1. Definisi STEMI
STEMI merupakan sindroma klinis yang dididefinisikan dengan tanda
gejala dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST
elevasi dan pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin
merupakan biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA,
2013).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu
ST- elevation infark miocard (STEMI) dan non ST- elevation infark miocard
(NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan
area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan
oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
2. Faktor Risiko
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar,
yaitu faktor resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat diubah.
2.1. Faktor yang tidak dapat dirubah:
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia
menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60
tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar,
et al., 2007).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat
bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
3. Faktor Etiologi
Penyebab infark miokard secara umum, antara lain:
a. Thrombus dan/atau embolus yang menyebabkan aterosklerosis dan aklusis
di arteri coroner
b. Vasospasme (vasokonstriksi atau penyempitan mendadak) pada arteri
coroner
c. Penurunan suplai oksigen (tekanan darah rendah, kehilangan darah yang
akut atau anmeia).
d. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
e. Penyempitan aterorosklerotik
f. Plak aterosklerotik
g. Lambatnya aliran darah di daerah plak atau oleh viserasi plak
h. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
i. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
j. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot
4. Patofisiologi
5. Manifestasi Klinis
a. Keluhan utama klasik
Nyeri dada sentral yang berat, seperti rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung ≥ 20 menit,
tidak berkurang dengan pemberian nitrat. Karakteristik nyeri pada STEMI
hampir sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat
istirahat, lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada
bagian tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan.
Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah,
dan leher. Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea,
muntah, dan ansietas (Fauci, et al., 2007). Volume dan denyut nadi cepat,
namun pada kasus infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau
normal selama beberapa jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu,
tekanan darah kembali normal. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan
suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark
daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh
diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4),
penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2
merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung.
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak
Pectoris istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T meningkat
Stabil ringan (ICS III-IV). Tidak ada gelombang
Hilang dengan nitrat Q
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak Inversi Gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, dalam nilai batas atas
perlu opium normal
STEMI Lebih berat dan lama Elevasi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak inversi gelombang T minimal 2 kali
hilang dengan nitrat, nilai batas atas
perlu opium normal
b. Respiratory
- Nafas yang memendek, dispnea, takipnea
- Krakles dapat terdengar jika ada kongesti pulmonary
- Dapat pula disertai edema paru
c. Gastrointestinal
Mual dan muntah
d. Urinary
Penurunan keluaran urin dapat mengindikasikan syok kardiogenik
e. Integumen
Dingin, berkeringat, diaforesis, dan pucat, dapat muncul karena stimulus dari
kurangnya kontraktilitas yang dapat mengindikasikan adanya shock
kardiogenik. Oedema dapat muncul karena kurangnya kontaktilitas.
6. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI
dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging,
dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark
akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan
elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan
berkembang menjadi gelombang Q. Sebagian kecil berkembang menjadi
gelombang non-Q. Pada STEMI inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III,
dan aVF.
Cardiac Imaging
a) Echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak
dapat dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut
dengan echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya.
Ketika tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal
akanada atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan
echocardiography dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti
apakah pasien harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic
untuk fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi
penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor
RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark pada ventrikel
kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan thrombus pada ventrikel
kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga dapat mendeteksi dan
kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi STEMI.
7. Penatalaksanaan
Menurut American Heart Ascossiation, 2013
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan
tatalaksana komplikasi IMA (Smeltzer, 2001)
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi
umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump
failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam
pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien yang dicurigai
STEMI antara lain:
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien
STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah
sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan
pasien memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat
dimulai dalam 30 menit sejak EMS tiba.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI,
hospital door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang
mempunyai indikasi fibrinolitik.
Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-
door-to-balloon time harus dalam waktu 90 menit.
c. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
d. Melakukan terapi perfusi.
Tatalaksana STEMI
a. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang
merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko rendah ke
ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI.
b. Tatalaksana Umum
Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi
oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan
meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga
diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru. Terapi
nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel
kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih dan
hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini
dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau
blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral
dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasadiberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100
mg tiap 12 jam.
Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik
dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI
dapat dicapai dalam 90 menit. Tujuan manajemen medis dicapai
dengan reperfusi melalui penggunaan obat trombolitik atau PTCA
(percutaneous transluminal coronary angioplasty). PTCA dapat
dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI
(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh
tenaga ahli berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan
gejala iskemik pada waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk
membuka hambatan pada arteri koroner dan menunjang reperfusi pada
area yang kekurangan oksigen. Biasanya dilakukan dengan
menggunakan balon/ stent/ ring.
8. Komplikasi
8.1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada
zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan
lokasi infark.
8.2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa
dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis
yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
8.3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala awal.
Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
8.4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena
pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan
mengakibatkan kongesti vena sistemik.
8.5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan
manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner,
peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan hipoksemia
yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
8.6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil
oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan
tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi
hipoksia berat.
8.7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium
selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran
ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
8.8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding septum
sehingga terjadi defek septum ventrikel.
8.9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut.
Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif ke
dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat berkembang.
Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehingga
menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi
aliran balik vena dan curah jantung.
8.10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik
dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
8.11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi kasar
yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus. Pecahan thrombus
mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
8.12. Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan
menimbulkan reaksi peradangan.
DAFTAR PUSTAKA