Anda di halaman 1dari 19

Post 7

Nama Post : Komunikasi, Edukasi, Informasi (KIE)


Ruang Lingkup : Asuhan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
Kompetensi :
a. Memahami prinsip asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care) secara terpadu
b. Memahami standar pelayanan kefarmasian di apotek
c. Memahami teknik komunikasi yang TEPAT dengan pasien (7 T)
d. Memahami masalah yang berkaitan dengan obat (DRP) dan analisis naranjo
e. Memahami tata cara investigasi dan analisis kondisi kesehatan pasien
f. Memahami tata cara konsultasi yang baik dan benar
g. Memahami tata cara penyusunan rencana perawatan (care plan)
h. Menguasai penggunaan instrumen pendukung

Tugas yang harus diselesaikan :


1. Menonton dan merangkum video tutorial pemeriksaan gula, kolesterol, asam urat,
sphygmomanometer (tensimeter), oxymeter, pemeriksaan golongan darah, life blood
analysis (LBA) dan bioquantum minimal 1 kali / mahasiswa / gelombang @ 25 point /
topik video
2. Berlatih untuk mahir berbicara dengan pasien minimal 1 kali / mahasiswa / gelombang @
100 point / aktivitas
3. Melakukan KIE/ dispensing/ PIO kepada pasien minimal 3 kali / mahasiswa / gelombang
@ 200 point / pasien
4. Membuat rencana perawatan (care plan) untuk pasien minimal 1 kali / mahasiswa /
gelombang @ 150 point / pasien
5. Menganalisa masalah yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problem / DRP)
minimal 1 resep / mahasiswa / gelombang @ 150 point / resep

7.1 Prinsip Asuhan Kefarmasian


Asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) adalah tanggung jawab langsung farmasis
pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai
hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak
hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien.
Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat,
dosis, rute dan metoda pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan
konseling pada pasien. Cipolle et al[4] mendefinisikan asuhan kefarmasian sebagai suatu
praktik pelayanan kefarmasian di mana farmasis bertanggung jawab terhadap terapi obat
yang digunakan pasien dan mempunyai komitmen dan integritas terhadap praktik tersebut .

Langkah asuhan kefarmasian :

Gambar 1. Lima langkah asuhan kefarmasian

Prinsip Pelaksanaan asuhan kefarmasian (American Pharmacist Association):


1. Pengumpulan data.
2. Evaluasi data.
Apoteker mengevaluasi data subjektif dan obyektif yang dikumpulkan dari pasien dan
sumber lain, kemudian mengambil kesimpulan mengenai:
a. Peluang untuk meningkatkan dan / atau menjamin keamanan, efektivitas, dan / atau
keekonomisan terapi obat saat ini atau yang direncanakan;
b. Peluang untuk meminimalkan masalah terkait obat saat ini atau yang potensial terjadi.
c. Waktu konsultasi apoteker.
3. Menyusun Rencana.
Apoteker mengidentifikasi, mengevaluasi, dan kemudian memilih tindakan yang paling
tepat untuk:
a. Meningkatkan dan / atau menjamin keamanan, efektivitas, dan / atau keefektifan
biaya dari terapi obat saat ini atau yang direncanakan.
b. Meminimalkan masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien saat ini atau
yang mungkin terjadi.
4. Menerapkan Rencana.
Apoteker dan pasien mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengimplementasikan rencana tersebut. Seperti dokter untuk mengklarifikasi atau
mengubah resep, memulai terapi obat, mengedukasi pasien, mengoordinasikan biaya
pengobatan mungkin termasuk membantu pasien mengatasi masalah keuangan yang
mungkin menghambat rencana terapi.
5. Memantau dan Menjamin Hasil yang Positif.
Apoteker secara teratur meninjau parameter pemantauan subjektif dan objektif untuk
memastikan adanya kemajuan dalam terapi untuk mencapai hasil yang diinginkan
sebagaimana diuraikan dalam rencana terapi obat.

