Anda di halaman 1dari 18

Causes and Consequences of Mainstream Media Dissemination of Fake News:

Literature Review and Synthesis

(Penyebab dan Konsekuensi Penyebaran Berita Palsu dari Media Mainstream:


Tinjauan Sastra dan Sintesis)
1

DAFTAR ISI

A. Berita Palsu dan Efek yang ditimbulkan................................................................1


B. Media Mainstream sebagai Media Penyebar Berita Palsu.....................................3
C. Faktor-faktor Media Mainstream dalam Penyebaran Berita Palsu........................6
1. Persepsi Peran Jurnalis.......................................................................................6
2. Nilai-Nilai Tradisional Berita.............................................................................6
3. Psikologi Pengambilan Keputusan Berita..........................................................7
4. Infrastruktur untuk Meliput apa yang Terjadi di Dunia Online..........................8
D. Implikasi Penyebaran Berita Palsu oleh Media Mainstream.................................8
E. Catatan Penulis.....................................................................................................14
2

A. Berita Palsu dan Efek yang ditimbulkan


Berita palsu sekarang ini sedang marak tersebar di berbagai media. Baik
itu media cetak maupun media online. Sayangnya, dominan dari masyarakat
kurang peduli dengan adanya hal tersebut dan cenderung tidak sadar akan
penyebaran berita palsu tersebut meski dalam porsi yang relatif kecil yang
tersebar di media. Kebanyakan dari masyarakat bisa dengan mudah
mempercayai berita palsu dan tak ragu untuk menyebarluaskan kepada
khalayak. Berita palsu adalah berita palsu yang diada-adakan atau
diputarbalikkan dari realitas sesungguhnya. Banyak kasus atau peristiwa yang
sebenarnya tidak terjadi namun diangkat menjadi sebuah berita dan dikemas
sebaik mungkin agar khalayak tertarik untuk membacanya. Berita palsu banyak
tersebar di berbagai media (Tsfati, et al., 2020).
Bahkan beberapa media online mainstream pun banyak mengakat berita-
berita palsu untuk dijadikan informasi bagi khalayak. Sebagai masyarakat
modern dan berpendidikan, kita harus pandai dalam menggali informasi. Kita
wajib membaca dengan teliti dan menelusuri sumber dari berita tersebut dan
yang terpenting adalah jangan terlalu mudah untuk menyebarluaskan berita
tersebut sebelum berita tersebut diketahui keasliannya. Terdapat beberapa
faktor penyebab cepat beredarnya berita palsu adalah (Alcott, Gentzkow and
Yu 2018):
1. Masyarakat sendiri yang dinilai tidak biasa berdemokrasi secara sehat.
2. Kebanyakan masyarakat tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data
sehingga sering berbicara tanpa data.
3. Masyarakat juga memiliki sifat dasar suka berbincang, maka informasi yang
diterima itu lalu dibagikan lagi tanpa melakukan verifikasi.
Pada dasarnya, dalam berkomunikasi, seseorang wajib menggunakan etika
komunikasi dengan baik dan benar. Begitupun dalam hal menyebarkan
informasi, harus sesuai dengan fakta, tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-
3

