Anda di halaman 1dari 49

BAB 2

STUDI LITERATUR

2.1 Sungai

Sungai adalah aliran air yang besar dan memanjang yang mengalir secara terus

menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah satu

bagian dari siklus hidrologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari

presipitasi, seperti hujan, embun, mata air, limpasan bawah tanah, dan dibeberapa

Negara tertentu juga berasal dari lelehan es/salju. Selain air, sungai juga

mengalirkan sedimen dan polutan.

2.1.1 Jenis-jenis sungai

Menurut jumlah airnya:

1. Sungai permanen, yaitu sungai yang debit airnya sepanjang tahun relative

tetap. Contoh sungai ini adalah sungai Kapuas.

2. Sungai periodic, yaitu sungai yang pada musim hujan airnya banyak,

sedangkan pada musim kemarau airnya sedikit. Contoh sungai ini adalah

Bengawan Solo.

3. Sungai intermittent atau sungai episodik, yaitu sungai yang mengalirkan

airnya pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau airnya

kering. Contoh sungai ini adalah sungai Kalada pulau sumba.

4. Sungai ephemeral, yaitu sungai yang ada airnya hanya pada saat musim

hujan. Pada hakekatnya, sungai jenis ini hampir sama dengan sungai jenis

episodik, hanya saja pada musim hujan sungai jenis ini airnya belum tentu

banyak.

2-1
2-2

2.2 Banjir

Banjir adalah salah satu bencana alam, yaitu peristiwa ketika tergenangnya

daratan oleh aliran air yang berlebihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), banjir diartikan berair banyak, deras dan air yang meluap, atau peristiwa

terbenamnya daratan karena peningkatan volume air.

2.2.1 Jenis-jenis banjir

Banjir berdasarkan penyebab utamanya dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

1. Banjir Kiriman

Banjir kiriman adalah istilah yang menggambarkan kejadian banjir di satu

tempat dimana air genangan berasal dari aliran air permukaan dari tempat

yang lebih tinggi (hulu).

2. Banjir Genangan/Lokal

Banjir genangan merupakan banjir yang disebabkan adanya genangan yang

berasal dari air hujan lokal. Air yang melebihi kapasitas-kapasitas saluran

yang ada, maka air hujan lokal ini dapat menjad limpasan permukaan.

Limpasan permukaan inilah yang pada umumnya dapat mengakibatkan

banjir.

3. Banjir Air Laut Pasang (ROB)

Umumnya banjir air laut pasang (ROB) terjadi pada kota pantai yang

elevasi/ketinggian muka tanahnya lebih rencah dari muka air laut pasang.

Sedangkan banjir akibat back water (aliran balik) dari saluran pengendali
2-3

banjir terjadi pada kota yang dekat dengan pantai maupun kota yang jauh

dari pantai.

2.2.2 Penyebab terjadinya banjir

Kodoatie & Sugiyanto, 2002, secara umum mengklasifikasikan penyebab banjir

dalam 2 (dua) kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan

banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Yang termasuk sebab-sebab alami

antara lain:

a. Curah hujan

b. Pengaruh fisiografi

c. Erosi dan sedimentasi

d. Kapasitas sungai

e. Kapasitas drainase yang tidak memadai

f. Pengaruh air pasang.

Sedangkan yang termasuk dalam sebab-sebab banjir karena tindakan manusia


antara lain:

a. Perubahan kondisi daerah pengaliran sungai

b. Kawasan kumuh

c. Sampah

d. Drainase lahan

e. Bendungan dan bangunan air

f. Kerusakan bangunan pengendali banjir

g. Perencanaan system pengendali banjir yang tidak tepat.


2-4

2.2.3 Cara pengendalian banjir

1) Non Struktural

Pendekatan non-struktural meliputi manajemen hulu DAS, penataan ruang,

pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, perijinan pemanfaatan lahan,

pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir,

system peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas

kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan banjir,

pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air

sungai.

2) Struktural

Pendekatan structural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir,

kolam penampungan banjir, system polder dan sumur-sumur resapan,

pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku,

pengembangan system penyediaan air minum dan air kotor, rehabilitasi

jaringan irigasi, pengembangan pembangkitan tenaga listrik.

2.3 Daerah Aliran Sungai

Ditinjau dari segi hidrologi, sungai mempunyai fungsi utama menampung curah

hujan dan mengalirkannya sampai kelaut. Daerah dimana sungai memperoleh air

merupakan daerah tangkapan hujan yang biasanya disebut dengan daerah aliran

sungai (DAS). Dengan demikian DAS dapat dipandang sebagai unit kesatuan

wilayah tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke sungai

menjadi aliran sungai. Garis batas antara DAS adalah punggung permukaan bumi

yang dapat memisahkan dan membagi air hujan menjadi aliran permukaan ke
2-5

masing-masing DAS. Setiap DAS besar merupakan gabungan dari beberapa DAS

sedang/sub DAS dan sub DAS adalah gabungan dari sub DAS kecil-kecil.

Pengetahuan karakteristik DAS dan alur sungai dapat dinyatakan secara kuatitatif

dan kualitatif. Pengetahuan tersebut sangat membantu dalam melaksanakan

pekerjaan hidrometri, antara lain dalam:

a. Merencanakan rancangan jaringan pos duga air;

b. Melaksanakan survey lokasi pos duga air;

c. Analisa debit

2.3.1 Pola aliran

Sungai di dalam semua DAS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai

dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai

mengalir kedalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola

tertentu. Air merupakan salah satu fluida dalam bentuk cairan. Sebagai suatu

fluida air digolongkan sebagai fluida cair yang tidak mampu. Pola itu tergantung

dari pada kondisi topografi, iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang

bersangkutan mampat (Pratiwi, 2014). Secara keseluruhan kodisi tersebut akan

menentukan karakteristik sungai di dalam berbentuk polanya. Beberapa pola

aliran yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Radial

Radial adalah pola aliran sungai yang menyebar (sentripetal) yang terletak

di daerah dataran tinggi.

b. Dentritik

Dendritic merupakan pola sungai yang arah alirannya tidak teratur biasanya

terdapat di daerah suatu pantai.


2-6

c. Rectangular

Rectangular ialah pola sungai yang aliran sungainya melalui daerah patahan

yang membentuk sudut siku-siku.

d. Trellis

Trellis yaitu pola aliran sungai yang menyirip daun dan mempunyai

kombinasi antara sungai resekuen, obsekuen, dan konsekuen.

Gambar 2.1 Sketsa Pola Aliran Sungai


Sumber: www.google.com

2.3.2 Bentuk daerah aliran sungai

Pola sungai menentukan bentuk suatu DAS. Bentuk DAS mempunyai arti penting

dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu pengaruh terhadap kecepatan

terpusatnya aliran. Setelah DAS ditentukan garis batasnya maka bentuk DAS nya

dapat diketahui. Gambar 2.2 menunjukan sketsa pengaruh bentuk DAS terhadap

bentuk hidrogaf aliran sungainya. Pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat

bentuk DAS, yaitu memanjang, radial, parallel, dan komplek.


2-7

Gambar 2.2 Sketsa Pengaruh Bentuk DAS terhadap Bentuk Hidrogaf Alirannya
Sumber : www.google.com

2.3.3 Penentuan orde sungai

Orde sungai adalah nomor urut setiap segmen sungai terhadap sungai induknya.

Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan adalah Strahler. Sungai

orde 1 menurut Starhler adalah anak-anak sungai yang letaknya paling ujung dan

dianggap sebagai sumber mata air pertama dari anak sungai tersebut. Segmen

sungai sebagai hasil pertemuan dari orde yang setingkat adalah orde 2, dan

segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde sungai yang tidak setingkat

adalah orde sungai yang lebih tinggi. Ilustrasi dari penggunaan metode Strahler

tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3.


2-8

Gambar 2.3 Penentuan Orde Sungai dengan Metode Strahler


Sumber : www.google.com

2.4 Analisa Hidrologi

Hidrologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

kejadian perputaran dan penyebaran air di atmosfir dan di permukaan bumi serta

di bawah permukaan bumi.

Survey hidrologi dimaksudkan untuk mendapatkan data-data hidrologi dan

klimatologi sebagai masukan di dalam menentukan besaran perencanaan seperti

curah hujan maksimum dengan periode ulang tertentu, hidrogaf banjir serta

penentuan parameter-parameter lainnya yang dapat menunjang desain hidrolik.

Pekerjaan pengumpulan data hidrologi antara lain:

1. Pengumpulan data curah hujan diambil dari stasiun yang terdekat

2. Pengumpulan data temperature

3. Pengumpulan data kelembaban relative

4. Pengumpulan data lama penyinaran

5. Pengumpulan data kecepatan angina


2-9

6. Pengumpulan data informasi banjir (tinggi, lamanya dan luas genangan serta

saat terjadinya) baik dengan pengamatan langsung ataupun memperhatikan

bekas-bekas dan tanda-tanda banjir di pohon maupun melalui wawancara

dengan penduduk setempat.

2.4.1 Analisa curah hujan kawasan

Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam kurun

waktu tertentu. Alat yang digunakan untuk mengukur banyaknya curah hujan

disebut rain gauge. Curah hujan diukur dalam jumlah harian, bulanan dan

tahunan.

Ada tiga macam cara yang biasanya umum dipakai dalam menghitung hujan rata-

rata suatu kawasan, antara lain:

a. Metode Rata-rata Aljabar

Merupakan metode yang paling sederhana dalam suatu perhitungan hujan

kawasan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan

mempunyai pengaruh yang setara. Tinggi rata-rata curah hujan yang

didapatkan dengan mengambil rata-rata (arithmetic mean) pengukuran

hujan dipos penakar-penakar hujan didalam areal tersebut. Jadi cara ini akan

memberikan suatu hasil yang dapat dipercaya jika pada pos-pos penakarnya

ditempatkan secara merata di areal tersebut serta hasilnya tidak

menyimpang dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal (Soemarto,

1999).

Cara ini biasanya cocok untuk suatu kawasan dengan topografi rata atau

dasar, alat penakar tersebar merata ataupun hampir merata dan data
2-10

individual curah hujan yang ada tidak terlalu jauh dari harga rata-ratanya.

Hujan kawasan diperoleh dari persamaan:

……………… (2.1)

Gambar 2.4 Metode Rata-rata Aljabar


Sumber : www.google.com

Keterangan:

P = Curah hujan rata-rata (mm)

P1,P2,Pn = Curah hujan yang tercatat dipos penakar (mm)

n = Banyaknya pos penakar hujan

b. Metode Polygon Thiessen

Metode ini dikenal dengan metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara

ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk

mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan

menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung

antara dua pos penakar terdekat. Diasumsikan bahwa variasi hujan antara

pos yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarag pos

dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Hasil dari metode polygon


2-11

Thiessen biasanya lebih akurat dibandingkan dengan metode rata-rata

aljabar.

Cara ini cocok untuk suatu daerah datar dengan luas 500-5000 km2 dan

jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasnya. Hujan rata-rata

DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut:

……………. (2.2)

Gambar 2.5 Metode Polygon Thiessen


Sumber : www.google.com

Keterangan :

R = Curah hujan rata-rata (mm)

R1,R2,Rn = Curah hujan yang tercatat di pos penakar (mm)

A1,A2,An = Luas areal Polygon (km2)


2-12

Hal-hal yang perlu diperhatika dalam metode ini antara lain :

1. Jumlah stasiun pengamatan minimal tiga buah stasiun;

2. Penambahan stasiun akan mengubah jaringan;

3. Topografi daerah tidak akan diperhitungkan;

4. Stasiun hujan tidak tersebar merata.

c. Metode Ishoyet

Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukan hujan

rata-rata, namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Metode Ishoyet

cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5000
2
km .Cara ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiappos penakar

hujan.Dengan kata lain, asumsi metode ishoyet yang menganggap bahwa

tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah

sekitarnya dapat dikoreksi. Metode Ishoyet terdiri dari beberapa langkah

sebagai berikut:

 Plot data kedalaman air hujan untuk tiappos penakar hujan pada peta.

 Gambar kontur kedalaman air hujan untuk tiappos penakar hujan pada peta.

 Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik-titik yang

mempunyai kedalaman air yang sama.Interval ishoyet yang umum dipakai

adalah 10 mm.

 Hitung luas area antara dua garis Ishoyet dengan menggunakan

plannimeter.Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara

dua Ishoyet yang berdekatan.


2-13

Gambar 2.6 Metode Ishoyet


Sumber : www.google.com

Hitung hujan rata-rata DAS dengan persamaan berikut ini :



………………………… (2.3)

Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata (mm)

R1,Rn = Curah hujan yang tercatat dipos penakar (mm)

Ai = Luas areal polygon (km2)

2.4.2 Analisa frekuensi

Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana ini

dilakukan secara berurutan sebagai berikut:

1. Parameter Statistik

Perhitungan ini dilakukan untuk mengetahui besarnya suatu disperse yang

dapat dihitung dengan suatu persamaan:

(Xi -̅), (Xi -̅)2, (Xi -̅)3, (Xi -̅)4


2-14

Keterangan :

Xi = Besarnya Curah Hujan daerah (mm);

̅ = Rata-rata curah hujan maksimum daerah (mm).

Macam-macam perhitungan parameter statistik:

a. Tendensi Sentral

̅ ∑ …………………………………. (2.4)

Keterangan : n = jumlah data

b. Deviasi Standar (S)

√∑ ̅
………………………………. (2.5)

Keterangan:

S = Deviasi Standar

̅ = Nilai rata-rata variat

= Nilai Variat ke-1

= jumlah data

c. Koefisien Skewness (CS)

Koefisien kemencengan atau koefisien skewness dapat digunakan untuk

mengetahui derajad ketidak simetrisan (asimetri, asymmetry) dari suatu bentuk

distribusi. Kemencengan diberikan oleh bentuk berikut ini.


2-15

∑ ̅ ……….……… (2.6)

Koefisien asimetri diberikan oleh bentuk berikut

………………………………... (2.7)

Keterangan :

Cs = Koefisien Skewness

S = Standar deviasi

a = Koefisien asimetri

d. Koefisien Kurtosis (Ck)

∑ ̅ ………….. (2.8)

e. Koefisien Variasi (Cv)

Perhitungan koefisien variasi digunakan persamaan sebagai berikut.

Cv =̅ ……………………………….. (2.9)

Cv = Koefisien variasi

̅ = Nilai rata-rata varian

S = Standar deviasi
2-16

2. Uji Kebenaran Sebaran

Terdiri dari :

a. Metode Chi-kuadrat

X2 = ∑ ………………… (2.10)

Keterangan:

X2 = Parameter Chi Kuadrat terhitung

Ef = Frekuensi (banyak pengamatan) yang diharapkan sesuai dengan

pembagian kelasnya

Of = Frekuensi yng terbaca pada kelas yang sama.

n = Jumlah sub kelompok dalam satu group.

Nilai X2 yang diperoleh harus lebih kecil dari nilai X2cr (Chi-Kuadrat

kritik), untuk suatu derajat nyata tertentu, yang sering diambil 5%.

Derajat kebebasan dihitung dengan persamaan:

DK = K – (a + 1)

Keterangan:

DK = Derajat Kebebasan

K = Banyaknya kelas

a = Banyaknya keterikatan (banyaknya parameter) = 2.

Nilai X2cr diperoleh table, disarankan agar banyakan kelas tidak kurang

dari 5 dan frekuensi absolut tiap kelas tidak kurang dari 5 pula.
2-17

b. Metode Smirnov Kolmogorov

Uji pengujian ini tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu, namun

dengan memperhatikan kurva dan penggambaran data pada kertas

probabilitas. Dari gambar dapat dikeathui jarak penyimpangan setiap data

terhadap kurva. Jarak penyimpangan terbesar merupakan nilai ∆max

dengan kemungkinan nilai lebih kecil dari nilai ∆kritik, maka jenis

distribusi yang dipilih dapat digunakan.

2.4.3 Koefisien pengaliran

Koefisien Limpasan / pengaliran adalah variable untuk menentukan besarnya

suatu limpasan permukaan tersebut yang mana penentuannya didasarkan pada

suatu kondisi daerah pengaliran karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut.

Koefisien pengaliran atau koefisien limpasan mempunyai 2 definisi yaitu:

(Suryono Sosrodarsono,144)

C1 = ………….. (2.11)

C1 = ……………………………… (2.12)

Dr.Kawani menyusun sebuah rumus yang mengemukakan bahwa untuk

sungai tertentu, koefisien ini tidak tetap, tergantung dari curah hujan.

……………………………… (2.13)

Keterangan :

C = Koefisien pengaliran,

f’ = Laju kehilangan,
2-18

Xt = Jumlah curah hujan (mm),

X’ = Kehilangan curah hujan.

Tabel 2.1 : Pendekatan angka koefisien pengaliran.

CURAH HUJAN RUMUS KOEFISIEN


NO DAERAH KONDISI SUNGAI
(Xt) PENGAIRAN

1 Hulu Sungai Biasa C=1-15.7/Xt^3/4

2 Tengah Sungai Biasa C=1-5.65/Xt^1/2

Sungai Di Zona
3 Tengah C=1-7.2/Xt^1/2
Lava

4 Tengah >200mm C=1-3.14/Xt^1/3

5 Hilir < 200mm C=1-6.60/Xt^1/2

Sumber: Suryono Sosrodarsono,1980.146

Koefisien aliran tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya,

antara lain:

a. Curah hujan

Curah hujan ialah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama

periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) diatas permukaan

horizontal bila tidak terjadi evaporasi, runoff, dan ilfiltrasi. Jadi, curah hujan

yang diukur, sebenarnya merupakan tebalnya atau tingginya permukaan air

hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan bumi / tanah.

Satuan curah hujan yang umumnya dipakai oleh BMKG adalah millimeter

(mm). Curah hujan 1 (satu) millimeter artinya dalam luasan satu meter

persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi 1 (satu) millimeter
2-19

atau tertampung air sebanyak 1 (satu) liter atau 1000ml. Pada proses

penelitian ini curah hujan kawasan dari stasiun curah hujan terdekat.

b. Tata guna lahan

Peta tata guna lahan menunjukan pola serta intensitas penggunaan lahan

perbedaan intensitas tata guna lahan mempengaruhi volume air hujan yang

mengalir di permukaan dan yang kemudian masuk ke dalam badan sungai.

Berdasarkan pertimbangan bahwa koefisien ini tergantung dari faktor-faktor

fisik. Seperti keadaan diatas maka besarnya angka koefisien pengaliran pada

suatu daerah dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2.2 : Koefisien limpasan (Dr.Mononoboe)

KONDISI DAS C

Pegunungan 0.75-0.90

Pegunungan tersier 0.70-0.80

Daerah bergelombang berat dan berhutan 0.50-0.75

Dataran yang ditanami 0.45-0.60

Persawahan yang diairi 0.70-0.80

Sungai di pegunungan 0.75-0.85

Sungai kecil didaerah dataran 0.45-0.75

Sungai besar yang sebagian alirannya berada di dataran rendah 0.50-0.75

Sumber: Suryono Sosrodarsono,1980.14


2-20

Tabel 2.3: Harga koefisien pengaliran Runoff (C)

KOEFISIEN ALIRAN

TIPE DAERAH TANGKAPAN (C)

Bisnis

Kawasan kota 0.70-0.95

Kawasan pinggiran 0.50-0.70

Kawasan Pemukiman

Kawasan keluarga-tunggal 0.30-0.50

multi satuan,terpisah 0.40-0.60

multi satuan,berdempetan (rapat) 0.60-0.75

Kawasan pemukiman pinggiran kota 0.25-0.40

Kawasan tempat tingga berupa rumah

susun 0.50-0.70

Perindustrian

Kawasan yang ringan 0.50-0.80

Kawasan yang berat 0.60-0.90

Taman-taman dan kuburan 0.10-0.25

Lapangan bermain 0.20-0.35

Kawasan halaman rel kereta api 0.20-0.40

Kawasan yang belum di manfaatkan 0.10-0.30

Sumber : Ir.Joesron Loebis 1984.IV-2


2-21

2.4.4 Analisa hujan efektif

Curah hujan efektif atau hujan netto ialah suatu bagian hujan total yang

menghasilkan limpasan langsung (direct run-off). Dengan asumsi bahwa proses

transformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak

berubah oleh waktu (linear and time invariant process), maka hujan netto (Rn)

dapat dinyatakan sebagai berikut:

……………………………….. (2.14)

Keterangan:

Rn = hujan netto (mm)

C = koefisien limpasan

R = intensitas curah hujan

2.4.5 Analisis Aliran Permukaan

Menurut Goldman dkk., 1986 dalam Suripin, (2003 : 79) untuk memperkirakan

laju aliran permukaan puncak (debit banjir) pada Daerah Aliran Sungai (DAS)

yang berukuran kecil, kurang dari 300 ha dan tidak mempunyai data debit,

maka dapat menggunakan Metode Rasional USSCS (1973).

Menurut goldman dkk, 1986 dalam Suripin, Perhitungan atau perkiraan besarnya

debit banjir rencana yang akan terjadi dapat dilakukan dengan metode sebagai

berikut ini:

2.4.5.1 Metode Rasional

Metode Rasional adalah salah satu dari metode yang paling lama dipakai dan

hanya digunakan untuk memperkirakan aliran permukaan (Wanielista. 1990).


