Anda di halaman 1dari 17

PENGELOLAAN DAN PENGENDALIAN LIMBAH B3

PADA PROSES INSINERASI

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengelolaan Limbah B3

DISUSUN OLEH:

1. Fatkhu Alfi Khasanah (21251420) 8. Oktavina Darmanti (21251427)


2. Authamalia K P (21251418) 9. Syarah Sugandi Putri (21251422)
3. Fakhira Sofia Hanum (21251416) 10. Nurul Ismuliandari (21251417)
4. Nabila Ainun Sifa (21251419) 11. Dara Khairunnisa Asri (21251430)
5. Mohamad Iqbal (21251424) 12. Fathira Ayuni (21251431)
6. Atika Yendrian Putri (21251421) 13. Givan Alva Ridho (21251433)
7. Arini Muzayana (21251446) 14. Bayu Wafiudin (21251432)

DOSEN PEMBIMBING:

Drs. KRT. SADONO MULYO, M.Kes.

KELAS ALIH JALUR


PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2021/2021

1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 3
1.2 Tujuan dan Manfaat ......................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 5
BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................................. 12
3.1 Metode penanganan limbah B3 yang umumnya diterapkan adalah sebagai berikut. .... 12
3.3.1. Metode pengolahan secara kimia, fisik dan biologi................................................ 12
3.3.2. Metode Pembuangan Limbah B3............................................................................ 12
3.2 Strategi Pengelolaan Limbah B3 : .................................................................................. 13
3.3 Prinsip-prinsip Pengelolaan Limbah B3 ........................................................................ 14
3.4 Life Cycle Assessment (LCA) ....................................................................................... 14
3.4.1 Penerapan Life Cycle Assessment (LCA) .................................................................. 14
3.4.2 Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan batako ........................................... 15
BAB IV KESIMPULAN .............................................................................................................. 17

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pembuatan Batako dari Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Kabupaten Karawang .. 15
Tabel 2 Komposisi Pembuatan Batako di Desa Kuta Mekar, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang
................................................................................................................................................................... 16

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya
alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir
maupun untuk mencapai kepuasan batin. Adanya kegiatan pembangunan yang semakin
meningkat sebagai upaya peningkatan kesejahteraan hidup selalu mengandung resiko
pencemaran dan perusakkan lingkungan hidup, sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem
yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya
alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Salah satu dampak
tersebut adalah dihasilkannya limbah buangan. Berbagai jenis limbah buangan yang tidak
memenuhi standar baku mutu limbah merupakan sumber pencemaran dan perusakan
lingkungan yang utama.
Undang-Undang Republik Indonesia No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa limbah adalah sisa suatu usaha dan
atau kegiatan. Limbah merupakan suatu benda yang mengandung zat yang bersifat
membahayakan atau tidak membahayakan kehidupan manusia, hewan, serta lingkungan dan
umumnya muncul karena hasil perbuatan manusia, termasuk industrialisasi Lingkungan yang
telah tercemar dan rusak, akan menimbulkan dan meningkatkan biaya eksternalitas yang
harus ditanggung oleh masyarakat. Kondisi demikian rawan sekali terhadap resiko timbulnya
konflik sosial, yang pada akhirnya akan mengancam kelestarian dari industri itu sendiri.
Untuk menghindari terjadinya kerusakkan lingkungan tersebut perlu dilaksanakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Berdasarkan UU No. 18
tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Pengelolaan sampah meliputi kegiatan
pengurangan dan penanganan sampah. Yang termasuk dalam kegiatan pengurangan sampah
adalah kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah dan pemanfaatan
kembali sampah (sering disebut dengan kegiatan 3R). Sedangkan penanganan sampah
meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor
03/PRT/M/2013, teknologi pengolahan sampah meliputi teknologi pengolahan secara fisik,
teknologi pengolahan secara kimia, teknologi pengolahan secara biologi, teknologi
pengolahan secara termal dan teknologi pengolahan lain yang dapat menghasilkan bahan
bakar.Dari sekian jenis teknologi tersebut, teknologi termal khususnya teknologi insinerasi
merupakan teknologi proven untuk mengolah sampah campuran. Sudah banyak negara maju
yang menggunakan teknologi insinerasi untuk mengolah sampah kota mereka. Selain volume
sampah bisa berkurang, energi yang dihasilkan pun bisa dimanfaatka.
Untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang dapat ditimbulkan dari limbah B3
yang dihasilkan maka limbah B3 yang telah dihasilkan perlu dikelola secara khusus.
Pengelolaan limbah B3 merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan,