kurangkan dan tidak diputarbalikkan dari fakta sebenarnya. Istilah fairness


dalam ilmu komunikasi, khususnya yang menyangkut dengan komunikasi
massa meliputi beberapa aspek etis. Misalnya menerapkan etika kejujuran atau
obyektivitas berdasarkan fakta, berlaku adil atau tidak memihak dengan
menulis berita secara seimbang serta menerapkan etika kepautan dan
kewajaran.
Jika jawaban untuk pertanyaan penelitian pertama adalah bahwa media
berita arus utama tampaknya memainkan peran penting berperan dalam
penyebaran berita palsu, pertanyaan kedua menanyakan mengapa media berita
meliput berita palsu untuk dijadikan bahan. Padahal, hakikatnya, jurnali selalu
diharapkan untuk melaporkan berita-berita di atas segalanya adalah kebenaran
itu sendiri. Dengan demikian, Tandoc et al. (2018) melihat berita palsu sebagai
oxymoron. Meski begitu, setidaknya terdapat empat alasan penting mengapa
media berita arus utama meliput berita palsu, yang mana terkait dengan (a)
persepsi peran jurnalis, (b) nilai-nilai berita tradisional, (c) psikologi keputusan
berita, dan (d) infrastruktur untuk meliput apa yang terjadi di dunia online.
Tentu saja hal tersebut sangat menarik untuk diperbincangkan. Sehingga,
hampir semua media perlu memiliki bahan berita dan informasi untuk para
khalayak. Namun, banyak juga pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab
menjadikan hal tersebut kedalam berbagai berita yang tidak sesuai dan
menghasilkan informasi palsu. Berita palsu adalah berita yang dapat merugikan
bagi para khalayak.
Meskipun telah banyak pihak yang menetapkan adanya berita palsu dan
harus dihentikan dalam penyebaran berita palsu, namun pemberitaan bohong
yang telah menyebar baik di nasional maupun di daerah semakin
menghawatirkan, pembuktian yang sulit dan penyebaran berita yang pesat dan
tidak terkendali membuat pihak media dan masyarakat harus bekerja keras
dalam melakukan pencarian informasi yang benar.
4

B. Media Mainstream sebagai Media Penyebar Berita Palsu


Berita palsu merupakan berita yang berusaha menggantikan berita yang
asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran
dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang
tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong
bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
Sejauh ini, penelitian mengenai berita palsu yang beredar di media masih
terbatas, dimana juga diketahui adanya peran paradoks ini media arus utama
dalam penyebaran disinformasi, dengan sedikit refleksi tentang penyebabnya dan
konsekuensi dari media berita mainstream yang menyebarkan berita palsu. Efek
dari cakupan berita palsu di media berita arus utama pada audiensi media berita,
termasuk kemungkinan itu bagian dari audiens mempelajari informasi yang salah
meskipun fakta bahwa wartawan utama meliput itu sebagai palsu, namun banyak
dari kalangan peneliti maupun ilmuan mengabaikan hal tersebut.
Untuk memperbaiki hal keseluruhan tujuan dari penyebaran berita palsu,
hal yang perlu menjadi perhatian, mengapa meida berita mainstream
menyebarkan berita palsu dapat diketahui dari tiga pertanyaan kunci sebagai
berikut:
a) Apa peran yang dilakukan media berita mainstream dalam penyebaran berita
palsu?
b) Mengapa media berita mainstream menutupi berita palsu?
c) Apa pengaruh potensial liputan media berita mainstream tentang berita palsu
terhadap audiens atau pembaca mereka?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan menghasilkan pengetahuan
penting tidak hanya bagi para sarjana yang bekerja pada disinformasi, informasi
yang salah, kesalahan persepsi, ketahanan pengetahuan dan bidang terkait, tetapi
juga untuk jurnalis yang meliput informasi yang salah dan disinformasi serta
5

menyediakan pengecekan fakta. Akhirnya, khalayak media mungkin juga


membutuhkan pendidikan tentang peran paradoks jurnalis agar tidak jatuh ke
dalam perangkap mempelajari informasi yang salah dari liputan berita palsu oleh
berita media mainstream.
Informasi atau berita palsu adalah usaha untuk menipu atau mengakali
pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita
palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh
pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau
kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/ kejadian sejatinya.
Definisi lain menyatakan palsu adalah suatu tipuan yang digunakan untuk
mempercayai sesuatu yang salah dan seringkali tidak masuk akal yang melalui
media online.
Berita palsu bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring opini
publik, dan membentuk persepsi hanya ingin menghibur maupun dengan alasan
menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media sosial. Tujuan
penyebaran palsu beragam tapi pada umumnya palsu disebarkan sebagai bahan
lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign), promosi
dengan penipuan, ataupun ajakan untuk berbuat amalan -amalan baik yang
sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya. Namun ini menyebabkan
banyak penerima palsu terpancing untuk segera menyebarkan kepada rekan
sejawatnya sehingga akhirnya palsu ini dengan cepat tersebar luas. Orang lebih
cenderung percaya palsu jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang
dimiliki.
Media sosial merupakan sarana efektif dan efisien dalam menyampaikan
suatu informasi kepada pihak lain. Media sosial sebagai media dengan dinamika
sosial yang sangat tinggi dan memungkinkan komunikasi terbuka kepada
berbagai pihak dengan beragam latar belakang dan kepentingan adalah sarana
yang tepat untuk membangkitkan partisipasi warga dalam membangun kota.
Seperti yang dikemukan Howard dan Parks (2012) Media sosial adalah media
6

