Anda di halaman 1dari 2

Salah satu contoh pasal yang bertentangan dengan UU No.

23 Tahun 2011 adalah pasal 62


& 63 tentang pembentukan perwakilan LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang dibatasi hanya
ditingkat provinsi untuk LAZ skala Nasional dan ditingkat kabupaten/kota untuk LAZ skala
Provinsi. Sedang LAZ skala kabupaten/kota tidak ada perwakilan. 

Pasal-pasal tersebut jelas bertentangan dengan UU zakat pasal 2 yang berpegang pada azas
terintegrasi, dimana didalam penjelasan terkait pasal 2 tersebut dinyatakan bahwa
pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. 

Pasal 62 dan 63 PP Nomor 14/2014 ini juga bertentangan dengan persyaratan pendirian
LAZ yang salah satunya harus terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam. Kita
semua mengetahui bahwa hirarki atau struktur organisasi ormas ada dari tingkat pusat
hingga tingkat paling bawah yaitu kelurahan.

Walau tidak dimaksudkan untuk mensubordinasi eksistensi Lembaga zakat, keberadaan


LAZ yang dibentuk masyarakat sebagaimana dituangkan dalam pasal 17 UU nomor 23/2011
bertujuan membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Tentunya tujuan “membantu” ini tidak akan berjalan dengan baik
jika kelemba gaan LAZ Nasional dibatasi hanya di tingkat provinsi. 

Dengan pembatasan pembentukan perwakilan LAZ jelas bertentangan dengan Pasal 26 UU


Zakat yang menyatakan bahwa Pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas
dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Sedang
ketidakkonsistenan PP Nomor 14/2014 ini salah satunya ditunjukkan dalam pasal Pasal 66
yang menyatakan bahwa “Dalam hal di suatu komunitas dan wilayah tertentu belum
terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ, kegiatan Pengelolaan Zakat dapat dilakukan oleh
perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir
masjid/musholla sebagai amil zakat”. 

Bagaimana mungkin LAZ dapat menjangkau komunitas diwilayah pedalaman jika


keberadaan perwakilan LAZ dibatasi sedemikian rupa. Kehadiran PP Nomor 14 tahun 2014
ini semakin menguatkan dugaan adanya upaya sistematis pelemahan kekuatan civil
society yang dilakukan oleh negara melalui pembatasan eksistensi LAZ yang dilahirkan
masyarakat. 

Upaya pelemahan ini sudah terasa sejak diterbitkannya UU 23 tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat yang juga mengundang kontroversi luas di berbagai kalangan hingga
berujung pada gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Sejatinya LAZ ( Lembaga Amil Zakat) memahami betul bahwa negara harus terlibat dalam
mengatur urusan zakat. Karena zakat sebagai ibadah umat Islam ini berhubungan erat
dengan kehidupan sosial masyarakat. Namun, keterlibatan negara ini tidak boleh bertujuan
untuk mendegradasi keberadaan LAZ sebagai warisan historis umat Islam yang telah
berperan besar dalam masyarakat bahkan ketika negara Indonesia ini belum lahir. 
Keterlibatan negara harus ditempatkan pada semangat menjaga akuntabilitas pengelolaan
zakat untuk meminimalisir penyimpangan yang terjadi sehingga zakat betul-betul dapat
membantu negara dalam upaya pengentasan kemiskinan, perbaikan sosial dan
pemberdayaan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai