis (incomplete)
2. XO/XY mosaicism,structurally abnormal Y chromosome, SRY mutation
3. Denys-Drash syndrome (WT1 mutation)
4. Frasier syndrome (mutation of WT1 splice site junction mutation-deleting KTS)
5. WAGR syndrome (WT1 deletion)
6. Campomelic dysplasia (SOX9 mutation)
7. SFI mutation
8. DAX1 (duplication)
9. WNT4 (duplication)
10. 9p_ (DMRT1 deletion)
11. 10q_
12. ATRX syndrome (XH2 mutation)
13. Testicular regression syndrome
E. Defects in synthesis,secretion, or response to antimüllerian hormone: persistent müllerian duct
syndrome (female genital ducts in otherwise normal men; herniae uteri inguinale)
F. Maternal ingestion of progestagens
G. Environmental chemicals (endocrine disrupters)

14
IV. Unclassified Forms of Abnormal Sexual Development
A. In males
1. Hypospadias
2. Ambiguous external genitalia in XY males with multiple congenital anomalies
B. In females,absence or anomalous development of the vagina, uterus,and uterine tubes (Rokitansky-
Kuster syndrome)

Dengan pemahaman DSD yang begitu kompleks, diharapkan penatalaksanaan yang


cermat dan menyeluruh untuk seorang individu, baik dari aspek klinis maupun psikososial
untuk mencapai hasil yang optimal. Berikut bagan alur evaluasi bagi seorang anak dengan
DSD:

Gambar 8 Langkah diagnosis DSD pada bayi dan anak 4

Dibutuhkan kerjasama tim multidisipliner seperti endokrinologis anak, bedah anak,


ginekologi anak, konselor genetik hingga pekerja sosial agar dapat memberi penanganan
seutuhnya dan terbaik. 14,15

15
DAFTAR PUSTAKA

1. MacLaughlin DT, Donahoe PK. mechanisms of disease: Sex Determination and


Differentiation. n engl j med 350;4 www.nejm.org january 22, 2004
2. Achermann JC. Molecular and phenotypic features of disorders of sex development
(DSD) in humans. Endocrine Abstracts (2006) 12 S22
3. Houk CP, Hughes IA, Ahmed SF, Lee PA. Summary of Consensus Statement on
Intersex Disorders and Their Management Committee for the International Intersex
Consensus Conference Participants. Pediatrics 2006;118;753-757.
4. Grumbach MM, Hughes IA, Conte FA. Disorders of Sex Differentiation
5. Warne GL, Raza J. Disorders of sex development (DSDs), their presentation and
management in different cultures 2008 Rev Endocr Metab Disord. DOI
10.1007/s11154-008-9084-
6. Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA, Consensus statement on management of
intersex disorders. Pediatrics, 2006;118:e488-e500.
7. Koyama E. Frequently Asked Questions about the "DSD" Controversy. Diunduh
pada 11 Desember 2009. Tersedia dari
http://www.intersexinitiative.org/articles/dsdfaq.html
8. Kaneshiro NK, Intersex. Diunduh pada 11 Desember 2009. Tersedia dari
http://www.umm.edu/ency/article/001669.htm
9. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology edisi 9.
(http://connection.LWW.com/go/sadler)
10. Saenger PH. Physiology of sexual determination and differentiation. Dalam: Brook
CD, Hindmarsh PC. Clinical pediatric endocrinology. Edisi ke-4.2001; London:
Oxford. h. 60-72
11. Styane DM. Disorders of sexual differentiation dalam pediatric endocrinology. 2004.
Philadelphia; Lippincott williams & wilkins:. H.134-56

12. Misra M, Lee MM. Intersex disorder. Dalam: Moshang T. Pediatric Endocrinology.
2005; Philadelphia: Mosby. h.103-22.
13. Silbernagl S, Lang F, Color Atlas of Pathophysiology © 2000 New York: Thieme
2000. h 278-9.
14. Bahlburg M. Treatment guidelines for children with disorders of sex development.
Neuropsychiatrie de l’Enfance et de l’Adolescence 2008; 56:345-349.
15. SEX DEVELOPMENT IN CHILDHOOD. Consortium on the Management of
Disorders of Sex Development edisi pertama. Intersex Society of North America.
2006

16

Anda mungkin juga menyukai