yang terdiri atas tiga bagian, yaitu : Insfrastruktur informasi dan alat yang
digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan isi media, Isi media dapat
berupa pesan-pesan pribadi, berita, gagasan, dan produk-produk budaya yang
berbentuk digital, Kemudian yang memproduksi dan mengkonsumsi isi media
dalam bentuk digital adalah individu, organisasi, dan industri. Kotler dan Keller
(2009) juga mengemukakan media sosial adalah media yang digunakan oleh
konsumen untuk berbagi teks, gambar, suara, dan video informasi baik dengan
orang lain maupun perusahaan dan vice versa. Pendapat tersebut didukung
pernyataan Carr dan Hayes (2015) dimana media sosial adalah media berbasis
internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan
mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun tertunda, dengan khalayak
luas maupun tidak yang mendorong nilai dari user-generated content dan
persepsi interaksi dengan orang lain. Media sosial digunakan secara produktif
oleh seluruh ranah masyarakat, bisnis, politik, media, periklanan, polisi, dan
layanan gawat darurat. Media sosial telah menjadi kunci untuk memprovokasi
pemikiran, dialog, dan tindakan seputar isu-isu sosial.
Fungsi media sosial dapat diketahui melalui sebuah kerangka kerja
honeycomb. Menurut Kietzmann, etl (2011) menggambarkan hubungan kerangka
kerja honeycomb sebagai penyajian sebuah kerangka kerja yang mendefinisikan
media sosial dengan menggunakan tujuh kotak bangunan fungsi yaitu identity,
cenversations, sharing, presence, relationships, reputation, dan groups
(Egelhofer and Lecheler 2019).
1. Identity menggambarkan pengaturan identitas para pengguna dalam
sebuah media sosial menyangkut nama, usia, jenis kelamin, profesi, lokasi
serta foto.
2. Conversations menggambarkan pengaturan para pengguna berkomunikasi
dengan pengguna lainnya dalam media sosial.
3. Sharing menggambarkan pertukaran, pembagian, serta penerimaan konten
berupa teks, gambar, atau video yang dilakukan oleh para pengguna.
7

4. Presence menggambarkan apakah para pengguna dapat mengakses


pengguna lainnya.
5. Relationship menggambarkan para pengguna terhubung atau terkait
dengan pengguna lainnya.
6. Reputation menggambarkan para pengguna dapat mengidentifikasi orang
lain serta dirinya sendiri.
7. Groups menggambarkan para pengguna dapat membentuk komunitas dan
subkomunitas yang memiliki latar belakang, minat, atau demografi.

C. Faktor-faktor Media Mainstream dalam Penyebaran Berita Palsu


Setidaknya terdapat empat alasan penting mengapa media berita arus
utama meliput berita palsu, yang mana terkait dengan (a) persepsi peran
jurnalis, (b) nilai-nilai berita tradisional, (c) psikologi keputusan berita, dan (d)
infrastruktur untuk meliput apa yang terjadi di dunia online (Tsfati, et al.
2020).
1. Persepsi Peran Jurnalis
Faktanya, pekerjaan jurnalis selalu dekat dengan peran yang mengandung
kebutuhan untuk mencari kebenaran dan untuk mengungkapkan apa yang tidak
benar. Bahkan saat meliput berita palsu, jurnalis memiliki peran untuk selalu
berada pada sudut pandang bahwa apa yang akan mereka liput memiliki
pengaruh dan dapat mengubah iklim, fakta ilmiah, maupun polarisasi kelompok
tertentu dalam suatu berita. Akan tetapi, fakta ini juga menjadi kompleks karena
dewasa ini seluruh media berlomba-lomba menjadi ajang kompetisi untuk
mendapatkan “nama” di mata masyarakat. Dengan kata lain, terdapat upaya
untuk membangun sebuah citra publik yang menguntungkan bagi bidang
pekerjaan jurnalis. Sehingga, karakter media cenderung semakin dimanipulasi
di lingkungan yang terus-menerus menantang kemampuan jurnalis untuk
membedakan kebenaran dan mengoreksi kebohongan.
8

