Anda di halaman 1dari 21

ST- elevation infark miocard (STEMI)

1. Definisi STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA,
2013).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan
area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan
oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.

2. Faktor Risiko
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,
yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat diubah.
2.1. Faktor yang tidak dapat dirubah:
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia
menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60
tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar,
et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat
bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.

2.2. Faktor resiko yang dapat dirubah:


a) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita (Kumar, et al., 2007). Efek rokok adalah
menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh
katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO atau
dengan perkataan lain dapat menyebabkan takikardi, vasokonstrisi
pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat
menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin
banyak jumlah rokok yang dihisap, kadar HDL kolesterol makin menurun.
Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar
dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe
IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang
yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari
pada yang bukan perokok.
b) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl
akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan
resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl.
Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko
penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
c) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar
50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal jantung kongestif,
dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et al., 2007).
Mekanisme hipertensi berakibat IHD:
 Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk
jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau
pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung
dari berat dan lamanya hipertensi.
 Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma
langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga
memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal
ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard
infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding
orang normal.
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua
kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.
Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita
diabetes mellitus.
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.

3. Faktor Etiologi
Penyebab infark miokard secara umum, antara lain:
a. Thrombus dan/atau embolus yang menyebabkan aterosklerosis dan aklusis
di arteri coroner
b. Vasospasme (vasokonstriksi atau penyempitan mendadak) pada arteri
coroner
c. Penurunan suplai oksigen (tekanan darah rendah, kehilangan darah yang
akut atau anmeia).
d. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
e. Penyempitan aterorosklerotik
f. Plak aterosklerotik
g. Lambatnya aliran darah di daerah plak atau oleh viserasi plak
h. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
i. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
j. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot

4. Patofisiologi

5. Manifestasi Klinis
a. Keluhan utama klasik
Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit,
tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI
hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat
istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada
bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.
Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah,
dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea,
muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007). Volume dan denyut nadi cepat,
namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau
normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu,
tekanan darah kembali normal. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan
suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark
daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh
diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2
merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak
Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T meningkat
Stabil ringan (ICS III-IV). Tidak ada gelombang
Hilang dengan nitrat Q
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak Inversi Gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, dalam nilai batas atas
perlu opium normal
STEMI Lebih berat dan lama Elevasi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak inversi gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, nilai batas atas
perlu opium normal

b. Respiratory
- Nafas yang memendek, dispnea, takipnea
- Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary
- Dapat pula disertai edema paru
c. Gastrointestinal
Mual dan muntah
d. Urinary
Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik
e. Integumen
Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena stimulus dari
kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan adanya shock
kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya kontaktilitas.

6. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI
dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging,
dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan
elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III,
dan aVF.

Tabel 2. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG


No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6 dan I
3 Anterolateral
dan aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6 dan
4 Lateral inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I dan
aVL
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
5 Inferolateral
dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan
aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, aVF,
7 Inferoseptal
V1-V3
Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST depresi
8 True posterior
di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
9 RV Infraction
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.

2. Serum Cardiac Biomarker


Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local. Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah
perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium
dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
a. Cardiac Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan jantung.
Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI), troponin T
(TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC pada otot rangka
dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada perbedaan struktural diantara
keduanya. Walaupun demikian, subform TnI dan TnT pada otot rangka dan otot
jantung berbeda dengan jelas, dan immunoassay telah didesain untuk
membedakan keduanya. Hal ini menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari
cardiac troponin. Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji
troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi, mirip
dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap tinggi selama
kurang lebih 7-10 hari pasca MI. Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan
menyediakan informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan
antara level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event
pada ACS.