3
pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk
penimbunan hasil pengolahan tersebut. Dalam rangkaian kegiatan tersebut terkait beberapa
pihak yang masing-masing merupakan mata rantai dalam pengelolaan limbah B3, yaitu:
penghasil Limbah B3, pengumpul Limbah B3, pengangkut Limbah B3, pemanfaat Limbah
B3; pengolah Limbah B3, penimbun Limbah B3. Dalam melakukan pengelolaan limbah B3
perlu diperhatikan hirarki pengelolaan limbah B3 antara lain dengan mengupayakan reduksi
pada sumber, pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, dan
digunakannya teknologi bersih. Bilamana masih dihasilkan limbah B3 maka diupayakan
pemanfaatan limbah B3.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu meningkatkan pengetahuan atau wawasan
mengenai pengelolaan limbah B3 diantaranya prinsip pengelolaan limbah b3, upaya
pencegahan pencemaran dari b3 ke lingkungan, upaya meminimalisir B3, teknologi
pengelolaan limbah B3, dan proses insenerasi dan insenerator.
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengurangi pencemaran
lingkungan dengan sudah diketahuinya bagaimana cara meminimalisir B3 dan pengelolaan
limbah B3.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Bahan Bahaya dan Beracun (B3)


Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 menerangkan yang dimaksud
dengan limbah B3 adalah “zat energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat,
konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lain. Kriteria Penetapan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun Berdasarkan PP Nomer 101 Tahun 2014 adalah :
1. Limbah B3 Mudah Meledak Limbah B3 mudah meledak adalah limbah yang
pada suhu dan tekanan standar yaitu 25oC (dua puluh lima derajat Celcius) atau 760
mmHg (tujuh ratus enam puluh millimeters of mercury) dapat meledak, atau melalui
reaksi kimia dan/atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi
yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya.
2. Limbah B3 Mudah Menyala Limbah berupa cairan yang mengandung alkohol
kurang dari 24% (dua puluh empat persen) volume dan/atau pada titik nyala tidak lebih
dari 60oC (enam puluh derajat Celcius) atau 140o F (seratus empat puluh derajat
Fahrenheit) akan menyala jika terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala
lain pada tekanan udara 760 mmHg (tujuh ratus enam puluh millimeters of mercury).
3. Limbah B3 reaktif Limbah B3 reaktif adalah limbah yang memiliki salah satu
atau lebih sifat-sifat berikut: a. Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat
menyebabkan perubahan tanpa peledakan. b. Limbah yang jika bercampur dengan air
berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap, atau asap. c. Merupakan
Limbah sianida, sulfida yang pada kondisi pH antara 2 (dua) dan 12,5 (dua belas koma
lima) dapat menghasilkan gas, uap, atau asap beracun.
4. Limbah B3 Infeksius Limbah B3 bersifat infeksius yaitu Limbah medis padat
yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan, dan
organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit
pada manusia rentan.
5. Limbah B3 Korosif Limbah B3 korosif adalah Limbah yang memiliki salah
satu atau lebih sifat-sifat berikut: a. Limbah dengan pH sama atau kurang dari 2 (dua)