2-22

Metode ini berdasarkan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas yang

seragam dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu

konsentrasi (tc). Jika curah hujan dengan intensitas (I) terjadi secara terus

menerus, maka laju limpasan langsung bertambah sampai mencapai tc,

sedangkan tc tercapai ketika seluruh bagian DAS telah memberikan kontribusi

aliran di muara (outlet). Sehingga perhitungan debit banjir dengan metode

Rasional ini memerlukan data intensitas curah hujan (I), yaitu ketinggian

curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut

terkonsentrasi dengan satuan mm/jam (Loebis 1992).

Pada sistem aliran, laju masukan (IA) adalah hasil dari curah hujan dengan

intensitas (I) pada suatu DAS dengan luasan (A), sedang nilai perbandingan

antara laju masukan (IA) dengan laju debit puncak (Qp) yang terjadi saat

mencapai waktu konsentrasi (tc) dinyatakan sebagai koefisien limpasan (C)

dimana nilainya 0 sampai 1 sekon (Chow 1988). Artinya bahwa curah hujan

selama satu jam dengan intensitas hujan 1 mm/jam di daerah seluas 1 ha

menghasilkan Qp sebesar 0.002778 m³/dt yang melimpas merata selama satu

jam, sehingga dapat disajikan dibawah ini (Goldman et.al., 1986 dalam

Suripin, 2004, hal.79).

Qp = …………. (2.15)

I= ( ) ………………………………… (2.16)
2-23

Keterangan :

Q = debit (m3/det)

C =koefisien aliran/limpasan (run off) air hujan

I = intensitas curah hujan (mm/jam)

A = luas daerah aliran (km2)

R = hujan maksimum (mm)

tc = waktu konsentrasi (menit)

Menurut Wanielista (1990) asumsi dasar untuk menggunakan metode Rasional

adalah sebagai berikut:

a. Curah hujan yang terjadi dengan intensitas (I) yang tetap dalam satu

jangka waktu tertentu, setidaknya sama dengan waktu konsentrasi (tc).

b. Ketika lama hujan (durasi) dengan intensitas (I) yang tetap atau sama

dengan waktu konsentrasi (tc), maka Limpasan langsung akan mencapai

maksimum.

c. Nilai C atau koefisien aliran (surface runoff) dianggap tetap selama

durasi hujan.

d. Luasan DAS tidak berubah selama durasi hujan.

Metode ini menggambarkan hubungan antara hujan dan aliran dalam bentuk

hidrograf dengan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas (I) yang seragam

dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu konsentrasi

(tc), sehingga dapat dilihat pada Gambar 2.7 dibawah ini.


2-24

Gambar 2.7 Grafik Hidrograf Aliran (Ponce, 1989, hal. 72)

2.4.5.2 Koefisien aliran permukaan (C)

Koefisien aliran permukaan (runoff coefficien) yang dinotasikan dengan huruf

C didefinisikan sebagai nisbah antara puncak aliran permukaaan terhadap

intensitas hujan (I) atau nilai perbandingan antara laju masukan dengan laju

debit puncak (Qp) yang terjadi pada saat Waktu konsentrasi (Tc), dan menurut

Chow (1988) nilai koeffisien aliran permukaan (C) berkisar antara 0 – 1 (0 ≤

C ≤ 1). Faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah

atau prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan (slope) yang dipengaruhi

oleh tutupan lahan permukaan tanah suatu DAS serta intensitas hujan (I) dari

suatu kejadian hujan DAS. Sehingga DAS yang terdiri dari berbagai macam

penggunaan lahan, nilai koeffisien aliran permukaan (C) akan beragam pula.
2-25

Maka untuk menganalisa nilai koeffisien aliran permukaan suatu DAS

menggunakan persamaan (Suripin, 2004, hal.81) :


CDAS ∑
…………………………………. (2.17)

Keterangan:

CDAS = koefisien aliran permukaan suatu DAS

Ai = luas lahan dengan jenis penutup lahan i

Ci = koefisien aliran permukaan jenis penutup lahan i

n = jumlah jenis penutup lahan

Sedangkan nilai koeffisien C beserta penggunaannya dalam beberapa tata guna

lahan dapat disajikan dalam Tabel 2.4. di bawah ini (U.S. Forest Service.,1980

dalam Asdak, 2004 : 154-155)


2-26

Tabel 2.4. Koefisien limpasan untuk metode Rasional.

Tata Guna Lahan C Tata Guna lahan C

Perkantoran Daerah beratap 0,75 - 0,95

Daerah pusat kota 0,70 - 0,95 Tanah Pertanian, 0-30%

Daerah sekitar kota 0,50 - 0,70 Tanah Kosong

Perumahan Rata 0,30 - 0,60

Rumah tunggal 0,30 - 0,50 Kasar 0,20 - 0,50

Rumah susun, terpisah 0,40 - 0,60 Ladang Garapan

Rumah susun, 0,60 - 0,75 Tnh. berat, tanpa vegetasi 0,30 - 0,60

bersambung

Pinggiran kota 0,25 - 0,40 Tnh. berat, dgn. vegetasi 0,20 - 0,50

Daerah Industri Berpasir, tanpa vegetasi 0,20 - 0,25

Kurang padat industri 0,50 - 0,80 Berpasir, dgn. vegetasi 0,10 - 0,25

Padat industri 0,60 - 0,90 Padang Rumput

Tanah berat 0,15 - 0,45

Taman, Kuburan 0,10 - 0,25 Berpasir 0,05 - 0,25

Tempat Bermain 0,20 - 0,35 Hutan/bervegetasi 0,05 - 0,25

Daerah Stasiun KA 0,20 - 0,40 Tanah tidak produktif, > 30 %

Daerah Tak Berkembang 0,10 - 0,30 Rata, kedap air 0,70 - 0,90

Kasar 0,50 - 0,70

Sumber : U.S. Forest Service (1980) dalam Asdak, C (2004)


2-27

Harga C dalam Tabel 2.4 diatas belum memberikan rincian faktor topografi

permeabilitas tanah, penutup lahan, dan tata guna tanah yang mempengaruhi

nilai C, maka Hassing (1995) menyajikan nilai C dengan mengintegrasikan

nilai yang merepresentasikan beberapa faktor tersebut dalam Tabel 2.5.

(Suripin, 2004, hal.81).

Tabel 2.5. Koefisien aliran untuk metode Rasional menurut Hassing (1995)

Koefisien Aliran C = Ct + Cs + Cv

Topografi, Ct Tanah, Cs Vegetasi, Cv

Datar (<1 %) 0,03 Pasir dan gravel 0,04 Hutan 0,04

Bergelombang (1-10 %) 0,08 Lempung berpasir 0,08 Pertanian 0,11

Perbukitann (10-20 %) 0,16 Lempung dan lanau 0,16 Padang rumput 0,21

Pegunungan (>20 %) 0,26 Lapisan batu 0,26 Tanpa tanaman 0,28

Sumber : Hassing (1995) dalam Suripin (2004) hal.81

2.4.5.3 Analisa Frekuensi curah hujan maksimum

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai

atau dilampoi, sedangkan kala ulang (periode ulang) adalah waktu hipotetik

dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampoi.