Fungsi Asuhan Kefarmasian:


1. Mengidentifikasikan DRP yang potensial dan aktual.
2. Memecahkan DRP yang aktual.
3. Mencegah DRP yang potensial.

7.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Apotek
adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar :
a. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
yang meliputi :
 perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya
dan kemampuan masyarakat.
 Pengadaan
Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan
Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
 penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima.
 penyimpanan
1) Obat/bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal
pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada
wadah baru. Wadah sekurang- kurangnya memuat nama Obat, nomor batch
dan tanggal kadaluwarsa.
2) Semua Obat/bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga
terjamin keamanan dan stabilitasnya.
3) Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang
lainnya yang menyebabkan kontaminasi
4) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan
kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis.
5) Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First
In First Out)
 Pemusnahan
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan
bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung
narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika
dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang
memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat
dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh
sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara
pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep
menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
3. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standard/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh
pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan kepada
Kepala BPOM.
5. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan terhadap
produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
 Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai
kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang- kurangnya
memuat nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran
dan sisa persediaan.
 Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur/invoice), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan),
pemusnahan (berita acara pemusnahan) dan pencatatan lainnya disesuaikan
dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.
Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan
manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan
eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan, meliputi pelaporan narkotika,
psikotropika dan pelaporan lainnya.
b. Pelayanan Farmasi Klinik yang meliputi :
 Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
Kajian administratif meliputi: 1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat
badan; 2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf; dan 3. tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: 1. bentuk dan kekuatan sediaan; 2.
stabilitas; dan 3. kompatibilitas (ketercampuran Obat). Pertimbangan klinis meliputi:
1. ketepatan indikasi dan dosis Obat; 2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat; 3.
duplikasi dan/atau polifarmasi; 4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek
samping Obat, manifestasi klinis lain); 5. kontra indikasi; dan 6. interaksi
 Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.
Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep: a. menghitung kebutuhan
jumlah Obat sesuai dengan Resep; b. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak
penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan
keadaan fisik Obat.
2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: a. warna putih untuk Obat
dalam/oral; b. warna biru untuk Obat luar dan suntik; c. menempelkan label
“kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang
berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali
mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan
jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan
Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari,
kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,
mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker
(apabila diperlukan);
9. Menyimpan Resep pada tempatnya;
10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien
 Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam
pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis
dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat
Resep, Obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi
khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan
alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek
samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat
dan lain-lain.
 Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga
untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan
sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker
menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus
melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat
yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,
ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM,
AIDS, epilepsi .
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi
penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari
satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis
Obat.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
 Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care)
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker,
meliputi :
1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan
pengobatan
2. Identifikasi kepatuhan pasien
3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya
cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat
berdasarkan catatan pengobatan pasien 6. Dokumentasi pelaksanaan
Pelayanan Kefarmasian di rumah
 Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi
Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan
efek samping.
 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan
atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
1. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
efek samping Obat.
2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan
menggunakan Formulir .
Faktor yang perlu diperhatikan:
1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
2. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

7.3 Teknik Komunikasi yang Efektif dengan Pasien[3]


Definisi komunikasi secara umum adalah sebuah proses penyampaian pikiran-pikiran
atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang
lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau
informasi. Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu mutu pelayanan di rumah sakit dan
kepuasan pasien merupakan salah satu indikator pelayanan yang bermutu. Efektifitas
komunikasi yang baik akan berdampak pada kesehatan yang lebih baik, kenyamanan,
kepuasan pada pasien, dan penurunan resiko malpraktik.
Tanda-tanda perilaku dalam berkomunikasi yang tidak efektif yaitu:
1. Penggunaan kata-kata yang kasar atau tidak sopan
2. Sikap yang tidak menghargai atau menyerang lawan bicaranya
3. Komentar yang bermakna seksual
4. Tidak bisa mengontrol emosinya
5. Mengkritik staf didepan pasien atau staf lainnya
6. Memberikan komentar negatif mengenai pelayanan kesehatan yang diberikan pihak lain
7. Komentar yang tidak konstruktif pada diskusi kasus pasien
8. Tidak jujur, kurang melakukan kritik terhadap diri sendiri, dan menutupi kesalahan yang
dibuat.
Telah banyak penelitian yang menunjukkan pentingnya komunikasi, baik secara
verbal maupun non verbal, untuk meningkatkan kepuasan pasien saat konsultasi dan untuk
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatan. Kedua hal ini akan
meningkatkan patient safety dan mengurangi kemungkinan adanya komplain dari pasien.
Lama waktu konsultasi diketahui berhubungan dengan penurunan resiko klaim malpraktek,
tetapi bukanlah lama waktunya itu sendiri yang penting, tetapi efektifitas komunikasi.

