Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara berkembang, saat ini sedang mengalami

proses perubahan yang sangat penting, globalisasi menjadi suatu

tatanan dunia berubah sehingga memerlukan pembangunan yang

sesuai dengan latar belakang budaya dan norma-norma yang telah

dimiliki sebelumnya.1 Pembangunan Nasional merupakan rangkaian

kegiatan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat bangsa, dan

negara untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang di amanatkan

dalam Undang-Undang dasar 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa

dan seluruh tumpah darah indonesia memajukan kesejahtraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, serta melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Negara”.2

Konsep dan arah pembangunan dapat ditentukan oleh penggunaan

peraturan dan kebijakan yang bijaksana dengan berwawasan ke depan.

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa peranan hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat. Hukum haruslah menjadi panglima

dalam pembangunan. Sedangkan wawasan yang harus diusung

sebagai tujuan pembangunan nasional ke depan adalah pembangunan


1
Juniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Bandung, Nuansa, 2007, hlm. 20
2
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional

1
2

yang berkelanjutan dengan pengaturan hukum yang memihak pada

keberlangsungan lingkungan hidup.3

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Kawasan

Pesisir rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam

memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu,

akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial atau

sektoral di Kawasan Pesisir atau dampak lain di hulu kawasan pesisir

yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering

menimbulkan kerusakan sumber daya pesisir.4

Terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber

daya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir terpadu

belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor

dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu

mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum

memberikan kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih

kembali secara alami atau sumber daya non-hayati disubstitusikan

dengan sumber daya lainnya.5

Keunikan kawasan pesisir yang rentan berkembangnya konflik dan

terbatasnya akses pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat

dikendalikan dan sebagian kawasan pesisir dipertahankan untuk

3
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung :
Binacipta, 1995, hlm. 13.
4
Amiruddin A.Dajaan, Hukum Penataan Ruang Kawasan Pesisir, Bandung : Logoz Publishing,
2014, hlm.34
5
Ibid
3

konservasi. Prinsip pengelolaan wilayah pesisir tersebut disusun dalam

lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan

pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.6

Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi

pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan

ruang. Selanjutnya Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk

mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif,

dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan

Nasional dengan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam

dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan

sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan

sumber daya manusia, dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan

pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan

ruang.7

Kawasan pesisir meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat

dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah

daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah

perairan laut sejauh 12 mil, di ukur dari garis pantai ke arah laut lepas.8

Pengaturan kawasan Pesisir dilandasi atas rentannya perubahan

wilayah sehingga perlu dilindungi melalui pengelolaan agar dapat

6
Ibid, hlm.35
7
Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
8
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
4

dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan

masyarakat. Oleh karenanya arah kebijakan dalam pengelolaannya

dapat menyelaraskan tingkat pemanfaatan sumber daya pesisir untuk

kepentingan ekonomi tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang

akan datang melalui pengembangan kawasan konservasi dan

sempadan pantai.9

Struktur perencanaan pembangunan di Indonesia, berdasarkan

hierarki dimensi waktunya mengacu pada Undang-undang Tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang di bagi

menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN),

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), serta

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).10

Pasca diberlakukannya Undang-undang Pemerintahan Daerah

memberikan wewenang kepada Pemerintah di daerah untuk

melaksanakan amanat Undang-undang Penataan Ruang yang

berbentuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRTW Provinsi)

dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota atau Kabupaten (RTRW Kota

atau Kabupaten). Tujuannya adalah sebagai dasar bagi instansi

pemerintah daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan

memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang

9
Yunus Wahid, Pengantar Hukum Tata Ruang, Bandung: Kencana, 2016, hlm. 37
10
Ibid, hlm. 13
5

berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah yang bersangkutan.