2. Nilai-Nilai Tradisional Berita


Alasan kedua mengapa media berita melaporkan tentang berita palsu
adalah karena jurnalis menemukan nilai berita tersebut terkait dengan
kepercayaan secara tradisional yang mendominasi budaya jurnalistik melintasi
konteks geografis dan budaya. Nilai-nilai tradisional pada suatu informasi pada
umumnya akan membawa pengaruh tersendiri bagi publik, yang diyakini masih
menjadi “hiburan” maupun “kepercayaan” yang perlu diulas maupun diliput.
Kepercayaan publik terhadap nilai inilah yang kemudian menjadikan jurnalis
terus menerus meliput dan mnajdikan berita tersebut viral serta dapat menarik
pendapatan yang signifikan ketika pengguna mengklik ke situs asli.

3. Psikologi Pengambilan Keputusan Berita


Alasan kunci ketiga, mengapa berita palsu dilaporkan oleh media berita
mainstream yaitu berkaitan dengan psikologi keputusan berita. Saat memeriksa
faktor psikologis yang membentuk keputusan berita oleh jurnalis, Donsbach
(2004) berpendapat bahwa, selain mencari kebenaran, faktor utama yang
membentuk keputusan jurnalis adalah validasi sosial, yaitu, bahwa jurnalis
sangat memperhatikan apa yang dikatakan wartawan lain dan melakukan
peliputan ketika membuat keputusan berita sendiri. Proses ini terjadi sebagian
melalui interaksi dengan rekan dan kolega dan sebagian dengan mengamati
output jurnalistik kolega dan menginternalisasi asumsi umum, norma, praktik,
dan ide ideologi berita. Faktor psikologis kedua yang memengaruhi persepsi
dan keputusan peran jurnalistik validasi sosial, adalah kekuatan sikap dan
kecenderungan jurnalis yang ada. Menurut Donsbach (2004), sebagaimana
semua manusia, jurnalis lebih memperhatikan untuk menyebarkan informasi
daripada untuk mengonfirmasi informasi. Saat memproses informasi, wartawan
terlalu menganggap informasi harus segera disebarkan yang mengukuhkan
sikap bahwa hal itu lebih penting daripada sikap yang mengonfirmasi informasi
(Kepplinger et al., 1991). Karena itu, keputusan berita jurnalis cenderung
9

dipengaruhi oleh keyakinan subjektif jurnalis itu sendiri (Patterson &


Donsbach, 1996), meskipun fakta dalam pelatihan profesional jurnalis selalu
mengarah pada organisasi berita dan norma yang menekankan pentingnya tidak
membiarkan keyakinan subyektif mempengaruhi tindakan berita sebagai
kekuatan dalam profesionalitas.

4. Infrastruktur untuk Meliput apa yang Terjadi di Dunia Online


Alasan keempat dan terakhir mengapa media mainstream melaporkan
tentang berita palsu adalah karena media tersebut sudah memiliki infrastruktur
untuk mencari dan melaporkan tentang fenomena viral online. Infrastruktur
tersebut dibuat secara mandiri oleh organisasi berita atas dasar keuntungan
dalam mempengaruhi wartawan atau jurnalis lain. Media mainstream pada
umumnya memiliki sumber yang berasal dari paltfrom media sosial miliknya,
dimana penggunanya telah memiliki kepercayaan menyeluruh atas paltform
tersebut. Wartawan era ini, secara sadar mulai mengikuti keseluruhan platform
media sosial yang dianggap memberikan informasi-informasi viral meskipun
belum dapat dikonfirmasi kebenarannya. Hal ini berarti fokus mereka adalah
menemukan cerita yang berbeda untuk disebarkan di media mainstream milik
mereka. Sehingga, ketika cerita palsu menyebar di media sosial dan menerima
beberapa daya tarik, maka sangat mungkin berita palsu tersebut dilihat oleh
wartawan lain, yang akan memeriksa kebenaran mereka dan melaporkannya,
menggunakan prosedur yang telah mereka kembangkan. Setidaknya di
beberapa negara, jurnalis dapat mengandalkan kredibilitas dan pemeriksa fakta
yang transparan, dengan mengikuti petunjuk yang ada serta membuat laporan
berdasarkan cara serta proses yang mereka yakini.

