Sampah Medis
Sampah Medis
Pendahuluan
1. A. Permasalahan
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh rumah
sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100
Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 kg
pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi sampah (Limbah Padat)
berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infeksius sebesar 23,2 persen.
Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah Padat) Rumah Sakit sebesar 376.089
ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut
dapat dibayangkan betapa besar potensi Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinan menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit.
Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya
membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,5-0,6
kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini
paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk masing-
masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum
pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminasi
antrauma (Injuri)
(KLMNH, 1995).
Limbah Rumah Sakit mengandung bahan beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya
menghasilkan limbah organik dan anorganik, tetapi juga limbah infeksius yang mengandung
bahan beracun berbahaya (B3). Dari keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15
persen diantaranya merupakan limbah
infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen
lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makan, baik dari pasien
dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik
dalam bentuk botol bekas infus dan plastik. Temuan ini merupakan
hasil penelitian Bapedalda Jabar bekerja sama dengan Departemen
Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai tahun
1999. Keterbatasan dan mengakibatkan sampel yang diambil hanya dari dua rumah sakit di
Jawa Barat, satu di rumah sakit pemerintah dan satunya lagi di rumah sakit swasta. Secara
terpisah, mantan Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar
Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan melebihi
jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak ditemukan di beberapa
rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang baik (Pristiyanto. D, 2000).
Biasanya orang mengaitkan limbah B3 dengan industri. Siapa yang menyangka ternyata
dirumah sakitpun menghasilkan limbah berbahaya dari limbah infeksius. Limbah infeksius
berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak termasuk tabung
infus), darah, dan sebagainya. Dalam penelitian itu, hampir di setiap tempat sampah
ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan limbah organik
berupa botol bekas infus. (Anonimous, 2009)
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik.
Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius.
Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru
memperbesar permasalahan limbah medis.
Kepala Pusat Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo
Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia
mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan
benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah
nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah
sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu
seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki
pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat
pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki
pembuangan seperti itu.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang tidak
memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah yang
banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan, buruknya
pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi
rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan
Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar.
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk
limbah klinik dan yang lain untuk bukan klinik
2. Semua limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis dianggap sebagai limbah
klinik
3. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik
dan perlu dinyatakan aman sebelum dibuang (Depkes RI, 1992).
1. C. Pengelolaan limbah
1. Pemisahan Limbah
1. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat digunkanan
kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat diperloleh dengan
mudah) kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan
ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.
1. Penanganan Limbah
- Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
- Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
- Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang sama
telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai
- Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak
sebelum diangkut ketempat pembuangan.
1. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa
keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan
dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada kebocoran
kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
1. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada
hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
(Bambang Heruhadi, 2000).
Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator berukuran
kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 ºC atau lebih tinggi dan mungkin
dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit.
Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi
limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain. Insinerator modern yang baik
tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung limbah
klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak
terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya tetapi juga mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses
kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah
rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan
penyakit dari pasien ke pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung
rumah sakit. Oleh kerna itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun
orang lain yang berada dilingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan
monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan.
Rumah sakit sebagai institusi yang sosial ekonominya kerena tugasnya memberikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan
limbah yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
BAPEDAL. 1999. Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan.
Arifin.M, 2008, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI
Depkes RI. 2002. Pedoman Umum Hygene Sarana dan Bangunan Umum.
Departemen Kesehatan RI. 1992. Peraturan Proses Pembungkusan Limbah Padat.
Departement Kesehatan RI. 1997. Profil Kesehatan Indonesia.
Pristiyanto, Djuni. 2000. Limbah Rumah Sakit Mengandung Bahan Beracun Berbahaya.
Anonimous. 2009. Limbah. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sarwanto, Setyo. 2009. Limbah Rumah Sakit Belu Dikelolah Dengan Baik. Jakarta : UI
Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995. Pedoman Teknik Analisa Mengenai
dampak Lingkungan Rumah Sakit.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Kep. 58/Menlh/12/1995 Tentang Baku Mutu
Kegiatan Rumah Sakit.
Kusnoputranto, H. 1993. Kualitas Limbah Rumah Sakit dan Dampaknya terhadap
lingkungan dan kesehatan dalam Seminar Rumah Sakit. Pusat Penelitian Sumberdaya
Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1993. Mikrobiologi Kedokteran
Kusnoputranto, H. 1995. Bahan Toksik di Air dalam Toksikologi Lingkungan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Prasojo, D. 2008. Produk Kreatif Dari Limbah RS Buat Anak-anak Tetapi Mengandung
Maut. KARS-FKMUI.
Slamet Riyadi. 2000. Loka Karya Alternatif Ekologi Pengelolaan Sanitasi dan Sampah.
Alkatiri, S. 2009. Efektivitas Hasil Pengelolan Air Limbah Rumah Sakit. UnAir.
Moersidik, S.S. 1995, Pengelolaan Limbah Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
dalam Sanitasi Rumah Sakit, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas
Indonesia. Depok.
Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kajian Dampak Lingkungan.