Analisa Frekuensi curah hujan adalah suatu prosedur untuk memperkirakan

frekuensi suatu kejadian hujan pada masa lalu dan masa mendatang. Dengan

analisa Frekuensi curah hujan, dapat diketahui jenis distribusi hujan yang

dapat mewakili persebaran dari data hujan harian, sehingga dapat ditetapkan

Hujan Rancangan dengan berbagai periode ulang. Ada beberapa metode

analisa frekuensi curah hujan antara lain Distribusi Normal, Log Normal, Log-

Person III dan Gumbel. Dalam penelitian ini, digunakan metode distribusi
2-28

Gumbel, dimana langkah analisisnya sebagai berikut ini :

1) Menentukan hujan harian maksimum rerata untuk tiap-tiap tahun data.

2) Menentukan parameter statistik dari data yang telah diurutkan dari besar

ke kecil, yaitu: Mean, Standard Deviation, Coeffisient of Variation,

Coeffisient of Skewness, Coeffisient of kurtosis.

3) Menentukan jenis distribusi yang sesuai berdasarkan parameter statistik

yang ada, yaitu distribusi Gumbel, dengan ciri khas statistik Cs = 1,396

dan Ck = 5,4002.

Dalam ilmu statistic dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis

distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah:

a. Distribusi Normal

Dalam analisis hidrologi distribusi normal sering digunakan untuk

menganalisis frekuensi curah hujan, analisis statistic dari distribusi curah

hujan tahunan, debit rata-rata tahunan. Distribusi tipe normal, mempunyai

koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau Cs=0.

b. Distribusi Log Normal

Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari Distribusi

Normal, yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian

X. Distribusi ini dapat diperoleh juga dari distribusi log-person III, apabila

nilai koefisien kemencengan Cs = 0. Distribusi tipe log normal mempunyai

koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau Cs= 3 Cv + Cv.


2-29

c. Distribusi Log-Person III

Distribusi Log-Person III atau Distribusi Ekstrim Tipe III digunakan untuk

analisis variable hidrologi dengan nilai varian minimum, misalnya analisis

frekuensi distribusi dari debit minimum (low flows). Distribusi ini

mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness) atau Cs ≠ 0.

Langkah-langkah dalam metode distribusi log-person tipe III yang

diperlukan adalah sebagai berikut:

 Mengganti data X1, X2, X3, ...., Xn menjadi data dalam logaritma, yaitu:ln

X1, ln X2, ln X3, ...., ln Xn.

 Menghitung rata-rata dari logaritma data tersebut:


…………………………… (2.18)

Keterangan:

X = Curah hujan rata-rata (mm)

Xi = Curah hujan rata-rata maksimum harian (mm)

n = Jumlah data curah hujan

 Menghitung standar deviasi (deviation standard)


√ …………………………… (2.19)
2-30

 Menghitung koefisien kemencengan (skewness coefficient)


…………............ (2.20)

Keterangan:

Cs = Koefisien kemencengan (skewness coefficient)

S = Standar deviasi (deviation standard)

n = Jumlah data curah hujan

Xi = Hujan rata-rata maksimum harian (mm)

X = Hujan rata-rata (mm)

 Menghitung logaritma data pada interval pengulangan atau kemungkinan

presentase yang dipilih.

Ln R = (ln X) + Gs

Harga Gs adalah harga untuk setiap nilai harga g dan interval pengulangan

atau kemungkinan presentase yang dipilih dan dapat diambil dari table.

Sedangkan R adalah logaritma curah hujan rencana yang mempunyai

interval pengulangan atau kemungkinan presentase yang sama.


2-31

d. Distribusi Gumbel

Distribusi Tipe I Gumbel atau Distribusi Ekstrim Tipe I digunakan untuk

analisis data maksimum, misalna untuk analisis frekuensi banjir. Distribusi

Tipe I Gumbel, mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of

skewness) atau Cs ≤ 1,139.

…………………………………………. (2.21)

Keterangan :

Xt = Curah hujan rencana dengan periode ulang t tahun

X = Curah hujan rata-rata (mm)

S = Standar deviasi (deviation standard)

Kr = Faktor frekuensi Gumbel =

2.4.5.4 Intensitas Curah Hujan (I)

Dalam perhitungan Qmaks dengan Metode Rasional diperlukan data intensitas

curah hujan, yaitu kedalaman air hujan per satuan waktu atau curah hujan

jangka pendek dalam satuan mm/jam dan dinotasikan dengan huruf I.

Sedangkan menurut Loebis (1992) intensitas hujan adalah ketinggian curah

hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi.

Intensitas hujan (I) dipengaruhi oleh lamanya suatu kejadian hujan (durasi)

atau waktu konsentrasi (tc) serta curah hujan maksimum selama 24 jam.

Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi


2-32

pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Hujan yang meliputi daerah luas,

jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi

cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi

panjang jarang terjadi, jika terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan

dicurahkan dari langit (Sudjarwadi 1987).

Hubungan antara intensitas, lama hujan (durasi) dan frekuensi biasanya

dinyatakan dengan lengkung Intensitas–Durasi–Frekuensi (Intensity-

Duration- Frequency = IDF) yang dibuat dengan data hujan jangka pendek

(jam-jaman) dari penakar hujan otomatis. Menurut Sri Harto (1993), analisis

IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang

diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak dapat mengamati besarnya

intensitas hujan (I) karena alatnya tidak ada, maka intensitas hujan (I) dapat

analisa secara empiris dengan rumus-rumus eksperimental seperti rumus

Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishiguro (Suyono dan Takeda 1993).

Curah hujan jangka pendek dinyatakan dalam intensitas per jam yang disebut

intensitas curah hujan (mm/jam). Intensitas hujan untuk tc tertentu dapat

dihitung dengan rumus Mononobe dibawah ini (Kirpich, 1940 dalam Suripin,

2004, hal.82) :

( ) …………………………………… (2.22)

Keterangan :

I = intensitas curah hujan (mm/jam);

tc = lamanya curah hujan (jam);

R24 = curah hujan maks dalam 24 jam (mm).


2-33

Sedangkan menurut Sobriyah (2003), dalam desertasinya menyatakan bahwa

hujan efektif diasumsikan terjadi selama 4 jam dengan prosentase hujan

sebagaimana dalam Tabel 2.6 dibawah ini.

Tabel 2.6. Tabel Prosentase hujan jam-jaman menutut Sobriyah (2003).


No. Hujan Jam-jaman Prosentase

1 Hujan ke-1 38,70 %

2 Hujan ke-2 32,30 %

3 Hujan ke-3 18,70 %

4 Hujan ke-4 10,30 %

Sumber : Sobriyah, 2003

2.4.5.5 Waktu Konsentrasi (tc)

Waktu konsentrasi (tc) suatu DAS adalah waktu yang dibutuhkan oleh aliran

air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan kemudian mengalir dari titik

terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (outlet) setelah lahan menjadi jenuh.

Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika lama hujan (durasi) sama dengan waktu

konsentrasi (tc), maka setiap bagian DAS secara serentak telah

menyumbangkan aliran terhadap tempat keluaran DAS (outlet), atau dengan

kata lain bahwa waktu konsentrasi (tc) tercapai ketika seluruh bagian DAS

telah memberikan kontribusi aliran di tempat keluaran (outlet) DAS tersebut.