Rencana tata ruang dan rencana pembangunan jangka panjang serta

pembangunan jangka Menengah di daerah merupakan kebijakan

daerah yang saling terintegrasi.11

Arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan Pemerintah Daerah

untuk menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau

Kecil (RZWP-3-K) Provinsi dan Kabupaten. Dalam penyusunan RZWP-

3-K harus mempertimbangkan: keserasian, keselarasan dan

keseimbangan dengan daya dukung, ekosistem, fungsi pemanfaatan

dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi

dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;

keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika

lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; serta wajib mengalokasikan

ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Sama

halnya dengan RTRW Daerah, RZWP-3-K ditetapkan dengan

Peraturan Daerah dan berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau

kembali dalam 5 tahun.12

11
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010, hlm.
174
12
http://setkab.go.id/rzwp-3-k-kepastian-hukum-bagi-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil/ oleh Kusnul
Nur Kasanah diakses pada hari Sabtu tanggal 28 Oktober 2017 pukul :18.30
6

Implikasinya, meskipun sering dinyatakan bahwa perencanaan tata

ruang merupakan matra spasial dari perencanaan pembangunan,

dalam implementasinya banyak ditemui potensi jarak bahkan potensi

penyimpangan antara perencanaan tata ruang dan perencanaan

pembangunan. Hal ini sering terjadi pada saat pembahasan tentang

RTRW dan RZWP-3-K Provinsi atau Kota atau Kabupaten, serta RPJP-

D dan RPJM-D, bahwa pembahasan tentang hubungan antara rencana

pembangunan dan rencana tata ruang tidak dijelaskan dengan

memuaskan. Ketidakjelasan dan ketidakpastian ini mengakibatkan

sulitnya memberikan jawaban atas pertanyaan seberapa jauh rencana

tata ruang dapat dilaksanakan meski fakta di lapangan menunjukkan

bahwa sering terjadi kontradiksi terhadap pelaksanaan pembangunan,

artinya perencanaan pembangunan tidak melaksanakan apa yang telah

direncanakan dalam perencanaan tata ruang yang telah di tetapkan.

Permasalahan lain yaitu bagaimana cara untuk melaksanakan praktek

di lapangan yang harus memperhatikan dan berdasarkan perencanaan

tata ruang, sehingga terjadi keterpaduan dan harmonisasi antara RPJP

dan RPJM dengan RTRW dan RZWP-3-K. Harapannya RPJP dapat di

integrasikan dalam matra spasial dalam kurun waktu 20 tahun dalam

bentuk RTRW. 13

Kota Bengkulu merupakan salah salah satu kota yang berada di

Pulau Sumatera dengan letak geografisnya sebelah barat berada

13
Iskandar, Hukum Kehutanan, Bandung: CV Mandar Maju , 2015, hlm. 176
7

langsung berbatasan dengan Samudera Hindia. Kota Bengkulu sebagai

ibukota Provinsi Bengkulu diselimuti pantai di sepanjang kotanya

menjadikan kota ini memiliki banyak potensi perikanan dan pariwisata

akan keindahan pantainya. Kenyataannya saat ini pemerintah Kota

Bengkulu belum mempunyai pengaturan tentang Rencana Zonasi

Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP-3-K) sehingga masih

mengacu kepada Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu terkait dengan pengelolaan

pemanfaatan ruang di kawasan pesisir.14

Memperhatikan beberapa kebijakan Pembangunan di kota

Bengkulu, seperti RPJP dan RTRW Kota Bengkulu 2012-2032 yang

diundangkan ke dalam bentuk Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor

14 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu.

Pergeseran fungsi ruang yang terjadi di Kota Bengkulu menimbulkan

berbagai penurunan kualitas lingkungan. Beberapa permasalahan yang

terkait dengan adanya perubahan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai

dengan daya dukung lingkungan telah menimbulkan kerusakan

lingkungan dan kerugian yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Selanjutnya Kegiatan pengelolaan wilayah pesisir yang di

dalamnya meliputi pembangunan menghadapi berbagai ancaman

seperti aspek kawasan pantai, yakni terjadinya penurunan kualitas

14
http://www.bengkulukota.go.id/selayang-pandang_geografi_pg-250.html diakses pada sabtu
tanggal 28 Oktober 2017 pukul 19.00
8

lingkungan, seperti penurunan kontur tanah, pencemaran dan aspek

sosial masyarakat yaitu pelanggaran dan penyimpangan terkait

pengendalian pemanfaatan ruang.

Kawasan sempadan pantai merupakan kawasan dilindungi

keberadaannya oleh Negara karena berfungsi sebagai pelindung

kelestarian lingkungan pantai. Dengan demikian kawasan sempadan

pantai menjadi ruang publik dengan akses terbuka untuk siapapun.

Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu

menetapkan bahwa kawasan sempadan pantai di Kota Bengkulu

panajangnya 100 meter dari titik pasang tertinggi.15

Banyaknya permukiman yang berdiri di daerah pantai, dapat juga

dilihat deretan hotel, restoran, kafe, pusat perbelanjaan, berdiri di

daerah pantai Kota Bengkulu, khususnya di sepanjang Pantai Panjang

Kota Bengkulu, seperti bangunan gedung milik Pemerintah Daerah

Provinsi Bengkulu yang ada di Kelurahan Malabero, bangunan gedung

ini berdiri di wilayah sempadan pantai dan tidak sesuai dengan rencana

tata ruang yang menetapkan bahwa 100 meter dari titik pasang tertinggi

adalah kawasan lindung yaitu kawasan sempadan pantai.16

Indikasi pelanggaran atas bangunan gedung milik pemerintah

daerah Provinsi Bengkulu atas Undang-Undang tentang Pengelolaan

15
Pasal 1 angka 32 Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
ruang Wilayah Kota Bengkulu
16
Hasil wawancara dengan pihak WALHI Kota Bengkulu Dede Frenstien, S.H. pada 12 September
2018
9

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang dibangun pada kawasan

pantai panjang Kota Bengkulu yang mengancam kawasan pesisir ini

memberikan banyak dampak negatif untuk kelangsungan daerah pesisir

Pantai Panjang Bengkulu saat ini dan masa yang akan datang.

Perubahan fungsi lahan yaitu kawasan lindung menjadi kawasan

budidaya serta penyimpangan atas asas lingkungan hidup dan tata

ruang yang tercantum di dalam Undang-undang perlulah dilakukan

pengkajian dan pembahasan bersama ke arah yang sesuai peraturan

perundang-undangan yang ada.

Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran penulis tidak menemukan judul yang sama.

Adapun penelitian yang berkaitan adalah pertama disusun oleh Akhsan

Herdino NPM 11011007016 dalam bentuk skripsi dengan judul

Pemanfaatan Ruang di Atas Tanah Negara yang Dipergunakan untuk

Kepentingan Komersil, Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Kedua adalah penelitian yang disusun oleh Asterryni Putri Utami NPM

111100006 dalam bentuk skripsi dengan judul Implementasi Peran

Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kota

Bandung.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian dalam skripsi

ini peneliti mengambil judul :


10

“TINJAUAN YURIDIS BANGUNAN GEDUNG DI KAWASAN PESISIR

PANTAI PANJANG KOTA BENGKULU DALAM KERANGKA

PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG”

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah penerapan hukum terkait pengendalian pemanfaatan

ruang terhadap bangunan gedung yang berada di pesisir pantai

Panjang Kota Bengkulu?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh bangunan gedung yang

berada di pesisir pantai Kota Bengkulu terhadap pengendalian

pemanfaatan ruang?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini, dapat dirumuskan

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian bangunan

gedung di Kawasan Pesisir Kota Bengkulu dengan prinsip dan

penerapan hukum yang berlaku dalam hal ini terkait hukum

penataan ruang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis dampak yang ditimbulkan

atas bangunan yang telah ada dalam konsepsi penegakan hukum

penataan ruang untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup

yang berkelanjutan demi kepentingan umum.


11

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbang saran serta

pemikiran bagi pembangunan ilmu hukum pada umumnya,

khususnya di bidang hukum lingkungan, agraria dan tata ruang.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran kepada masyarakat akan hukum lingkungan dan

pentingnya dampak yang ditimbulkan.

b. Bagi instansi pemerintah terkait dapat menjadi pertimbangan

dan evaluasi atas kebijakan yang diambil serta edukasi hukum

sehingga dapat berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku

sebagai bentuk batasan atas wewenangnya dan pengendalian

lingkungan hidup demi kepentingan umum.