5
untuk Limbah bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 (dua belas koma lima)
untuk yang bersifat basa. b. Limbah yang menyebabkan tingkat iritasi yang ditandai
dengan adanya kemerahan atau eritema dan pembengkakan atau edema.
6. Limbah B3 Beracun Limbah B3 beracun adalah Limbah yang memiliki
karakteristik beracun berdasarkan uji penentuan karakteristik beracun melalui TCLP, Uji
Toksikologi LD50, dan uji sub-kronis.
2.2 Identifikasi Limbah B3
Menurut PP No. 101 tahun 2014 limbah dapat diidentifikasikan menurut sumber
dan atau uji karakteristik. Sumber limbah B3 dibedakan menjadi sebagai berikut: a)
Limbah B3 sumber spesifik Limbah B3 dari sumber spesifik adalah limbah B3 sisa
proses suatu industri atau kegiatan spesifik dapat ditentukan. b) Limbah B3 sumber tidak
spesifik Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah B3 yang pada umumnya
berasal bukan dari proses utamanya, tetapi berasal dari kegiatan pemeliharaan alat,
pencurian, pencegahan korosi (inhibitor korosi), pelarutan kerak, pengemasan, dan lain-
lain. c) Limbah B3 dari bahan kimia kadarluasa, tumpahan, bekas kemasan, buangan
produk yang tidak memenuhi spesifikasi. Limbah b3 dari bahan kimia kadarluasa,
tumpahan, sisa kemasan, atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi, karena
tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat dimanfaatkan kembali
maka suatu produk menjadi limbah B3 yang memerlukan pengelolaan. Hal yang sama
juga berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-bahan kimia yang kadarluasa.
2.3 Pengelolaan Limbah B3
Pengelolaan limbah B3 adalah serangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penimbunan
limbah B3. Reduksi limbah B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi
jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B3 sebelum dihasilkan dari suatu
kegiatan (PP No.101 tahun 2014). Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang
menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, dan atau membuang B3. Adapun
tujuan dari pengelolaan limbah B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan limbah B3 serta
melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan
fungsinya kembali (PP No.101 tahun 2014).

6
2.4 Rekapitulasi limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Ari dan Darmanhuri (2014, Hal 12-20) menyatakan pengelolaan B3 bahwa
penghasil limbah B3 wajib membuat dan menyimpan catatan, tentang: a) Jenis,
karakterstik, jumlah, dan waktu dihasilkan limbah B3. b) Jenis, karakteristik, jumlah, dan
waktu penyerahan limbah B3. c) Nama pengangkut limbah B3 yang melaksanakan
pengiriman kepada pengumpul atau pemanfaat atau pengolah atau penimbun limbah B3.
2.5 Reporting limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Penghasil limbah B3 wajib menyampaikan catatan limbah B3 sekurang-
kurangnya sekali dalam 6 bulan kepada instansi yang terkait dan Bupati atau Wali
kotamadya Kepala daerah Tingkat II yang bersangkutan. Catatan limbah B3
dipergunakan untuk inventarisasi jumlah limbah yang dihasilkan dan sebagai bahan
evaluasi dalam rangka penetapan kebijakan dalam pengelolaan limbah B3 (PP No. 101
tahun 2014 pasal 11). Penyerahan limbah B3 oleh penghasil dan atau pengumpul dan
atau pemanfaat dan atau pengolah kepada pengangkut wajib disertai dengan dokumen
limbah B3. Setiap pengangkutan limbah B3 oleh pengangkut limbah B3 wajib disertai
dengan dokumen limbah B3. Pengangkut limbah B3 wajib menyerahkan limbah B3
kepada pengumpul dan atau pemanfaat dan atau penimbun limbah B3 yang ditunjuk oleh
penghasil limbah B3 (PP No.101 tahun 2014).
2.6 Insenerasi
Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara membakarsampah pada
suatu tungku pembakaran. Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi
materi padat menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar,
yaitu abu (bottom ash) dan debu (fly ash). Insinerasi merupakan proses pengolahan
buangan dengan cara pembakaran pada temperature yang sangat tinggi (>800oC) untuk
mereduksi sampah yang tergolong mudahterbakar (combustible), yang sudah tidak dapat
didaurulang lagi.
Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan,membunuh
bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan
limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai
85%-95% dan pengurangan berat sampai 70-80%.