Salah satu metode yang sering dipakai adalah persamaan yang

dikembangkan oleh Kirpich (1940), sehingga berikut (Suripin, 2004, hal 82) :

( ) …………………………………. (2.23)
2-34

Keterangan :

L = panjang sungai (km)

S = kemiringan sungai (%)

2.4.5.6 Luas DAS

Luas suatu daerah aliran sungai (DAS) adalah luas daerah tangkapan air hujan

yang dibatasi oleh pemisah alam topografi antara lain punggung bukit atau

pegunungan dan dan dinotasikan dengan huruf A. Luas dan kemiringan DAS

akan mempengaruhi kecepatan dan volume aliran air/debit (Q) permukaan,

sehingga semakin luas suatu daerah aliran sungai (DAS) maka volume aliran

permukaan atau debit (Q) dalam satuan m3/sekon akan semakin besar.

2.4.5.7 Analisa Debit Banjir Rencana

1. Metode Weduwen

Metode Weduwen biasa digunakan jika suatu luas DAS kurang dari atau

sama dengan 100 km2 (≤ 100 km2). Rumusnya adalah sebagai berikut:

Qt = α x β x qn x f …………………………………… (2.24)

Dimana:

α=1- qn =

β= t=
2-35

Keterangan :

Qt = debit banjir periode ulang tertentu (m3/detik)

α = koefisien pengaliran

β = koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS

t = lamanya konsentrasi aliran (jam)

f = luas daerah pengaliran (m2)

qn = curah hujan maksimum (mm)

2. Metode Haspers

Metode Haspers digunakan pada luas DAS <300 km2

Rumus :

Q = α x β x q x A …………………………………………… (2.25)

t = 0,1 x L0,8 x i-0,3

α=

Keterangan :

Q = debit banjir rencana pada periode ulang tertentu ( m3/det)

α = koefisien limpasan air hujan

β = koefisien pengurangan luas daerah hujan

q = intensitas maksimum jatuhnya hujan rata-rata (m3/km2/det)

A = luas daerah pengaliran hujan (jam)

t = waktu konsentrasi hujan (jam)


2-36

L = panjang sungai (km)

i = kemiringan sungai

3. Analisis Hidrograf Satuan

Hidrograf adalah grafik yang menggambarkan suatu hubungan antara unsur-

unsur aliran (tinggi dan debit) dengan waktu (stage hydrograph, ducharge,

hydrograph). Hidrograf merupakan diri response dari hujan yang terjadi.

Kurva ini memberikan gambaran mengenai berbagai kondisi yang ada di

suatu daerah pada kurun waktu yang bersamaan. Apabila karakteristik

daerah tersebut berubah-ubah, maka bentuk hidrograf juga pasti akan

berubah. Teori hidrograf ini merupakan penerapan pertama dari system

linier dalam hidrologi.

Metode hydrograph satuan sintesis telah banyak digunakan untuk

memperkirakan banjir rancangan dan memberkan hasil rancangan yang

cukup teliti. Metoda analisis hidrograf satuan sintetis yang umum digunakan

di Indonesia ialah :

1. Metoda Snyder-Alexeyev

Empat parameter yaitu waktu kelambatan, aliran puncak, waktu dasar, dan

durasi standar dari hujan efektif untuk hidrograf satuan dikaitkan dengan

geometri fisik dari DAS dengan hubungan berikut ini (Gupta, 1989).

tp = Ct (L Lc)0,3

Qp = ………………………………….. (2.26)

T=3+

tp =
2-37

Apabila durasi hujan efektif tx tidak sama dengan durasi standar tD, maka:

( ) …………………….. (2.27)

…………………………….. (2.28)

Keterangan :

tD = durasi standar dari hujan efektif (jam)

tr = durasi hujan efektif (jam)

tp = waktu dari titik berat durasi hujan efektif tD ke puncak

hidrograf satuan (jam)

tp R = waktu dari titik berat durasi hujan tD ke puncak hidrograf

satuan (jam)

T = waktu dasar hidrograf satuan (hari)

Qp = debit puncak untuk durasi tD

QpR = debit puncak untuk durasi tr

L = panjang sungai utama terhadap titik control yang ditinjau

(km)

Lc = jarak antara titik control ke titik terdekat dengan titik

berat DAS (km)

A = luas DAS (km2)

Ct = koefisien yang tergantung kemiringan DAS, yang

bervariasi dari 1,4-1,7


2-38

Cp koefisien yang tergantung pada karakteristik DAS, yang

bervariasi dari 0,15-0,19

Dengan menggunakan rumus-rumus tersebut diatas dapat digambarkan hidrograf

satuan. Untuk memudahkan penggambaran, berikut ini diberikan beberapa rumus:

…………………….. (2.29)

Dengan W50 dan W75 ialah lebar unit hidrograf pada debit 50% dan 75% dari debit

puncak, yang dinyatakan dalam satuan jam. Sebagai acuan, lebar W 50 dan W75

dibuat dengan perbandingan 1:2, dengan sisi pendek di sebelah kiri dari hidrograf

satuan.

2. Metoda Nakayasu

Hidrograf satuan sintesis Nakayasu dikembangan berdasarkan beberapa

sungai di Jepang (Soemarto, 1987).

Qp = ………………………….. (2.30)

Tp = tg + 0,8 Tr

tg = 0,4 + 0,058L untuk L>15 km

tg = 0,21 L 0,7 untuk L<15 km

T0,3 = α tg

tr = 0,5 tg sampai tg

Keterangan:

Qp = debit puncak banjir

A = luas DAS (km2)


2-39

Re = curah hujan efektif ( 1mm)

Tp = waktu permulaan banjir sampai puncak hidrograf (jam)

T0,3 = waktu dari puncak banjir sampai 0,3 kali debit puncak

(jam)

tg = waktu konsentrasi

Tr = satuan waktu dari curah hujan (jam)

α = karakteristik DAS biasanya diambil 2

L = panjang sungai utama (km)

Bentuk hidrograf satuan diberikan oleh persamaan berikut ini:

a. Pada kurva naik (0<t <Tp)

Qt = Qp ( )

b. Pada kurva turun (Tp<t <Tp + T0,3)

Qr = Qp x

c. Pada kurva turun (Tp+T0,3<t<Tp + T0,3 | + 1,5 T0,3)

[ ( )]
Qt = Qp x

d. Pada kurva turun (t>Tp + T0,3 + 1,5 T0,3)

[ ( )]
Qt = Qp x

2.5 Perubahan Tata Guna Lahan (Land Use Change)

Perubahan tata guna laha ialah berubahnya penggunaan lahan dari satu sisi

penggunaan ke penggunaan yang lain diikuti dengan berkurangnya tipe

penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya atau

berubahnya fungsi lahan suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto
2-40

dkk, 2001). Perubahan fungsi tutupan lahan dari kawasan konservasi (lahan hijau)

menjadi kawasan terbangun (permukiman) akan memperberat tekanan terhadap

kondisi lingkungan antara lain pengaruhi besarnya laju erosi dan sedimentasi di

wilayah hulu, menimbulkan banjir dan genangan di wilayah hilir, serta tanah

longsor dan kekeringan.

