PENDAHULUAN
Perkembangan seks terdiri dari 2 komponen yaitu perkembangan fisik organ
seksual (internal dan eksternal) dan perkembangan psikoseksual. Perkembangan
fisik organ seksual meliputi sex determination dan sex differentiation pada organ
genital dan sistem hormonal, 1,2 sedangkan perkembangan psikoseksual meliputi
identitas gender seseorang, yang tampak dalam perilaku seseorang sehari-hari
dalam masyarakat umum serta orientasi seksual. 3,4
1
konfigurasi kromosom seks XX atau XY. Tahap selanjutnya adalah diferensiasi seks
(sex differentiation) yang merupakan proses respon sex-specific jaringan terhadap
hormon yang diproduksi oleh gonad yang telah terdiferensiasi menjadi laki-laki atau
perempuan.1,9 Rangkaian proses ini akan menyebabkan perkembangan saluran
genitalia interna dan eksterna serta menentukan fenotipe seks sebagai laki-laki atau
perempuan. Proses ini sempurna saat pubertas dengan adanya perkembangan dari
karakteristik seks sekunder.10
2
merupakan protein faktor transkripsi yang menginisiasi kaskade pembentukan gen
selanjutnya yang menentukan terbentuknya organ seksual. Protein SRY itu adalah
testis-determining factor yang mempengaruhi pertumbuhan menjadi laki-laki; tanpa
protein dari gen ini, akan terjadi perkembangan menjadi perempuan.
3
Gambar 2 Gen yang mempengaruhi determinasi dan diferensiasi seksual4
4
Gambar 3 Pengaruh hormon seks terhadap diferensiasi seksual9
5
Perkembangan Organ Genital Eksterna
Pada usia 3 minggu, sel-sel mesenkim dari lipatan primitif bermigrasi ke
sekitar membran kloaka membentuk sepasang lipatan kloaka. Bagian kranial lipatan
ini bersatu membentuk tuberkel genital. Lipatan bagian kaudal terbagi atas 2 bagian
yaitu lipatan uretral di anterior dan lipatan anal di posterior. Dalam perkembangan,
tampak sepasang lipatan di kedua sisi lipatan uretral yang membentuk lipatan
genital sebagai bakal pembentuk skrotum pada laki-laki dan labia mayora pada
perempuan. (Gambar 5)
6
Gambar 6 Perkembangan genitalia eksterna4
Tabel 1. Mutasi gen yang berperan pada terjadinya Disorders of Sexual Development 1
7
Sebelumnya pengelompokkan beberapa kelainan gangguan perkembangan seks ini
menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Masculinized females (female
pseudohermaphroditism), Incompletely masculinized male (male
pseudohermaphroditism), dan true hermaphrodite. Sejak tahun 2006, European
Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) dan Lawson Wilkins Pediatrics
Endocrine Society (LWPES) telah mengeluarkan konsensus mengenai nomenklatur
baru dalam diagnosis DSD. Dalam konsensus ini, terdapat perubahan-perubahan
dalam penyebutan kelainan-kelainan DSD maupun klasifikasi dari DSD.
Konsensus ini telah mengganti istilah Female pseudohermaphroditism menjadi 46
XX DSD, male pseudohermaphroditism menjadi 46 XY DSD, sedangkan true
hermaphrodite menjadi Ovotesticular DSD.
Klasifikasi berdasarkan genotipe individu, DSD dapat dibagi atas 4 kategori: 5,8,13
8
b. 46, XY DSD (male pseudohermaphroditism)
c. True Gonadal DSD
d. DSD kompleks atau undetermined
9
oleh hormon laki-laki secara berlebih sebelum ia lahir. Labia mengalami fusi dan
klitoris membesar sehingga tampak seperti penis. Umumnya individu ini memiliki
uterus dan tuba Falopi yang normal. Keadaan ini juga disebut 46, XX dengan
virilisasi. Sebelumnya, kelainan DSD ini disebut dengan female
pseudohermaphroditism. Dari pemeriksaan fisik tampak pembesaran klitoris dan
gonad tidak teraba.
10
46, XY DSD ( male pseudohermaphroditism).
Individu dengan kromosom XY/ laki-laki namun genital eksternanya tidak
terbentuk dengan sempurna, ambigus atau seperti genitalia perempuan. Secara
organ genital interna, testis dapat normal, mengalami malformasi atau vanishing
testis sindrome. Keadaan ini juga disebut 46, XY with undervirilization, dahulu
dikenal dengan istilah male pseudohermaphroditism. Manifestasi klinis anak lahir
dengan genetalia externa perempuan dan terdiagnosa saat pubertas, dimana
mengalami amenore primer atau saat operasi repair hernia inguinal ditemukan
testis, dengan kariotipe XY. Pemeriksaan radiologis dengan ultrasonografi tidak
ditemukan uterus dan ovarium di pelvis.
Beberapa etiologi 46, XY DSD:
Masalah pada testis. Testis merupakan penghasil hormon laki-laki. Jika testis
tidak terbentuk/ berfungsi dengan baik, maka individu mengalami
undervirilization. Hal ini dapat disebabkan XY pure gonadal dysgenesis.