7
Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat
karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke
bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk
panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari
komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu,
insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value)
limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses
pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari
sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah
padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber,
multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis
insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat
mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
2.7 Insinerator
Insinerator adalah alat yang digunakan untuk proses pembakaran sampah.Alat ini
berfungsi untuk merubah bentuk sampah menjadi lebih kecil dan praktisserta
menghasilkan sisa pembakaran yang steril sehingga dapat dibuang langsungke tanah.
Energi panas hasil pembakaran dalam insinerator dapat diguankansebagai energy
alternatif bagi proses lain seperti pemanasan atau pengeringan(Budiman, 2001).
Terdapat dua jenis insinerator berdasarkan metode pembakaran yangberlangsung
pada alat tersebut, yaitu tipe kontinyu dan tipe batch. Pada insineratortipe kontinyu,
sampah dimasukkan secara terus-menerus dengan debit tetapsedangkan padainsinerator
tipe batch, sampah dimasukkan sampai mencapai batas maksimumkemudian dibakar
bersamaan, (Budiman, 2001).
Insinerator adalah alat untuk menghancurkan limbah berupa pembakaran dengan
kondisi terkendali. Limbah dapat terurai dari senyawa organik menjadi senyawa
sederhana seperti CO2 dan H2O. Insinerator efektif terutama untuk buangan organik
dalam bentuk padat, cair, gas, lumpur cair dan lumpur padat. Proses ini tidak biasa
digunakan limbah organik seperti lumpur logam berat (heavy metalsludge) dan asam

8
anorganik. Zat karsinogenik patogenik dapat dihilangkan dengan sempurna bila
insinerator dioperasikan.
Insinerator memiliki kelebihan, yaitu dapat menghancurkan berbagai senyawa
organik dengan sempurna, tetapi terdapat kelemahan yaitu operator harus yang sudah
terlatih. Selain itu biaya investasi lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain dan
potensi emisi ke atmosfer lebih besar bila perencanaan tidak sesuai dengan kebutuhan
operasional.
2.7.1 Beberapa Jenis Insenerator
Insinerator dapat dibagi berdasarkan perbedaan tungku yang digunakan, yaitu:
• Statis (insinerator modular atau kecil, seperti insinerator RS)
Insinerator tungku statis terdiri dari dua ruang pembakaran, yang pertama berupa tungku
statis ditempat dimana limbah ditempatkan di suatu alas batch (burner)untuk
memanaskan ruang, menggunakan bahan bakar ar tambahanan sepererti LNG atau
minyak bakar agar tungku tersebut mempunyai suhu operasional sebelum limbah
dimasukkan kedalamnynya. Gas (buang) hasil pembakaran tidak sempurna diruang ini
dipindahkan ke ruang kedua, di tempat mana suhunya telah dinaikkan oleh pembakar
tambahan kedua guna menyempurnakan proses ini. residu anorganik yang tidak terbakar
atau abu dipindahkan pada sebuah alas reguler (reguler basis) dari tungku statis.
Tungku statis merupakan salah satu insinerator yang tidak terlalu mahal. Tungku ini
sesuai untuk limbah dengan jumlah yang relatif sedikit pada suatu alas batch(batch
basis).Kelemahan utamanya adalah kompleksitas pengoperasiannya sehingga
memerlukan staff yang terlatih baik.
• Mechanical stoker è biasanya untuk sampah kota
• Fluiduized bed è biasanya untuk limbah homogeny
Fluidized bed adalah teknologi pembakaran yang digunakandalalam pembangkit listrik.
Teknologi fluized bed ini diadaptasi dalamberbagai proses karena teknologi ini
mempunyai ai kemampuan memberikan derajat turbulensiyang tinggi, area transfer
panas yang besar untuk mencampur limbah berbahaya oksigen danmedia terfluidisasi.
Dengan pencampuran yang baik antara media inert (biasanya pasir) akanmemberikan
hasil insenerisasi yang baik, dengan udara berlebih rendah dan gradien temperature
yang minimal di seluruh media. Waktu tinggal yang digunakan antara 5 – 8 detik atau

9
lebih,pada temperatur 1400 – 1600ºF (760 – 870ºC).Kelebihan jenis insinerator ini
adalah nilai DRE yang tinggi temperatur yang relatif seragam, residunya yang relatif
tidak berbahaya serta biaya operasi dan pemeliharaan yang rendah. Beberapa jenis
fluidized bed ini antara lain: bubling fluidized bed dan circulating fluidized bed.