D. Implikasi Penyebaran Berita Palsu oleh Media Mainstream


Keberadaan media sosial sudah bukan lagi hal yang aneh dan dianggap
tabu, karena hampir semua orang pengguna internet menggunakan media
10

sosial, bahkan satu orang bisa mempunyai banyak akun untuk mengakses
berbagai situs media sosial, dari hasil penelitian juga memperlihatkan
reponden memiliki lebih dari satu account. Media sosial memberikan
kemudahan bagi user atau membernya dengan mudah berpartisipasi, berbagi,
dan menciptakan isi baik dalam bentuk blog, jejaring sosial, wikipedia, forum,
atau pun dalam bentuk komunitas yang di bangun secara online dalam ruang
virtual. Semakin mudahnya fasilitas untuk mengakses internet membuat
perkembangan media sosial sangat pesat bahkan banyak orang yang
memanfaatkan media yang satu ini untuk keperluan pribadi, bisnis dan
penyebaran informasi Palsu.
Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang menyebabkan
pengguna cenderung mudah percaya pada informasi palsu. Pada dasarnya
perilaku pengguna lebih cenderung percaya informasi palsu, jika informasinya
sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki (Figueira and Oliveira 2017).
Menurut Maslow motivasi adalah dorongan pada manusia untuk
melakukan sesuatu atas dasar kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki, termasuk
dalam menyebarkan informasi palsu. “Manusia dimotivasikan oleh sejumlah
kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah dan
berasal dari sumber genetis atau naluriah” (1987, p. 70). Mengenai informasi
palsu, Harley menerangkan bahwa sebagian besar karya palsu pada awalnya
dibuat dari niat baik, dengan mengajak untuk menyebarkan surat/informasi
berantai yang bermanfaat (seperti mengingatkan akan masalah virus). Tentu
saja, beberapa palsu (atau semi-palsu) muncul dari kesalah-pahaman atau
terpisah dari kebenaran karena menyebar lebih lanjut di Internet (sehingga
tidak sesuai dengan konteks wilayah dan waktu).
Namun, banyak juga informasi palsu yang dimulai oleh seorang
individu yang menyesatkan, merasa meningkat harga dirinya setiap kali salah
satu korbannya merasa bodoh ketika menyadari bahwa mereka telah tertipu.
Ada beberapa kebutuhan dasar manusia menurut Maslow. Pertama, kebutuhan
11

fisiologis, merupakan kebutuhan paling dasar, paling kuat dan paling jelas
dari antara sekalian kebutuhan manusia yaitu kebutuhannya akan makanan,
minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Kedua, kebutuhan akan
rasa aman. Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhan akan keteraturan
dan stabilitas muncul. Jika tidak terpenuhi, maka manusia akan cemas.
Kebebasan yang ada batasnya lebih disukai daripada dibiarkan sama sekali.
Kedua kebutuhan awal ini tidak dibahas lebih jauh karena belum
berkaitan dengan permasalahan penelitian. Kebutuhan ketiga adalah
kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki dan akan kasih sayang (kebutuhan
sosial). Orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan
orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di
tengah kelompoknya dan dia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu
ini. Maslow menyukai rumusan Carl Rogers tentang cinta: keadaan
dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati. Karena itu
seseorang tentu cenderung akan mencari dan melakukan berbagai hal agar
dapat diterima di dalam kelompoknya sebagaimana yang dikatakan Harley.
Termasuk saling menerima dan memberi informasi.
Keempat, kebutuhan akan penghargaan. Maslow menemukan bahwa
setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan, yaitu harga
diri dan penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan akan
kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi,
ketidaktergantungan dan kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi
prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta
penghargaan. Hal ini menjelaskan pernyataan Harley mengenai banyaknya
informasi palsu yang dimulai dengan tujuan menyesatkan oleh orang yang
merasa meningkat harga dirinya setiap kali korbannya (penerima informasi
palsu) merasa tertipu. Harga diri pembuat palsu meningkat karena berhasil
mengungguli orang lain, merasa lebih kompeten dan kepercayaan dirinya
akan meningkat. Jika kemudian ada yang merespon, mengakui atau bahkan
12