Faktor-faktor efektivitas komunikasi adalah sebagai berikut:


1. Keterbukaan (Openness).
Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal.
Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang
diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera
membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini menarik, tapi biasanya tidak
membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri
mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini
patut. Aspek keterbukaan yang kedua mengacu kepada kesediaan komunikator untuk
bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan
tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita
ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak
mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidakacuhan, bahkan tidak
sependapat jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara
bereaksi secara spontan terhadap orang lain.
2. Empati (Empathy).
Empati adalah sebagai kemampuan seseorang untuk ‘mengetahui’ apa yang sedang
dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui
kacamata orang lain itu. Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau
merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang
yang mengalaminya, berada di kapal yang sama dan merasakan perasaan yang sama
dengan cara yang sama. Orang yang empatik mampu memahami motivasi dan
pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan
mereka untuk masa mendatang.
3. Sikap Mendukung (Supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif.
adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep
yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka
dan empatik tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita
memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2)
spontan, bukan strategic, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.
4. Sikap Positif (Positiveness).
Kita mengkomunikasikan sikap positif dalam komunikasi interpersonal dengan sedikitnya
dua cara: (1) menyatakan sikap positif dan (2) secara positif mendorong orang yang
menjadi teman kita berinteraksi. Sikap positif mengacu pada sedikitnya dua aspek dari
komunikasi interpersonal. Pertama, komunikasi interpersonal terbina jika seseorang
memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri. Kedua, perasaan positif untuk situasi
komunikasi pada umumnya sangat penting untuk interaksi yang efektif. Tidak ada yang
lebih menyenangkan daripada berkomunikasi dengan orang yang tidak menikmati
interaksi atau tidak bereaksi secara menyenangkan terhadap situasi atau suasana
interaksi.
5. Kesetaraan (Equality).
Dalam setiap situasi, barangkali terjadi ketidaksetaraan. Salah seorang mungkin lebih
pandai, lebih kaya, lebih tampan atau cantik, atau lebih atletis daripada yang lain. Tidak
pernah ada dua orang yang benar-benar setara dalam segala hal. Terlepas dari
ketidaksetaraan ini, komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara.
Artinya, harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai
dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan

7.4 DRPS
Drug related problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana
terapi obat berpotensi atau secara nyata dapat mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan.
PCNE mengklasifikasikan DRPs menjadi 4, yaitu masalah efektivitas terapi, reaksi yang tidak
diinginkan, biaya pengobatan serta masalah lainnya. Identifikasi DRPs pada pengobatan
penting dalam rangka mengurangi morbiditas, mortalitas dan biaya terapi obat. Hal ini akan
sangat membantu dalam meningkatkan efektivitas terapi obat terutama pada penyakit-
penyakit yang sifatnya kronis, progresif dan membutuhkan pengobatan sepanjang hidup[8].
1. Komponen DRPs[9].
Suatu kejadian dapat disebut DRPs bila memenuhi dua komponen berikut.
a. Kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien Kejadian ini dapat berupa keluhan
medis, gejala, diagnosis penyakit, ketidakmampuan (disability) atau sindrom; dapat
merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultural atau ekonomi.
b. Hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat Bentuk hubungan ini dapat
berupa konsekuensi dari terapi obat maupun kejadian yang memerlukan terapi obat
sebagai solusi maupun preventif.
Tabel 1. Kategori DRPs