Masalah pada pembentukan testosteron. Defisiensi enzim tertentu menyebabkan
kekurangan testosteron dan menyebabkan sindrom lain pada 46, XY DSD.
Kegagalan dari sel leydig ( leydig cell failure ) , tidak respon pada hormone
human chorionic gonadotropin (hCG) dan LH.
Syndrome persisten duktus mullerian
Primary testicular failure ( vanishing testis syndrome )
11
Efek hormone eksogen
Masalah pada penggunaan testosterone dengan testis normal.
o Defisiensi 5-alpha-reductase. Individu dengan defisiensi 5-alpha-reductase
mengalami kekurangan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron
(DHT).
o Androgen insensitivity syndrome (AIS). Ini adalah etiologi 46, XY DSD paling
umum. Hormon pada AIS normal namun reseptor hormon tidak berfungsi
dengan baik. AIS juga disebut sebagai testicular feminization.
Manajemennya dengan pemberian hormonal replacement, gonadektomi karena
resiko terjadinya keganasan. Gonadektomi dilakukan saat pre atau post pubertas
masih controversial, kalau dilakukan sebelum pubertas diperlukan hormonal
replacement untuk perkembangan normal pubertas.
12
DSD kompleks atau undetermined.
Banyak konfigurasi kromosom di luar 46, XX atau 46, XY yang dapat menyebabkan
terjadinya DSD. Contoh DSD kompleks antara lain sindrom Turner 45, XO (hanya memiliki
kromosom X), dan sindrom Klinefelter (47, XXY), atau 47, XXX – dengan kromosom seks
ektra, baik kromosom X atau Y.
13
III. Male Pseudohermaphroditism
A. Testicular unresponsiveness to hCG and LH (Leydig cell agenesis or hypoplasia due to hCG/LH
receptor defect)
B. Inborn errors of testosterone biosynthesis
1. Enzyme deficits affecting synthesis of both corticosteroidsand testosterone (variants of
congenital adrenal hyperplasia)
a. StAR deficiency (congenital lipoid adrenal hyperplasia)
b. Side-chain (P450scc) cleavage deficiency heterozygote
c. 3_-Hydroxysteroid dehydrogenase/_4,5-isomerase type 2 (3_-HSD-2) deficiency
d. CYP17 (P450c17 [17_-hydroxylase/17,20 lyase]) deficiency
e. Smith-Lemli-Opitz syndrome: 7-dehydrocholesterol reductase deficiency
2. Enzyme defects primarily affecting testosterone biosynthesis by the testes
a. CYP17 (P450c17 [17,20 lyase]) deficiency
b. 17_-Hydroxysteroid dehydrogenase type 3 (17_-HSD 3) deficiency
C. Defects in androgen-dependent target tissues
1. End-organ resistance to androgenic hormones
a. Syndrome of complete androgen resistance and its variants (testicular feminization
and its variant forms)
b. Syndrome of incomplete androgen resistance and its variants (Reifenstein’s syndrome)
c. Androgen resistance in phenotypically normal males (infertile and fertile)
2. Defects in testosterone metabolism by peripheral tissues; 5_-reductase-2 (SRD5A2)
deficiency pseudovaginal perineoscrotal hypospadias
D. Dysgenetic male pseudohermaphroditism
1. XY gonadal dysgenesis (incomplete)
2. XO/XY mosaicism,structurally abnormal Y chromosome, SRY mutation
3. Denys-Drash syndrome (WT1 mutation)
4. Frasier syndrome (mutation of WT1 splice site junction mutation-deleting KTS)
5. WAGR syndrome (WT1 deletion)
6. Campomelic dysplasia (SOX9 mutation)
7. SFI mutation
8. DAX1 (duplication)
9. WNT4 (duplication)
10. 9p_ (DMRT1 deletion)
11. 10q_
12. ATRX syndrome (XH2 mutation)
13. Testicular regression syndrome
E. Defects in synthesis,secretion, or response to antimüllerian hormone: persistent müllerian duct
syndrome (female genital ducts in otherwise normal men; herniae uteri inguinale)
F. Maternal ingestion of progestagens
G. Environmental chemicals (endocrine disrupters)
14
IV. Unclassified Forms of Abnormal Sexual Development
A. In males
1. Hypospadias
2. Ambiguous external genitalia in XY males with multiple congenital anomalies
B. In females,absence or anomalous development of the vagina, uterus,and uterine tubes (Rokitansky-
Kuster syndrome)
15
DAFTAR PUSTAKA
12. Misra M, Lee MM. Intersex disorder. Dalam: Moshang T. Pediatric Endocrinology.
2005; Philadelphia: Mosby. h.103-22.
13. Silbernagl S, Lang F, Color Atlas of Pathophysiology © 2000 New York: Thieme
2000. h 278-9.
14. Bahlburg M. Treatment guidelines for children with disorders of sex development.
Neuropsychiatrie de l’Enfance et de l’Adolescence 2008; 56:345-349.
15. SEX DEVELOPMENT IN CHILDHOOD. Consortium on the Management of
Disorders of Sex Development edisi pertama. Intersex Society of North America.
2006
16