E. Kerangka Pemikiran

Pancasila adalah cita, asas dan norma hukum tertinggi serta norma

dasar Negara Indonesia.17 Pancasila diakui sebagai norma hukum

17
H.R Otje Salman Soemandiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung:
Alumni, 2002, hlm.135
12

tertinggi atau dikenal pula dengan sebutan norma dasar negara, yaitu

aturan, pola dasar, atau standar yang harus diikuti atau ditaati serta

mempunyai daya paksa, bersifat mengatur atau memerintah.18

Hukum adalah perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur

kehidupan bermasyarakat termasuk di dalamnya lembaga-lembaga dan

proses proses yang mewujudkan hukum itu dalam kenyataan di

masyarakat.19 Pengertian tersebut mempunyai arti bahwa hukum itu

sebagai perangkat kaidah dan asas-asas untuk mengatur kehidupan

bermasyarakat yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana perubahan

sosial terhadap masyarakat yang terus berkembang.20

Hukum sebagai sarana pembangunan, dikatakan bahwa hukum

harus berdiri di depan, guna menunjukkan arah bagi terselenggaranya

proses pembangunan secara tertib dan teratur. Hukum yang dimaksud

dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dengan demikian

rencana pembangunan harus dimasukkan ke dalam peraturan

perundang-undangan sebagai hukum tertulis mempunyai kedudukan

yang penting, di samping hukum tidak tertulisnya.21

Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 mengatur bahwa

bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasi

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

18
Ibid, hlm.137-138
19
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hlm.1
20
Ibid, hlm.3
21
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Bandung:
Bina Cipta, 1986, hlm.4
13

rakyat. Menafsirkan bahwa untuk mencapai kesejahteraan rakyat maka

pemerintah melaksanakan pembangunan yang sifatnya berkelanjutan

sebagai sarana kebutuhan manusia dan juga lingkungan di saat yang

bersamaan. Maka dari itu dalam hal pembangunan harus selaras

dengan kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan aspek aspek

lingkungan hidup yang mana dalam hal ini dibutuhkan pemanfaatan

ruang yang tepat.22

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, ruang lingkup bumi adalah permukaan

bumi, dan tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

Permukaan bumi beserta di atas dan di bawahnya dikenal dengan

ruang. Ruang yang dimaksud merupakan satu kesatuan wadah yang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di

dalam bumi, maupun sebagai sumber daya atas karunia Tuhan Yang

Maha Esa kepada masyarakat Indonesia yang perlu disyukuri,

dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.23

Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber

daya alam tersebut termasuk dalam pengertian di kuasi oleh negara

22
Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, Jakarta: ICEL, 2001, hlm. 152
23
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
14

tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA memuat wewenang

untuk:24

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air

dan ruang angkasa.

Masalah ruang dalam pembangunan pada umumnya merupakan

masalah yang cukup rumit dan sensitif sifatnya karena menyangkut

berbagai aspek kehidupan, baik bersifat sosial, ekonomi, politik,

psikologi dan lainnya, sehingga dalam penyelesaian masalah ini bukan

hanya harus memperhatikan aspek yuridis saja tetapi juga harus

memperhatikan berbagai aspek kehidupan lainnya. Negara berwenang

dalam menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan

wewenangnya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah

dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang, dan

selanjutnya diamanatkan kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang.

Penataan ruang meliputi wilayah darat, wilayah laut, wilayah udara,

dan termasuk ruang di dalam bumi yang merupakan satu kesatuan.

24
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan: dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Bandung: Edisi Revisi, Alumni, 2001. hlm. 78-79
15

Wilayah laut menjadi salah satu bagian dari penataan ruang memiliki

nilai sumber daya yang kemudian menjadi nilai ekonomis, oleh sebab

itu pengaturan pemanfaatan ruang perlu dikembangkan dalam

kerangka pola pemanfaatan ruang kawasan pesisir.25

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Penataan Ruang menyatakan

bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata

ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Sehingga upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang

bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak

merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan negara atas

dasar sumber daya alam, menurut Juniarso Ridwan melekat di dalam

kewajiban negara untuk melindungi.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil menyatakan "sempadan pantai adalah

daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk

dan kondisi fisik pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi" 26

Fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam penataan

ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan

kawasan, maupun nilai strategis kawasan. Selanjutnya dibagi atas

kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah

wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utamanya melindungi


25
Penjelasan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
26
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
16

kelestarian lingkungan hidup yang mencakup kawasan pesisir yakni

sempadan pantai.27

Adapun dalam penataan ruang, dikenal adanya pola pengelolaan

tata guna tanah dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai

dengan asas penataan ruang, salah satu kawasan yang perlu diatur

adalah pengelolaan pemanfaatan ruang kawasan pesisir agar

terciptanya kawasan yang berdasarkan atas kerangka pelestarian

lingkungan hidup.28

Penataan kawasan pesisir tidak lepas dari semangat Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil menyatakan bahwa wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi,

dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,

lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu

dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan

memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai

bangsa yang berdasarkan norma Hukum Nasional.