2. Klasifikasi DRPs[9].
a. Indikasi
Pasien mengalami masalah medis yang memerlukan terapi obat (indikasi untuk
penggunaan obat), tetapi tidak menerima obat untuk indikasi tersebut.
 Pasien memerlukan obat tambahan Keadaan yang ditemukan pada DRP
adalah suatu keadaan ketika pasien menderita penyakit sekunder yang
mengakibatkan keadaan yang lebih buruk daripada sebelumnya, sehingga
memerlukan terapi tambahan. Penyebab utama perlunya terapi tambahan
antara lain ialah untuk mengatasi kondisi sakit pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan, untuk menambahkan efek terapi yang sinergis, dan terapi untuk
tujuan preventif atau profilaktif. Misalnya, penggunaan obat AINS biasanya
dikombinasikan dengan obat antihistamin dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya iritasi lambung.
 Pasien menerima obat yang tidak diperlukan Pada kategori ini termasuk juga
penyalahgunaan obat, swamedikasi yang tidak benar, polifarmasi dan
duplikasi. Merupakan tanggung jawab farmasi agar pasien tidak menggunakan
obat yang tidak memiliki indikasi yang tepat. DRP kategori ini dapat
menimbulkan implikasi negatif pada pasien berupa toksisitas atau efek
samping, dan membengkaknya biaya yang dikeluarkan di luar yang
seharusnya. Misalnya, pasien yang menderita batuk dan flu mengkonsumsi
obat batuk dan analgesik-antipiretik terpisah padahal dalam obat batuk
tersebut sudah mengandung paracetamol.
b. Pasien menerima regimen terapi yang salah.
Terapi multi obat (polifarmasi) merupakan penggunaan obat yang berlebihan oleh
pasien dan penulisan obat berlebihan oleh dokter di mana pasien menerima rata-rata
8-10 jenis obat sekaligus sekali kunjungan dokter atau pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Jumlah
obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti pemberian puyer pada anak dengan
batuk pilek yang berisi: Amoksisillin, Parasetamol, Gliseril Guaiakolat, Deksametason,
CTM, Luminal. Dari hal tersebut terlihat adanya polifarmasi, sebaiknya mendiskusikan
terlebih dahulu kepada dokter sehingga penggunaan yang tidak perlu seperti
deksametason dan luminal sebaiknya tidak diberikan untuk mencegah terjadinya
regimen terapi yang salah.

c. Frekuensi pemberian.
Banyak obat harus diberikan pada jangka waktu yang sering untuk memelihara
konsentrasi darah dan jaringan. Namun, beberapa obat yang dikonsumsi 3 atau 4 kali
sehari biasanya benar-benar manjur apabila dikonsumsi sekali dalam sehari.
Contohnya. Cara pemberian yang tidak tepat misalnya pemberian asetosal atau
aspirin sebelum makan, yang seharusnya diberikan sesudah makan karena dapat
mengiritasi lambung.
d. Durasi obat.
Penggunaan antibiotik harus diminum sampai habis selama satu kurun pengobatan,
meskipun gejala klinik sudah mereda atau menghilang sama sekali. Interval waktu
minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap enam jam, untuk antibiotik
hal ini sangat penting agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang
dapat membunuh bakteri penyebab penyakit. Pasien menerima obat yang benar
tetapi dosisnya terlalu rendah.
Pasien menerima obat dalam jumlah lebih kecil dibandingkan dosis terapinya. Hal ini
dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien
tidak sembuh, atau bahkan dapat memperburuk kondisi kesehatannya. Hal-hal yang
menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah yang terlalu sedikit antara lain
ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi obat yang tidak
tepat dapat menyebabkan jumlah obat yang diterima lebih sedikit dari yang
seharusnya, penyimpanan juga berpengaruh terhadap beberapa jenis sediaan obat,
selain itu cara pemberian yang tidak benar juga dapat mengurangi jumlah obat yang
masuk ke dalam tubuh pasien.
e. Keamanan.
Pasien menerima obat dalam dosis terlalu tinggi Pasien menerima obat dalam jumlah
dosis terlalu tinggi dibandingkan dosis terapinya. Hal ini tentu berbahaya karena dapat
terjadi peningkatan risiko efek toksik dan bisa jadi membahayakan. Hal-hal yang
menyebabkan pasien menerima obat dalam jumlah dosis terlalu tinggi antara lain
ialah kesalahan dosis pada peresepan obat, frekuensi dan durasi minum obat yang
tidak tepat. Misalnya, penggunaan fenitoin dengan kloramfenikol secara bersamaan,
menyebabkan interaksi farmakokinetik yaitu inhibisi metabolisme fenitoin oleh
kloramfenikol sehingga kadar fenitoin dalam darah meningkat.
f. Pasien mengalami efek obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction).
Dalam terapinya pasien mungkin menderita Adverse Drug Reaction (ADR) yang dapat
disebabkan karena obat tidak sesuai dengan kondisi pasien, cara pemberian obat
yang tidak benar baik dari frekuensi pemberian maupun durasi terapi, adanya
interaksi obat, dan perubahan dosis yang terlalu cepat pada pemberian obat-obat
tertentu.
ADR merupakan respons terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis maupun terapi.
ADR dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
o Reaksi tipe A
Reaksi tipe A mencakup kerja farmakologis primer atau sekunder yang berlebihan
atau perluasan yang tidak diharapkan dari kerja obat seperti diuretik mengimbas
hipokalemia atau propanolol mengimbas pemblok jantung.
o Reaksi tipe B
Reaksi tipe B merupakan reaksi idiosinkratik atau reaksi imunologi. Reaksi alergi
mencakup tipe berikut.
1) Tipe I, anafilaktik (reaksi alergi mendadak bersifat sistemik) atau segera
(hipersensitivitas).
2) Tipe II, sitotoksik.
3) Tipe III, serum.
4) Tipe IV, reaksi alergi tertunda misalnya penggunaan fenitoin dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan Steven Johnson syndrome.
o Reaksi Tipe C (berkelanjutan)
Reaksi tipe C disebabkan penggunaan obat yang lama misalnya analgesik,
nefropati.
o Reaksi Tipe D
Reaksi tipe D adalah reaksi tertunda, misalnya teratogenesis dan karsinogenesis.
o Reaksi Tipe E
Reaksi tipe E, penghentian penggunaan misalnya timbul kembali karena
ketidakcukupan adrenokortikal
g. Kepatuhan.
Kepatuhan adalah tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat medis
atau kesehatan. Kepatuhan pasien untuk minum obat.
h. Pemilihan Obat.
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Obat yang dipilih untuk mengobati setiap kondisi harus yang paling
tepat dari yang tersedia.

