Anda di halaman 1dari 6

subtema: Green Building dan Green Energy

KETERGANTUNGAN PETANI AKAN PUPUK BERSUBSIDI DARI


PEMERINTAH DAN ANALISIS POTENSI PEMAKAIAN PUPUK
ORGANIK YANG LEBIH RAMAH LINGKUNGAN DAN SEJALAN
DENGAN SEMANGAT KONSERVASI
Khodijah Sefinda

Universitas Negeri Semarang

ksefinda@gmail.com

082324019731

Abstrak

Sudah umum diketahui bahwa pupuk merupakan input penting dalam meningkatkan
produktivitas tanaman pangan. Pupuk menjadi kebutuhan pokok bagi petani demi menjamin
hasil produksi pertanian mereka tetap stabil bahkan meningkat. Sayangnya, bagi sebagian
petani memperoleh pupuk merupakan hal yang membebankan karena harganya tidak bisa
dibilang murah. Di sinilah pemerintah menunjukkan aksinya sebagai penyokong kegiatan
produksi agrikultara di Indonesia, yaitu melalui pupuk bersubsidi. Kebijakan subsidi pupuk
bertujuan untuk mendukung sektor pertanian dengan memberikan subsidi input melalui
penetapan HET pupuk subsidi. Petani yang bisa menikmati pupuk subsidi ini adalah mereka
yang sudah memiliki Kartu Tani atau sudah tercatat di e-RDKK (Rencana Definisi Kebutuhan
Kelompok) sesuai pengajuan yang diterima Kementan dari usulan pemerintah daerah.
Walaupun dengan adanya kebijakan pupuk subsidi ini pun, petani tetap sering mendapat
kendala dalam pemanfaatannya. Seperti kelangkaan pupuk yang masih sering dirasakan petani
di mana mereka kesulitan mendapat pupuk dari kios pengecer atau distributor. Maka hal itu
akan mempengaruhi kegiatan bertani mereka. Di sini mereka dipaksa harus kreatif dan tanggap
dalam menyikapi permasalahan yang ada. Salah satunya dengan melihat pupuk lain selain
pupuk anorganik subsidi pemerintah, seperti pupuk organik yang ramah lingkungan. Pupuk
organik ini tentu membawa banyak manfaat dan hal positif terlebih bagi lingkungan dan
tanaman itu sendiri. Mengingat pupuk anorganik di samping manfaatnya bagi tanaman pangan,
dalam pemakaiannya disertai juga serentetan dampak negatif bagi lingkungan, tanaman,
bahkan manusia apabila dikonsumsi secara ceroboh tanpa proses pengolahan yang sesuai.

Kata Kunci: pupuk subsidi anorganik, tanaman pangan, pupuk organik, pertanian, ramah
lingkungan

Bantuan Pupuk Subsidi Anorganik dari Pemerintah untuk Petani

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, di mana sektor pertanian memiliki peran strategis
dalam Pembangunan Nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia
mengkonsumsi nasi sebagai bahan pokok, sehingga kebutuhan akan pasokan beras untuk
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia tinggi. Dengan demikian keberadaan
petani menjadi penting untuk dapat menyediakan pasokan kebutuhan bahan pokok bagi
mayarakat Indonesia (Muharjono & Zein Syarif. 2006)

Bertani adalah mata pencaharian yang dilakukan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mereka berperan sebagai penyedia pangan nasional. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah
sebagai pembuat kebijakan dan penyokong sektor pertanian Indonesia diharapkan mampu
menyediakan kemudahan serta sarana prasarana pendukung. Salah satunya dengan menjamin
ketersediaan pupuk yang merupakan kebutuhan pokok petani untuk meningkatkan produktivitas
hasil panen. Maka pemerintah memberikan subsidi pupuk kimia seperti Urea, Ammonia, NPK,
Petroganik, dan sebagainya bagi petani. Kebijakan subsidi pupuk dinilai berdampak positif
terhadap peningkatan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan petani, khususnya
tanaman pangan (Susila, 2010). Bantuan ini merupakan angin segar bagi para petani. Mereka
sangat mengandalkan dan bergantung pada pupuk subsidi tersebut dalam mengelola lahan
pertanian dan tanaman pangan yang mereka tanam.

Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan subsidi pupuk yang selama ini diterapkan juga
menimbulkan beberapa masalah seperti distribusi yang tidak adil dan tidak tepat sasaran,
dualisme pasar, penggunaan pupuk yang berlebihan, biaya subsidi lebih besar dari manfaat,
serta menghambat pengembangan industri pupuk nasional (Susila, 2010). Pupuk subsidi
seringkali sampai di tangan oknum yang tidak berhak, alhasil petani yang membutuhkan sering
kali kesulitan mendapatkan pupuk tersebut. Dihadapkan permasalahan ini, petani harus kreatif
memutar otak demi kelangsungan aktivitas pertanian mereka dan menjaga hasil produksi tetap
stabil.

Sisi Lain dari Pupuk Anorganik

Semua jadi lebih menarik saat kita juga menelaah lebih jauh dampak pemakaian pupuk kimia
anorganik yang merupakan subsidi dari pemerintah ini. Dalam pemakaian jangka pendek,
pupuk kimia anorganik memang mampu mempercepat masa tanam karena kandungan haranya
dapat langsung diserap tanah, namun dalam pemakaian jangka panjang, justru akan
menimbulkan banyak dampak negatif. Apalagi apabila penggunaannya berlebihan. Dan
sayangnya, dikutip dari sumber Sinergi Industri Pupuk Menunjang Pembangunan Nasional,
pemakaian pupuk kimia di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya.

Dilansir dari Liputan6.com penggunaan pupuk kimia berlebihan secara terus menerus dapat
merusak kualitas air di sekitar dan kualitas tanah. Pupuk dengan kandungan kalium dan
magnesium tinggi juga akan mempengaruhi kondisi pH tanah hingga terlalu basa dan justru
dapat merusak tanaman.

Residu dari pupuk akan membuat tanah keras dan tidak gembur. Pupuk kimia juga berpotensi
mengganggu cacing dan mikroorganisme lain yang berfungsi mengurangikan bahan organik
dan menyuburkan tanah. Mereka tidak bisa hidup di kawasan tersebut dan kehilangan unsur
alamiahnya. Bila ini terjadi maka tanah tidak dapat menghasilkan makanan secara mandiri lagi
dan jadi bergantung pada pupuk tambahan, khususnya pupuk kimia.

Apabila hal ini terjadi maka tanah pertanian akan mengalami ketergantungan pada pupuk kimia.
Namun apabila dipakai semakin banyak, tanah semakin rusak. Dan tanah yang semakin rusak
akan membuat petani semakin bergantung pada pupuk kimia.
Pada akhirnya, penghasilan petani semakin menurun akibat menurunnya produktifitas tanah
seiring dengan meningkatnya biaya akibat meningkatnya kebutuhan pupuk. Padahal belum
tentu pupuk yang disebar akan diserap dengan baik oleh tanaman. Biasanya tanaman hanya
mengambil unsur hara secukupnya dari lingkungan lahannya. Hasilnya, kelebihan pupuk (yang
mahal dan mengeluarkan cukup banyak biaya) pun jadi terbuang sia-sia dan residunya justru
akan semakin merusak tanah.

Menilik Opsi Lain: Pupuk Organik, Peluang dan Kendalanya

Dalam memenuhi kebutuhan tumbuh tanaman pangan, petani bisa mulai melirik pupuk selain
pupuk kimia subsidi dari pemerintah. Yaitu pupuk organik. Menurut Musnamar (2003) dan
Suriawiria (2002) pupuk organik memiliki banyak manfaat seperti menyuburkan tanah,
memperbaiki kondisi fisika, kimia, dan biologi tanah, aman bagi manusia dan lingkungan,
meningkatkan produksi pertanian, dan mengendalikan beberapa hama penyakit tertentu.
Namun ibarat dua sisi mata pisau, di balik sederet manfaat itu, pupuk organik juga bisa membawa
pengaruh buruk apabila digunakan dengan dosis besar dan berkesinambungan. Apalagi apabila bahan
pembuatan pupuknya memiliki unsur berbahaya di dalamnya semisal logam berat dan asam organik
dengan lebih dari satu radikal karboksil dalam susunannya. (Setyorini, 2005)