Dilihat dari berbagai potensinya, wilayah pesisir sangat berperan

penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Namun pada

dasarnya, ekosistem pesisir memiliki fungsi utama secara hidrobiologis.

Selain itu, fungsi lain yang sangat dirasakan yaitu dalam hal ekonomi

karena aspek sumber daya alamnya yang sangat berlimpah sehingga

27
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
28
Hasni, Op.Cit, hlm. 358
17

dapat dimanfaatkan baik dalam bentuk pariwisata maupun eksploitasi.

Millenium Ecosystem Assessment (MEA) mengidentifikasi empat fungsi

penyediaan utama dari ekosistem pesisir:29

1. Fungsi penyediaan barang dan jasa (sumber makanan, air,

udara), misalnya saja masyarakat memperoleh jasa lingkungan

seperti ikan.

2. Fungsi pengaturan (pengaturan iklim dan erosi), fungsi

pengaturan dapat kita lihat ketika badai terjadi kawasan pesisir

sebagai garda terdepan untuk meredamnya serta mengatur

perubahan udara, suhu air dan permukaan.

3. Fungsi budaya (nilai-nilai spiritual dan rekreasi), dapat dirasakan

keindahan kawasan pantai yang menjadi favorit pariwisata bagi

masyarakat.

4. Fungsi pendukung (sebagai produksi primer dan pembentukan

tanah), kawasan pesisir sebagai sumber produksi dengan

keragaman biologi primer dan skunder, kepentingan siklus materi

laut dan energi global.

Pembangunan wilayah kota sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional memerlukan arahan atau pedoman untuk

menciptakan keterpaduan lintas sektoral dan kawasan. Hal ini juga

penting untuk menciptakan keserasian dan keselarasan di antara

berbagai tahapan pembangunan yang tengah dilakukan. Pola


29
Chrisna Satriagasa, Analisis Jasa Ekosistem Kawasan Kepesisiran Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam Pengurangan Risiko Bencana, Tesis Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Universitas Gadjah Mada Fakultas Geografi Yogyakarta, 2015, hlm. 96
18

pertumbuhan penduduk yang memadati daerah pesisir, daerah pantai

dan pesisirnya menyimpan masalah yang kompleks, karena

masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kawasan pantai dan

lautnya.

Dalam pengelolaan sebuah potensi kawasan tentunya terlebih

dahulu diciptakan desain perencanaannya, sehingga arahan

pengembangan kawasan dapat dikontrol dan tetap sejalan dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota setempat. Hal tersebut

akan menciptakan sinergi bagi objek-objek pembangunan, sehingga

keberadaannya bisa saling menunjang.30

Peraturan Daerah Kota Bengkulu Nomor 14 Tahun 2012 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu Tahun 2012-2032.

Peraturan ini disusun berdasarkan instrument penataan ruang untuk

melaksanakan wewenang otonomi daerah dan sebagai peraturan

pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

kedudukannya. Sehingga pengaturan peraturan daerah yang telah

disusun harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan asas-asas yang

tercantum dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup

dan penataan ruang.

Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh dalam hal

pembangunan untuk mencapai kemakmuran masyarakatnya.

Sehingga dalam pelaksanaannya harus di jalankan dengan sebaik-

30
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil
19

baiknya atas dasar pembangunan wilayah yang bertujuan untuk

mengupayakan keserasian dan keseimbangan pembangunan antar

daerah sesuai dengan potensi alamnya dan memanfaatkan potensi

tersebut secara efisien, tertib, aman dan tanpa merusak dan

menurunkan fungsi lingkungan hidup.