waspada terhadap informasi darinya, maka ini merupakan sebuah


penghargaan dari orang lain terhadap dirinya. Lebih lanjut Maslow
menyebutkan, seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya
diri serta lebih mampu, maka juga lebih produktif. Maka tidak menutup
kemungkinan pembuat palsu akan semakin banyak membuat informasi palsu
untuk mendapatkan respon dan penghargaan yang sama. Begitu pula potensi
yang berlaku pada seseorang yang berniat baik menyebarkan informasi,
meskipun dia tidak mengetahui bahwa informasi tersebut palsu, akan semakin
produktif menyebarkan informasi setelah informasi yang disebarnya mendapat
respon dan atau penghargaan dari orang lain.
Kelima, kebutuhan akan aktualisasi diri. Pemaparan tentang kebutuhan
psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan
kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek
penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Maslow menegaskannya
dengan kalimat: “Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya”.
Selanjutnya, Maslow menjelaskan bahwa manusia memiliki hasrat untuk tahu
dan memahami. Maslow berkeyakinan bahwa salah satu ciri mental yang
sehat ialah adanya rasa ingin tahu, alasannya di antara lain adalah: Sejarah
mengisahkan banyak contoh tentang orang-orang yang menantang bahaya
besar untuk berburu pengetahuan, misalnya Galileo dan Columbus; Hasil-
hasil penelitian terhadap orang-orang yang masak secara psikologis
menunjukkan bahwa mereka itu tertarik pada hal-hal yang penuh rahasia,
yang tak dikenal dan yang tak dapat dijelaskan; Pengalaman Maslow
menangani kasus orang dewasa yang depresi dapat sembuh setelah mengikuti
saran agar menyibukkan diri dalam sesuatu kegiatan yang bernilai, sehingga
diyakini adanya kebutuhan-kebutuhan kognitif; Pemenuhan rasa ingin tahu
ternyata secara subjektif juga memuaskan.
Dalam menyebarkan informasi palsu, kebutuhan aktualisasi diri ini
dapat dipahami jika penyebar palsu bertujuan memahami atau menguji
13

penyebaran informasi palsu itu sendiri. Sebagaimana para peneliti literasi


media menguji dampak menonton sinetron pada remaja misalnya. Dari
pengujian ini dapat ditemukan berbagai pengetahuan seperti pola penyebaran
atau respon terhadap informasi palsu itu sendiri, sesuai dengan yang
diinginkan oleh penyebar palsu itu sendiri. Maslow mengatakan banyak orang
melaporkan bahwa belajar dan menemukan sesuatu menimbulkan rasa puas
dan bahagia. Maslow menyimpulkan semuanya sebagai proses pencarian
makna, adanya hasrat untuk memahami, menyusun, mengatur, menganalisis,
menemukan hubungan-hubungan dan maknamakna, membangun suatu sistem
nilai-nilai.
Hasil penelitian juga mendukung pendapat David Harley dalam buku
Common Palsues and Chain Letters (2008), yang mengidentifikasikan palsu
secara umum. Pertama, informasi palsu biasanya memiliki karakteristik surat
berantai dengan menyertakan kalimat seperti "Sebarkan ini ke semua orang
yang Anda tahu, jika tidak, sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi”.
Kedua, informasi palsu biasanya tidak menyertakan tanggal kejadian atau
tidak memiliki tanggal yang realistis atau bisa diverifikasi, misalnya
"kemarin" atau "dikeluarkan oleh..." pernyataan-pernyataan yang tidak
menunjukkan sebuah kejelasan. Kemudian yang ketiga, informasi palsu
biasanya tidak memiliki tanggal kadaluwarsa pada peringatan informasi,
meskipun sebenarnya kehadiran tanggal tersebut juga tidak akan
membuktikan apa-apa, tetapi dapat menimbulkan efek keresahan yang
berkepanjangan. Keempat, tidak ada organisasi yang dapat diidentifikasi yang
dikutip sebagai sumber informasi atau menyertakan organisasi tetapi biasanya
tidak terkait dengan informasi.
Perasaan positif akan timbul dalam diri seseorang jika opini atau
keyakinannya mendapat pengakuan dan cenderung tidak akan mempedulikan
apakah informasi yang diterimanya benar atau salah. Mereka akan untuk
menyebarkan kembali informasi tersebut tanpa ada filter. Kondisi ini
14