i. Interaksi Obat.
Interaksi obat adalah peristiwa di mana kerja obat dipengaruhi oleh obat lain yang
diberikan bersamaan atau hampir bersamaan. Efek obat dapat bertambah kuat atau
berkurang karena interaksi ini akibat yang dikehendaki dari interaksi ini ada dua
kemungkinan yakni meningkatkan efek toksik atau efek samping atau berkurangnya
efek klinik yang diharapkan.

7.4 Algoritma Naranjo


Menurut bagian farmakologi klinik, dalam pengembangan suatu obat, calon obat
mengalami serangkaian uji/penelitian yang sistematis dan mendalam, untuk mendukung
keamanan dan kemungkinan kemanfaatan kliniknya sebelum digunakan pada manusia.
Dalam tahap praklinik ini, penelitian-penelitian toksikologik, farmakokinetik dan
farmakodinamik mutlak harus dilakukan secara mendalam, untuk menangkap setiap
kemungkinan efek samping yang dapat terjadi. Bila efek samping terlalu berat relatif terhadap
manfaat yang diharapkan, maka calon obat ini dibatalkan. Efek samping yang terdeteksi pada
uji praklinik dan dalam batas yang masih bisa ditolerir, merupakan pegangan pada waktu
melakukan uji klinik[2].
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena
seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh.
Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh
buruk terhadap sistem biologik tubuh[2].
Efek obat yang tidak diinginkan menjadi suatu persoalan yang kompleks bagi petugas
kefarmasian untuk menangani masalah ini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu
pemantauan terhadap efek tersebut dalam hal ini dikenal dengan istilah MESO (Monitoring
Efek Samping Obat)[2].
Efek Samping Obat/ESO (Adverse Drug Reactions/ADR) adalah respon terhadap
suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan dan yang terjadi pada dosis yang biasanya
digunakan ada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk
modifikasi fungsi fisiologik. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali,
tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang sebagian besar sudah diketahui. Meskipun suatu obat sudah digunakan secara tepat,
efek atau reaksi yang tidak diharapkan sering muncul. Reaksi obat yang muncul biasanya
berbeda pada setiap orang dan tidak dapat diprediksi kapan dan pada siapa reaksi obat
tersebut akan muncul. Oleh karena itu, penting bagi tenaga kesehatan untuk memonitoring
reaksi obat yang muncul selama terapi, tidak hanya untuk keselamatan dan kenyamanan
pasien tetapi juga untuk meminimalkan pengeluaran biaya dan mengatasi ADRs[2].
Algoritma Naranjo adalah kuisoner yang dirancang oleh Naranjo untuk menentukan
apakah efek yang merugikan disebabkan oleh obat atau faktor lain. Dalam algoritma Naranjo
ada 10 pertanyaan yang diguna- kan untuk menilai apakah efek merugi- kan tersebut
disebabkan penggunaan obat, digunakan untuk menyimpulkan kejadian efek samping, jika
skor total 9 atau lebih disimpulkan bahwa kejadian ADR (Adverse drug reaction) tinggi
(definite), skor total 5-8 Kemungkinan terjadi ADR (probable), skor total 1-4 mungkin
merupakan ADR (possible), kecil atau sama dengan nol maka ADR diragukan[6].