Gambar 2.1 Fluiduized bed incenerator

• Rotary kiln (tungku putar) è untuk limbah industri (limbah padat atau cair)
Tipe ini cocok untuk menginsinerasi limbah sludge ex WWT atau limbah yang
mempunyai kandungan air(water content)yang cukup tinggi dan volumenya cukup
besar. Sistem insinerator ini berputar pada bagian Primary Chamber, dengan tujuan
untuk mendapatkan pembakaran limbah yang merata keseluruh bagian.
Prosespembakarannya sama dengan tipe static, terjadi dua kali pembakaran dalam ruang
bakar 1 (primary chamber) untuk limbah dan ruang bakar 2 (secondary chamber) untuk
sisa-sisa gas yang belum sempurna terbakar dalam primary chamber.
Insinerator tungku putar terdiri dari tabung silinder yang berputar perlahan,yang
dipasang miring pada suatu tempat. Limbah dimasukkan ke insinerator dari salah satu
ujung dan dibakar ar sampai menjadi abu setelah limbah tersebutbergerak sampai ke
ujung lain. bahan bakar tambahan digunakan untukmenaikan suhu tungku dan
mempertahankan suhu selama operasional.Insinerator tungku putar dapat mengelola
berbagai limbah padatan, cairandan gas yang dimasukkan secara terpisah atau bersama.
Karena mahalnyabahan bakar guna memanaskan tungku putar, maka tungku ini

10
digunakan terbatas bagi limbah dalam jumlah besar yang dimasukkan secara terus
menerus.

Gambar 2.2 Rotary kiln incenerator

• Multiple hearthèMultiple Hearth Incinerator, yang telah digunakan sejak pertengahan


tahun 1900-an, terdiri dari suatu kerangka lapisan baja tahan api dengan serangkaian
tungku (hearth) yang tersusun secara vertikal, satu di atasyang lainnya dan biasanya
berjumlah 5-8 buah tungku, shaft rabblearms besertarabble teeth-nya dengan kecepatan
putaran ¾-2 rpm. (Gunadi P.2004)

Gambar 2.3 Multiple hearth Incenerator

11
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Metode penanganan limbah B3 yang umumnya diterapkan adalah sebagai


berikut.
3.3.1. Metode pengolahan secara kimia, fisik dan biologi
Proses pengolahan limbah B3 dapat dilakukan secara kimia, fisik, atau biologi.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umumnya dilakukan adalah
stabilisasi/ solidifikasi . stabilisasi/solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan
sifat kimia dengan menambahkan bahan peningkat atau senyawa pereaksi tertentu untuk
memperkecil atau membatasi pelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah,
sebelum dibuang. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses
stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metode
insinerasi (pembakaran) dapat diterapkan untuk memperkecil volume B3 namun saat
melakukan pembakaran perlu dilakukan pengontrolan ketat agar gas beracun hasil
pembakaran tidak mencemari udara.
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah cukup berkembang saat
ini dikenal dengan istilah bioremediasi dan viktoremediasi. Bioremediasi adalah
penggunaan bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3,
sedangkan Vitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan
mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat
dalam mengatasi pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih muran
dibandingkan dengan metode Kimia atau Fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki
kelemahan. Proses Bioremediasi dan Vitoremediasi merupakan proses alami sehingga
membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam
skala besar. Selain itu, karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan
dapat membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem.
3.3.2. Metode Pembuangan Limbah B3
a) Sumur dalam/ Sumur Injeksi (deep well injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah
dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa kelapisan batuan yang dalam, di
bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3
ini akan terperangkap dilapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Namun, sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadinya kebocoran atau korosi pipa atau
pecahnya lapisan batuan akibat gempa sehingga limbah merembes kelapisan tanah.
b) Kolam penyimpanan (surface impoundments)
limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang memang dibuat untuk
limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan
limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkosentrasi dan mengendap di
dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin
tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut
menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.
c) Landfill untuk limbah B3 (secure landfils)
limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus pengamanan tinggi. Pada
metode pembuangan secure landfills, limbah B3 ditempatkan dalam drum atau tong-tong,

12
kemudian dikubur dalam landfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran
limbah B3. Landffill ini harus dilengkapi peralatan moditoring yang lengkap untuk
mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan
dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Namun, metode
secure landfill merupakan metode yang memliki biaya operasi tinggi, masih ada
kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena
limbah akan semakin menumpuk.