diperparah jika si penyebar informasi palsu memiliki pengetahuan yang


kurang dalam memanfaatkan internet. Kecendrungan terlalu lama
menggunakan internet untuk mencari informasi sehingga dimungkinkan akan
mengalami information overload. Sehingga kerapkali terjadi informasi Palsu
mudah mereka terima dan disebarkan kepada pihak lain tanpa terlebih dahulu
melihat manfaat dan mudharatnya bagi orang lain.
Kecendrungan lainya, perilaku pengguna hanya melihat judul berita
(headline) tanpa melihat isi dari berita tersebut dan mereka langsung
berpendapat bahwa informasi tersebut sudah benar. Apalagi didukung orang
mengirim informasi tersebut dari teman yang dipercaya atau dari media yang
kredibel, sehingga langsung memberi komentar berdasarkan judul berita.
Disisi lain ada ada gejala orang di media sosial untuk ikut memberikan
komentar pada suatu tema agar bisa dianggap mengerti.
Sebuah berita yang menjadi trending topic atau viral di media punya
kecenderungan disebarkan lebih banyak, tanpa adanya upaya verifikasi
terlebih dahulu, agar tidak terlihat ketinggalan. Dengan menyebarkan satu
berita yang ramai dibicarakan orang bisa merasa tahu dan dianggap punya
legitimasi sebagai orang yang berpengetahuan luas. Perilaku penyebaran palsu
melalui media sosial sangat dipengaruhi oleh pembuat berita baik itu individu
maupun berkelompok, dari yang berpendidikan rendah sampai yang tinggi,
dan terstruktur rapi.
Pengguna yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam
memanfaatkan search engine, akan cenderung lebih sistematis dalam
melakukan penelusuran dibandingkan dengan yang masih minim pengalaman
(novice). Informasi Palsu sering disebarluaskan dan bersumber dari kabar
bohong dan dibuat dalam satu jaringan sosial untuk menjaga kepentingan
pribadi maupun kelompok. Seringkali secara sadar pengguna media sosial
menyebarkan kebohongan untuk membantu agenda yang direncanakan.
Penyebar Palsu bisa dari kalangan personal, komunitas, korporasi, lembaga
15

negara, dan militer kerap membuat propaganda kebohongan agar kepentingan


mereka bisa terjaga. Informasi Palsu dibuat agar khalayak ramai tak lagi fokus
pada masalah sebenarnya dan selanjutnya akan terjebak pada hal-hal
bombastis yang bukan jadi permasalahan pokok. Posisi penyebar informasi
Palsu yang dianggap kredibel menjadikan pengguna merasa yakin bahwa
informasi itu benar dan menjadikan itu suatu kebenaran dan dapat
disebarluaskan tanpa diperiksa kembali. Pada dasarnya setiap pribadi
memiliki tanggungjawab terhadap informasi yang mereka terima. Perilaku
pengguna sosial media memiliki perasaaan emosional ketika memperoleh
kabar buruk atau kabar tragedi seseorang dan merasa punya tanggung jawab
moral untuk berbagi. Saat itu tidak lagi mempedulikan apakah itu palsu atau
tidak?. Di media sosial, orang merasa punya beban untuk berbagi penderitaan
agar bisa menjadi pelajaran bagi pengguna lain ataupun ingin melepaskan
beban agar merasa lebih baik. Pengguna menginginkan komentar ataupun like
dan seringkali dibagikan tanpa ada verifikasi terlebih dahulu.
Kebiasaan perilaku pengguna media sosial untuk tidak mau
dipersalahkan apabila informasi tersebut Palsu, mereka menambahkan kata-
kata “dari grup yang dapat dipercaya” sebagai tindakan preventif agar jika
berita itu bohong. Perilaku ini merupakan upaya lepas tangan dari tanggung
jawab kebenaran. Informasi dari broadcast sangat susah diverifikasi dan
dilacak siapa penyebar awalnya.