Bangunan adalah salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh

karena itu, dalam pengaturan bangunan mengacu pada peraturan

penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan

administrasi dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan

gedung. Persyaratan administrasi bangunan gedung meliputi

persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan

gedung, dan izin mendirikan bangunan.31

Penetapan peraturan daerah terkait rencana tata ruang Kota

Bengkulu memiliki muatan isi yang sesuai dengan prinsip dan asas

yang telah ada pada peraturan perundang-undangan di atasnya,

namun tidak dapat mengesampingkan kelestarian fungsi lingkungan

hidup.32 Sehingga konsep dasar pada Peraturan Daerah Kota

Bengkulu tentang Rencana Tata Ruang dapat diimplementasikan

sebagaimana mestinya dan menjadi dasar dalam melakukan

pembangunan atas Kota Bengkulu.

31
Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
32
Pasal 3 huruf d Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup
20

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu

mengkaji hubungan peraturan peraturan perundang-undangan yang

satu dengan yang lain, serta kaitannya dengan penerapan praktek.

Tetapi di samping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum

yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini menggunakan data primer

dan data sekunder atau tinjauan kepustakaan serta tersier agar

diperoleh kerangka pemikiran hukum yang tepat, lengkap dan

objektif.33

2. Spesifikasi Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis,

yaitu menggambarkan dan menganalisis permasalahan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang relevan. Metode ini memiliki

tujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis, faktual secara

akurat dari objek penelitian itu sendiri.34 Selanjutnya peneliti akan

menggambarkan antara pengaturan mengenai Pemanfaatan Ruang

terhadap Bangunan Gedung di Kawasan Pantai Panjang Kota

Bengkulu.

33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 13
34
Lexy J. Meleong, MetodePenelitianKualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 8
21

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian Kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan untuk

mendapatkan data yang bersifat teoretis, dengan mempelajari

sumber-sumber bacaan yang erat hubungannya dengan

permasalahan dalam penelitian skripsi ini. Penelitian ini

dilakukan untuk menghimpun data sekunder yang berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier. Adapun data sekunder di bidang hukum tersebut, antara

lain :

1) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan objek penelitian, di antaranya:

a) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;

b) Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung;

c) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang;

d) Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil;

e) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang;


22

f) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun

2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

g) Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bengkulu;

h) Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bengkulu.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan – bahan yang erat

hubungannya dengan bahan-bahan hukum primer yang

dapat menunjang penulisan skripsi ini dan dapat membantu

melengkapi bahan hukum primer, misalnya buku-buku,

tulisan para ahli dan hasil karya para ilmuan yang berbentuk

makalah atau karya tulis

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan – bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, misalnya kamus bahasa dan kamus hukum,

ensiklopedia, indeks kumulatif, meliputi internet.35

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilaksanakan untuk menunjang data

sekunder dengan melakukan wawancara kepada Badan

35
Soerjono Soekantodan Sri Mamudji, Op.cit, hlm.13
23

Perencanaan Daerah Kota Bengkulu, Badan Pertanahan Kota

Bengkulu dan WALHI Kota Bengkulu.

4. Teknik Pengumpulan data

a. Studi Kepustakaan

Menganalisis, membaca serta mempelajari dokumen-dokumen

seperti artikel-artikel, buku-buku, laporan-laporan dan peraturan

serta undang-undang yang ada hubungannya dengan masalah

yang dikaji dalam penelitian ini.

b. Wawancara

Teknik pengumpulan data untuk mengumpulkan data primer.

Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait, antara

lain BAPPEDA, BPN, WALHI Kota Bengkulu.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skipsi ini

dilakukan secara yuridis kualitatif. Disebut yuridis karena bertitik

tolak dari peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum

positif, sedangkan disebut kualitatif dikarenakan data yang diperoleh

dianalisisnya dengan tidak menggunakan rumus statistik.

6. Lokasi Penelitian

Untuk mendapatkan data dan bahan dalam rangka melaksanakan

penelitian guna penulisan skripsi ini.

a. Penelitian Kepustakaan:
24

1) Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran yang beralamat di Jalan Dipatiukur

Nomor 35 Kota Bandung;

2) CISRAL (Center of Information Scientific Resources and

Library) Jalan Raya Sumedang KM. 21 Kabupaten

Sumedang.

b. Penelitian Lapangan:

1) Kantor Badan Pertanahan Nasional Bengkulu

2) Dinas Pekerjaan Umum bidang Tata Ruang Kota Bengkulu

3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bengkulu

Anda mungkin juga menyukai