Pergeseran fungsi lahan di kawasan pinggrian, dari lahan pertanian dan tegalan

atau kawasan hutan yang juga berfungsi sebagai daerah resapan air, berubahnya

menjadi kawasan perumahan, industri dan kegiatan usaha non pertanian lainnya,

berdampak pada ekosistem alami setempat. Fenomena ini memberikan

konsekuensi logis terjadinya penurunan jumlah dan mutu lingkungan, baik

kualitas maupun kuantitasnya, yaitu menurunnya sumberdaya alam seperti, tanah

dan keanekaragaman hayati serta adanya perubahan perilaku tata air (siklus

hidrologi) dan keanekaragaman hayati.

Perubahan siklus hidrologi ialah terjadinya perubahan perilaku dan fungsi air

permukaan, yaitu menurunnya aliran dasar (base flow) dan meningkatnya aliran

permukaan (surface runoff), yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

tata air (hidrologi) dan terjadinya banjir serta genangan di daerah hilir (Tim Kerja

Manajemen Sungai Terpadu Ditjen Sumber Daya Air Kimpraswil, 2002).

Perubahan fungsi lahan dalam suatu DAS juga dapat menyebabkan peningkatan

erosi, yang mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai atau saluran air

(Suripin, 2003 : 223).

Urbanisasi yang terjadi dihampir diseluruh kota besar Indonesia akhir-akhir ini

kian menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat. Hal ini dikarenakan

kebutuhan akan lahan, baik untuk permukiman penduduk maupun kegiatan


2-41

perekonomian meningkat begitu tajam, sehingga lahan-lahan yang biasanya

berfungsi sebagai retensi da resapan semakin menurun.

2.6 Analisa dengan Perangkat Lunak Sistem Informasi Geografis ArcGIS

Geographic Information System atau sering disingkat dengan SIG / GIS

merupakan sebuah system manajemen informasi yang menyeluruh mengenai

ruang geografis dengan komputerisasi untuk mengelola data mengenai ruang

geografis, antara lain kegiatan survey, pemetaan, kartografi, fotogrametri,

penginderaan jarak jauh dan ilmu computer (Glenn dan Schwab, 1996 dalam

Prahasta, 2002). System ini memungkinkan pengguna untuk memasukkan data,

mengatur, menganalisis, memanipulasi dan menampilkan data spasial. Serta

mampu menyimpan, mengelola dan memproses dalam lingkungan pemodelan.

Model Builder data-data spasial dalam bentuk table, peta dan citra ( ESRI, 2004 ),

sehingga GIS dapat mendukung beberapa aspek kerja informasi geografis :

1. Menampilkan geodatabase. GIS adalah database spasial yang

menggambarkan informasi geografis dalam arti model data GIS (feature,

raster, topologi, network)

2. Geovisualiasasi. GIS adalah sekumpulan peta dan tampilan lainnya yang

menunjukkan feature di permukaan bumi dan hubungan antar feature.

Berbagai tampilan peta dapat dibuat dan digunakan sebagai jendela bagi

database untuk mendukung query, analisis dan pengeditan informasi.

3. Geoprocessing. GIS adalah sekumpulan tools untuk mengubah informasi

dari dataset yang ada menjadi dataset geografi yang baru. Fungsi

geoprocessing ini mengambil informasi dari dataset yang ada, memaparkan


2-42

fungsi analitis, dan menuliskan hasilnya menjadi dataset yang baru, (ESRI,

2004).

Model Builder merupakan suatu pemodelan dan pemrograman visual yang mudah

dibuat menggunakan aneka yaitu program extension yang disediakan Software

ArcGIS. GIS meliputi sekumpulan tool yang lengkap untuk bekerja dengan data-

data geografis, sedang tool-tool yang tersedia bias disusun ulang untuk

membentuk tool-tool baru sesuai kebutuhan pengguna. Ada tingkatan dalam suatu

GIS, antara lain :

a. Persiapan dan Input Data : data dikumpulkan dan dipersiapkan untuk

dimasukkan ke dalam system.

b. Analisis Data : koleksi data direview dan mencoba menemukan polanya.

c. Presentasi Data : tahap akhir dimana hasil analisis disajikan dengan cara

yang sesuai.

2.6.1 ArcGIS Desktop

Aplikasi dasar yang terdapat di ArcGIS Desktop ialah :

1. Aplikasi ArcMap

ArcMap adalah aplikasi utama untuk kebanyakan proses GIS dan

pemetaan dengan komputer. ArcMap memiliki kemampuan utama untuk

visualisasi, membangun database spasial yang baru, memilih (query),

editing, menciptakan desain-desain peta, analisis dan pembuatan tampilan

akhir dalam laporan-laporan kegiatan. Beberapa hal yang dapat dilakukan


2-43

oleh ArcMap diantaranya yaitu penjelajahan data (exploring), analisa sig

(analyzing), presenting result, customizing data dan programming.

2. Aplikasi ArcCatalog

ArcCatalog adalah tool untuk menjelajah (browsing), mengatur

(organizing),

membagi (distribution) mendokumentasikan data spasial maupun metadata

dan

menyimpan (documentation) data – data SIG. ArcCatalog membantu dalam

proses eksplorasi dan pengelolaan data spasial. Setelah data terhubung,

ArcCatalog dapat digunakan untuk melihat data. Bila ada data yang akan

digunakan, dapat langsung ditambahkan pada peta. Seringkali, saat

memperoleh data dari pihak lain, data tidak dapat langsung digunakan. Data

tersebut mungkin masih perlu diubah sistem koordinat atau proyeksinya,

dimodifikasi atributnya, atau dihubungkan antara data geografis

dengan atribut yang tersimpan pada tabel terpisah. Pada saat data siap, isi

dan struktur data sebagaimana halnya perubahan-perubahan yang dilakukan,

harus di dokumentasikan. Berbagai aktivitas pengelolaan data ini dapat

dilakukan menggunakan fasilitas yang tersedia pada ArcCatalog.

3. Aplikasi ArcToolbox

Sebagai inti dari semua proses analisis data dalam ArcGIS, ArcToolbox

memegang peranan penting. Dalam ArcToolbox, tools atau perintah-


2-44

perintah untuk melakukan analisis dikelompokkan sesuai dengan kelompok

fungsinya. Beberapa kelompok yang terpenting adalah:

Analysis Tools, yang berisi perintah:

 Extract (Clip, Select, Split, Table Select)

 Overlay (Erase, Identity, Intersect, Spatial Joint, Union, Update)

 Proximity (Buffer, Create Thiessen Polygon)

Conversion Tools yang berisi antara lain:

 Konversi raster ke vektor atau sebaliknya

Data Management Tools yang berisi antara lain:

 Add XY coordinat

 Multipart to single part

 Projections and Transformations untuk menentukan sistem koordinat dan

proyeksi

 Generalization (dissolve, smooth line, simplify)

 Konversi data line ke polygon atau titik, dan sebaliknya

 Membuat field, delete field dan Kalkulasi field

 Merger data

 Raster (mosaic, resample, composit band).

4. Aplikasi ArcGlobe

ArcGlobe adalah Sebuah Aplikasi yang digunakan untuk Menampilkan Peta-peta

secara 3D ke dalam bola dunia dan dapat dihubungkan langsung dengan Internet.
2-45

Aplikasi ini umumnya dirancang untuk digunakan dengan dataset yang sangat

besar dan memungkinkan untuk visualisasi yang tidakterputus untuk data raster dan

fitur peta lainnya.View dalam ArcGlobe didasarkan pada pandanganglobal, dengan

semua data diproyeksikan ke proyeksiCube global dan ditampilkan pada berbagai

tingkat detail ( LODs ).