Kendala lain yang muncul adalah bisa jadi pupuk kandang malah bisa saja bersifat toksik bagi tumbuhan
karena mineral tembaga dan seng yang dikandungnya (Anonim, 2002). Apalagi penggunaan pupuk
organik ini diharuskan dipakai dalam jumlah melimpah karena sifatnya yang ruah, dengan sedikit
kandungan unsur hara, dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk merasakan efek pemakaian
pupuk organik ini. Oleh sebab itu, petani terlebih dahulu penting untuk mengetahui soal prinsip
pengomposan. Serta bagaimana baiknya penggunaan pupuk organik agar dapat memperoleh
hasil produksi pertanian yang maksimal namun tetap menjaga kelestarian lingkungan juga
sejalan dengan semangat konservasi dan penerapan Green Energy yang ramah lingkungan.

Dilansir dari website resmi Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Kementan juga
memberikan subsidi pupuk organik cair sebanyak 1,5 juta liter. Namun seperti yang sudah
dijabarkan di atas, masih banyak petani yang tetap kesulitan memperoleh pupuk tersebut
karena proses distribusi yang kurang tepat sasaran. Kalau sudah begini, petani harus membeli
sendiri pupuk organik tersebut dengan biaya yang jauh lebih mahal daripada yang bersubsidi, itu pun
kalau mereka belum kehabisan stok pupuk di kios eceran dan distributor. Di situasi ini petani bisa
mengambil tindakan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada dan kemauan belajar untuk
mengetahui dan mempelajari pembuatan pupuk organik sendiri. Dengan catatan, mengetahui pasti
prinsip kompos dan langkah-langkah bijak pemanfaatannya.

Apabila petani sudah berhasil menguasai itu dan mengatasi kendala pada pupuk kompos
organik, maka peluang pupuk organik untuk bersinar semakin terbuka lebar. Terlebih
permintaan akan produk pertanian organik lokal di Indonesia semakin meningkat beberapa
dekade terakhir ini. Masyarakat yang sudah semakin sadar akan kebutuhan hidup sehat sudah
mulai beralih pada produk pertanian organik dan mengurangi konsumsi produk pertanian
anorganik yang berpotensi besar memiliki sisa residu pupuk kimia yang membahayakan
kesehatan tubuh.

Selain itu bahan baku pembuatan pupuk organik selalu tersedia sepanjang waktu, harganya
murah, banyak manfaat dan mudah dalam proses pembuatannya hingga memungkinkan
dipelajari oleh petani Indonesia, seperti apa yang akan dibahas secara singkat di subbab
berikut ini. Juga akan dijabarkan beberapa poin yang bisa dilakukan untuk menutup kekurangan
dan kendala yang dimiliki pupuk organik.

Prinsip Pembuatan Pupuk Organik

Pada prinsipnya pembuatan pupuk kompos/pengomposan adalah memperkecil rasio C/N


bahan baku hingga mendekati rasio C/N tanah, yaitu di bawah 20. (Indriani, 2005). Apabila
rasio C/N bahan baku sudah kecil maka akan semakin cepat proses pengomposannya.
Pengomposan dari berbagai macam bahan baku akan lebih baik dan lebih cepat daripada dari
bahan baku tunggal. Selain itu penambahan kotoran hewan biasanya akan mempercepat laju
proses pengomposan (Indriani, 2005)

Saat proses pengomposan berlangsung, di sinilah berbagai mikroba bekerja. Apabila mereka
semakin banyak maka semakin cepat proses pengomposannya. Secara umum mikroba mampu
bekerja paling maksimal saat kelembaban 60%. Apabila kelembabannua terlalu tinggi atau
terlalu rendah menyebabkan mikroba tidak berkembang atau bahkan mati. Suhu juga penting
diperhatikan dalam proses ini. Suhu pengomposan yang optimal adalah 30-50°C. Saat sudah
tiba di proses dekomposisi/penguraian suhu harus tetap 60°C selama 3 minggu. Di suhu itu
bakteri akan bekerja optimal, bakteri parasit penyebab hama penyakit, bibit gulma akan mati,
dan terjadi penurunan rasio C/N. Kalau suhu terlampau tinggi, mikroba akan mati, sebaliknya
apabila terlalu rendah mikroba akan mengalami dorman dan tidak dapat bekerja.