E. Catatan Penulis
Sejauh ini, penelitian mengenai berita palsu yang beredar di media masih
terbatas, dimana juga diketahui adanya peran paradoks ini media arus utama
dalam penyebaran disinformasi, dengan sedikit refleksi tentang penyebabnya
dan konsekuensi dari media berita mainstream yang menyebarkan berita palsu.
Efek dari cakupan berita palsu di media berita arus utama pada audiensi media
berita, termasuk kemungkinan itu bagian dari audiens mempelajari informasi
16

yang salah. Berita palsu bertujuan untuk membuat opini publik, menggiring
opini publik, dan membentuk persepsi hanya ingin menghibur maupun dengan
alasan menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media sosial.
Tujuan penyebaran palsu beragam tapi pada umumnya palsu disebarkan sebagai
bahan lelucon atau sekedar iseng, menjatuhkan pesaing (black campaign),
promosi dengan penipuan, ataupun ajakan untuk berbuat hal yang baik
meskipun tidak diketahui asal-usul cerita atau berita palsu tersebut secara
akurat. Setidaknya terdapat empat alasan penting mengapa media berita
mainstream meliput berita palsu, yang mana terkait dengan (a) persepsi peran
jurnalis, (b) nilai-nilai berita tradisional, (c) psikologi keputusan berita, dan (d)
infrastruktur untuk meliput apa yang terjadi di dunia online.
Faktanya, jurnalis lebih memperhatikan untuk menyebarkan informasi
daripada untuk mengonfirmasi informasi. Saat memproses informasi, wartawan
terlalu menganggap informasi harus segera disebarkan yang mengukuhkan
sikap bahwa hal itu lebih penting daripada sikap yang mengonfirmasi
informasi. Dengan kata lain, terdapat upaya untuk membangun sebuah citra
publik yang menguntungkan bagi bidang pekerjaan jurnalis. Sehingga, karakter
media cenderung semakin dimanipulasi di lingkungan yang terus-menerus
menantang kemampuan jurnalis untuk membedakan kebenaran dan mengoreksi
kebohongan. Sementara itu, dari perspektif pembaca, menurut pandangan
psikologis, ada dua faktor yang menyebabkan pengguna cenderung mudah
percaya pada informasi palsu. Pada dasarnya perilaku pengguna lebih
cenderung percaya informasi palsu, jika informasinya sesuai dengan opini atau
sikap yang dimiliki.
Pencegahan kuatnya arus informasi palsu dapat dilakukan dengan
meningkatkan literasi masyarakat melalui peran aktif pemerintah, pemuka
masyarakat dan komunitas, menyediakan akses yang mudah kepada sumber
informasi yang benar atas setiap isu palsu, melakukan edukasi yang sistematis
dan berkesinambungan serta tidakan hukum yang efektif bagi penyebarnya
17

Sebaiknya dilakukan pembekalan kepada masyarakat mengenai pengetahuan


akan internet sehat dengan literasi media sehingga dapat mengenali ciri-ciri
berita palsu, dan penerima berita dapat mengakses, menganalisis, mengevaluasi,
dalam mengambil makna dari suatu berita.

DAFTAR PUSTAKA
Alcott, Hunt, Matthew Gentzkow, and Chuan Yu. 2018. "Trends in the Diffusion of
Misinformation on Scoial Media." Journal of Stanford Edu, 01 1-13.
Egelhofer, Jana Laura, and Sophie Lecheler. 2019. "Fake news as a two-dimensional
phenomenon: a framework and research agenda." Annals Of The International
Communication Association, Vol. 43, No. 2 97-116.
Figueira, Álvaro, and Luciana Oliveira. 2017. "The current state of fake news:
challenges and opportunities." Procedia Computer Science 121 817-825.
Tsfati, Yariv, H. G. Boomgaarden, J. Strömbäck, R. Vliegenthart, A. Damstra, and E.
Lindgren. 2020. "Causes and consequences of mainstream media
dissemination of fake news: literature review and synthesis." Annals of the
International Communication Association, Vol. 44, No. 2, 157–173 157-173.

Anda mungkin juga menyukai