b. Creatine Kinase-MB isoenzym


Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih untuk
diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan digunakan
untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff diagnostik atau
hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal. Walaupun CK-MB lebih
terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15% dari total CK), enzim ini juga
terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas CKMB tidaklah 100%. Elevasi false
positive muncul pada beberapa keadaan klinis seperti trauma atau miopati. CK-
MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya adalah pada 24 jam,
dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level walaupun sensitif dan
spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk adverse cardiac event dan
tidak mempunyai nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x 100]
dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive peningkatan
CK-MB  otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten dengan sumber dari otot
rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot jantung. Rasio diantara 3-5
menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-MB/CK diperkenalkan untuk
meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB untuk MI. Pemakaian indeks relatif CK-
MB/CK berhasil jika pasien hanya memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi
tidak keduanya. Oleh sebab itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI
dan kerusakan otot rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis),
sensitifitas akan jatuh secara signifikan. Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan
hanya pada elevasi indeks relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada
keadaan klinis dimana total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif
hanya berfungsi secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami
peningkatan. 
d. Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI. Mioglobin
adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan jantung. Berat
molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang cepat. Mioglobin
biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya infark, puncaknya adalah
pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-36 jam. Uji cepat mioglobin
telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah kurang kardiospesifik. Uji serial setiap
1-2 jam dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau
perbedaan 25-40% setelah 1-2 jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada
kebanyakan penelitian, mioglobin hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI.
Nilai prediktif negatif mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis
AMI. Penelitian original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi
origininal WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi
dari standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin
untuk AMI menurun.
e. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-MB2.
CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh miokardium setelah
MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-MB1. Hal ini terjadi segera
setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat dianalisis menggunakan
elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-MB2/CK-MB1 juga dihitung.
Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih dominan sehingga rasionya kurang
dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya
>1,7. Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi di
serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini adalah
marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa sensitivitasnya
adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan dengan 66% untuk
CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar dari uji ini adalah relatif
sulit dilakukan oleh laboratorium.
f. C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara langsung
pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai pada awal 1990an
menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat menunjukkan adverse cardiac
events, baik pada prevensi primer maupun sekunder. Level CRP berguna untuk
mengevaluasi profil risiko jantung pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP
berguna sebagai indikator prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level
CRP memprediksi kematian jantung dan AMI.
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American Heart
Association (AHA):
- Total CK   = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L
untuk perempuan.
- Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.

Waktu Puncak Waktu Nilai Rujukan


Waktu Awal
Marker Peningkatan Kembali
Peningkatan (jam)
(jam) Normal
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam 10-13 units/L
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam < 110 ng/mL
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari < 1,5 ng/mL
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari < 0,1 ng/mL
Tabel 3. Cardiac marker pada Miokard Infark

Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut
dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya.
Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal
akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti
apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic
untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi
penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor
RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel
kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel
kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan
kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.

b) High resolution MRI


Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac
MRI.
c) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis
in myocardial infarction (TIMI) grading system:
 Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
 Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
 Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
 Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.

3. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi


Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali mencapai
12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih
lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu
pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu.

7. Penatalaksanaan
Menurut American Heart Ascossiation, 2013
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA (Smeltzer, 2001)
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar  kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah
sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
 JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan
pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat
dimulai dalam  30 menit sejak EMS tiba.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI,
hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang
mempunyai indikasi fibrinolitik.
 Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-
door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.
c. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
d. Melakukan terapi perfusi.

Tatalaksana STEMI
a. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI.

b. Tatalaksana Umum
 Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
 Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga
diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi
nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan
hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
 Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini
dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau
blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
 Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasadiberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100
mg tiap 12 jam.
 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek  lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi  kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
 Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai
dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA
(percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat
dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI
(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh
tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan
gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk
membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi pada
area yang kekurangan oksigen. Biasanya dilakukan dengan
menggunakan balon/ stent/ ring.

Gambar. Pemasangan PCTA atau PCI


Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain:
1. Waktu onset gejala
- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting
luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian.
- Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark
menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang
menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh
keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2
sampai 3 jam setelah gejala.
- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the
European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target
medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90
menit.
2. Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan
fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis
menunjukkan strategi PCI lebih baik.
3. Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi
risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk
memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis
harus mempertimbangkan mafaat dan risiko.
4. Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI
dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian
menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite
end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau strok dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal
berkurang.

8. Komplikasi
8.1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada
zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan
lokasi infark.
8.2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa
dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis
yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
8.3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
8.4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
8.5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan
manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner,
peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia
yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
8.6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil
oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan
tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi
hipoksia berat.
8.7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium
selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran
ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
8.8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum
sehingga terjadi defek septum ventrikel.
8.9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut.
Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke
dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang.
Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga
menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi
aliran balik vena dan curah jantung.
8.10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik
dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
8.11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar
yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus
mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
8.12. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan
menimbulkan reaksi peradangan.
DAFTAR PUSTAKA

ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial


Infarction : A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. 2013.
Djohan, Anwar Bahri. 2004. Penyakit Jantung Koroner Dan Hypertensi. Sumatera
Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2008. Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2007. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.
Edisi 8. Jakarta : EGC.
Schreiber, Donald. Use of Cardiac Markers in The Emergency Department.
Available at.  http://emedicine.medscape.com/article/811905-
overview .
DeMoranville, Victoria E. Cardiac Marker Tests. Available at.
http://www.surgeryencyclopedia.com/A-Ce/Cardiac-Marker-Tests.html

Anda mungkin juga menyukai