(https://environment-indonesia.com/articles/cara-mengolah-dan-menangani-limbah-b3-
dengan-benar)

Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem yang terdiri dari suatu tatanan unsur
keseluruhan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyeimbangkan stabilitas dan
produktivitas terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan
limbah bahan berdahaya dan beracun bahwa limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Sedangkan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, dan serta kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup. Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Yang dimaksud dengan limbah B3 disini adalah “setiap limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan /atau beracun yang karena sifat dan /atau konsentrasinya dan /atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak dan /atau mencemarkan lingkungan
hidup dan /atau membahayakan.” Dampak yang ditimbulkan oleh limbah B3 yang dibuang
langsung ke lingkungan sangat besar dan dapat bersifat akumulatif, sehingga dampak tersebut
akan berantai mengikuti proses pengangkutan (sirkulasi) bahan dan jaring-jaring rantai makanan.
Mengingat besarnya resiko yang ditimbulkan tersebut maka pemerintah telah berusaha untuk
mengelola limbah B3 secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.

3.2 Strategi Pengelolaan Limbah B3 :


a) Mempromosikan dan mengembangkan teknik minimisasi limbah melalui teknologi
bersih, penggunaan kembali, perolehan kembali, dan daur ulang.
b) Meningkatkan kesadaran masyarakat. Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3, (Setiyono)
73
c) Meningkatkan kerjasama antar instansi, baik di pusat, daerah maupun inter- nasional,
dalam pengelolaan limbah B3.
d) Melaksanakan dan mengembangkan peraturan perundang-undangan yang ada.
e) Membangun Pusat-pusat Pengolahan Limbah Industri B3 (PPLI-B3) di wilayah yang
padat industri.

13
3.3 Prinsip-prinsip Pengelolaan Limbah B3
a) “POLLUTION PREVENTION PRINCIPLE” (Upaya meminimasi timbulan limbah).
b) “POLLUTER PAYS PRINCIPLE” (Pencemaran harus membayar semuabiaya yang
diakibatkannya).
c) “CRADLE TO GRAVE PRINCIPLE” Pengawasan mulai dari dihasilkan sampai
dibuang/ditimbunnya limbah B3
d) Pengolahan dan penimbunan limbah B3 diusahakan dilakukan sedekat mungkin dengan
sumbernya.
e) “NON DESCRIMINATORY PRINCIPLE” (Semua limbah B3 harus diberlakukan sama
di dalam pengolahan dan penanganannya.
f) “SUSTAINABLE DEVELOPMENT” (Pembangunan berkelanjutan).

3.4 Life Cycle Assessment (LCA)


Life Cycle Assessment (LCA) adalah metode untuk menganalisis beban atau dampak
lingkungan di semua tahapan dalam suatu siklus hidup suatu sumber daya, baik dari proses awal
ekstraksi hingga tidak dapat digunakan kembali (dibuang) (Palupi dkk., 2014). Tahap pertama
pada LCA adalah menyususun dan menginventarisasi masukan dan keluaran yang berhubungan
dengan produk yang akan dihasilkan. Kemudian melakukan evaluasi terhadap potensi dampak
lingkungan yang berhubungan dengan masukan atau keluaran dari produk tersebut; serta
menginterprestasikan hasil analisis dan penafsiran dampak dari setiap tahapan yang berhubungan
dengan objek studi. LCA dapat memberikan informasi dampak lingkungan dari siklus produk,
dari ekstraksi bahan mentah, proses produksi, penggunaan produk dan waste dari produk yang
dihasilkan dari sebuah kegiatan produksi.
Life Cycle Assessment (LCA) lingkungan adalah sebuah alat dalam untuk melakukan
analisis. LCA menganalisis aspek lingkungan dan dampak yang berpotesi terhadap keseluruhan
siklus suatu “produk” dari bahan mentah hingga produksi, penggunaan hingga pembuangan
akhir. Arti LCA dalam kalimat “produk” dalam konteksi ini adalah sistem pelayanan, yakni
sistem pengelolaan sampah (Banar dkk., 2009).
3.4.1 Penerapan Life Cycle Assessment (LCA)
Dalam penerapan LCA, digunakan software SimaPro untuk menganalisis dampak
lingkungan dari suatu proses. Sofware SimaPro memperkenankan untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan memonitor kondisi keberlanjutan suatu barang dan jasa. Hal ini memudahkan
untuk memodelkan dan menganalisis siklus hidup yang kompleks dalam suatu sistematika dan
transparasi, ukuran dampak lingkungan dari sebuah produk. Penerapan LCA pada penelitian ini
adalah dikhususkan untuk skenario pengelolaan sampah. Masing-masing pengelolaan sampah
yang digunakan, menghasilkan emisi lingkungan yakni Incinerasi.

14
Tabel 1 Pembuatan Batako dari Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Kabupaten Karawang

3.4.2 Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan batako, sebagai berikut:


a) Fly ash (abu terbang)
Fly ash (abu terbang) merupakan sisa dari hasil pembakaran batu bara pada pembangkit
listrik. Abu terbang mempunyai titik lebur sekitar 1300 dan mempunyai kerapatan
massa (densitas) antara 2.0–2.5 g/ . Abu terbang adalah salah satu residu yang
dihasilkan dalam pembakaran dan terdiri dari partikel-partikel halus.
b) Bottom ash (abu padat)
Bottom ash (abu padat) merupakan sisa pembakaran batu bara yang tidak terbakar dan
umumnya menempel pada bagian bawah atau tempok tungku pembakaran yang di
temukan setelah pembakaran atau insinerasi. Jenis bottom ash dapat didaur ulang menjadi
bahan bangunan untuk kontruksi jalan atau menjadi semen dan atau beton.
c) Limbah karbit
Limbah karbit merupakan pembuangan sisa-sisa dari proses penyambungan logam
dengan logam (pengelasan) yang menggunakan gas karbit (gas aseteline=C2H2) sebagai
bahan bakar. Limbah karbit mengandung sekitar 60% unsurkalsium.
d) Sand foundry/dust grinding/dust casting/furnace slag merupakan limbah padat yang
berupa limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) salah satu bahan untuk dijadikan
batako.

Bahan-bahan tersebut termasuk dalam jenis limbah padat dalam limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3) untuk melakukan pembuatan atau pengelolaan batako demgam komposisi yang
telah ditentukan.

15
Tabel 2 Komposisi Pembuatan Batako di Desa Kuta Mekar, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang

Dalam pemanfaatan sistem lain dengan beberapa jenis limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) berupa fly ash, bottom ash, sand foundry/dust grinding/dust casting/furnace slag
selain membuat batako bisa juga dibuat menjadi coran atau untuk mengecor jalan-jalan kecil di
perkampung yang tidak dilalui oleh mobil-mobil besar. Jadi pengecoran ini hanya dimanfaatkan
hanya untuk mengecor halaman-halaman.
Sedangkan pemanfaatan air limbah (coolant, ink waste, paint waste, dye waste, larutan
bekas pickling, larutan bekas electroplating, limbah B3 fasa cair dari laboratorium, pelarut bekas,
contaminated liquid waste, larutan asam/alkali bekas) dengan system elektrokoagulasi (EC),
jenis bahan yang dilarang diumpankan ke dalam unit EC adalah larutan asam dan basa kuat (pH
< 4 atau Ph > 12), larutan solvent, dan oily water. air limbah pabrik yang tidak bermanfaat lagi di
netralisir, pH- nya di turunkan setelah di netralisir molekul cairan itu lalu diendapkan dengan
tenaga elektrik setelah diendapkan di mesin press jadi tersisa endapan dengan cairan setelah pH-
nya sudah turun layak si cairan nanti dibuang bisa dibuang namun jika berbahaya agar amannya
jadi si cairan tersebut digunakan dan dicampur untuk mengaduk semen dalam pembuatan batako.

16
BAB IV KESIMPULAN

Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dapat dilakukan dengan insinerasi
dengan alat insenerator. Insinerasi adalah metode pengolahan sampah dengan cara pembakaran
pada suatu tunggu pembakaran diatas 800 ゜C. Hirarki pengolahan limbah B3 antara lain dengan

mengupayakan reduksi dari sumber, pengolahan bahan, subtitusi bahan, pengaturan operasi
kegiatan, dan digunakannya teknologi bersih.

17

Anda mungkin juga menyukai