Prinsip yang sama juga berlaku bagi pembuatan pupuk organik cair yang belakangan ini
sedang naik daun. Bahan baku utamanya adalah urin sapi, kambing, kelinci, dan hewan ternak
lainnya. Apabila sudah diproses dengan benar, maka pupuk kompos buatan sendiri dengan
bahan baku sampah organik itu siap menjalankan tugas menyuburkan tanah dan berbagai macam
tanaman.

Namun kekurangan pupuk organik tidak dapat diabaikan begitu saja. Kualitas kompos sekali
waktu kadang tidak konsisten, tergantung pada bahan bakunya. Selain itu, pemakaian daalm jumlah
berlebihan juga akan mencemari lingkungan. Kandungan unsur hara yang rendah dari kompos ini juga
termasuk ke dalam sederet problematik pupuk kompos.

Berikut yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan mengatasi permasalahan-permasalahan


tersebut. Kandungan unsur hara dalam pupuk organik bisa didongkrak jumlah presentasenya
dengan beragam upaya. Seperti menambahkan urin atau kotoran hewan ternak, mikroba
penambat nitrogen, pupuk guano, batuan fosfat, atau arang dan abu sisa pembakaran.
Tergantung komponen apa yang ingin ditingkatkan. Penambahan mikroba ini juga akan mampu
meningkatkan kualitas pupuk organik. Mereka dapat diperoleh dari inokulum dan aktivator yang
banyak beredar di pasaran. Pemakaian pupuk sesuai dosis yang dibutuhkan tumbuhan tentu
akan mampu mengaburkan dampak negatif yang tidak diinginkan dan menjaga kesuburan
tanah sehingga lingkungan tetap terjaga kualitasnya dan akan terus bisa digunakan hingga
anak cucu kita generasi mendatang.

Sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan keberlangsungan nasib lingkungan yang kita tinggali.
Tidak hanya nasib yang sekarang namun juga nasibnya bagi anak cucu yang akan giliran
menempatinya di masa depan. Jadi kita tidak hanya memanfaatkan dan mengeksploitasi apa
yang ada di lingkungan sekarang, tanpa memikirkan dampaknya bagi lingkungan di masa
mendatang. Kita bisa memanfaatkan apa yang ada di bumi dan lingkungan kita dengan berusa
menghasilkan seminimal mungkin polusi lingkungan dan dampak negatifnya. Agar kelestarian
lingkungan tetap terjaga dan lahan tetap produktif mulai dari generasi kita, anak kita, hingga
anak cucu kita nanti di bumi Indonesia.

Daftar Pustaka

Abdi, Husnul (2020) Liputan6: 5 Dampak Negatif Penggunaan Pupuk Berlebihan pada Tanaman. Diakses
dari https://m.liputan6.com/hot/read/4429900/5-dampak-negatif-penggunaan-pupuk-berlebihan-pada-
tanaman

Anonim, 2002, Compost Production and Use: Some New Developments. Diakses dari
http://www.ffte.agnet.org

Anonim, 2008, Sinergi Industri Pupuk Menunjang Pembangunan Nasional, Asosiasi Produsen
Pupuk Indonesia, Jakarta

Indriani, Y. H., 2005, Membuat Kompos Secara Kilat, Jakarta, Penebar Swadaya.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Tahun 2021, Kementan Tambah Alokasi Pupuk
Bersubsidi. Diakses dari https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4643

Muharjono, Zein Syarif. 2006. Pembangunan Pertanian. Jakarta. Universitas Terbuka.

Musnamar, E. I., 2003, Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasinya, Jakarta, Penebar
Swadaya.

Sentana, Suharwaji. (2010). Pupuk organik, peluang dan kendalanya. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber
Daya Alam Indonesia.

Setyorini, D., 2005, Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Tanaman. Warta Penelitian dan
Pengembanagn Pertanian, 27, 13-15.

Suriawiria, U., 2002, Pupuk Organik Kompos dari Sampah. Bandung: Humaniora, 53.

Susila, W. R., 2010, Kebijakan subsidi pupuk: ditinjau kembali, Jurnal Litbang Pertanian, 29(2),
44-49.
http://www.kompasiana.com/charismarahma/masih-mau-pakai-pupuk-kimia-yuk-intip-
bahayanya_54f84872a33311d55e8b4963

http://berita.suaramerdeka.com/bebrayan/masih-mau-pakai-pupuk-kimia-yuk-intip-bahayanya/

Anda mungkin juga menyukai