5. Aplikasi ArcScene

ArcScene adalah Sebuah Aplikasi yang digunakan untu mengolah dan

menampilkan peta-peta kedalm 3D.

2.7 Studi Terdahulu

2.7.1 Kajian Sistem Hidrologi akibat Perubahan Tataguna Lahan di

Kawasan Bandung Utara

Pada studi terdahulu ini, dengan judul tersebut yang ditulis oleh Edi Nurrochman,

merupakan fenomena banjir, genangan dan suatu krisis air yang terjadi

diakibatkan adanya suatu perubahan tataguna lahan serta intensitas curah hujan

yang tinggi setiap tahunnya di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di

wilayah perkotaan selalu saja terjadi. Perubahan tataguna lahan dari lahan non

terbangun menjadi lahan terbangun di kawasan konservasi air khususnya di

Kawasan Bandung Utara mengakibatkan peningkatan koefisien air larian (surface

run-off). Hasil dari penelitian dengan metode analisis spasial ini menunjukkan

bahwa Kawasan Bandung Utara dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun yaitu;

tahun 2003 sampai 2014 perubahan suatu lahan resapan menjadi lahan kedap air

mencapai angka 32% (8.618,88 Ha) dari luas tangkapan yang ada sebesar 26.934

ha, berdasarkan metode analisis MIKE SHE perubahan tataguna lahan ini
2-46

menyebabkan trend dari peningkatan nilai koeffisien aliran permukaan (C), yaitu

dari 0,1341 pada tahun 2003 menjadi 0,1502 pada tahun 2014. Perhitungan debit

banjir puncak dengan metode Hidrograf Satuan Sintesis ITB-1 untuk periode

ulang 25 tahun debit banjir Sungai Cimeta 85,42 M3/detik, Sungai Cikapundung

77,06 M3/detik, Sungai Cihaur 41,77 M3/detik, Sungai Citepus 35,40 M3/detik,

Sungai Cimahi 29,78 M3/detik, dan Sungai Cibaligo 14,05 M3/detik. Perubahan

tataguna lahan di Kawasan Bandung Utara telah memicu erosivitas tanah,

berdasarkan suatu analisis metode USLE laju erosivitas tanah sebesar 22,86

ton/ha/tahun.

Gambar 2.8 Trend Kenaikan Nilai C dari Tahun 2003 - 2014

2.7.2 Pengaruh Perubahan Pola Penggunaan Lahan terhadap Banjir di DAS

Buah Kota Palembang

Dampak yang ditimbulkan dari perubahan tataguna lahan suatu ruang terbuka

hijau menjadi kawasan terbangun akan mempengaruhi kemampuan dari resapan

air oleh tanah, dan kualitas air di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga

menyebabkan terjadinya suatu banjir. Kota Palembang memiliki 22 titik ruas jalan

dan 43 titik daerah yang menjadi rawan banjir, salah satunya ialah DAS Buah.
2-47

Daerah Aliran Sungai Buah rawan terhadap banjir dan termasuk DAS kritis di

Kota Palembang. Penyebab banjir di DAS Buah karena alih fungsi suatu lahan

ruang terbuka hijau menjadi kawasan permukiman. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh dari perubahan pola penggunaan lahan dari

tahun 2000-2017 yang dapat mempengaruhi banjir di DAS Buah Kota Palembang.

Metode deskriptif kuantitatif yang digunakan dengan analisis overlay dan

didukung data dari observasi lapangan. Hasil analisis overlay menunjukkan bahwa

efek dari perubahan penggunaan lahan pada DAS Buah ialah 25,74%. Lokasi titik

banjir di Sungai Buah pada tahun 2012 sebanyak 34 titik lokasi dan meningkat

pada tahun 2017 sebanyak 38 titik lokasi banjir dengan frekuensi yang berbeda.

Gambar 2.9 Peta Indikatif Perbandingan Titik Lokasi Banjir

2.7.3 Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Limpasan Air

Permukaan

Perubahan yang cepat pada daerah Bogor dari lahan penyerapan air menjadi lahan

permukiman dan sebagainya dapat mengurangi kapasitas untuk menyerap air dan

meningkatkan air limpasan permukaan. Posisi Kota Bogor terletak di bagian

tengah DAS Ciliwung dan memberikan suatu kontribusi yang signifikan untuk
2-48

meningkatkan laju aliran air sungai. Pengendalian run-off sangat penting untuk

dikurangi ancaman banjir daerah Jakarta serta meningkatkan komposit air tanah

untuk Kota Bogor itu sendiri. Metode analisis shift-share membandingan jenis dan

lahan penggunaan lahan dalam waktu yang berbeda. Hasil dari penelitian inipun

menggambarkan bahwa suatu perubahan penggunaan lahan akan banyak

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan itu sendiri.

2.7.4 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Perubahan Debit

Puncak Banjir

Bencana banjir yang terjadi pada suatu tempat dapat disebabkan oleh dua faktor

antara lain; perubahan tataguna lahan yang signifikan atau intensitas curah hujan

yang terjadi secara terus-menerus. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan

adanya perubahan kondisi debit banjir DAS. Akibat dari alih fungsi lahan yang

ada, air hujan yang jatuh lebih berpotensi menjadi aliran permukaan daripada

terserap oleh permukaan tanah. Peningkatan secara signifikan di Sub DAS

Brantas hulu pada luas lahan permukiman sebesar 9% dari 29,18 km2 menjadi

31,81 km2 dan perkebunan sebesar 7%. Dari perubahan tersebut mempunyai

dampak yaitu berubahnya respond DAS terhadap hujan dengan debit puncak

banjir tahun 2003 rata-rata debit puncak banjir sebesar 96,79 m3/detik menjadi

189,19 m3/detik pada tahun 2007.

2.7.5 Analisis Intensitas Curah Hujan Wilayah Bandung

Pada awal 2010 di wilayah Bandung telah terjadi hujan dengan intensitas yang

sangat tinggi, serta berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Kondisi ini

telah mengakibatkan kerugian materil dan immateril akibat terjadinya beberapa

bencana seperti banjir, tanah longsor, serta meluapnya suatu bendungan.


2-49

Berdasarkan hasil analisis intensitas curah hujan diketahui bahwa jumlah curah

hujan yang terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret 2010, seluruhnya

berada diatas normal demikian pula dengan jumlah hari hujannya. Tingginya

intensitas curah hujan yang terjadi selama 3 bulan berturut-turut dengan kondisi di

atas normal jarang sekali terjadi di wilayah Bandung. Berdasarkan catatan yang

dimiliki oleh BMKG Stasiun Geofisika Bandung hal serupa pernah terjadi pada

tahun 1952 dan 1966, namun demikian intensitas curah hujan bulanan yang terjadi

pada awal 2010 tersebut yang terjadi selama 3 bulan berturut-turut merupakan

yang tertinggi dari yang sebelumnya pernah terjadi.

Gambar 2.10 Kejadian Hujan dengan Intensitas Tinggi di Wilayah Bandung

Anda mungkin juga menyukai