7.5 Pharmaceutical Care Plan (PCP)[7]


Rencana perawatan farmasi/ Pharmaceutical Care Plan (PCP) adalah pendekatan
sistematis yang berpusat pada pasien. Apoteker klinis merancang format tertulis untuk
memastikan penggunaan obat yang tepat, mencapai hasil yang pasti, dan meningkatkan
perawatan pasien dengan memastikan keamanan, efektivitas, dan keefektifan biaya.
1. Hasil yang diharapkan:
a. Menyembuhkan penyakit tertentu
b. Pengentasan atau minimalisasi gejala pasien
c. Menangkap atau memperlambat perkembangan penyakit
d. Mencegah penyakit atau gejala
2. Tujuan PCP:
a. Mengidentifikasi masalah terkait obat yang potensial dan actual.
b. Menyelesaikan masalah terkait obat yang sebenarnya.
c. Mencegah masalah terkait obat.

7.6 Investigasi dan Analisis Kondisi Kesehatan Pasien[5]


Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit (Internal):
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/
akibat yang tidak diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan
menunda laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab.
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
 Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 1 minggu
 Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu
maksimal 2 minggu
 Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di
RS, waktu maksimal 45 hari
 Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di
RS, waktu maksimal 45 hari
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA)
dengan melakukan Regrading
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan
dan Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert
untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
instalasi farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan
kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Pharmacist Association, Principles of Practice for Pharmaceutical Care.


Available at: www.pharmacist.com/principles-practice-pharmaceutical-care. Accessed 13
March 2021.
2. Ardiansyah, A.I., dkk., 2014. Makalah Pengantar Farmakologi Monitoring Efek Samping.
Jakarta ; Universitas 17 Agustus.
3. Barus N.S.B. 2016. Komunikasi Efektif Dokter Dan Pasien Dalam Upaya Keselamatan
Pasien (Patient Safety) Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2015.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
4. Cipolle, R.J, Strand, L.M. & Morley, P.C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, hal : 75,
82-83, 96-101, 116, Mc Graw Hill Company, New York.
1. Depkes RI. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient
Safety ). Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2. Fitriyani W.S. 2012. Evaluasi Adverse Drug Reaction Antidiabetes Berdasarkan
Algoritma Naranjo Di Bangsal Rawat Inap Rs Pku Muhammadiyah Yogyakarta Periode
Desember 2011- Januari 2012. Jurnal Ilmiah Kefarmasian. Vol. 2(2): 205 – 213
3. Global Clinical Pharmacy Academy, Pharmaceutical Care Plan. Available at:
http://clinicalphar.com/pharmaceuticalcareplan.html. Accessed 14 march 2021.
4. Gumi V.C., Larasanty L.P.F., Udayani N.N.W. 2013. Identifikasi Drug Related Problems
Pada Penanganan Pasien Hipertensi Di Upt Puskesmas Jembrana. Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univesitas Udayana.
5. Rusli. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi: Farmasi Rumah Sakit dan Klinik. Jakarta:
Pusdik SDM Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai