Anda di halaman 1dari 138

SUKSES DALAM AL-QUR’AN

(Studi Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
Yanuar Fahmi
1113034000154

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ABSTRAK

Yanuar Fahmi
Sukses dalam al-Qur’an (Studi Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân)

Sukses merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia, kerap


kali seseorang melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Namun di zaman
modern ini sukses selalu dikaitkan dengan harta, pangkat, jabatan, kedudukan,
popularitas, dan penampilannya, memang itu semua tidaklah salah tetapi semua
itu adalah sukses yang hanya sementara, kesuksesan yang tidak abadi. Bahkan
banyak orang yang tidak bersyukur karena lupa dan terjerumus karenanya.
Setiap Muslim selalu mengingat dan memahami bahwa kesuksesan yang
hakiki adalah kesuksesan yang diukur dengan parameter al-Qur’an. Dengan
keistimeawaan al-Qur’an, al-Qur’an memecahkan masalah-masalah kemanusiaan
dalam berbagai kehidupan. Al-Qur’an dalam tataran umat Islam dianggap sebagai
acuan pertama dalam pengambilan mengatur pola hidup masyarakat.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian tafsir
mauḏu’i dengan mengumpulkan ayat yang ada di dalam al-Qur’an yang memiliki
tema sukses yang serupa. Metodologi penelitian ini dalam kategori kualitatif.
Dengan melakukan pencarian sumber (referensi) atau studi kepustakaan (library
research) sebagai pendekatan pengumpulan data, data diambil dari dua sumber
yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer yang diambil
penulis adalah Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur’ân karya Sayyid
Quṯb ini pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah keharusan kembali
kepada Allah Subẖânahu wata’âla dan kepada tatanan kehidupan yang telah
digambarkan-Nya dalam al-Qur’an, jika manusia menginginkan sebuah
kesuksesan, kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam,
mengarungi kehidupan dunia ini. Sedangkan sumber sekunder menggunakan
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
Sedangkan jenis metode pembahasannya yaitu deskriptif-analitis.
Kesuksesan atau keberuntungan yang hakiki di dalam al-Qur’an yaitu
yang selalu melakukan ibadah dan amal kebaikan,di antaranya adalah mendirikan
shalat, bersifat sabar, keteguhan hati, bekerja dan mengingat nikmat Allah
Subẖânahu waTa’âla. Itulah manusia yang dijanjikan oleh Allah Subẖânahu
wata’âla yang akan mendapatkan sukses dunia dan akhirat.

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmânirrahȋm
Assalâmualaikum Waraẖmatullâhi Wabarakâtuh
Puji syukur kehadirat Allah Subẖânahu wata’âla, Tuhan semesta alam

yang telah memberikan kenikmatan iman, islam, kesehatan jasmani dan rohani,

serta rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan serta kesabaran dalam

menghadapi berbagai kesulitan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam tercurah pada Nabi Muhammad Sallallâhu ‘alaihi wasallam,

penutup para Nabi yang memiliki akhlak mulia dan menuntun ummatnya pada

jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat, serta

doa untuk keluarganya, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus di selesaikan

untuk menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan

Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulisan skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan,

bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setinggi

tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., Selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

ii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M . A . , selaku ketua Jurusan Ilmu Al-

Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Ibu Dra. Banun Binaningrum,

M.Pd., selaku sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Serta seluruh

dosen dan staf akademik Fakultas Ushuluddin, khususnya jurusan Ilmu Al-

Qur’an dan Tafsir yang telah memberikan ilmunya.

4. Bapak Muslih, M.Ag., selaku dosen pembimbing penulis yang telah

memberikan arahan, saran dan bimbingannya kepada penulis, sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf jika selama proses bimbingan

penulis banyak kesalahan. Semoga senantiasa diberikan kesehatan dan

diberikan kelancaran dalam segala urusannya.

5. Kepada staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,

yang telah memberikan kemudahan dalam mencari buku referensi.

6. Kepada kedua orangtuaku tercinta, ayahanda Lamri S.H., dan Ibunda

Sawiyah, S.Pd yang telah bersabar dalam mengasuh dan mendidik,

memberikan kasih sayang dan selalu ikhlas mendo’akan yang terbaik

untuk anaknya, dan selalu menasehati penulis untuk menjadi manusia

yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga Allah Subẖânahu

wata’âla mengampuni dan memaafkan segala khilaf dan kesalahan serta

memberikan umur yang berkah kepada ayah dan ibu. Âmȋn.

7. Kakakku tercinta Sukron Makmun, Sudarno, Ida Nurlaela, Neneng

Kusmela, Abdul Haris, Abdullah Syafei, Julfikar Malik, dan adikku Nuri

Kartika dan Rafli Wiratama yang selalu memberikan motivasi dan

dukungan lahir dan batin dalam penulisan skripsi ini.

iii
8. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman Jurusan Tafsir-

Hadis 2013, dan khususnya kepada teman-teman TH-D terutama Farij

Hamdillah, Ismail Syaefullah, Meida Kartika, dan dari kelas lainnya yaitu

Filzah Nida, Siti Arimah, Maya Arianti, Aini Indah, serta teman-teman

lain yang tidak bisa saya sebutkan semuanya, semoga kita semua tetap

dalam ikatan silaturahmi dan jalinan persahabatan yang indah.

Terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

9. Teman-teman KKN KOMPAS 2016 (Dita Putri Puspita, Fahdiansyah

Rahman, Igustisosa, Anya Kurniadi, Alwi Munawwar, Omi Ngabekti,

Alfiansyah, Sekar Dinar Sari, Putri, dan Indah Ayu, terima kasih atas

kebersamaan dan warna baru dalam perjalanan kuliah serta pengabdian di

masyarakat, semoga ikatan pertemanan kita selalu terjaga dan bisa

berjumpa di kelak kemudian hari.

10. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam

proses penyelesaian skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah Subẖânahu wata’âla senantiasa membalas semua kebaikan

yang telah diberikan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi

penulis khususnya dan umumnya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada

ajaran-ajaran al-Qur’an.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Parung, Juni 2018

Yanuar Fahmi

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................v
PEDOMAN TRANSLITERASI...........................................................................vii

BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................8
D. Tinjauan Pustaka.........................................................................9
E. Metodologi Penelitian................................................................11
F. Sistematika Penulisan.................................................................12

BAB II. MENGENAL SAYYID QUṮB DAN TAFSIRNYA


A. Riwayat Hidup Sayyid Quṯb.......................................................14
B. Latar Belakang Penulisan Tafsîr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân..................25
C. Metode, Corak, dan Sistematika Penulisan Tafsîr Fȋ Zilâl al-
Qur’ân........................................................................................29

BAB III. TEORI SUKSES


A. Pengertian Sukses.......................................................................34
B. Langkah Meraih Kesuksesan.....................................................36
C. Motivasi Berprestasi Menuju Sukses dalam Psikologi..............39
D. Term Sukses dalam al- Qur’ân...................................................42
E. Pendapat Para Mufasir Terhadap Ayat Sukses..........................44
F. Inventarisasi Ayat-ayat Sukses...................................................52

BAB IV. KIAT-KIAT SUKSES

A. Kiat-kiat sukses
1. Mendirikan Shalat................................................................58
2. Bersifat Sabar.......................................................................62
3. Keteguhan Hati.....................................................................66
4. Memberikan Sebahagiaan Rezeki........................................70
5. Bekerja.................................................................................73
6. Mengingat Nikmat Allah......................................................77

v
B. Analisis terhadap Penafsiran Sayyid Quṯb Tentang Ayat
Sukses dalam Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân

1. Kesalehan Kepada Allah dan Manusia.................................81


2. Selalu Berusaha dan Bersyukur...........................................88

BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................90
B. Saran...........................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................92

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2013/2014.

Konsonan

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN

‫ا‬ tidak dilambangkan

‫ب‬ b be

‫ت‬ t te

‫ث‬ ts te dan es

‫ج‬ j je

‫ح‬ ẖ ha dengan garis di bawah

‫خ‬ kh ka dan ha

‫د‬ d de

‫ذ‬ dz de dan zet

‫ر‬ r er

‫ز‬ z zet

‫س‬ s es

‫ش‬ sy es dan ye

vii
‫ص‬ s es dengan garis di bawah

‫ض‬ ḏ de dengan garis di bawah

‫ط‬ ṯ te dengan garis di bawah

‫ظ‬ ẕ zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ‘ koma terbalik di atas hadap kanan

‫غ‬ gh ge dan ha

‫ف‬ f ef

‫ق‬ q ki

‫ك‬ k ka

‫ل‬ l el

‫م‬ m em

‫ن‬ n en

‫و‬ w we

‫ه‬ h ha

‫ء‬ ` apostrof

‫ي‬ y ya

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut:

viii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ´ A Fathah

َ¸ I Kasrah

َ˚ U ḏammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫´َي‬ Ai a dan i

‫´َو‬ Au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam aksara arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫´َا‬ Â a dengan topi di atas

‫َ¸ ي‬ ȋ i dengan topi di atas

‫˚َ و‬ Û u dengan topi di atas

ix
Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy- syamsiyyah,

al-rijâl bukan ar-rijâl.

Syaddah (tasydȋd)

Syaddah atau tasydȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (َ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ ال ض‬tidak


‫رة‬ ‫ر‬
‫ْو‬

ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al- ḏarûrah.

Ta marbûṯah

Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti ‫أب‬.˚ ˚‫˚ري´ه˚و‬.´‫ = رة‬Abû Hurairah.

Huruf Kapital

x
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri, dan lain-lain. Penting utnuk diperhatikan, jika nama diri didahului oleh

kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Ḫâmid al-Ghazâlȋ

bukan Abû Ḫâmid Al-Ghazâlȋ, al-Kindi bukan Al-kindi.

Cara Penulisan Kata

Setiap kata baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism), maupun huruf (ẖarf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contohnya:

No KATA ARAB ALIH AKSARA

1 ‫ذ´ ´ه ´ب األ˚ ˚ست‬ Dzahaba al-ustâdzu

˚‫´اذ‬
2 ‫ب´ ´ت األ ˚ج˚ ر‬.´‫ث‬ Tsabata al-ajru

3 Maulânâ Malik al-Sâliẖ


‫´موال´ن´ا ´مل¸ك ال‬
‫´صال¸ح‬
4 ‫ي˚ؤِث‬ Yu’atstsirukumallâh

‫ّر˚ك ˚ماهلل‬

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak sekali bukti-bukti otentik dalam ajaran Islam yang menuntut setiap

Muslim untuk selalu sukses dalam kehidupan yang dijalaninya. Salah satu yang

paling kentara adalah seruan adzan yang dikumandangkan sebagai panggilan untuk

shalat Hayya „alal falâẖ yang artinya Marilah Menuju Kemenangan.

Sungguh, seruan ini bukan hanya seruan bagi seorang Muslim untuk shalat, tetapi

juga seruan untuk mengeluarkan potensi terbaiknya dalam kehidupan agar dapat

selamat dunia dan akhirat. Seruan ini adalah seruan bagi setiap Muslim untuk selalu

menjadi pemenang dalam setiap kompetisi, persaingan bahkan peperangan yang

dialaminya. Bahkan para orangtua disunnahkan untuk mengumandangkan adzan

kepada bayinya yang baru lahir ke dunia. Maka, ajaran Islam yang mulia

mengajarkan kepada semua Muslim bahwa sejak pertama kali dia muncul ke dunia,

dia sudah diserukan untuk selalu mendapatkan kemenangan dalam hidupnya, dia

sudah diserukan untuk menjadi juara dalam setiap kompetisi yang akan dihadapinya

kelak kemudian hari.1

Setiap Muslim selalu mengingat dan memahami bahwa kesuksesan yang hakiki

adalah kesuksesan yang diukur dengan parameter al-Qur‟an. Kesuksesan hakiki

adalah kesuksesan yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai iman dan amal

1
Imam Munadi, Menyimak Rahasia dibalik fenomena Sukses (Jakarta: Skil Publishing, 2005),
h. 10

1
2

saleh.

Namun Manusia seringkali mengukur kesuksesan seseorang dari harta, gelar,

pangkat, jabatan, kedudukan, popularitas, dan penampilannya. Akibatnya, orang-

orang lebih sibuk dengan hal-hal demikian.

Memang, salah satu hasrat yang tidak pernah padam dimiliki oleh manusia

adalah hasrat untuk menjadi orang yang kaya. Oleh karena keberadaan hasrat inilah,

banyak orang bodoh menjadi sukses dan kaya, banyak orang miskin menjadi sukses

dan kaya, banyak orang orang berbakat menjadi sukses dan kaya, dan banyak orang

yang mulia menjadi sukses dan kaya2.

Apalah arti sukses didunia karena memiliki banyak harta sedangkan banyak

orang yang teraniaya karena harta? Apalah artinya sukses tetapi Cara yang kita

tempuh adalah korupsi, menjilat sana-sini, menindas bawahan, dan segudang

keburukan lainnya? Apalah yang telah kita lakukan itu sungguh menyakiti banyak

orang.

Harta, jabatan, gelar, status sosial, populeritas, atau pengaruh bisa memberi

indikasi tentang nilai diri seseorang, ukuran ini tidaklah mutlak. Ukuran-ukuran ini

sementara sifatnya. Penghasilan ataupun harta tidaklah abadi. Hari ini harta ada besok

bisa lenyap. Perkataan kuno mengatakan, “janganlah bersusah payah untuk menjadi

kaya tinggalkanlah niat seperti ini. Kalau engkau mengamat-amatinya lenyaplah ia

karena ia tiba-tiba bersayap lalu terbang ke angkasa seperti rajawali.” Begitu juga

dengan jabatan, hari ini anda bisa memiliki jabatan, besok lusa jabatan anda bisa diisi

2
Muhammad Muhyidin, Kaya Duit, Kaya Hati atau Kaya Keduanya (Jogjakarta: Diva Press,
2009), h. 200
3

orang lain. Tahun ini mendapat gelar, Lima tahun kemudian, bila anda tidak

menekuni topik yang anda pelajari, gelar itu tidak lagi valid. Begitu pula status sosial,

populeritas dan pengaruh semuanya bisa berubah3.

Orang sukses tidak hanya diukur seberapa tinggi jabatannya, seberapa banyak

gelar akademiknya yang didapatnya, seberapa banyak harta yang dimilikinya,

seberapa mewah rumah dan kendaraan yang dimilikinya, seberapa banyak karya yang

dibuatnya, seberapa tinggi populeritas yang diraihnya. Orang yang sukses dalam al-

Qur‟an adalah orang yang selalu melakukan kebaikan dan amal-amal saleh. Seperti

amal saleh dengan mendekatkan diri kepada Allah Subẖânahu waTa‟âla,

Sebagaimana Allah Subẖânahu waTa‟âla berfirman dalam Q.S al- Hajj [22]: 77.

‫ٓأ‬ ‫'´ي‬
.‫´ي‬
‫ّ´ ه ا‬
‫ٱل‬
‫ّ ِذي ´ن ء´ا´ مُنوْا ٱر ٓ˜ ´كُعوْا ´وٱس ٓ˜ ُج‬
‫ُدوا‬
‫ْ ´وٱع ٓ˜ُب دوْا‬
‫´ رب‬
‫ّ ُكم ٓ˜ ´وٱف ٓ˜ ´عُلوْا ٱل ٓ˜ ´خي ٓ˜´ ر ل‬
‫´ ´ع ل‬
‫ّ ُكم ٓ˜ ُتف ٓ˜ ِِ ُلو´ ن‬

“Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah


Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”

Sebagaimana Sayyid Quṯb mengatakan, ayat ini perintah kepada orang-orang

yang beriman agar melakukan rukuk dan sujud. Shalat dikiaskan dengan rukuk dan

sujud untuk bentuk yang menonjol, gerakan yang nyata dalam ungkapan, yang

dilukiskannya sebagai pemandangan yang jelas dan sikap badan yang terlihat. Karena
4

ungkapan sedemikian rupa itu lebih dalam pengaruhnnya dan lebih kuat kesannya

terhadap perasaan.4

Pendapat tersebut memberi pengertian bahwa shalat dikiaskan dengan rukuk

dan sujud menggambarkan kedekatan antara manusia dengan Tuhan-Nya, antara sang
3
H.U. Adil Samadani, Sukses Itu Muda, 9 Strategi untuk menghancurkan kegagalan (Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2014), h. 23
4
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân (Beirut: Dâr al-Masyruk, 1972), Juz XVII, h. 2445
5

khalik dengan hambanya, yang dinyatakan dengan ucapan dan perbuatan yaitu shalat.

Itulah orang-orang yang mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan.

Kesuksesan secara umum dibagi menjadi dua yaitu kesuksesan di dunia dan

kesuksesan di akhirat. Kesuksesan di dunia adalah sesuatu yang membuat nikmat

hidup di dunia, seperti kekayaan, jabatan dan lain-lain. Sedangkan kebahagiaan

ukhrawi ada tiga macam, yaitu keabadian dengan tanpa rusak, kekayaan dengan tanpa

fakir, kemuliaan dengan tanpa kehinaan ilmu.

Pendapat tersebut memberi pengertian bahwa keberhasilan, kesuksesan dan

kemenangan yang mendatangkan kebahagiaan itu ada yang sejati abadi dan ada yang

tidak sejati tidak abadi. Kebahagiaan sejati akan memberi dampak psikologis yang

abadi dan membuat pemiliknya sehat ruhani, sedangkan yang tidak sejati hanya

bersifat sesaat atau temporer dan membuat pemiliknya tidak sehat, secara ruhani.5

Dalam paradigma Islam memang, kesuksesan memang tidak hanya dilihat

dari aspek duniawi, namun juga ukhrawi. Untuk itu, kita butuh suatu sistem atau pola

hidup yang memungkinkan kita untuk dapat meraih sukses di dunia sekaligus di

akhirat.

Dengan keistimeawaan al-Qur‟an, al-Qur‟an memecahkan masalah-masalah

kemanusiaan dalam berbagai kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi

maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana. Karena dia diturunkan oleh yang

Maha bijaksana dan terpuji6.

5
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2005), h. 346
6
Manna Khalil al Qâṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2003),
h. 14
6

Al-Qur‟an dalam tataran umat Islam dianggap sebagai acuan pertama dalam

pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap

sebagai prinsip utama dalam agama Islam. Maka sudah menjadi sebuah keharusan

jika al-Qur‟an dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada.

Di dalam al-Qur‟an sukses atau beruntung itu disebut dengan al-falâẖ dan al-

Fauz. Dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâẕ al-Qur‟ân al-karȋm kata al-

Falâẖ dan derivasinya terdapat 40 ayat dalam 25 Surat dan al-fauz terdapat 29 ayat

dalam 21 surat.7 Kata al-falâẖ lebih umum dari kata al-fauz, al-falâẖ adalah

kemenangan yang didapatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan

kata al-fauz lebih dikhususkan kemenangan atau keberuntungan yang didapatkan oleh

manusia ketika di akhirat kelak.

Kitab Tafsir yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini, ialah Tafsîr Fî

Ẕilâl al-Qur‟ân karya Sayyid Quṯb. Ada beberapa hal yang menjadi alasan dipilihnya

Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân dalam penelitian ini.

Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân karya Sayyid Quṯb ini mencoba melakukan

pendekatan baru dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an agar dapat menjawab segala

macam bentuk permasalahan. Adapun pemikiran beliau yang sangat mendasar adalah

keharusan kembali kepada Allah Subhânahu waTa‟ala dan kepada tatanan kehidupan

yang telah digambarkan-Nya dalam al-Qur‟an, jika manusia menginginkan sebuah

kesuksesan, kebahagiaan, kesejahteraan, keharmonisan dan keadilan dalam,

7
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqȋ, al-Mu‟jam al-Mufaẖras Li Alfâẕ al-Qur‟ân al-karȋm
(Turki: al-Maktabah al-Islamiyah, 1984), h.526
7

mengarungi kehidupan dunia ini.8

Karya Sayyid Quṯb ini termasuk dalam kategori tafsîr periode modern yang

penafsirannya lebih sesuai dengan kehidupan masa kini. Tafsir Sayyid Quṯb kaya

dengan pemikiran sosial kemasyarakatan dan mengkaji masalah-masalah sosial serta

memberikan solusi yang dibutuhkan masyarakat.

Melihat penulisan Tafsȋr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân yang mengikuti alur susunan surah

dan ayat yang termaktub dalam mushaf al-Qur‟an, maka dari satu sisi bisa dikatakan

bahwa Sayyid Quṯb telah menggunakan metode Analisa atau tahlili9. Disisi lain

sebagaimana disebutkan diatas, Sayyid Quṯb juga tidak menggunakan metode tahlili

secara muthlak, karena dia juga menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, baik sebagai

penafsiran ayat yang ditafsirkannya maupun sebagai penguat pendapatnya, Cara ini

adalah menjadi ciri dari metode penulisan tematik.10

Quṯb sangat concern terhadap penjelasan keserasian tema-tema dari sebuah surah,

dari segi keindahan redaksi dan uslûb.11

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis meneliti dan menganalisis

lafaz-lafaz sukses menurut Sayyid Quṯb dalam Tafsîr Fî Ẕilâl al Qur‟ân.

Oleh karena itu, dalam penulisan skripsi ini penulis tertarik mengambil judul:

“SUKSES DALAM AL-QUR’AN (STUDI TAFSȊR FȊ ẔILÂL AL QUR’ÂN)’’


8
Bahnasawi, K. Salim, Butir-Butir Pemikiran Sayyid Quṯb (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), h. 15
9
Tafsir Tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‟ân melalui pendeskripsian
(menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur‟ân dengan mengikuti tata tertib
susunan atau urutan-urutan surah-surah dan ayat-ayat al-Qur‟ân yang diikuti oleh sedikit banyak
analisa tentang kandungan ayat itu. Lihat Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Takafur
(kelompok Humaniora), 2007), cet. ke-1, hal. 104
10
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 138
11
A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa
Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an, 2013), h. 178
8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Ayat-ayat al-Qur‟an tentang sukses tersebar dalam berbagai surah dengan

berbagai bentuk derivasi (turunan katanya), dan untuk mengetahui pengetahuan kata

sukses dalam al-Qur‟an, terlebih dahulu harus ditelusuri dalam ayat-ayat tersebut dan

dipahami sesuai konteksnya.

Kata sukses dalam al-Qur‟an terdapat dua term yaitu al-falâẖ dan al-fauz. Kata

al-falâẖ dalam al-Qur‟an merupakan akar dari kata aflaẖa-yufliẖu-iflaẖan ِ‫ فل‬.ُْ ‫أ´ْف´ ل ´ح – ي‬
‫ُح‬

‫ح˝ ل´ إْف‬, ِ‫ْم فل‬


mufliẖ ˚ adalah ism fâ‟il yang berarti orang sukses. Di dalam berbagai
‫ح‬

bentuknya kata ini disebut 40 kali dalam al-Qur‟an dalam bentuk fi‟l mâḏi, aflaẖa

‫ ح´ ل´ ْف´أ‬disebut 4 kali, fi‟l muḏâri‟, tufliẖu ُ‫ت‬.˚ِ‫ح ْ فل‬, tufliẖûna ‫ُت‬.ِ‫ح و ْ فل‬ ِ
ْ ُ ´‫ن‬, yufliẖûna ‫ي‬.‫ح و ُْ فل‬
ْ ُ ´‫ن‬

disebut 23 kali, dan ism yang semuanyah berbentuk ism fâ‟il (pelaku), al-

mufliẖûn ‫ح و ُ ْم ف لِ اْل‬ ِ
ْ ُ ´‫ ن‬disebut 12 kali dan al-mufliẖîna ‫ح ُمف ل اْل‬
ِ
ْ ´‫ ي‬disebut 1 kali.12

Kata al-fauz dan derivasinya

disebut 29 kali dalam al-Quran. Dalam bentuk fî‟l mâdî, fâza . ´‫ ز‬disebut 2 kali, bentuk
‫´ف‬

fî‟l muḏâri‟, afûza ‫ُف´ا‬.‫ ز ْ´ و‬disebut 1 kali, masdar al-fauzu ْ‫ ْف وز´ ال‬dan fauzan 19 ‫´ف‬.‫ زا ْ˝ و‬kali,
ism

fâ‟il jama‟ mudzakkar salîm, al-fâizûna ‫ن‬


‫˚و ز‬
9

¸‫ ائ´لف˚ ا‬sebanyak 4 kali.

12
Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata, h. 623
1

Penulis mengambil lima ayat dari lima surat tentang sukses dalam al-Qur‟an

lalu diuraikan dalam Tafsir fȋ Ẕilâl al-Qur‟ân , antaralain: Q.S al- Hajj [22]: 77, Q.S

Âli Imrân [3]: 200, al-Anfâl [8]: 45, al-Jumu‟ah [62]: 10 dan Q.S al-„Arâf [7]: 69

Ayat-ayat sukses di atas akan diuraikan, yaitu diantaranya: mendirikan shalat,

bersifat sabar, keteguhan hati, bekerja dan mengingat nikmat-nikmat Allah

Subẖânahu waTa‟âla.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah penulis paparkan di atas,

maka pada penelitian ini penulis merumuskan permasalahan yaitu: Bagaimana

penafsiran Sayyid Quṯb terhadap ayat yang mengandung lafaz sukses dalam Tafsȋr Fî

Ẕilâl al Qur‟ân?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

Dalam setiap penelitian memiliki tujuan dan manfaat dari penulisan.

1. Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

a. Mendapatkan pemahaman tentang ayat-ayat yang mengandung lafaz

sukses dalam al-Qur‟an menurut pandangan Sayyid Quṯb dalam tafsir Fî

Ẕilâl al Qur‟ân.

b. Sebagai syarat untuk gelar sarjana S1 pada Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat program studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan terutama


1

tentang kesuksesan dalam al-Qur‟an menurut pandangan Sayyid Quṯb

dalam tafsir Fî Ẕilâl al Qur‟ân.

b. Bagi pihak akademis dan masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan

dapat memberikan masukan yang bermanfaat tentang kesuksesan dalam

al-Qur‟an menurut pandangan Sayyid Quṯb dalam tafsir Fî Ẕilâl al

Qur‟ân.

c. Bagi dunia pustaka, penelititan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagia

sumbangan yang berguna dalam memperkaya koleksi dalam ruang linkup

karya-karya penelitian.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah melakukan berbagai pencarian di Perpustakaan Ushuluddin maupun

Perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta pencarian di dunia maya

dalam kajian pustaka ini penulis menemukan karya yang membahas mengenai sukses

baik dalam buku maupun skripsi, diantaranya adalah:

Salah satu buku yang membahas tentang sukses adalah Kunci Rahasia Sukses

menurut al-Qur‟an yang ditulis oleh Amirullah Syarbini, buku ini membahas tentang

cara hidup sukses dengan prinsip-prinsip al-Qur‟an dengan mengutip ayat-ayat secara

umum. Berbeda dengan penelitian yang penulis garap, disini penulis mengambil ayat-

ayat berdasarkan kata al-falâh yang berarti keberuntungan atau kemenangan, di

dalam KBBI keberuntungan berarti kesuksesan.

Karya lain yang membahas tentang tema sukses adalah hasil penelitian yang

dilakukan oleh Imam Munadi yang berudul “Saya Bisa, Menyibak Rahasia dibalik
1

Fenomena Sukses Sebuah Bekal Untuk Pemuda Islam”. Buku tersebut menjelaskan

tentang prinsip-prinsip utama menuju puncak kesuksesan yang berlaku sepanjang

masa, yang dipadukan dengan inspirasi dari ajaran Islam.

Buku selanjutnya adalah buku yang berjudul, “Hidup Sukses dan Bahagia, Tanpa

Takut dan Cemas” yang ditulis oleh K. Sri Dhamananda. Buku ini membahas tentang

bagaimana cara hidup sukses dan bahagia dalam dunia yang banyak masalah, serba

tergesa-gesa dan berubah cepat.

Buku yang berjudul Menajemen Qalbu untuk Meraih Sukses, yang ditulis oleh

Abdullah Gymnastiar. Buku ini membahas konsep manajemen qalbu untuk meraih

sukses. Buku ini berisi gagasan dan konsep-konsep dasar yang terhimpun dalam

rumus 7B yaitu beribadah dengan benar, berakhlak baik, belajar tiada henti, bekerja

keras dengan cerdas dan ikhlas, bersahaja dalam hidup, bantu sesama, dan bersihkan

hati selalu.

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Abdullah Muslim yang berudul

“Teologi Sukses di Asia Analisis Ajaran Sukses di Korea dan Indonesia” Jurusan

Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta tahun 2015. Skripsi tersebut

menjelaskan tentang analisa perbandingan antara teologi sukses di Korea dan di

Indonesia

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Zaenal Abidin yang berjudul

“Konsep Masyarakat Madani Menurut Sayyid Quṯb” Program studi magister

pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2012. Skripsi tersebut

menjelaskan tentang masyarakat madani, prinsip dasar masyarakat madani,

karakteristik masyarakat madani, tahapan pembentukan masyarakat madani, dan


1

keistimewaan masyarakat madani.

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Erikh Muhartono yang berjudul

“Penafsiran Sayyid Quṯb tentang Jihad dalam Fȋ Ẕilal al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir

Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Skripsi

tersebut menjelaskan tentang Jihad menurut Sayyid Quṯb memiliki beberapa tahapan

yang harus dilalui, sesuai dengan turunnya perintah Jihad itu Sendiri. Hal itu

sebagaimana yang termaktub dalam mukaddimah penafsiran Surat at-Taubah.

Berbeda dengan penelitian skripsi penulis yang berkaitan dengan sukses dalam al-

Qur‟an studi tafsir fȋ ẕilâl al-qur‟ân.

E. Metode Penelitian

1. Teknik pengumpulan data

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif

analisis yaitu mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisa masalah yang ada

kaitannya dengan penelitian di atas. Metodologi penelitian ini dalam kategori

kualitatif. Sedangkan teknik penelitiannya menggunakan Library Reasearch.

Mengenai metode tafsir yang digunakan, penulis menggunakan metode tafsir

tematik atau metode tafsir mauḏu‟i. Tafsir tematik suatu metode tafsir dengan cara

menghimpun ayat-ayat yang mempunyai satu makna dan penyusunan dibawah satu

judul bahasan, kemudian menafsirkan secara mauḏu‟iy atau secara tematik.13

2. Teknik Analisa Data

13
Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy. Penerjemah, Surya A. Jamrah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 35
1

Setelah penulis memperoleh data dari berbagai sumber sebagaimana tersebut

di atas, maka penulis melakukan pengolahan data secara deskriptif-analitis dengan

mengumpulkan data yang signifikan dengan pokok permasalahan yang diteliti.

3. Teknik Penulisan

Sebagai Tekhnik Penulisan dalam penyusunan dan penelitian skripsi ini.

Penulis berpedoman kepada buku pedoman penulisan yaitu buku pedoman akademik

UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

F. Sistematika Penulisan

Sebagai penelitian ilmiah yaitu skripsi, maka penulisan skripsi ini tersusun

secara sistematis. Dalam penyusunan penulisan ini penulis membagi menjadi Lima

bab dan pada setiap bab terdapat sub bab tersendiri sebagai pemaparan atau

penjelasan. Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut:

Bab pertama yang berisikan pendahuluan, yaitu sebagai gambaran utama

dari skripsi ini dan berfungsi sebagai bahan acuan pembahasan pada bab-bab

selanjutnya. Pada bab ini terdapat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan kelanjutan dari bab 1 yaitu membahas tentang riwayat

hidup Sayyid Quṯb, baik metode, sistematika maupun corak Sayyid Quṯb dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Pada bagian ini akan diuraikan perjalanan dan pendidikan

beliau, kemudian menggambarkan metode, sistematika, serta corak penafsiran beliau

dalam menafsirkan al-Qur‟an.


1

Bab ketiga merupakan kelanjutan dari bab II yaitu membahas tentang

landasan teoritis, tentang sukses yaitu pengertian sukses, langkah meraih sukses,

motivasi berprestasi menuju sukses, term sukses dalam al-Qur‟an dan inventarisasi

ayat-ayat sukses.

Bab empat merupakan inti dari penulisan skripsi ini yaitu membahas tentang

penafsiran Sayyid Quṯb tentang ayat-ayat yang mengandung lafaz sukses, di

antaranya mendirikan shalat, bersifat sabar, keteguhan hati, bekerja dan mengingat

nikmat Allah Subẖânahu waTa‟âla.

Bab kelima penutup. Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran

tentang skripsi ini.


BAB II

MENGENAL SAYYID QUṮB DAN TAFSIRNYA

A. Riwayat Hidup Sayyid Quṯb

Sayyid Quṯb lahir di Mausyiah, salah satu provinsi Asyuth, di dataran tinggi

Mesir. Dia lahir pada 9 Oktober 1906. Ini berarti satu tahun sesudah meninggalnya

Muhammad Abduh.1 Nama lengkapnya adalah Sayyid Quṯb Ibrahim Husain. 2 Desa

Musya yaitu sebuah desa di provinsi Asyut yang terletak dikawasan pedesaan Mesir.

Desa ini terkenal dengan sebutan kampungnya Syeikh Abdul Fattah, yang merupakan

salah seorang kepala desa dan tokoh penting disana.3

Sebagian besar penduduk desa ini menganut agama Islam meski sebagian

kecil ada pula yang menganut agama Nasrani. Pada umumnya, keluarga Nasrani ini

tinggal di kampung lama yang terletak di punggung bukit dan berada sekitar Lima

kilometer dari kantor kepala desa. Mereka menghuni perkampungan kuno yang

usianya sudah sangat tua.4

Ayah Quṯb bernama al Haj Quṯb bin Ibrahim, seorang petani terhormat yang

relatif berada dan menjadi anggota Komisaris Partai Nasionalis di desanya.

Rumahnya dijadikan markas bagi kegiatan politik partainya. Di situ rapat-rapat

penting diselenggarakan, baik yang dihadiri oleh semua orang, maupun yang sifatnya

1
Ridjaluddin. F.N, Teologi Sayyid Quṯb (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA Jakarta,
2011), h. 10
2
Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya (Jakarta: Gema Insani,
2005), h. 15
3
Shalah al Khalidiy, Biografi Sayyid Quṯb, Sang Syahid yang Melegenda (Yogyakarta: Pro-U
Media, 2016), h. 36
4
Khalidiy, Biografi Sayyid Quṯb, Sang Syahid yang Melegenda. 37

14
1

rahasia dan dihadiri oleh orang-orang tertentu saja. Lebih dari itu, rumah ayah Quṯb

juga menjadi pusat informasi yang selalu didatangi oleh-oleh orang-orang yang ingin

mengikuti berita-berita nasional dan internasional dengan diskusi-diskusi para aktivis

partai yang sering berkumpul disitu atau untuk tempat membaca koran.5

Haji Quṯb (Ayah Sayyid Quṯb) adalah orang desa yang berwawasan terbuka,

melek secara intelektual dan sadar politik. Dia orang kampung yang gemar membaca

Koran. Setiap hari dia berlangganan Koran Al-liwâ-nya Partai al-Waṯaniy. Dia juga

duduk sebagai anggota komite desa. Dengan menjadikan rumahnnya sebagai home

base partai dan wadah pencerdasan masyarakat, Haji Quṯb dapat disebut anggota

partai yang cukup aktif dikampung itu. Warga kampung datang ke rumahnya untuk

melihat Koran Al-Liwâ dan membaca berita, baik yang bersekala lokal maupun

internasional.6 Haji Quṯb seorang anggota Partai Nasional pimpinan Musṯafa kamil,

yang memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi. Selain

berlangganan Surat kabar Al-liwâ yang menjadi corong partainya, Quṯb bin Ibrâhȋm

adalah anggota Komisaris Partai Nasional di desanya.7

Ibunya (Sayyid Quṯb) berasal dari keluarga terkemuka dan taat beragama

pula. Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelabihan sekaligus; kaya dan

berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang Ashari (berpendidikan al-Azhar)8

Ibu Sayyid Quṯb merupakan empat bersaudara. Dua diantaranya adalah laki-

laki yang disekolahkan di al – Azhar asy-Syarif. Artinya, keluarga mereka tidak

5
Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h. 16
6
Khalidiy, Biografi Sayyid Quṯb, Sang Syahid yang Melegenda, h.
46 7 Ridjaluddin. F.N, Teologi Sayyid Quṯb, h. 10
8
Ridjaluddin. F.N, Teologi Sayyid Quṯb, h. 12
1

hanya terpandang karena berasal dari keluarga berilmu, melainkan juga karena salah

dua dari mereka memiliki ilmu agama.

Perempuan yang menjadi ibu Sayyid Quṯb ini juga rajin ibadah. Dia juga

memiliki kepribadian yang sesuai dengan agama yang dianutnya. Tidak berkeluh

kesah ketika harta milik keluarganya habis terjual, tetapi tetap bersabar, selalu

optimis dan yakin dalam menjalani hidup.

Ibunda Sayyid Quṯb sangat mendambakan agar anak anaknya segera menjadi

pria matang. Oleh sebab itu, Sayyid Quṯb tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari

sifat kekanak-kanakan, bahkan di saat usianya yang masih belia. Sayyid kecil berhasil

menembus ruang keluhuran jiwa yang ditanamkan ibu sejak masih kanak-kanak

hingga menghindar sejauh-jauhnya dari perilaku yang bersifat kekanak-kanakan.9

Ayah Sayyid Quṯb memiliki dua orang istri. Istri pertama ayahnya melahirkan

seorang anak laki-laki. Istri kedua ayahnya adalah perempuan yang menjadi ibu

kandung Sayyid Quṯb yang melahirkan Lima orang anak dua laki-laki dan tiga

perempuan. Mereka adalah secara berurutan Nafisah, Sayyid, Aminah, Muhammad,

dan Hamidah.

Saudara kandung pertamanya adalah Nafisah saudara perempuannya ini lebih

tua tiga tahun darinya. Berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain sebagai penulis

Nafisah tidak. Tetapi dia menjadi aktivis Islam dan menjadi syahidah.

Kedua Aminah, ia juga aktivis Islam dan aktif menulis buku-buku sastra. Ada

dua buku yang diterbitkan Aminah, yaitu Fȋ Tayyar al Ḫayah (Dalam Arus

Kehidupan) dan Fiṯ-Ṯariq (Di Jalan). Aminah menikah dengan Sayyid Muhammad
9
Khalidiy, Biografi Sayyid Quṯb, Sang Syahid yang Melegenda, h. 49
1

Kamaluddin al-sanuari pada tahun 1973. Suaminya meninggal sebagai syahida di

penjara pada 8 November 1981.

Ketiga, Hamidah. Hamidah adalah adik perempuan Quṯb yang bungsu. Ia juga

seorang penulis buku. Dia menulis buku bersama-sama saudara-saudarnya dengan

judul al-Aṯyaf al-Arba‟ah. Keaktifannya dalam pergerakan Islam, membuat dirinya

divonis penjara 10 tahun dan dijalaninya selama enam tahun empat bulan. Setelah

keluar dari penjara, dia menikah dengan Dr. Hamdi Mas‟ud.

Keempat, Muhammad (Quṯb). Dia adalah adik Quṯb dengan selisih umur

sekitar 13 tahun. Dia mengikuti jejak Sayyid Quṯb dengan menjadi aktifis

pergerakkan Islam dan penulis tentang masalah Islam dalam berbagai aspeknya.

Lebih dari 12 buku telah ditulisnya10

Pada tahun 1912, saat Usia Sayyid Quṯb genap enam tahun, keluargnaya aktif

mengirimnya ke sekolah. Namun, waktu itu dia belum begitu tertarik untuk belajar

dan lebih suka tinggal di rumah, bermain bersama kedua adik perempuannya yang

juga masih kecil-kecil. Orangtuanya tidak kehilangan akal. Agar sayyid mau ke

bersekolah, kedua orangtuanya membelikan seragam khusus sehingga penampilan

beliau tampak berbeda dari siswa-siswi lainnya.11

Quṯb bersekolah di daerahnya selama empat tahun dan dia mampu menghafal

Al-Qur‟an ketika berusia sepuluh tahun. Pengetahuannya yang mendalam dan luas

tentang Al-Qur‟an dalam konteks pendidikan agama, tampaknya mempunyai

10
Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsȋr Fi Zilâl al Qur‟ân Sayyid
Quṯb, (solo: Intermedia, 2001), h. 23-26
11
Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fȋ Ẕilâl al Qur‟ân Sayyid Quṯb, h. 66
1

pengaruh yang kuat pada hidupnya12.

Enam tahun lamanya Sayyid menempuh Pendidikan dasar. Beliau masuk SD

pada tahun 1912 dalam usia 6 tahun dikelas persiapan (pra-SD). Kelas ini

mempersiapkan para siswa untuk masuk kelas 1 SD. Meski berhasil lulus setelah

duduk di kelas 4, beliau masih kecil dan belum cukup umur untuk masuk ke Sekolah

Pendidikan Guru Tingkat Pertama, yakni sekolah yang mengorbitkan para guru.

Sayyid Quṯb akhirnya betul-betul menamatkan studinya di sekolah itu pada

tahun 1918. Sekolahnya terpaksa terhenti selama dua tahun akibat revolusi yang

Meletus. Kemudian setelah situasi mulai stabil dan kondisi negara pulih, beliau

bersiap-siap untuk berangkat ke kairo untuk melanjutkan sekolah.

Ibundanya sudah menyiapkan semua bekal perjalanannya ke Kairo. Usianya

sudah menginjak remaja waktu itu karena sudah dua tahun dia berhenti sekolah.

Kalau bukan karena revolusi yang melumpuhkan sarana transportasi dan membuat

situasai keamanan tak keruan, tentu beliau sudah langsung berangkat begitu tamat.

Namun, sekarang situasinya jauh lebih tenang. Dia juga merasa lebih kuat dari

sebelumnya. Karena tugas yang akan diembannya tak bias menunggu, beliaupun

berangkat dengan memohon berkah dari Allah.

Pada usia tiga belas tahun, Quṯb dikirimkan kepada seorang pamannya ke

Kairo untuk melanjutkan pendidikannya.13 Sayyid berangkat ke Kairo pada tahun

1920 dengan tujuan melanjutkan pendidikan. Selama di Kairo, Sayyid tinggal di

rumah pamannya, Ahmad Husain Utsman, yang terletak di kelurahan al-Zaytun.

12
Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h. 17
13
Jhon L Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), h. 69
1

Pamannya yang alumnus al-Azhar saat itu berprofesi sebagai jurnalis yang

merangkap menjadi guru. Setiap menulis di surat kabar, dia selalu menggunakan

nama pena Ahmad al-Musyiy nisbat kepada desa asalnya Musya. Ahmad juga aktif di

politik dan menjadi anggota Partai Al-Wafd dan berteman baik dengan Abbas

Mahmud al-Aqqad. Mereka berdua memang tetangga beda kelurahan. Ahmad al-

Musyiy tinggal di kelurahan Al-Zaytun, sedangkan Abbas al-Aqqad tinggal di

kelurahan Mishr al-Jiddah.14

Sesampai di kairo tahun 1920, Sayyid tinggal di rumah pamannya, Ahmad

Huasin. Sayangnya, beliau tidak bisa langsung masuk sekolah. Ia terpaksa mengangur

dahulu hingga setahun lebih. Barulah pada tahun 1922 beliau secara resmi mendaftar

ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tingkat Pertama karena sekolah itu hanya

menerima murid dengan batas usia minimal 15 tahun.

Nama sekolah barunya Madrasah Abdul Aziz, dengan masa belajar 3 tahun.

Sayyid berhasil lulus dari sekolah itu pada tahun 1924 dengan mendapat sertifikat

kafâ‟ah mengajar di Sekolah Dasar. Ijazah itulah yang diberikan olah sekolah

tersebut kepada para alumninya.

Para siswa berprestasi di Sekolah Pendidikan Guru Tingkat Pertama

diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan melalui Sekolah Persiapan (Taẕizziyah)

Dâr al-‟Ulûm. Karena merupakan salah seorang murid berprestasi, Sayyid

diperbolehkan mendaftar ke sekolah yang dikelola oleh Dâr al-‟Ulûm itu pada tahun

1925. Masa belajarnya adalah empat tahun, hampir sama dengan sekolah menengah

umum (SMU) sekarang.


14
Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fȋ Ẕilâl al Qur‟ân Sayyid Quṯb, h. 77-78
2

Sayyid menyelesaikan studinya dari sekolah persiapan ini pada tahun 1929

dan pada akhir tahun yang sama beliau mendaftar dan diterima di Dâr al-‟Ulûm. Di

kampus ini beliau belajar selama empat tahun. Lulus pada musim panas pada tahun

1933, Sayyid menggondol Ijazah sarjana Licence dalam bidang Bahasa dan Sastra

Arab.

Sayyid Quṯb tidak puas dengan metode pembelajaran yang diterapkan di Dâr

al-‟Ulûm, kendati kurikulumnya sudah mengakomodasi mata kuliah yang beragam

dengan penekanan pada ilmu, agama, sastra, dan Bahasa (Arab). Untuk itu, beliau

mencoba membandingkan kurikulum Dâr al-‟Ulûm dengan Fakultas Sastra di

Universitas Kairo, yang menurutnya lebih bagus dan lebih baik metode

pembelajarannya daripada Dâr al-‟Ulûm. Ketidak puasan Sayyid Quṯb terhadap

metode pembelajaran di Dâr al-‟Ulûm lebih terletak pada kurangnya pembelajaran

bahasa asing. Dengan status mahasiswa, beliau mengingatkan pihak manajemen

kampus dengan mengusulkan perubahan metode pembelajaran itu.

Penting dicatat dan membuat kita kagum adalah bagaimana Sayyid Quṯb

berfikir akan mengubah metode pembelajaran dengan statusnya yang masih sebagai

mahasiswa, lalu mengusulkan kurikulum lain yang dinilainya lebih sesuai dan lebih

mantap. Tidak hanya itu, usulan itu beliau sampaikan dalam catatan kritis yang

ditujukan kepada pihak manajemen dengan berani.

Pada tahun 1993 beliau berhasil menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan

gelar Licience. Semasa kuliah inilah Quṯb mempelajari serta mendalami bidang adab

dan kritik sastra, aktif dalam kegiatan akademik, ekstrakurikuler dan keorganisasian.

Tulisan-tulisannya banyak diterbitkan dalam koran dan berbagai majalah. Ketika


2

usianya empat puluh tahun Quṯb dikenal sebagai kritikus sastra ternama, bukan hanya

di mesir bahkan diseluruh Negara Arab.15

Setelah lulus kuliah, Quṯb di angkat menjadi guru di kementrian pendidikan

Mesir Dar al-Ma‟arif. Pada saat beliau bekerja sebagai pengawas sekolah di

Departeman Pendidikan tepatnya tahun 1948, dia mendapat tugas belajar ke Amerika

Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang pendidikan selama dua tahun.

Kembali ke Mesir pada tahun 1950. Keberangkatan beliau ke Amerika itu ternyata

telah mengubah perhatiannya dari bidang sastra ke bidang reformasi dan pendidikan

berdasarkan pandangan Islam. Sejak itu dia banyak menulis buku, mengadakan

menghadiri seminar-seminar dan ikut dalam berbagai aktivitas sosial, politik dan

ekonomi sampai pecahnya revolusi di Mesir dibawah pimpinan Jamal Abd al Nashr.16

Dia lulus dari Dar al-ulum, dan dipengaruhi pemikiran Abbas Mahmud al-

Aqqad17 yang cendrung pada pendekatan pembaratan. Dia sangat berminat pada

sastra Inggris dan dilahapnya segala sesuatu yang dapat diperolehnya dalam bentuk

terjemahan. Sesudah lulus ia diangkat sebagai inspektur kementrian Pendidikan.

Suatu kedudukan yang akhirnya ditinggalkan demi mengabdikan dirinya pada tulis

menulis.18

Kekagumannya kepada al-Aqqad tampak jelas pada dirinya, terutama dalam

15
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 132
16
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 133
17
Abbas Mahmud al-Aqqad adalah salah seorang tokoh sastrawan. Dia adalah pemuncak dari
bangunan kebudayaan. Dialah yang telah meletakkan asas-asas aliran keilmuan yang beraneka ragam,
baik dalam sastra, pengetahuan, kebudayaan, maupun kehidupan. Dikenal sebagai sastrawan, penulis
dan pengamat sastra. Orientasi Islam al-Aqqad lebih bersifat teoritis dan mengedepankan intelektual.
Lihat Shalah al-Khalidiy, Biografi Sayyid Quthb, Sang Sahid yang melegenda, Penerjemah: Misran,
(Yogyakarta: Pro-U Media, 2016), h. 123
18
Esposito, Dinamika Kebangunan Islam, h. 69
2

bidang sastera. Kekagumannya pada al-Aqqad demikian besar, bahkan sudah tingkat

fanatik. Kefanatikannya tersebut diakuinya pula secara jujur ketika dia mengatakan,

“Saya akui bahwa saya adalah orang yang memiliki ghirah yang sangat besar dan

sangat fanatik kepada tokoh ini.19

Ketika terjadi polemik antara al-Aqqad dengan Musṯafa ṣadiq al-Rifa‟i

tentang kemukjizatan al-Qur‟an, Sayyid berpihak kepada al-Aqqad. Ini

mengherankan banyak orang. Sebab al-Aqqad tidak menyetujui pendapat Musṯafa

ṣadiq yang mengakui adanya ketinggian sastera al-Qur‟an., sementara sayyid adalah

alumnus Dar al- „Ulum yang terkenal karena ilmu-ilmu agamanya. Karena itu,

Mahmud Muhammad Syakir mencelanya dengan mengatakan bahwa, “Kritik Sayyid

Quṯb terhadap al-Rafi‟i berarti menjauhi agama, ketakwaan dan muru‟at (kehormatan

diri).

Sayyid Quṯb memandang bahwa, sastra adalah ungkapan jiwa, perasaan dan

aspirasi manusia yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Disini kita

melihat bahwa Sayyid seakan-akan menganut faham yang memisahkan sastera dari

agama.

Pandangan Sayyid yang seperti itu tidak berjalan lama. Pada tahun 1945

muncul dua buah bukunya yang masing-masing berjudul Al-Taṣwir al-Fanni Fȋ al-

Qur‟ân dan Masyâhid al-Qiyamat fi al-Qur‟ân. Dalam kedua bukunya ini Sayyid

mengatakan, Al-Qur‟an memiliki bahasa dan susunan yang sangat indah yang

membuktikan bahwa ia bukanlah ciptaan manusia. Bahkan dalam al-„Adalat al-

Ijtima‟iyyat fȋ al-Islam yang terbit pada tahun 1948, dia menegaskan bahwa,

22 Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h.


2

keadailan yang menjadi cita-cita umat manusia tidak akan mungkin terwujud kecuali

harus dengan Islam. Itu sebabnya, maka kita pun harus memiliki sastera yang

memancar dari pandangan Islam.

Sayyid Quṯb mulai melepaskan diri dari pengaruh al- „Aqqad. Secara jujur dia

mengatakan bahwa, pandangannya yang seperti itu diperolehnya melalui penghayatan

dan kajiannya terhadap al-Qur‟an. Pada periode ini, Sayyid Quṯb mulai menemukan

kepribadiannya. Dia tidak sekedar melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh Barat,

bahkan secara gencar melancarkan kritik terhadapnya. Baginya, peradaban barat

adalah peradaban yang kosong dari nilai-nilai spiritual. Kendati demikian, Sayyid

tidak menolak sains dan teknologi modern. Kedua hal itu sangat penting dalam

kaitannya dengan kelengkapan-kelengkapan yang mesti dimiliki dalam upaya menuju

kemajuan.

Yang ditolaknya adalah menjadikan peradaban dan filsafat barat sebagai

pedoman hidup. Sayyid selalu menegaskan bahwa, ketika Allah Subẖânahu waTa‟âla

menciptakan manusia, maka Dia maha tahu tentang kelebihan dan kelemahan

manusia. Karena itu, hanya Allah Subẖânahu waTa‟âla jugalah yang tahu tentang

hukum apa yang cocok baginya. Manusia, menurutnya tidak banyak tahu tentang

dirinya dan karenanya hukum dan aturan yang dibuatnya sendiri tidak mungkin bisa

menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya.20

Pada tahun 1953 Sayyid Quṯb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, setelah

berpisah dan meninggalkan orang-orang revolusi pada bulan Februari di tahun yang

sama. Terkait hal ini beliau mengatakan:

20
Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h.
2

Pada saat yang bersamaan, hubungan saya dengan kelompok al-Ikhwan

menjadi lebih Intens. Kelompok ini saya anggap sebagai sebuah gerakan yang dapat

menjadi lahan subur bagi aktivitas keislaman secara luas disegenap kawasan, yakni

dengan gerakan revivalisme (ihyâ) dan kebangkitan kembali secara menyeluruh

(ba‟ts syâmilah). Sebuah gerakan yang menurut saya tidak digantikan oleh gerakan

manapun dalam usahanya menghadang skema yahudi dan salibis-Imperealis yang

sudah cukup saya kenal, terutama selama saya berada di Amerika. Puncak dari semua

adalah bergabungnya saya dengan gerakan Ikhwanul Muslimin pada tahun 1953.21

Pada tahun 1954, Sayyid Quṯb ditangkap bersama banyak anggota Ikhwanul

Muslimin, dengan tuduhan berkomplot hendak membunuh Gamal Abdel Nasser. Dia

diadili dan dijatuhi hukuman lima belas tahun kerja paksa. Selama dipenjarakan, ia

merevisi tiga belas juz pertama tafsir Qur‟annya, dan menulis beberapa buah buku,

termasuk Hadza al-Din dan al-Mustaqbal li Hadza al-Din. Dalam karya-karya

tersebut, ide-idenya yang memiliki semangat radikal dituangkan dan dituliskannya

Islam sebagai perintah Ilahi yang harus ditopang oleh kekuatan guna mengatur semua

aspek kehidupan.

Sesudah sepuluh tahun menjalani hukumannya, Quṯb dibebaskan dari penjara

oleh Naser sebagai akibat campur tangan pribadi presiden Irak, Abd al Salem Arif.

Siksaan fisik dan mental yang dilakukan oleh penjabat-penjabat penjara kepada para

anggota Ikhwanul Muslimun meninggalkan bekas padanya. Sesudah bebas, ia menulis

Ma‟alim Fȋ al-Ṯariq. Dan mengakibatkan ia ditangkap lagi pada tahun 1965.

Pemerintah Mesir tidak hanya terkesima dengan kepemimpinan Quṯb yang

21
Khalidi, Pengantar Memahami Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al- Qur‟ân Sayyid Quṯb, h.
2

nyaris messianik, tetapi juga dengan kedalamn dukungan masyarakat akar rumput

atas perjuangannya. Mereka ini kebanyakan bukanlah petani atau masyarakat rural

(pedusunan) yang rawan terhadap simbolisme keagamaan. Dari ribuan anggota

Ikhwanul Muslimin yang ditahan, banyak diantara mereka adalah ahli hukum, ilmuan,

guru besar di Universitas, guru sekolah dan mahasiswa. Quṯb dipandang begitu

berbahaya bagi tatanan politik Nasseris, sehingga meskipun menghadapi banjir

imbauan untuk pengampunannya, hukuman mati tetap dilaksanakan juga oleh

pemerintah Mesir.

Pada Minggu sore, 28 agustus 1966 bertepatan dengan 12 jumadi ats-Tsaniyah

1386, seminggu setelah dikeluarkannya putusan hukuman eksekusi, seluruh pimpinan

redaksi media massa dihubungi melalui sambungan telepon dari kantor Sami Syaraf,

sekretaris itu mengeluarkan berita kepada media massa, “Pagi ini telah selesai

pelaksanaan eksekusi terhadap Sayyid Quṯb, Abdul Fattah Ismail, dan Muhammad

Yusuf Hawwsy”.

Karya tulis Quṯb banyak sekali. Disamping Tafsir Qur‟an, ia menghasilkan

dua puluh empat buku. Ia juga banyak menulis artikel untuk majalah, terutama al-

risalah, yang membahas soal-soal yang diperdebatkan oleh kalangan cendikiawan

mesir pada saat itu.

B. Latar Belakang Penulisan Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al Qur’ân

Terdapat kisah menarik yang melatarbelakangi penulisan penulisannya. Penuturan

adik kandungnya sendiri, Muhammad Quṯb ketika diwawancarai oleh Shalah „Abd

Al-Fattah al-Khalidi. Muhammad Quṯb menuturkan bahwa, ketika Sayyid telah


2

merampungkan bukunya yang berjudul al-Taṣwir al-Fanny fȋ al-Qur‟ân yang terbit

tahun 1951, seerta memaparkan metode al-Qur‟an dalam menyampaikan gagasannya,

dan berhasil pula mengangkat aspek estetikanya yang menakjubkan, maka salah satu

keinginan saat itu adalah menyodorkan seluruh isi al-Qur‟an di bawah perspektif

seperti itu, surat demi surat, ayat demi ayat. Cita-cita tersebut terpendam obsesi

beberapa waktu lamanya.22

Pada bulan Desember 1951, Sa‟id Ramadhan menerbitkan majalah bulanan al-

Muslimun, sebuah jurnal yang diharapkan bisa menjadi media yang memuat

pandangan para pemikir Muslim. Sebab itu Sa‟id Ramadhan meminta Sayyid Quṯb

untuk berpartisipasi di dalamnya dengan menyumbangkan tulisan-tulisannya sebulan

sekali, dengan tema-tema bersambung atau di bawah itu tajuk yang tetap.

Sayyid memenuhi permintaan Sa‟id Ramadhan untuk mengasuh rubric yang

berjudul Fî Dzilâl al Qur‟ân. Tulisan pertamanya, tafsir Surah al Fâtiẖah muncul

dalam Al-Muslimun edisi ketiga, Februari 1952, yang kemudian disusul oleh tafsir

Surat al-Bâqarah. Pada Akhir tulisannya dibagian ketujuh, Sayyid mengumumkan

bahwa tulisannya dihentikan sampai disitu. Alasannya, dia akan menyusun sebuah

tafsir yang akan diterbitkan dalam buku terpisah. Sayyid berjanji bahwa, Tafsȋr fî

Ẕilal al-Qur‟ân akan diterbitkan dalam 30 Juz secara berturut-turut. Setiap Juz akan

terbit dalam waktu dua bulan, terhitung sejak bulan Desember 1952, dan ditangani

oleh Penerbit „Isa Al-Halabi wa Syirkah. Akan tetapi itu tidak berarti Sayyid Quṯb

menghentikan partisipasinya dalam al-Muslimun. Sebagai gantinya Al-Muslimun

menurunkan tulisannya dengan judul Nahwu Mujtama‟ Islami, yang publikasinya

22
Ridjaluddin. F.N, Teologi Sayyid Quṯb, h. 35
2

sudah sejak bulan Juli 1952.

Tafsȋr Fi Ẕilâl al Qur‟ân pada mulanya adalah judul dari serial bulanan yang

ditulis dan diterbitkan oleh majalah “Al Muslimun”, sebuah majalah bulanan yang

diterbitkan oleh kelompok Ikhwanul al-Muslimin. Makalah pertama diterbitkan pada

edisi ketiga majalah tersebut, pada bulan februari tahun 1952. Setelah menuliskan

tujuh makalah yaitu pada penerbitan ketiga sampai kesembilan, sampai pada surah al-

Bâqarah ayat 103, Sayyid Quṯb terinspirasi untuk menulis buku tafsir sperti makalah

yang ditulisnya di majalah. Ia berniat menulis tafsir al-Qur‟an lengkap sebanyak tiga

puluh juz, berdasarkan tertib susunan al-Qur‟an dengan nama yang sama dan akan

diterbitkan per juz setiap bulannya. Apa Ẕilâl al-Qur‟ân terbit sebanyak enam belas

juz yaitu sampai akhir surah Ṯâhâ, sebelum Sayyid Quṯb dituduh makar dan

dipenjara.23

Beruntung Sayyid Quṯb masih diizinkan menulis tafsirnya dipenjara karena ia

terikat kontrak dengan penerbit, kalau tidak maka pemerintah harus memberikan

ganti rugi kepada penerbit. Tafsȋr Ẕilâl al-Qur‟ân berhasil diselesaikan penulisannya

diakhir tahun lima puluhan. Motivasi menanamkan tafsirnya dengan Ẕilâl al-Qur‟ân,

menurut Sayyid Quṯb dating begitu saja tanpa dibuat-buat. Itulah kenyataan yang

dihayatinya dalam kehidupannya (dibawah petunjuk al-Qur‟an). Dari masa kemasa ia

merasakan adanya keinginan yang tersimpan untuk hidup di bawah naungan al-

Qur‟an, dimana ia bisa mendapatkan ketenangan yang tidak bisa ia dapatkan pada

yang lainnya.

23
Manna Khalil al Qâṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013),
h. 513
2

Tafsȋr fî Ẕilal al-Qur‟ân ini lahir dari perenungan penulis yang sangat mendalam

dan interaksi yang begitu menyatu dengan al-Qur‟an. Kitab tafsir ini merupakan

tafsir yang menggambarkan tentang kehidupan dibawah sinar al-Qur‟an dan petunjuk

dan petunjuk Islam. Beliau meresapi keindahan al-Qur‟an dan mampu

mengungkapkan perasaannya dengan jujur sehingga berada dalam kesengsaraan yang

disebabkan oleh berbagai faham dan aliran yang merusak dan pertarungan darah yang

tidak ada hentinya. Dengan situsai yang semacam ini, tidak ada jalan keselamatan

selain dengan Islam. Dalam pendahuluannya tafsirnya beliau mengatakan: “saya

merasakan kebahagiaan hidup dibawah naungan al-Qur‟an sehingga sampai pada

keyakinan bahwa tidak aka nada kebaikan bagi bumi ini, tidak ada ketenangan bagi

umat manusia kecuali dengan kembali kepada Allah”24.

Sayyid memandang bahwa semua ayat-ayat al-Qur‟an adalah hidup dan dinamis

serta selalu memberikan inspirasi yang bermacam-macam kepada hati yang beriman

untuk bergarak dan beraktivitas dengan al-Qur‟an, yaitu hati yang selalu menerima

panggilan al-Qur‟an dan siap melaksanakan semua ketentuan dalam al-Qur‟an,

sehingga al-Qur‟an mampu menundukkan hati dan mendominasi semua perasaan

manusia.25

C. Metode Penulisan Tafsir Fî Dzilâl al Qur’ân

Melihat penulisan Tafsir fî ẕilâl al Qur‟ân yang mengikuti alur susunan surah dan

24
Manna Khalil al Qâṯṯân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013),
h. 513
25
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 136
2

ayat yang termaktub dalam mushaf al-Qur‟an, maka dari satu sisi bisa dikatakan

bahwa Sayyid Quṯb telah menggunakan metode Analisa atau tahlili26. Disisi lain

sebagaimana disebutkan diatas, Sayyid Quṯb juga tidak menggunakan metode tahlili

secara muthlak, karena dia juga menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, baik sebagai

penafsiran ayat yang ditafsirkannya maupun sebagai penguat pendapatnya, padahal

cara ini adalah menjadi ciri dari metode penulisan tematik. Namun kita juga tidak

dapat menyabutnya dengan metode semi tematik, karena Sayyid Quṯb tidak memberi

judul atau tema dari ayat-ayat yang sedang ditafsirkannya.27

Sistematika dalam penulisan Tafsȋr fî Ẕilâl al Qur‟ân adalah:

Pertama, pengenalan dan pengantar terhadap surah. Sebelum masuk pada

penafsiran surah, Sayyid Quṯb memaparkan pengantar dan pengenalan terhadap

surah, memberikan ilustrasi pada pembaca mengenai surah yang akan dibahaskan

secara global, menyeluruh dan singkat. Dalam pengantar ini diterangkan status surah

(Makkiyah atau Madaniah), korelasi (Munasabah) dengan surah sebelumnya,

menjelaskan objek pokok surah, suasana ketika diturunkan, kondisi umat Islam pada

masa itu, maksud dan tujuan surah dan metode penjelasan materinya. Pengenalan dan

pengantar ini dapat disebut sebagai sebuah tafsir tematik yang ringkas dan

menyeluruh pada suatu surah.

Kedua pembagian surah-surah panjang menjadi beberapa sub tema. Setelah

memaparkan pengantar dan pengenalan surah, ayat-ayat surah yang akan dibahas
26
Tafsir Tahlili adalah metode penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an melalui pendeskripsian
(menguraikan) makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dengan mengikuti tata tertib
susunan atau urutan-urutan surah-surah dan ayat-ayat al-Qur‟an yang diikuti oleh sedikit banyak
Analisa tentang kandungan ayat itu. Lihat Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur
(kelompok Humaniora), 2007), cet. ke-1, hal. 104
27
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 138
3

dikelompokkan menjadi beberapa bagian secara tematik.

Ketiga penafsiran secara Ijmali (global) terhadap sub tema. Penafsiran ini

menuturkan secara ringkas tentang kandungan yang terdapat dalam sub tema tersebut.

Keempat penafsiran ayat demi ayat secara rinci. Penafsiran secara rinci ini

bertujuan mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan al-Qur‟an dan

hidup dalam suasana ketika al-Qur‟an diturunkan sreta mengambil pesan-pesan yang

terkandung didalamnya.28

Adapun refrensi yang digunakan Sayyid Quṯb dalam Tafsȋr fî Ẕilâl al Qur‟ân

adalah pertama, Tafsir Ibn Katsir sebagai rujukan utamanya, kedua, Tafsir Ibn Jarir

al Ṯâbari, Ketiga Tafsir al Qurṯubi, Keempat Tafsir Aẖkam al-Qur‟ân karya Ibn al-

Arabi, Kelima Tafsȋr Aẖkam al-Qur‟ân karya al-Jaṣos, Keenam Tafsir al Kasyaf,

Ketujuh Tafsir al Manar, Kedelapan Tafsir Modern Muhammad Izzah Darwazah, dan

Kesembilan Sirah Ibn Hisyam.

D. Corak Penafsirannya

Mencermati perkembangan pemikiran Sayyid Quṯb sebelum dan sesudah

penangkapan oleh rezim pemerintahan mesir, mengharuskan kita juga melihat adanya

perkembangan corak dalam tafsirnya. Pada mulanya, sebelum penangkapan dirinya,

Sayyid Quṯb, memiliki kecendrungan corak adabi ijtima‟i, yaitu corak yang

diperkenalkan oleh Muhammad Abduh, disamping ia juga telah mengarang bukunya

yang berjudul Al-taṣwir al fanni fȋ al-Qur‟ân. Corak ini yang terlebih-lebih yang

28
Salah Abdul Fattah al Khalidi, Tafsir Metodologi Pergerakan: dibawah Naungan Al
Qur‟an, Penerjemah: Asmuni Solihin, (Jakarta: Yayasan Bunga Karang, 1995), h. 55
3

menonjol dalam tafsirnya sebelum di edit ulang. Setelah tafsir al-Ẕilal di edit ulang,

dan setelah Sayyid Quṯb mendekam lebih lama dipenjara, penghayatnnnya terhadap

al-qur‟an, Islam, kehidupan dan perjuangannya berkembang. Hal ini berimbas pada

corak penafsirannya, tidak lagi hanya bernuansa adabi ijtima‟i, tapi dia

menambahkan corak lain terhadap tafsrinya yaitu corak perjuangan haraki29 dan

corak tarbawi.

Motivasi Sayyid Quṯb memperkenalkan corak haraki dalam tafsirnya didorong

oleh obsesinya mengajak kaum muslimin untuk betul-betul memahami al-Qur‟an dan

menghayatinya untuk kemudian dijadikan sebagai inspirator dalam menjalankan

semua aktivitasnya di alam nyata ini. Karena menurut Sayyid Quṯb al-Qur‟an tidak

cukup hanya dipelajari atau ditafsirkan saja secara teori.

Sedangkan corak tarbawinya dipicu oleh keinginan agar setiap Muslim terdidik

secara Islami berdasarkan ajaran al-Qur‟an, berakhlak sesuai al-Qur‟an, selalu

komitmen dengan semua ajarannya. Dari individu-individu yang dibentuk secara

islami ini akan memunculkan masyarkat islami yang bercirikan sifat-sifat yang sam,

sehingga terbentuklah masyarakat yang islami berlandaskan pada ajaran al-Qur‟an.

29
Penafsirannya yang berbentuk corak haraki adalah seperti dalam menafsirkan Q.S. Al-
Taubah/9:81 yang bermaksud “orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira
dengan tinggalnya mereka di belakang Rasullullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi perang) dalam
panas terik ini”. Katakanlah: “Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas(nya), jika mereka
mengetahui”. Sayyid menafsirkan bahwa mereka ini adalah contoh mengenai orang yang lemah
kemauan dan semangatnya, kebanyakan mereka merasa menderita sekali kalau memikul beban dan
ingin lepas dari kesulitan. Mereka lebih mengutamakan keselamatan yang rendah nilainya daripada
mengahadapi bahaya tetapi terhormat. Menurut Sayyid, orang-orang yang menolak berperang itu
berjauthan dengan lemah longlai di belakang barisan-barisan yang sigap dengan penuh semangat serta
mengerti tanggung jawab dakwah. Barisan ini menempuh jalan yang penuh rintangan dan duri. Karena
peserta barisan itu mengerti dengan fitrahnya bahwa berjuang menghadapi rintangan dan duri itu
menajadi keharusan bagi manusia. Oleh karena itu, mereka mersakannya sebagai sesuatu yang lezat
dan lebih indah dari duduk, tidak turut berperang dan bersanati-santai sebagai orang bodoh yang tidak
layak di sandang oleh manusia normal. Nuim Hidayat, Sayyid Quṯb, hal. 85-86
3

Keinginan Sayyid Quṯb ini nisa kita rasakan dalam tulisannya ketika dia mengatakan:

“sesungguhnya (pemahaman terhadap) ayat-ayat al-Qur‟an tidak bisa difahami hanya

dengan berinteraksi dengan petunjuk-petunjuk kebahasaannya saja, tetapi kita

menghidupkannya dengan menghayatinya dalam ruang lingkup sejarah

pergerakannya, dalam realitanya yang positif dan dengan interaksi kita (antara al-

Qur‟a) dengan alam nyata).

E. Karya-karya Sayyid Quṯb

Karya-karya Sayyid Quṯb selain beredar di negara-negara Islam, juga beredar di

kawasan Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika. Dimana terdapat pengikut-pengikut

Ikhwanul Muslimin, hampir dipastikan disana ada buku-buku Quṯb, karena dia adalah

tokoh Ikhwan terkemuka30. Buku-buku hasil torehan tangan Sayyid Quṯb adalah

sebagai berikut:

Studinya yang bersifat keislaman harakah yang matang, yang menyebabkan ia

di eksekusi (dihukum penjara) adalah sebagai berikut:

1. Ma‟alim fiṯ Ṯariq

2. Fȋ Ẕilâl al-Sirah

3. Muqawwimat at-Taṣawwur al-Islami

4. Fȋ Maukib al-Iman

5. Naẖwu Mujtama‟ Islami

6. Hadza al-Qur‟ân

7. Awwaliyat li Hadza al-Dȋn

32 Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h.


3

8. Taṣwibat fȋ al-fikri al-Islami al-Mu‟aṣir.31

33 Hidayat, Sayyid Quṯb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, h.


BAB III

TEORI SUKSES

A. Pengertian Sukses

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kontemporer kata “sukses” memiliki

arti berhasil atau beruntung.1 Dalam konteks ini, keberhasilan atau keberuntungan

merupakan sesuatu yang membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik.

Menurut Frickson Sinambela S.PSI, MT., pakar psikologi dari ubaya

pengertian kesuksesan ada tiga, yaitu mengenai tujuan hidup pribadi, bertumbuh ke

arah potensi maksimum, serta yang terakhir memberikan nilai tambah pada

kehidupan orang lain.2

Setidaknya ada empat tolok ukur yang menjadikan sesorang bisa dikatakan

sukses dalam hidupnya, diantaranya:

1. Uang atau Kekayaan

Kebanyakan dari orang yang menganut paham materealisme beranggapan bahwa,

seseorang dikatakan sukses apabila memiliki banyak uang atau harta yang berlimpah.

Karena dengan uang yang banyak, hampir dapat membeli sesuatu yang diinginkan.

Misalnya saja, membeli mobil mewah, bersafari mengunjungi tanah suci dan lain.

2. Popularitas

Terkadang bagi sebagian orang memiliki banyak uang saja tidak cukup. Perlu

juga dikenal oleh orang banyak (popular) untuk menambah kesuksesannya. Kurang

1
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1349
2
Agustitin Setyobudi, Filsafat Revolusi Mental (Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2015), h.
124

34
3

berarti jika banyak uang tapi orang itu tidak dikenal oleh orang banyak. Dengan

demikian, sukses bisa dianggap bila seseorang itu dikenal luas.

3. Kekuasaan/Jabatan

Pandangan mengenai kekuasaan sebagai bukti sukses bisa dibenarkan

berdasarkan kenyataan bahwa, umumnya orang yang mempunyai kekuasaan, dengan

itu juga ia cenderung populer dan kaya. Karena biasanya, kekuasaan/jabatan

mempengaruhi pendapatan hidup orang. Dengan pendapatan hidup, sesorang bisa

menjadi sukses.

4. Prestasi

Sukses yang terakhir dapat dicapai dengan prestasi yang dimiliki, baik dalam

bidang akademis maupun bukan. Dalam bidang akademis misalnya, menemukan teori

ilmu pengetahuan yang hebat. Prestasi bukan bidang akademis misalnya, menjadi

pembisnis yang besar. Ukuran suatu prestasi adalah pencapaiannya yang menjadikan

orang itu sukses3.

Pengerian kesuksesan bagi tiap-tiap orang berbeda satu sama lain. Namun banyak

orang yang mendefinisikan kesuksesan berdasarkan tiga hal, yaitu kekuasaan, uang,

dan kemasyhuran (popularitas). Orang dapat disebut sukses apabila telah mencapai

minimal satu hal di atas. Banyak orang telah mendapatkan kekuasaan, uang, dan

kemasyhuran. Namun kemudian tidak sedikit yang kondisi keluarganya menjadi

berantakan atau berakhir di penjara, bahkan ada yang lebih memilih mengakhiri

hidupnya. Oleh, karenanya, kesuksesan bukan hanya dinilai secara materi, namun

3
Herlianto, Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2012), h. 152-153
3

juga perlu memperhatikan sisi kedamaian di hati.

Seperti yang dikatakan oleh Agustitin Setyobudi4, yang mengatakan bahwa sukses

yang hakiki adalah kemampuan seseorang memimpin dirinya agar dapat mengenal

Tuhan Yang Maha Esa sehingga tumbuh dalam diri sebuah rasa dan jiwa seorang

hamba, ada rasa rindu dan usaha untuk senantiasa tunduk dengan segala aturan-Nya,

untuk senantiasa menjadikan Rasullullah sebagai suri teladan hidupnya.5

B. Langkah Meraih Kesuksesan

Tidak ada yang tiba-tiba atau instan di dunia ini. Semua melalui berproses, tahap

demi tahap. Menurut Agustitin Setyobudi Setidaknya ada beberapa langkah

menggapai kesuksesan dan juga diperlukan oleh orang-orang yang selalu ingin

menjadi produktif.

Pertama, Bekerja Keras (Capacity for Hard Work). Dalam tradisi religious, Tuhan

sangat marah memperhatikan seorang pemalas dan suka berpangku tangan. Sikap

bekerja keras harus dimiliki oleh seorang produktif. Dalam hal ini, unsur disiplin

memainkan peranan penting. Karena, bagaimana orang berani bekerja keras jika

disiplin tidak ada. Dia harus mengatur waktu, sesuai irama kehidupan, bangun pagi,

siap-siap dalam kerja, mulai kerja, istirahat (tidak terlalu lama), dan seterusnya

sampai malam tiba.

Kedua, bekerjasama dengan orang lain (Getting Things Done with and Trough

People). Hidup berjamaah menurut ajaran agama akan memperoleh pahala yang

4
Agustitin Setyobudi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, tanggal 8 Agustus 1960. Ia adalah guru
besar bidang perekonomian Indonesia dan ekonomi koperasi STIE Adhy Niaga.
5
Setyobudi, Filsafat Revolusi Mental, h. 124
3

berlipat. Disisi lain orang bisa saja lahir sendiri namun hakikatnya tidak akan bisa

hidup sendiri. Dengan menggunakan tenaga orang lain maka tujuan mudah tercapai.

Inilah yang disebut dengan “pengelolaan” ia tidak suka difitnah, sok hebat, arogan,

tidak suka menyikut, dan sebagainya. Dia harus berprilaku yang menyenangkan bagi

semua orang, sehingga memudahkannya bekerja sama dalam menuju keberhasilan.

Ketiga, penampilan yang simpatik (Good Symphaty). berharga raga paling

pertama akan dilihat pada penampilan tubuhnya mulai dari model pakaiannya,

pemilihan penggabungan warnanya, model atau paling tidak kualitas barangnya, ini

bukan berarti penampilan body face muka yang elok atau paras cantik. Namun, lebih

ditekankan pada penampilan yang mengesankan/ rapi, perilaku jujur, dan

kedisiplinan. Banyak orang tertipu dengan rupa elok namun ternyata orang-orangnya

penipu ulung. Ingatlah, Individu yang baik dan jujur akan disenangi orang di mana-

mana dan akan sukses bekerjasama dengan siapa saja.

Keempat, Memiliki Keyakinan yang Kuat (Self Confidence). Dalam bahasa

agama yang ditulis al-Qur‟an surah al-Bâqarah yang berbunyi, “Yukminûna bil

ghaib” memiliki keyakinan dan keyakinan adalah sesuatu yang gaib. Sebab itu kita

harus memiliki keyakinan diri bahwa kita akan sukses melakukan suatu usaha, jangan

ragu dan bimbang. Niatlah bekerja baik kemudian berserah diri pada kehendak

Tuhan.

Self Confidence ini diimplementasikan dalam tindakan sehari-hari, melangkah pasti,

tekun, sabar, tidak ragu-ragu.

Kelima, Berani Membuat Keputusan (Brave Sound Decision). Dalam Q.S al-

Bâqarah [2]: 286 Dikatakan yang secara umum berarti bahwa Tuhan tidak menguji
3

seseorang di luar batas kemampuan yang diberikan kepadanya. Ini jika diartikan

secara luas bahwa manusia diberikan hak dalam mengambil suatu keputusan untuk

mengubah masalah menjadi solusi, masalah menjadi kekuatan, masalah menjadi

peluang dan masalah menjadi karya besar yang bermanfaat bagi orang-orang

disekitarnya.

Artinya jika dihadapkan pada alternatif, harus memilih, maka buatlah

pertimbangan yang matang. Kumpulkan berbagai informasi, boleh minta pendapat

orang lain setelah itu ambil keputusan, jangan ragu-ragu dengan berbagai alternatif

yang ada dalam pikirannya dia akan bisa mengambil keputusan terbaik.

Keenam, Selalu Berupaya Menambah Tingkat Pendidikan (College Education)

dalam Surat al-Mujadallah ayat 11 dikatakan yaitu barang siapa orang yang berdiri

di dalam majelis keilmuan maka orang tersebut akan ditinggikan derajatnya satu

derajat lebih tinggi dan bagi kitalah orang-orang yang beruntung. Juga disebut

dalam al-Qur‟an Surat al-„Alaq yang mempertegas bahwa tugas manusia adalah

membaca. Turunan dari membaca adalah mengingat, menghafal, memahami,

menganalisa, melakukan sintesa dan mengevaluasi.

Ketujuh, Memiliki Semangat Maju (Ambition Drive). Setiap manusia yang hidup

dimuka bumi ini ditakdirkan oleh Tuhan dengan memiliki keinginan atau ambisi.

Namun, keinginan atau ambisi sudah diatur dalam ketentuan Tuhan bahwa manusia

harus mengatur keinginannya tersebut agar tidak melampaui batas, sebab celakalah

bagi orang-orang yang berbuat melampaui batas-batas yang telah ditentukan oleh

penguasa jagat raya ini yaitu Tuhan yang Maha Kuasa.

Kedelapan, Memiliki Kemampuan Berkomunikasi dengan Baik (Good Ability to


3

Communicate). Rasullullah Sallallahu alaihi wasallam. Memberikan contoh kepada

umatnya tentang tabligh. Kata tabligh dapat diartikan sebagai interaksi timbal balik

atau komunikasi timbal balik dan bahkan pada zaman globalisasi ini. Kesuksesan

besar banyak dicapai oleh orang-orang yang pintar komunikasinya secara inten.

Pintar berkomunikasi berarti pintar mengorganisasi buah pikiran kedalam bentuk

ucapan-ucapan yang jelas, menggunakan tutur kata yang enak didengar, mampu

menarik perhatian orang lain.6

C. Motivasi Berprestasi Menuju Sukses dalam Psikologi

Setiap manusia sudah tentu menginginkan kehidupan yang baik dan berhasil.

Salah satu pintu kesuksesan adalah adanya kemauan yang gigih. Kemauan yang gigih

dalam konsep psikologi dikenal dengan istilah motivasi. Setiap orang pasti memiliki

motif dalam melakukan suatu hal. Motif merupakan sebuah dorongan yang akan terus

dikerjakan selama tujuannya (goal), belum tercapai. Jika goal atau target yang

diharapkan sudah tercapai, maka individu akan mencari target/goal berikutnya yang

lebih tinggi. Demikian seterusnya hingga individu akan merasa cukup atau merasa

lelah untuk mencapainya dan menggunakan strategi lain untuk mencapai harapan

yang diinginkan tersebut.

Mc Donald menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi

dalam dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afeksi (perasaan) dan

reaksi atau respon untuk mencapai tujuan.7

6
Setyobudi, Filsafat Revolusi Mental, h. 117
7
Diana Mutiah, Motivasi Berprestasi Menuju Kesuksesan, 03 Maret 2014, h.
4

Sedangkan Mc Clelend menjelaskan tentang motivasi berprestasi

(achievement motivation), adalah sebagai kebutuhan untuk sukses dalam

mendapatkan standar keunggulan.8

Menurut santrock, motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk

menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu standar kesuksesan dan melakukan

suatu usaha dengan tujuan untuk mencapai sukses.9

Ahli lain berpendapat motivasi berprestasi merupakan upaya untuk

meningkatkan atau mempertahankan sebesar mungkin kemampuan dalam segala

aktivitas dengan adanya kesadaran terhadap standar keunggulan dan sebagai

penentuan terhadap sukses atau gagalnya dalam melakukan suatu aktivitas atau suatu

pekerjaan.

Sehingga jelaslah bahwa seseorang yang memiliki motivasi berprestasi akan

memiliki daya juang yang tangguh untuk terus melakukan aktivitas yang memiliki

standar yang tinggi dan bukan aktivitas yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu penting

untuk melihat karakteristik ataupun indikator dari seseorang yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi ini.

Hasil penelitian Mc Clelend, menyebutkan hal-hal yang membedakan antar

individu dengan yang memiliki motivasi berprestasi rendah dan mereka yang

memiliki motivasi berprestasi tinggi, yaitu:

1. Tanggung Jawab

Individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah kurang memiliki

8
Mutiah, Motivasi Berprestasi Menuju Kesuksesan, h.
34
4

tanggung jawab, cendrung akan menyalahkan hal-hal di luar dirinya sebagai

penyebab ketidak berhasilannya dan sebaliknya individu yang memiliki motivasi

berprestasi tinggi akan lebih siap dan bertanggungjawab terhadap tugas yang

dilakukannya dan tidak meninggalkan tugas tersebut sebelum menyelesaikannya.

Mahasiswa yang cenderung memberikan beragam alasan terhadap kinerjanya yang

tidak kunjung selesai dalam penyelesaian skripsi lebih banyak menyalahkan hal-hal

diluar dirinya seperti alasan dosen yang sulit ditemui, bahan-bahan yang susah

orangtua yang kurang mendukung dan sebagainya. Ada 1001 alasan yang dapat

dikemukakan oleh siswa atau mahasiswa. Jika mendapatkan seperti ini, maka tentu

saja harus dilakukan konseling secara pribadi agar mindset nya dapat berubah

sehingga perilakunya juga akan berubah.10

2. Risiko Pemilihan Tugas

Pada dasarnya, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan

cenderung memilih tugas dengan taraf kesulitan yang sedang maupun tinggi,

mengapa? Karena meskipun ia memperoleh kesulitan dalam mengerjakan suatu

tugas, ia pun akan berani mengambil risiko atas pemilihan tugasnya tersebut.

Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung akan

memilih tugas yang mudah dengan taraf kesulitan yang renah.11

3. Kreatif dan Inovatif

Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi mampu memecahkan

semua permasalahannya secara kreatif-inovatif. Individu akan menggunakan cara-

10
Mutiah, Motivasi Berprestasi Menuju Kesuksesan, h.
34
4

cara yang baru, kreatif dan inovatif, untuk mengatasi semua hambatan yang

dihadapinya. Individu yang kreatif adalah individu yang punya banyak cara dalam

melakukan impiannya, ada cara, strategi metode maupun tekhnik yang beraneka

macam. Tidak akan berhenti diam untuk mencapai apa yang diharapkannya.

4. Melakukan Evaluasi terhadap Umpan Balik (Feed Back)

Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai umpan

balik, karena hanya dengan cara demikian individu akan memperhatikan kesalahan-

kesalahan yang pernah diperbuatnya. Mereka yang tidak pernah mau belajar dari

kesalahan adalah termasuk orang yang tidak beruntung. Pepatah meyatakan

pengalaman adalah guru yang terbaik. Sehingga individu yang memiliki motivasi

yang rendah akan mengulangi kesalahan yang sama.

5. Waktu penyelesaian Tugas

Penelitian Lowell, menyebutkan bahwa individu yang memiliki motivasi

berprestasi yang tinggi serta lebih cerdas akan mampu menyelesaikan tugasnya lebih

cepat sejak awal hingga periode akhir. Artinya mereka menggunakan dan

memanfaatkan waktunya lebih efektif dan efisien. 12

Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa individu yang memiliki motivasi

berprestasi yang tinggi memiliki keunggulan dalam beberapa hal seperti sikapnya

terbuka karena akan menerima umpan balik dengan baik, bertanggung jawab, kreatif

inovatif , mengambil risiko terhadap pilihan tugas dan tanggung jawabnya dan

mengarah pada standar keunggulan bukan hanya sekedar pencitraaan serta tanggap

terhadap efisiensi dan efektivitas dalam tugas yang dilakukannya.

12
Mutiah, Motivasi Berprestasi Menuju Kesuksesan, h.
4

D. Term Sukses dalam al-Qur’ân

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kontemporer kata “sukses” memiliki arti

berhasil atau beruntung, di dalam al-Qur‟an istilah beruntung terdapat dalam dua kata

yang sepadan yaitu al-Falâẖ dan al Fauz.

1. Al-Falâẖ

Kata al-falâẖ dalam kamus Mahmud Yunus َ ‫َح َأفَل‬-‫ِاسَت‬.‫ ح ْ فَل‬yang mengandung arti

menang, jaya berhasil maksudnya, sukses.13

Sebagaimana dalam kamus munawwir disebutkna bahwa kata al-falâẖ

mengandung arti kemenangan atau sukses.14

Kata al-falâẖ dalam al-Qur‟an merupakan akar dari kata aflaẖa-yufliẖu-iflaẖan

‫– ِإْفلَحَا‬
ِ‫ فل‬.ْ ‫َأفَل – ي‬, mufliẖ ِ‫ ْم فل‬adalah ism fâ’il yang berarti orang sukses. Dalam
˚ ˚
‫˚ح‬ ‫ح‬ َ ‫ح‬

berbagai bentuknya kata ini disebut 40 kali dalam al-Qur‟an dalam bentuk fi’l mâḏi,

aflaẖa َ ‫ ح َأفَل‬disebut 4 kali, fi’il mudâri’, tufliẖu ‫˚ت‬.ِ‫ح˚ ْ فل‬, tufliẖûna َ‫ت‬.˚ ِ‫ح و˚ ْفل‬
ْ ‫ن‬, yufliẖûna َ

‫ي‬.˚ِ‫ح و˚ ْ فل‬
ْ ‫ن‬

disebut 23 kali, dan ism yang semuanya berbentuk ism fâ’il (pelaku), al-mufliẖûn

‫ح و َن‬ ِ ِِ
ْ ˚ ‫ اْل ˚ ْم فل‬al-mufliẖîna dan kali 12 disebut ‫ح َي‬
ْ ‫ ْا ْل فل‬kali.15 1 disebut
˚
2. Al-Fauz

15
Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, h.
4

Al-fauz menurut bahasa adalah al-ẕafr bil al-khaȋr wan nājatu minasy syarri,

13
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus WA Dzurriyyah,
2010), h. 325
14
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 1070

15
Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, h.
4

keberhasilan memperoleh kebaikan dan terlepas dari keburukan, fauz yaitu

keberuntungan.16

Dalam kamus Ahmad Warson Munawwir al Fauz berasal dari kata fa-za yang

berarti “memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”17.

Menurut Mahmud Yunus al-Fauz mengandung arti yaitu “menang atau jaya”.18

Kata al-fauz dan derivasinya disebut 29 kali dalam al-Quran. Dalam bentuk fî’l

mâḏî, faza َ ‫َف‬.‫ ز‬disebut 2 kali, bentuk fî’l muḏâr’i, afûza ْ ‫ف˚ ا‬.َ‫ َوز‬disebut 1 kali, masdar al-

fauzu ‫ ز˚اْلَ ْف و‬dan fauzan ْ 19 ‫َف‬.‫ ًوزا‬kali, ism fâ’il jama’ mudzakkar salîm, al-fâizûna َ ‫ن‬
ِ‫زو اْلَفائ‬
˚ْ

sebanyak 4 kali.19

E. Pendapat Para Mufassir terhadap ayat-ayat Sukses

Al-falâẖ menurut M. Quraish Shihab, al-falâẖ berarti memperoleh apa yang

diinginkan atau dengan kata lain kebahagiaan. Seseorang baru bisa merasakan

bahagia jika mendapatkan apa yang diinginkan, akan tetapi sesuatu yang dianggap

sebagai kebahagiaan tidak akan menjadi kebahagiaan kecuali jika ia merupakan

sesuatu yang didambakan serta sesuai dengan kenyataan dan substansinya.

Sebagimana Firman Allah Subẖânahu waTa’âla dalam Q.S al-Mukminûn [23]: 1

yaitu.

16
Ahmad Sukardja, dkk., Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosakata dan Tafsirnya (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), h. 1
17
Al-Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia, h. 1077
18
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus WA Dzurriyyah,
2010), h. 308
19
Sukardja, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 1
4

‫قَد ۡ˜ َأف ۡ˜ َََل ٱل ۡ˜˚ مؤ ۡ˜ِ من˚و‬


“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang ‫َن‬
beriman”

Kata َ ‫ل ۡ˜ َأف‬
َ aflaẖa terambil dari kata (‫ )اْلَفَلح‬al-falẖ yang berarti membelah, dari

sini petani dinamai ( ‫ )اْلَفَلاح‬al-fallâẖ karena dia mencangkul untuk membelah,

membelah tanah lalu menanam benih. Benih yang ditanam petani menumbuhkan

buah yang diharapkannya. Dari sini agaknya sehingga memperoleh apa yang

diharapkan dinamai falâẖ dan hal tersebut tentu melahirkan kebahagiaan yang juga

menjadi salah satu makna falâẖ.20

Senada ayat diatas Allah Subẖânahu waTa’âla Berfirman dalam Q.S al-Hajj

[22]: 77

.‫ۡ َأي‬
‫' َي‬
‫َّها‬
‫ٱل‬
‫ّ ِذي َن َءاَمن˚وْا ٱر ۡ˜ َكع˚وْا َوٱس ۡ˜ ˚ج‬
‫˚دوا‬
‫ْ َوٱع ۡ˜ب˚ ˚دوْا‬
‫َ رب‬
‫ّ ˚كم ۡ˜ َوٱف ۡ˜ َعل˚وْا ٱل ۡ˜ َخي ۡ˜َر‬
‫َلَعل‬
‫ّ ˚كم ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚ون‬

“Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah


Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”

Firman-Nya: ˜ۡ ‫ت˚ف‬ ‫َلَعل‬ la’allakum tufliẖûn / semoga kamu mendapat


‫ِِل˚و َن‬ ˜ۡ ‫ّ ˚كم‬

kemenangan mengandung isyarat bahwa amal-amal yang diperintahkan itu,


4

hendaknya dilakukan dengan harapan memperoleh al-falâẖ/keberuntungan yakni apa

yang diharapkan di dunia dan akhirat. Kata َّ ‫ ل َلَع‬la’alla / semoga yang tertuju

kepada

para pelaksana kebaikan itu, memberi kesan bahwa bukan amal-amal kebajikan itu

yang menjamin perolehan harapan dan keberuntungan apalagi surga, tetapi surga
20
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Juz 23
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 146
4

adalah anugerah Allah Subẖânahu waTa’âla dan semua keberuntungan merupakan

anugerah dan atas izin-Nya semata.

K ‫ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و َن‬


tufliẖun terambil dari kata ( ‫ )فَلح‬falâẖa yang juga digunakan dalam
ata

arti bertani. ( ‫ )اْلَفَلاح‬al-fallâẖ adalah petani. Penggunaan kata itu memberi kesan

bahwa seorang yang melakukan kebaikan, hendaknya jangan segera mengharapkan

tibanya hasil dalam waktu yang singkat. Ia harus merasakan dirinya sebagai petani

yang harus bersusah payah membajak tanah, menanam benih, menyingkirkan hama

dan menyirami tanamannya, lalu harus menunggu hingga memetik buahnya.21

Menurut Ahmad Musṯafa al-Maraghi, (keberuntungan) adalah tercapainya tujuan

yang dicita-citakan, berkat ilham yang diberikan Allah pada orang-orang yang

bertakwa untuk menuju jalan keberhasilan.22

Al-Asfaẖânȋ menyebutkan bahwa al-falâẖ adalah al-ẕafru wa idrâku bughyatin

yaitu memperoleh apa yang dikehendaki. Kata ini sering kali diterjemahkan

“beruntung”, „berbahagia‟, „memperoleh kemenangan‟, dan sejenisnya.23

Dalam surah al-Mâidah [5]: 35 Allah menyeru kepada manusia agar berjihad.

‫َسبِيلِۦو‬
‫ ۡ ْا إَِل ۡ˜ ِه ٱل ۡ˜َوِ سيَلَة َو َ'ج ِه‬.‫ۡ َأي‬ ‫َ'ي‬
‫َلَعل‬ ‫َّها‬
‫˚دوْا ِِف‬
‫ّ ˚كم ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و َن‬ ‫ٱل‬
ْ‫˚ قوا‬.َّ‫ّ ِذي َن َءاَمن˚وْا ٱت‬
‫ٱل‬
‫غ˚و‬.‫َّو َوٱب ۡ˜َت‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan”
4

21
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz XXIII, h. 133
22
Ahmad Musṯafa al Maraghi, Tafsȋr Al Maraġi. Penerjemah Anwar Rasyidi, Juz XVIII
(Semarang: Toha Putra, 1986), h. 62
23
Al-Ragȋb al-Asfaẖânȋ, al-Mufradâtu fi garȋbi al-Qur’âni (Mesir: al-Maimanh, 1424 H), h.
328
5

Abu Ja‟far (al-Ṯabarȋ) berkata bahwa Allah menghendaki dengan ayat ini seruan

untuk orang-orang beriman untuk senantiasa taat padanya dan memperteguh

keimanan dan kepercayaan kepada Allah dan Nabi-Nya dengan berbuat amal

kebajikan, serta mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

‫َو َ'ج ِه َسبِيلِۦو‬


َ‫˚دوْا ِِف َلَعل‬
‫ّ ˚كم ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و َن‬

Menurut al-Ṯabarȋ, perintah berjihad dalam ayat ini adalah berjihad di jalan

Allah untuk mengagungkan agama Islam dan syariat-Nya yang telah disyariatykan

kepada hamba-hamba-Nya, dan bersunguh-sungguh dalam menjalaninya.24

Al-Sa‟di menambahkan bahwa jihad berarti bersungguh-sungguh dalam

dalam mengeluarkan segala kemampuan yang dimiliki untuk menjauhi kemaksiatan

hati, lisan dan anggota badan, baik lahir maupun batin yang dimurkai Allah, dan

memohon pertolongan kepada-Nya agar bisa meninggalkan-Nya agar selamat dari

murka dan azab-Nya.25

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-falâẖ adalah kesuksesan

atau keberuntungan yang didapatkan manusia baik di dunia maupun di akhirat, atas

apa yang ia usahakan selama di dunia.

Term al-falâẖ dan derivasinya terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang orang

yang tidak akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat yaitu

diantaranya.

Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S al-Kaẖfi [18]: 20.

24
al-Ṯhabarȋ, Tafsȋr al-Ṯhabarȋ, h. 854-858
25
al-Sa‟dȋ, Taisir al-Karȋm al-Rahmân fȋ Tafsȋr Kalâm al- Mannân, Penerjemah Muhammad
Iqbal (Jakarta:Darul Haq, 2007), h. 339-340
5

‫˜ ِ ۡ ْا ِإ ًذا َأَبد‬
‫َعَلي ۡ˜ ˚كم ۡ˜ َير ۡ˜ ˚ُج˚و˚كم ۡ˜ َأو ۡ˜ ي˚عِي ˚دو˚كم ۡ ِف‬ .‫ِإن‬
‫ۡ˚ا‬ ‫ّ˚ هم ۡ˜ إِن َيظ ۡ˜ َى˚ روْا‬
‫ِ مل‬
‫ِّت هم ۡ˜ َوَلن ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬

“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka


akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka,
dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya”

Selanjutnya dalam firman-Nya dalam Q.S al- An‟âm [6]: 21 tentang orang-

orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Subẖânahu waTa’âla tidak akan

mendapatkan kesuksesan.

‫َب َ´بِا' َيتِ ۦِ“˘و‬ ‫َعلَى‬ ˜ ˜


˚‫ََومن ۡ َأظ ۡ ََل‬
‫ٱل‬
‫ِإن‬ ‫ِِم‬
‫ِّ و َك ِذًبا َأو ۡ˜ َك َّذ‬
‫ّ ۥو˚ ََل ي˚ف لۡ˜ ِ ˚ح ٱل‬ ‫َر 'ى‬.‫ّ ِن ٱف ۡ˜َت‬

‫'ظ‬
‫ّلِ ˚مو َن‬

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu
kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-
orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan”

Selanjutnya dalam firman-Nya dalam Q.S al- An‟âm [6]: 135, Yûsuf [12]: 23,

dan al- Qasas [28]: 37. Berbicara tentang orang-orang aniaya dan zalim tidak akan

mendapatkan kesuksesan.

Berikut ayatnya secara berurut:

‫ََل‬
‫َعاِ مل ۡ َف َسو َف َتع ۡ˜َل َمن َت ل َ'عِ قَبة˚ ٱل َّدا إِن‬ ِ‫إ‬ ِ‫م َكاَنت‬
َ ‫ٱع 'ى‬ ‫ي'َقو‬ ˜ۡ ‫ق˚ل‬
˚‫ِر ۡ“ ّ ۥو‬ ‫مو َن ˚كو ˚ن و‬
˚ ˜ۡ ªۡ ‫يِّن‬ ˜ۡ ‫˚كم‬ َ‫ۡ˜َمل˚وْا َعل‬ ‫ِۡ˜م‬
˚
‫ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬
‫'َظ‬
5

‫ّلِ ˚مو َن‬

“Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,


sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di
antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-
orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan keberuntungan”

‫َم َعا َذ‬


‫َعن َىي َت َل َك‬ ‫و'رودت ۡ˜ ه ِِف َب‬
‫ٱل‬ ˚ َََ َ
ªۡ ‫ِّ و‬ ‫ۡ“ قَا َل‬ ˜ۡ ‫ن‬ ِ‫ۡ˜َِتا‬ ‫˚َىو‬
‫ٱل‬
‫ّف ۡ˜ ِسِۦو َو‬ ‫ِِّت‬
‫ِإن‬
˚‫ّ ۥو‬ ‫َغل‬
˜ۡ ‫َّق ِت ٱل ۡ˜َأب ۡ˜' و َب وقَاَلت‬
َ َ
5

ªۡ ‫ۡ َأح ۡ˜ س ن مث ۡ˜ وا ي‬
َ َ َ َ َ ‫َر ي ب‬
‫إِن‬
‫ّۥ•و˚ ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬
‫'ظ‬
‫ّلِ ˚مو َن‬

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf


untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya
berkata: "Marilah ke sini". Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh
tuanku telah memperlakukan aku dengan baik". Sesungguhnya orang-orang yang
zalim tiada akan beruntung”

“ۡ ‫'َعِ قبة˚ ٱل َّدا ِر‬


َ
‫َوقَا َل ˚مو َس 'ى ۡ َأع ۡ˜ ََل˚ َ ۡ َء ِبٱل ۡ˜ ˚ى َد 'ى ِعن ِدۦهِ ََومن َت‬
‫ِإن‬
˚‫˚كو ˚ن َلۥ•و‬ ˜ۡ ‫ِمن‬ ‫ج‬ ‫َر ي ب‬
‫ّ ۥو˚ ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬ ‫َبن ا‬
‫'ظ‬
‫ّلِ ˚مو َن‬

“Musa menjawab: "Tuhanku lebih mengetahui orang yang (patut) membawa


petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan (yang baik) di negeri
akhirat. Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang zalim"

Selanjutnya dikatakan yang tidak akan mendapatkan kesuksesan adalah

orang-orang yang bergulat dalam sihir atau tukang sihir. Berapa banyak ayat di dalam

Kitabullah yang berbicara tentang sihir dan para tukang sihir, dan mengabarkan

tentang kesesatan dan kerugian mereka di dunia dan akhirat. sebagaimana Allah

Subẖânahu waTa’âla berfirman dalam Q.S Yûnus [10]: 77 dan Ṯâhâ [20]: 69

‫َ'ى َذا ََوَل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬


‫ َأِ سح‬ªۡ ˜ۡ ‫ ول˚و َن ِلل ۡ˜ َح َ ۡ َء˚ كم‬.‫قَا َل ˚مو َس ۡ َأَت˚ ق‬
'
‫ٌۡ˜ر‬ ‫يق َل َّما ج‬ ‫'ى‬
ِ
‫ّس ح˚ رو َن‬ ‫ا‬

“Musa berkata: "Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia


datang kepadamu, sihirkah ini?" padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat
kemenangan"
5

‫˚ث َأَت 'ى‬


‫ َوَل ي ف ۡ˜لِ ح ٱل َح‬ªۡ ۡ, ‫ع˚وْا 'س ِحر‬.‫َصَن‬ ‫ َِّإََّنا‬ªۡ ‫َوَأل ۡ˜ ِق َما ِِف َص ۡ ْا‬
˚ ˚ َ َ
˜ۡ ‫ي‬
‫َّسا ِح˚ ر‬ ‫َكي ˜ۡ ˚د‬ .‫َن‬
‫يِينِ َك َتل ۡ˜قَف ۡ˜ ما ˚عو‬
َ

“Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan
apa yang mereka perbuat "Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu
daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia
datang"

Kemudian orang-orang yang sama sekali tidak akan mendapatkan kesuksesan


5

adalah orang-orang kafir dan orang-orang yang mengingkari nikmat Allah Subẖânahu

waTa’âla. Sebagaimana firman Allah Subẖânahu waTa’âla dalam Q.S al- Mukminûn

[23]: 117 dan al- Qasas [28]: 82

‫ِعن َد َربي ِ“و̆ۦ‬ ‫ََومن َيد ۡ˜ ˚ع َم َع ِح‬


‫ِإن‬ ˚‫ٱ ل َساب˚ ۥو‬
‫ّوۥ˚ ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل ۡ˜ 'َكِ ف˚ رو َن‬ ‫ِّ و‬
'ِ‫إ‬
‫ًلا ءَا َخَر ََل ب˚ر ۡ˜ َ'ى َن لَ ۥو˚ بِۦو‬
‫َفِإ‬
‫َنا‬
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal
tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di
sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”

ۡ
˚‫ء‬
‫َوي ۡ˜ َكَأ َّن ˚ط ٱليرز ۡ˜ َق لَِمن‬ َ ‫َوَأص ˜َۡب َح‬
‫َتن‬
‫َي َشا‬ ‫ٱل‬ ‫ٱل‬
‫َ˚ قول˚و‬.‫ّو ۡ˜ْا َم َكا َۥ•نو˚ ِبٱل ۡ˜َأم ۡ˜ ِس ي‬
‫َّو َيب ۡ˜ ˚س‬ ‫ّ ِذي َن‬
‫َن‬

ِ‫ي ف ۡ˜ل‬
˚ َ ˜ۡ ‫بِن َا َوي‬ ‫َََل‬ ‫َلو َۡ˜َل َأن َّ ٱ ل َعَلي‬ ˜ۡ ‫ويق‬
َ َ ‫ِمن ۡ˜ ِعَب‬
‫˚ح‬ ‫كَأن َل‬ ‫َس‬ ‫ۡ˜َنا‬ ˚ ‫ن ّو‬
َ ‫ِ د˚ ر‬ ِ‫ا ِدهۦ‬
˚‫ّ ۥو‬ ‫َف‬
‫ّم‬

‫ٱل ۡ˜ 'َكِ ف˚ رو َن‬

“Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun


itu, berkata: "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak
melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula).
Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)"
5

2. Al-Fauz

Al-fauz menurut bahasa adalah al-ẕafr bil al-khaȋr wan nājatu minasy syarri,

keberhasilan memperoleh kebaikan dan terlepas dari keburukan, fauz yaitu

keberuntungan.26

Dalam kamus Ahmad Warson Munawwir al Fauz berasal dari kata fa-za yang

26
Ahmad Sukardja, dkk., Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosakata dan Tafsirnya (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), h. 1
5

berarti “memperoleh kemenangan”, “kesuksesan”, “selamat”, dan “terhindar”27.

Menurut Mahmud Yunus al-Fauz mengandung arti yaitu “menang atau jaya”.28

Kata al-fauz dan derivasinya disebut 29 kali dalam al-Quran. Dalam bentuk fî’l

mâḏî, faza َ ‫َف‬.‫ ز‬disebut 2 kali, bentuk fî’l muḏâr’i, afûza ْ ‫ف˚ ا‬.َ‫ َوز‬disebut 1 kali, masdar al-

fauzu ‫ ز˚اْلَ ْف و‬dan fauzan ْ 19 ‫َف‬.‫ ًوزا‬kali, ism fâ’il jama’ mudzakkar salîm, al-fâizûna َ ‫ن‬
ِ‫زو اْلَفائ‬
˚ْ

sebanyak 4 kali.29

M. Quraish Shihab, al fauz adalah keberuntungan atau kemenangan. Kata (ْ ‫َف‬.‫وز‬


)

fauz dalam berbagai bentuknya digunakan al-Qur‟an untuk pengampunan dosa,

keterhindaran dari neraka dan perolehan surga. Allah Subẖânahu waTa’âla berfirman

dalam Q.S Âli Imrân [3]: 185)

‫َف َمن ˚زح ۡ˜ ِزَح َع ِن‬


‫ٱ لن‬
˜ۡ ‫ّار وأ˚د ۡ˜ ِخ ل ٱل‬
َ َ
‫َ جن‬
‫َقد ۡ˜ فَاَز‬.‫َّة َف‬

“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka


sungguh ia telah beruntung”

Dan firman-Nya dalam Q.S al-Hasyr [59]: 20

‫ب ٱل ۡ˜ ى م ٱل ۡ ئِ˚زو َن‬ ˜ۡ ‫ب ٱل‬ ‫˚ب‬ ˜ۡ ‫ََل يس ۡ˜ َِت وي ۡ َأص‬


˚ ˚ ˚ ˚ َ
‫ۡ˜فَا‬ ‫َ جن‬ ‫َ جن‬ ‫ٱلن‬ ‫ح‬ '
َ
‫ّا ِر َوَأص ۡ˜ َ'ح‬
‫ِّة‬ ‫ِّ ة ۡ“ َأص ۡ˜ َ'ح‬

“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni


jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung”30

Selanjutnya firman Allah dalam Q.S al-Nisâ: 73


5

‫˚ت َم َع‬
˚ ‫َوَب ۡ˜َنۥ•و˚ َمَوَّدة ۡ ي'ََلي‬ ‫َب ۡ˜َن‬ ‫يم َن َك ََّل ۡ˜ َت‬ ۡ ‫َوَلِئن ۡ˜ َأ َ'صَب ˚كم ۡ˜ فَض ۡ˜ل‬
ۡ˜ ‫ك ˚هم‬ ‫ٱ ل َأن‬
‫ۡ˜ ِتِن‬ ˜ۡ ‫ ˚كم‬²ۡ ‫˚كن‬
‫َ ن‬ ‫ وَل َّن‬.‫ِّ و َلَي˚ ق‬

27
Al-Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia, h. 1077
28
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: PT. Mahmud Yunus WA Dzurriyyah,
2010), h. 308
29
Sukardja, Ensiklopedi al-Qur’an, h. 1
30
Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz XXIII, h. 38
5

‫َع ِظيم ˚ۡا‬


‫فََأف˚َوز فَو ًۡ˜ زا‬

“Dan sungguh jika kamu beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah
dia mengatakan seolah-oleh belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu
dengan dia: "Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat
kemenangan yang besar (pula)"

˚ۡ ‫َع ِظيم‬
‫فَو‬ َ‫'َيَلي ۡ˜ َِتِن ˚كن َع فََأف˚و‬ Wahai kiranya saya ada bersama-sama
‫ًۡ˜ زا‬ ‫˚ت ˚هم ˜ ز‬
‫َم‬

mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar (pula). Dalam al-Qur‟an

ditemukan sebanyak dua puluh Sembilan kali akar kata ْ ‫َف‬.‫ وز‬dalam berbagai

bentuknya,

tetapi hanya sekali dalam bentuk tunggal personal pertama ْ ‫˚َاف‬.‫( َوز‬aku beruntung), yakni

hanya pada ayat ini. Kata ini seperti terbaca adalah rekaman dari ucapan orang-orang

munafik yang menyesal karena tidak memperoleh harta rampasan perang akibat tidak

ikut perang bersama kaum mukminin dalam peperangan. Perolehan harta rampasan

mereka sebagai fauz (keberuntungan) dan itu hanya ingin dinikmatinya sendiri,

sebagaimana dikesankan oleh penggunaan bentuk tunggal itu. Di sisi lain, patut

ditambahkan bahwa kalau menurut pandangan si munafik keberuntungan adalah

perolehan materi, maka dalam bahasa al-Qur‟an, kandungan makna kata fauz

(keberuntungan) dalam berbagai bentuknya adalah keberuntungan meraih surga dan

pengampunan ilahi.31

Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi, al fauz adalah mencapai tujuan yang

paling luhur dan cita-cita yang sudah tidak ada cita-cita lagi sesudahnya, baik bersifat

ruhiyah maupun jasmaniyah.


6

31
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Juz V, h. 483
6

Dapat simpulkan bahwa kata al-fauz berarti hasil baik atau keberuntungan yang

akan diperoleh seseorang yang beriman sebagai imbalan dari perbuatan baik (amal

saleh) yang dilakukan selama di dunia. Hasil baik itu adalah kesenanagan surga dan

terhindar dari siksaaan neraka. Jadi disini, keberuntungan yang dimaksud adalah

keberuntungan yang bersifat rohani dan bukan keberuntungan materi seperti yang

diperoleh manusia di dunia ini.

F. Inventarisasi Ayat-ayat Sukses dalam al-Qur’an

1. Term al-Falâẖ

Dalam berbagai bentuknya kata ini disebut 40 kali dalam al-Qur‟an. Berikut

ini adalah bentuk Surat dan ayatnya.

No Bentuk Surah dan Ayat Lafaz Keterangan

1 ‫أَ ْفلَ َح‬ Ṯâhâ [20] : 64 ‫َوَقد ۡ˜ َأف ۡ˜ َََل‬ Dan sesungguhnya
beruntunglah
al-Mukminûn [23]: ‫َقد ۡ˜ َأف ۡ˜ َََل‬ Sesungguhnya
23 beruntunglah

al-A‟la [87]: 14 ‫َقد ۡ˜ َأف ۡ˜ َََل‬ Sesungguhnya


beruntunglah
al-Syams [91]: 9 ‫َقد ۡ˜ َأف ۡ˜ َََل‬ Sesungguhnya
beruntunglah
2 al-Kaẖfi [18]: 20 Kamu tidak akan
‫ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫َوَلن ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬
beruntung
‫ۡ˘ْا‬ ‫ۡ˘ْا‬
3 al-Baqarah [2]: 189 Agar kamu beruntung
‫َلَعَل‬
‫ّ ˚كم ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬
‫َن‬
6

Âli-„Imrân [3]: 130 َ‫َلَعل‬ Supaya kamu mendapat


keberuntungan
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
Âli-„Imrân [3]: 200 ‫َلَعَل‬ Supaya kamu beruntung

‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬


‫َن‬
al- Mâidah [5]: 35 َ‫َلَعل‬ Supaya kamu mendapat
keberuntungan
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
ِ ‫َن‬
‫ح و َن‬
ْ ˚ ‫ ْ˚ فل‬.‫ت‬ al- Mâidah [5]: 90 Agar kamu mendapat
‫َلَعَل‬
keberuntungn
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
al- Mâidah [5]: 100 َ‫َلَعل‬ Agar kamu mendapat
keberuntungsn
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
al- A‟râf [7]: 69 ‫َلَعَل‬ Supaya kamu mendapat
keberuntungan
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
al- Anfâl [8]: 45 َ‫َلَعل‬ Agar kamu beruntung

‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬


‫َن‬
al- Hajj [22]: 77 ‫َلَعَل‬ Supaya kamu mendapat
kemenangan
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
al- Nûr [24] 31 َ‫َلَعل‬ Supaya kamu beruntung

‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬


‫َن‬
al- Jumu‟ah [62]: ‫َلَعَل‬ Supaya kamu beruntung
10
‫ۡ˜ ت˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬ ‫ّ ˚كم‬
‫َن‬
6

4 al- An‟âm [6]: 21,


‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬ Orang-orang yang aniaya
itu tidak mendapat
َ‫'ظ‬
keberuntungan
‫ّلِ ˚مو َن‬

al- An‟âm [6]: 135


‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬ Orang-orang yang zalim
itu tidak akan
َ‫'ظ‬
mendapatkan
‫ّلِ ˚مو َن‬
keberuntungan

Yûnus [10]: 17 Tiadalah beruntung


‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح‬
orang-orang yang berbuat
6

ِ‫ََل ي ف ۡ˜ل‬ ‫ٱل ۡ˜˚مج ۡ˜ ِر˚مو َن‬ dosa


˚
‫˚ح‬
Yûnus [10]: 77 Ahli-ahli sihir itu tidaklah
‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل‬
mendapat kemenangan
'
‫ّس ِح˚ رو َن‬
Yûsuf [12]: 23 ِ‫ََل ي ف ۡ˜لِ ح ٱل 'ظَّل‬ Sesungguhnya orang-
˚ ˚
orang yang zalim tiada
‫˚مو َن‬
akan beruntung

Ṯâhâ [20]: 69 Tidak akan menang


‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح ٱل َّسا‬
tukang sihir itu
‫ِ ح˚ ر‬
al- Mukminûn [23];
‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح‬ Sesungguhnya orang-
117 orang yang kafir itu tiada
‫ٱل ۡ˜ 'َ ِك ف˚ رو َن‬ beruntung
al- Qasas [28]: 37 ِ‫ ََل ي ف ۡ˜لِ ح ٱل 'ظَّل‬Tidaklah akan mendapat
˚ ˚
kemenangan orang-orang
‫˚مو َن‬
yang zalim

al- Qasas [28]: 82 Tidak beruntung orang-


‫ََل ي˚ف ۡ˜لِ ˚ح‬
orang yang mengingkari
‫ٱل ۡ˜ 'َ ِك ف˚ رو َن‬ (nikmat Allah)

‫ ََل ي˚ف ۡ˜ ِِل˚و‬Yûnus [10]: 96 Tidak beruntung


5
‫ََل ي˚ف ۡ˜ ِِل˚و َن‬
‫َن‬ al-Naẖl [16]: 116 Tidaklah beruntung
‫ََل ي˚ف ۡ˜ ِِل˚و َن‬
6 al- Baqarah [2]: 5 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
Âli „Imrân [3]: 104 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ال ُم ْفِل ُح ْو‬ ‫ِِل˚و َن‬
‫َن‬ al-A‟râf [7]: 8 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al-A‟râf [7]: 157 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
‫‪6‬‬

‫ِِل˚و َن‬
6

beruntung
al- Taubah [9]: 88 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al- Mukminûn [23]: ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
102 beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al- Nûr [24]: 51 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al-Rûm: [30]: 38 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
Luqmân [31]: 5 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al- Mujâdalah: [58]: ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
22 beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al- Hasyr [59]: 9 ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
beruntung
‫ِِل˚و َن‬
al- Taghâbun [64]: ˜ۡ ‫˚ى م ٱل ۡ˜ مف‬ Orang-orang yang
˚ ˚
16 beruntung
‫ِِل˚و َن‬
7 ِ‫ٱل ۡ˜ مف ۡ˜ ِِل‬ al-Qasas [28]:67
˚ ‫ٱل ۡ˜˚ مف ۡ˜ ِِلِ َي‬ orang-orang yang
beruntung
‫َي‬

2. Term al-fauz

Kata al-fauz dan derivasinya disebut 29 kali dalam al-Qur‟an.

Berikut ini ayat-ayat al- al-fauz dan devirasinya serta nama surat dan ayatnya:

No Bentuk Surah dan Ayat Lafaz Keterangan

1 ‫َفاَز‬ Âli-„Imrân [3]: 185 ۡ ‫َفقد ۡ˜ فَاَز‬.َ Telah beruntung


6

al-aẖzab [33]: 71 Kemenangan yang besar


‫َفو ًۡ˜ زا َع ِظي ًما‬

al-Nisâ [4]: 73 Kemenangan yang besar


‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ ‫فَو ًۡ˜ زا َع ِظي ًما‬

al-Nisâ [4]: 13 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Mâidah [5]: 119 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang paling
besar
2 ‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬
al-An‟âm [6]: 16 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang nyata

‫ٱل ۡ˜˚ مبِ ˚ي‬


al-Taubah [9]: 72 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Taubah [9]: 89 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Taubah [9]: 100 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Taubah [9]: 111 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


Yûnus [10]: 64 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


Ghâfir [40]: 9 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Kemenangan yang besar
6

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Dukhân [44]: 57 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Jâtsiyah [45]: 30 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang nyata

‫ٱل ۡ˜˚ مبِ ˚ي‬

al-Hadȋd [57]: 12 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Sâf [61]: 12 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Taghâbun [64]: ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar
9
‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬
al-Burûj [85]: 11 ‫ٱل ۡ˜فَو ۡ˜˚ ز‬ Keberuntungan yang besar
al- Saffât[37]: 60 kemenangan yang besar
ِ ˜
˚‫ٱل ۡ َكبي‬
‫ٱل ۡ˜َفو‬

‫ۡ˜˚ ز‬

‫ٱل ۡ˜ َع ِظي ˚م‬


al-Nisâ [4]: 73 Kemenangan yang besar
‫فَو ًۡ˜ زا َع ِظيم ˚ۡا‬
3
‫فَو ًۡ˜ زا‬ al-aẖzâb [33]: 71 Kemenangan yang besar
‫فَو ًۡ˜ زا َع ِظيم ˚ۡا‬
al-Fatẖ [48]: 5 Keberuntungan yang besar
‫فَو ًۡ˜ زا َع ِظيم ˚ۡا‬
4 al-Taubah [9]: 20 Mendapat kemenangan
‫˚ى ˚م ٱل ۡ˜فَا‬
‫ۡ˘ئِ˚زو َن‬
6

‫ ٱل ۡ˜فَا ۡ˘ئِ˚زو‬al-Mukminûn [23]: ‫˚ى ˚م ٱل ۡ˜فَا‬ Orang-orang yang menang


111
‫َن‬ ‫ۡ˘ئِ˚زو َن‬
al-Nûr [24]: 52 ‫˚ى ˚م ٱل ۡ˜فَا‬ Mendapat kemenangan

‫ۡ˘ئِ˚زو َن‬
al-Hasyr [59]: 20 ‫˚ى ˚م ٱل ۡ˜فَا‬ Orang-orang yang beruntung

‫ۡ˘ئِ˚زو َن‬
5 ‫َمَف ًا زا‬ al-Nabâ [78]: 31 ‫َمَف ًا زا‬ Mendapat kemenangan

6 ِ
ِ Âli „Imrân [3]: 188 ِ
ِ Orang-orang yang gembira
,ۡ ‫َبفاَزة‬ ,ۡ ‫َبفاَزة‬
7 ِ al-Zumar [39]: 61 ِ Kemenangan mereka
ِ ِ
ِِ‫بفا ز‬ ِِ‫بفا ز‬
ََ ََ
˜ۡ ‫تِم‬ ˜ۡ ‫تِم‬
BAB IV

KIAT-KIAT SUKSES

A. Kiat-Kiat Sukses

Ketakwaan dan keimanan kepada Allah menjadi fungsional dalam

kehidupan apabila melahirkan kebaikan dan kesalehan. Islam adalah agama yang

mengajarkan semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan secara seimbang.

Manusia diseru tuhan agar seimbang antara kehidupan di dunia maupun

akhiratnya. Kiat-kiat yang harus dilakukan apabila manusia ingin mendapatkan

kebahagiaan dan kesuksesan di dunia maupun di akhirat yaitu diantaranya adalah.

1. Mendirikan Shalat

Dua momen yang agung adalah ketika seorang hamba berdiri pada dua

momen dihadapan Rabb-Nya. Yang pertama di dalam kehidupan dunia ini dan

yang kedua di hari perjumpaan dengan Allah Subẖânahu waTa‟âla. Apabila

seorang hamba dimoment pertama ini baik, maka akan membawanya pada

keberuntungan dan kebahagiaan dimoment yang kedua. Dan buruknya seorang

hamba di moment yang pertama akan membawanya pada kerugian dan

kecelakaan dimoment yang kedua.

Moment yang pertama, yaitu shalat yang Allah Subẖânahu waTa‟âla

tetapkan kepada para hamba-Nya dan diwajibkan kepada mereka Lima kali dalam

sehari semalam. Barangsiapa yang menjaga shalat-shalat tersebut,

memperhatikannya, memeliharanya, menunaikannya pada waktu-waktunya,

menjaga syarat, rukun dan wajib-wajibnya, maka dia akan berada di moment yang

58
5

kedua pada hari kiamat kelak dengan kesuksesan.1

Sebagaimana Allah Subẖânahu waTa‟âla berfirman dalam Q.S al- Hajj

[22]: 77

‫ٓأىيػ‬
‫'ىم‬
‫ّى ها‬
‫ٱل‬
‫ّ ًذي ىن ءىاى منيوٍا ٱر ٓ˜ ىكعيوٍا ىكٱس ٓ˜ يج‬
‫ي دك ا‬
‫ْ ىكٱع ٓ˜ب ي دكٍا‬
‫ى رب‬
‫ّ يكم ٓ˜ ىكٱؼ ٓ˜ ىعليوٍا ٱؿ ٓ˜ ىخي ٓ˜ى ر‬
‫لىى عل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu,


sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan”

Sayyid Quṯb menafsirkan, ayat ini perintah kepada orang-orang yang

beriman agar melakukan rukuk dan sujud yang merupakan dua rukun shalat yang

paling menonjol. Shalat dikiaskan dengan rukuk dan sujud untuk memberinya

bentuk yang menonjol, gerakan yang nyata dalam ungkapan, yang dilukiskannya

sebagai pemandangan yang jelas dan sikap badan yang terlihat. Karena ungkapan

sedemikian rupa itu lebih dalam pengaruhnnya dan lebih kuat kesannya terhadap

perasaan.

Setelah itu perintah yang kedua adalah perintah untuk beribadah secara

umum yang lebih mencakup dari sekedar shalat. Karena ibadah kepada Allah

mencakup semua kewajiban, ditambah setiap perbuatan, gerak dan pikiran yang

ditujukan oleh seseorang kepada Allah. Jadi, setiap aktivitas seseorang dalam

kehidupan bisa berubah menjadi ibadah manakala hati mengarahkannya kepada

Allah. Bahkan kenikmatan yang diperoleh dari perkara-perkara yang baik dalam
6

kehidupan ini telah menjadi ibadah-ibadah yang dicatatat pahalanya. Hanya

dengan mengingat Allah yang memberinya nikmat dan meniatkannya untuk

menguatkan tubuh guna melakukan ketaatan dan beribadah kepada-Nya, maka

1
Abdurrazaq, Rahasia Keagungan shalat (Jakarata: Darus Sunnah Press, 2013), h.12
6

perbuatan-perbuatan itu pun menjadi ibadah dan kebaikan.2

Konteks ayat ini menutupnya dengan perbuatan baik secara umum, dalam

interaksi dengan manusia sesudah interaksi dengan Allah dalam bentuk shalat dan

ibadah.

Allah memerintahkan kepada umat Islam dengan harapan agar mereka

beruntung, karena ini adalah jalan menuju keberuntungan. Ibadah

menghubungkan manusia dengan Allah, sehingga kehidupan mereka berada di

atas pondasi yang kuat dan jalan yang mengantarkan sampai ke tujuan. Dan

perbuatan baik mengakibatkan konsistensi kehidupan sosial di atas fondasi iman.3

Pesan moral yang terkandung dari ayat dan penafsiran di atas adalah

dengan shalat manusia akan dekat dengan Tuhan-Nya yaitu Allah Subẖânahu wa-

Ta‟âla. Dikiaskan dengan rukuk dan sujud agar manusia merasakan ketenangan

dan ketentraman di dalam hatinya. Kalaulah manusia tidak melaksanakan shalat

maka hatinya akan gelisah dan tidak tahu arah tujuan hidupnya. Disini Manusia

dituntun untuk selalu mengingat Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla, baik perbuatan,

perkataan, maupun pikiran dalam mengarungi kehidupan ini agar mendapatkan

keberuntungan atau kesuksesan. Shalat juga mampu menghindarkan kita dari

berbagai macam perbuatan yang keji dan munkar. Allah pun menuntun kita agar

berbuat baik kepada orang lain, agar terjalinnya kehidupan yang harmonis kepada

sesama manusia. Karena pada dasarnya Shalat itu mampu menghindarkan

manusia dari berbagai macam perbuatan yang keji dan kemunkaran.

Shalat yang tak mampu menghindarkan pelakunya dari perbuatan tercela

dan sia-sia, berarti kualitas salatnya termasuk rendah. Shalat yang membuat

2
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Masyruk, 1972), Juz XVII, h.
2445
3
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân, h. 2445
6

pelakunya terjauh dari perbuatan keji dan munkar hanyalah shalat yansg khusyuk

dan penuh keikhlasan. Sebab shalat yang khusyuk akan mendekatkan kita dengan

Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla. Sehingga mempertajam kebersihan jiwa.

Sebagaimana Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla berfirman dalam Q.S. Al-Mukminûn

[23]: 1-2

‫' ىخ ً ش‬ ً‫صىَل‬ ‫قىد ٓ˜ أىؼ ٓ˜ ىَلى ٱؿ ٓ˜ي مؤ ٓ˜ً منيو ىف يىم ٓ˜ ًِف‬
‫ى‬
‫يعو ىف‬ ˜ٓ ‫تًم‬ ‫ٱل‬.
‫ّ ًذي ىن‬

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang yang


khusyuk dalam shalatnya”

Merasakan (kedekatan) Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla dalam shalat itulah

yang dimaksud dengan shalat yang khusyuk atau dengan kata lain hakikat

kekhusyuan shalat adalah datangnya rasa kedekatan kepada Allah Subẖânahu wa-

Ta‟âla dalam shalat atau berfungsinya rasa nurani4 dalam shalat.5

Ketahuilah bahwa Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla mengetahui apa-apa yang

engakau sembunyikan dan melihat hatimu. Dia menerima shalatmu hanya dengan

kekhusyuan, kerendah hatian dan kerendahdirianmu. Sembahlah Dia dalam

shalatmu seolah engkau melihat-Nya meski sesungguhnya engkau tidak

melihatnya, namun Dia melihatmu.6

Shalat khusyuk dapat melapangkan dada, menyinari hati, mendatangkan

ketenangan, ketentraman, kesejukan, dan keselamatan dan kebahagiaan bagi yang

menjalani. Shalat juga mampu menghidupkan rasa cinta kepada Allah Subẖânahu

wa-Ta‟âla. Menumbuhkan kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan-Nya,

menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan-Nya.

4
Nurani adalah rasa yang ada dalam diri manusia. Rasa inilah yang dapat membimbing
manusia berjalan di atas bumi sesuai dengan aturan-aturan Allah Subhanahu wa-Ta‟ala.
5
Andang B. Malla, Merasakan Allah dalam Shalat (Jakarta: Sejahtera Kita, 2009), h. 89
6
Al-Ghazali, Menjelang Hidayah, Mukaddimah Ihya Ulumiddin, Penerjemah M. As‟ad
El Hafidy (Bandung: Mizan, 1989), h. 69
6

Itulah puncak kesuksesan yang ditetapkan Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla

bagi manusia, dengan shalat maka manusia akan sukses karena terhubung kepada

Tuhan-Nya.

2. Bersifat Sabar

Hidup sukses yang kedua dalam al-Qur‟ân adalah bersifat sabar, a‟malul-

qalbiyah sikap jiwa yang akan mengantarkan seseorang kapada keberuntungan,

sukses dan kebahagiaan.

Sabar, menurut bahasa ialah teguh hati tanpa mengeluh ditimpa bencana.

Apabila dikaitkan dengan pandangan Islam maka sabar diartikan tabah menerima

ujian-ujian Tuhan dalam bakti dan perjuangan dengan tujuan memperoleh ridho-

Nya.7 Subẖânahu waTa‟âla

Sikap sabar ini sebenarnya merupakan perlengkapan primer dalam rohani

manusia, karena dengan hanya sifat sabar, seseorang dapat sukses dan berhasil

dalam cita-citanya. Sebaliknya orang yang tidak memiliki sifat ini, usahanya akan

gagal ditengah jalan dan cita-citanya akan menjelma dan khayalan dan impian

belaka. Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla berfirman dalam Q.S Âli Imrân [3]: 200

‫ٓأىيػ‬ ‫'ىم‬
‫ّى ها‬
‫ٱل‬
‫ّ ًذي ىن ءىاى منيوٍا ٱص ٓ˜ًبيركٍا ىك ىصاًبيركٍا ىكىراًبطيوٍا ىكٱت َّػي قوٍا‬
‫ٱل‬
‫ّوى‬
‫لىى عل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu beruntung”

‫ّى ها ٓأىي ُػ‬


6

َ‫ٱل‬
‫'ىم ّ ًذي ىن ءىاى منيوٍا‬

Seruan kepada mereka untuk bersabar, meningkatkan kesabaran, bersiap


7
Hamzah Ya‟Qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tangerang: Radar
Jaya Offset, 1992), h. 204
6

siaga dan bertaqwa.

Sayyid Quṯb mengatakan, Kesabaran adalah bekal perjalanan di dalam

dakwah. Ia adalah jalan panjang dan sulit, penuh dengan berbagai hambatan dan

duri, digenangi darah dan air mata, gangguan dan cobaan.

Kesabaran atas banyak hal, kesabaran menghadapi berbagai syahwat

manusia, kekurangan mereka, kelemahan mereka, kebodohan mereka, keburukan

persepsi mereka, penyimpangan tabi‟at mereka, egoisme mereka, keterpedayaan

mereka, kelicikan mereka, dan ketergesaan mereka untuk memetik buah.

Kesabaran menghadapi merajalelanya kebatilan, kekejian, tindakan melampaui

batas, tersebarluasnya kejahatan, dan pelecehan orang-orang yang terpedaya dan

sombong. Kesabaran menghadapi sedikitnya pembela, lemahnya dukungan,

panjangnya jalannya, dan godaan setan di saat-saat kesedihan, dan kesulitan.

Kesabaharan menghadapi pahitnya jihad untuk menghadapi semua ini, berbagai

reaksi yang beragam yang muncul di dalam jiwa seperti rasa sakit, kejenuhan, rasa

putus asa, dan keinginan untuk menyerah. Setelah itu semua, kesabaran dalam

mengendalikan nafsu pada saat mampu, menang dan mendapat kesenangan

dengan penuh tawadhu dan syukur, tanpa sombong dan dendam. Bahkan hanya

melakukan qishash secara benar tanpa melampaui batas permusuhan. Kemudian

dalam keadaan susah dan senang tetap komit dengan Allah Subẖânahu wa-

Ta‟âla, menyerah kepada taqdir-Nya dan mengembalikan semua urusan kepada-

Nya dengan penuh rasa tenang, percaya dan khusyuk.8

Kesabaran menghadapi semua ini juga hal yang semisal diantara hal yang

akan dihadapi oleh penempuh jalan yang panjang ini. Tidak dapat digambarkan

65 Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz IV, h.


6

oleh hakikat kalimat. Karena kalimat tidak mampu merekam hakikat sebagai

penderitaan ini. Hanya orang yang mengalami berbagai kesulitan jalan dan

merasakan kepahitannya saja yang bisa mengetahui hakikat ini.

Orang-orang yang beriman telah merasakan banyak sisi dari hakikat ini.

Sehingga mereka lebih tahu tentang cita rasa seruan ini. Mereka mengetahui

kesabaran yang dituntut dari mereka itu.

Meningkatkan kesabaran menghadapi semua perasaan ini dan para musuh

yang berusaha keras melemahkan kesabaran orang-orang beriman. Meningkatkan

kesabaran menghadapi semua itu agar kesabaran orang-orang beriman tidak habis

dalam melakukan mujahadah yang panjang. Tetapi lebih kuat dan sabar

ketimbang musuh-musuh mereka. Baik musuh-musuh mereka dari dalam dada

mereka sendiri maupun musuh-musuh mereka dari manusia-manusia jahat.

Seolah-olah sebuah pacuan dan perlombaan antara mereka dan musuh-musuh

mereka, dimana mereka diseru untuk menghadapi kesabaran dengan kesabaran

yang sama, dorongan dengan dorongan yang sama, kerja keras dengan kerja keras

yang sama, ketegaran dengan ketegaran yang sama. Kemudian kemenangan akhir

ada di tangan mereka asalkan mereka lebih tegar dan lebih sabar ketimbang

musuh- musuh mereka.9

Berdasarkan penafsiran diatas dapat difahami bahwa, Inilah ajaran al-

Qur‟an berkaitan dengan dorongan agar umat Islam untuk selalu bersifat sabar,

sabar dalam berbagai hal, sabar dalam taat, sabar dalam menjauhi maksiat dan

sabar dalam menghadapi musibah. Orang yang perkasa bukanlah seorang yang

mempunyai fisik dan otot kuat, mampu menaklukan dan mengalahkan (secara

9
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz IV, h.
6

fisik) lawan-lawannya. Tetapi orang yang perkasa adalah dia yang dapat bertindak

penuh pertimbangan dan sabar, serta mampu mengendalikan nafsunya ketika

marah. Seorang Muslim yang benar tidaklah marah kecuali mudah pula reda.

Kemarahannya timbul bukan semata-mata harga dirinya tersinggung, tetapi yang

lebih utama karena Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla. Kesabaran ini akan

mengantarkan manusia kepada kesuksesan.

Keampuhan sabar dalam menunjang kesuksesan orang sudah dibuktikan

oleh psikologi modern. Dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel

Goldman disebutkan bahwa yang menentukan sukses tidaknya seseorang

bukanlah kecerdasan intelektual, tetapi kecerdasan emosional. Kecerdasan

emosional diukur dari kemampuan manusia mengendalikan emosi dan menahan

diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri itu disebut

sabar, sehingga orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi

kecerdasan emosionalnya.10

Pada pokoknya piala kemenangan dan kunci suksesnya dalam arena

perjuangan hidup adalah kesabaran. Jika telah jelas rahasia sukses dan

kemenangan terletak pada sabar, maka seyogyanya setiap Muslim berusaha

menggondol piala kemenangan dan keberuntungan hidup dunia dan akhirat

dengan kesabaran. Karena sesungguhnya orang-orang yang sabar akan

mendapatkan kesuksesan yang besar, Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla telah

menjaminnya bagi pelaku yang melakukannya di dalam al-Qur‟an.

Senada dalam al-Qur‟an Q.S Fussilat [41]: 35 dikatakan

10
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dengan Kontekstual
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 40
6

,ٓ ‫صب ػ ركٍا ك ما ٓ ًََّّإل ح ىع ًظيم‬ ‫ٓ ًََّّإل‬ ‫ىكىما يػيلىَّق' ىػ‬


‫ى‬ ‫ى ىي ى ى‬
‫ٍّظ‬ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ ‫يػيلىَّق' ىػ ىها‬ ‫ٱل‬ ‫ىه ا‬
‫ّ ًذي ىن‬

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-


orang yang sabar dan tidak dianugerahkanh melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar”

Sesungguhnya pada pribadi Rasul-rasul dan Nabi-nabi Allah Subẖânahu

wa-Ta‟âla itu didapati bukti dan contoh kesabaran yang hebat. Beliau-beliau

itulah yang paling banyak diuji oleh Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla, dengan ujian

yang amat berat lebih daripada ujian terhadap manusia lainnya. Misalnya

kesabaran Nabi Nuh menghadapi gangguan kaumnya, kesabaran Nabi Ayub ketika

ditimpa penyakit, kesabaran Nabi Ya‟Qub ketika kehil angan putranya, kesabaran

Nabi Isa ketika diganggu oleh kaum yahudi dan kesabaran Nabi Muhammad saw

ketika di aniaya, disiksa dan diboikot oleh kaum Quraisy.

Semua itu mencerminkan ketinggian akhlak dan kemuliaan hati beliau-

beliau dimana Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla menganjurkan agar dicontoh dan disuri

teladani. Sebagaimana Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla berfirman dalam Q.S al-

Aẖqâf

[46]: 35

‫فىٱص ٓ˜ًبر ٓ˜ ىك ىصبىػىر أيٍكليوٍا ٱؿ ٓ˜ ىعز ًٓ˜ـ ًم ىن ٱ ُلّر‬


...‫يس ًل‬ ‫ىما‬

“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan


hati dari rasul-rasul telah bersabar…”

3. Keteguhan Hati

Ini adalah ciri dari poin yang ketiga hidup sukses yaitu keteguhan hati.

Kekuatan manusia bukan hanya dalam pikirannya saja, bukan hanya dalam

ucapannya, bukan hanya kekuatan fisiknya, tetapi yang lebih utama adalah

kekuatan keteguhan hatinya. Keteguhan hati adalah hal yang mutlak diperlukan
6

oleh manusia dalam hidup ini, baik dalam kehidupan spritualis maupun dalam
7

keseluruhan aspek kehidupan manusia. Keteguhan hati adalah ketetapan atau

keyakinan hati yang ada dalam diri seseorang atau individu agar setiap individu

memiliki tujuan yang pasti.

Keteguhan artinya tidak goyah, kuat berpegang pada sesuatu atau tidak

berubah pendirian akibat pengaruh sesuatu. Keteguhan hati seseorang, senantiasa

dipicu oleh adanya kepercayaan atau keyakinan dalam diri, bahwa sikap yang

diambil adalah merupakan kebenaran bagi dirinya.11 Sebagaimana Allah

Subẖânahu waT‟âla berfirman dalam Q.S al- Anfâl [8]: 45.

‫ٍٓا ًإ ىذا لىًقيتيم ٓ˜ فًئىة ˚ٓ فىٱث ٓ˜بػيتيوٍا ىكٱذ ٓ˜ يكي ركٍا‬ ‫ٓأىيػ‬ ‫' ىم‬
‫ّى ها‬
‫ٱل‬
‫ٱل‬
‫ّوى ىكًثري ˚ٓا‬
‫ّ ًذي ىن ءىاى منيو‬
‫ل‬
‫ّعىل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Hai orang-orang yang beriman. Apabila kamu memerangi pasukan


(musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-
banyaknya agar kamu beruntung”

Sayyid Quṯb berkata inilah faktor-faktor kemenangan yang hakiki tsabat

(teguh) saat berhadapan dengan musuh, berhubungan dengan Allah Subẖânahu

waT‟âla melalui zikir, taat kepada Allah Subẖânahu waT‟âla dan Rasul-Nya,

menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban berat perang,

serta menghindari dari sifat angkuh, riya, dan sewenang - wenang.

Tsabat (teguh) adalah awal perjalanan menuju kemenangan. Kelompok

yang menang adalah yang paling teguh. Tahukah orang-orang mukmin bahwa

musuh mereka menghadapi kesulitan yang lebih berat daripada apa yang mereka

hadapi, dan bahwa musuh mereka merasakan sakit seperti mereka, tetapi musuh

mereka tidak mengharapkan sesuatu dari Allah Subẖânahu waT‟âla seperti yang

mereka harapkan? Jadi, musuh Islam tidak punya motivasi harapan dari Allah
7

11
Awiya Rahma, dkk. Pengaruh Keteguhan Hati dalam Kehidupan Sosial, Budaya, dan
Agama, Tinjauan Psikologi Islam dan Psikologi Indegenous, h. 513
7

Subẖânahu waT‟âla yang bisa meneguhkan kaki dan hati mereka! Seandainya

mereka teguh barang sebentar, maka musuh mereka pasti akan patah semangat

dan kalah. Apa yang bisa menggoncang kaki orang-orang mukmin saat mereka

yakin akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: syahid atau kemenangan?

Sementara itu, musuh mereka hanya menginginkan kehidupan di dunia. Mereka

sangat mengharapkan kehidupan dunia, tanpa memiliki harapan dan kehidupan

sesudahnya. Kehidupan mereka hanyalah di dunia.12

Diantara kisah yang disampaikan al-Qur‟an adalah ucapan para penyihir

Fir‟aun ketika hati mereka menyerah kepada iman secara tiba-tiba. Lalu Fir‟aun

mengarahkan ancaman yang menakutkan, kejam, dan melampaui batas. Lalu para

penyihir itu berkata Q.S al-„Arâf [7]: 126

‫ىكتىػى وف‬
‫ىصب ٓ˜ر‬ ‫ىعلىي‬ ˜ٓ ‫ٓ أىف ٓ˜ ىرب َػنىا لى ى ٓء ت ٓ˜نىا ىربػ ٓ أىؼ‬ ٓ ‫ىكىما تىنً ق يم‬
‫ّػنىا‬ ‫ى‬
‫˚ ٓا‬ ‫ٓ˜نىا‬ ٓ˜ ‫ًرغ‬ ‫ٓ“ ّنىا‬ ‫َّما ج‬ ‫ءى اى من‬ ‫َّإًَّل‬ ‫ً من‬
‫ا‬ ĩ ً ‫ّا ´ىًباي'ى‬ ‫ّا يمس ٓ˜لً م‬
‫ىي‬

“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah


beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami".
(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan
wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)"

Begitu pula kisah tentang mukmin minoritas dari kalangan Bani Isaril saat

mereka menghadapi jalut dan pasukannya:

‫يصر ٓ˜نىا‬
‫أىؽ ٓ˜ ىكٱ‬ ĩ ‫ىعلىي ىصب ٓ˜ر ىكثػىَب‬ ٓ˜ ‫ىكلى َّما ًِلىاليو ىك قىاليوٍا ىربػ ٓ أىؼ‬
‫ىعلىى‬ ˜ٓ ‫ًرغ‬ ً‫بػ ر زكٍا ت جن وًۦده‬
‫ىداى منىا ن‬ ˜ٓ ‫˚ٓا‬ ‫ٓ˜نىا‬ ‫ّنىا‬ ‫ى ي ي‬ ‫ىي‬

‫ٱؿ ٓ˜قىو ًٓ˜ـ ٱؿ ٓ˜ 'ىكً ًف ري ىن‬

72 Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz X, h.


7

“Tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak oleh mereka, merekapun


(Thalut dan tentaranya) berdoa: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri
kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang
kafir"

73 Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz X, h.


7

Begitu pula kisah tentang kelompok-kelompok mukmin sepanjang sejarah

saat menghadapi perang Q.S Âli Imrân [3]: 146-147

‫ىض يعي فوٍا ىكىما ٱس ٓ˜تى‬


‫ىسًبي ًل ىكىم‬ ‫ىكىىنيوٍا ٓ أى ىصابػىي هم‬ ‫َمن 'قىتى ىم ًرب َػي ىكًثري ٓ فى‬ ‫ىكىكأىيَن‬
ٓ ‫ىكانيوٍا‬
‫ٱل ا‬ ‫ٓ˜ ًِف‬ ‫لًى ما‬ ‫ن ل ع ۥو ّو ىف‬
‫ى ى‬
,ٓ ‫ًّ ٌب‬
‫ًّ و‬

‫ٓ أى ـ‬ ‫ىربػ‬
‫ٓ˜ ًرنىا‬
ً ‫كًإس‬
‫ى‬ ‫لىنى ا‬ ‫قىو إ ٓ أى ف‬ ‫' ىكىم ىكا‬ ُّ ‫ىكٱ ل يًُي‬
‫ٓ˜ راف ػن ا ف‬ ‫ذي نيوبػىنىا‬ ˜ٓ ‫قىاليوٍا ّنىا ٱغ ٓ˜فًر‬ ‫ٓ˜ى َّّل‬ ‫ّصً ا ى ف‬ ‫ب‬
‫ى ىى‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ّوي‬
˜ٓ ‫ليم‬ . ‫بي ىن‬

‫ ٓ˜ أىؽ ٓ˜ دا من ا صر ىعلى ى ٱؿ ٓ˜قىو ًٓ˜ـ ٱؿ ٓ˜ 'ىكً ًف ري ىن‬ĩ ‫كثػى ب‬


‫ى ى ى ي‬ َ ‫ى‬
‫ىكٱن ٓ˜نىا‬

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah


besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena
bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula)
menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Tidak ada do‟a mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa
kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan
tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir"

Ajaran ini telah mengakar di dalam jiwa kelompok Muslim, sehingga

inilah yang menjadi watak mereka saat menghadapi musuh.13

Dari penafsiran diatas dapat dipahami bahwa, keteguhan hati sangat

penting karena menjadi syarat dalam menggapai keberhasilan seseorang dalam

kehidupan. Keteguhan hati dapat memberi semangat serta keyakinan bagi setiap

individu agar menjadi individu yang teguh dalam pendirian. Orang yang

mempunyai keteguhan hati tidak akan tergoda kepada hal-hal buruk sedikitpun,

tidak akan tergoyahkan terhadap orang yang mengajak kesesatan, tidak akan

melakukan perbuatan yang akan merugikan, karena seseorang yang memiliki

13
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz X, h.
7

keteguhan hati akan memiliki keteguhan iman, karena hati adalah tempat

bersemayamnya iman. Orang-orang mukmin yakin akan memperoleh

keberhasilan dari Allah Subẖânahu waT‟âla. Bahkan keteguhan hati dapat

mengantarkan sesorang meraih kebijaksanaan dan kemuliaan dalam kehidupan.

13
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Ẕilâl al-Qur‟ân, Juz X, h.
7

Keteguhan hati dapat mengantarkan orang-orang mukmin meraih kesuksesan dan

kemuliaan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Keteguhan hati menjadi cermin kepribadian seseorang, karena

menunjukkan keyakinan kebenaran yang ditempuhnya, keteguhan hati merupakan

pendorong motivasi, sehingga memudahkan mencapai tujuannya. Keteguhan hati

dapat melahirkan keteguhan iman dan ketakwaan. Mampu mendengarkan bisikan

hati dalam kebenaran dan kebaikan, tidak mudah tergoda dengan tawaran dan

jebakan hawa nafsu dan ego pribadi, tidak mudah dibelokkan oleh tujuan yang

tidak sesuai dengan keyakinan hatinya. Ketika terlanjur melakukan kesalahan,

agar segera kembali pada kebenaran ketika diingatkan oleh suara hati nuraninya

terdalam. Inilah pentingnya mempertahankan keteguhan hati.14

Sayangnya, banyak diantara manusia yang kurang menyadari atau

mengabaikan pentingnya kekuatan keteguhan hati. Akibatnya, mudah terjebak

dalam model-model kehidupan yang melupakan hati nurani. Mudah mengabaikan

nilai-nilai spiritualitas kebenaran, demi meraih tujuan kesuksesan. Yang terjadi

kemudian adalah berkembangnya penyakit masyarakat seperti, tindak

penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kejahatan, penipuan, illegal

loging, dan lain-lain. Inilah sesungguhnya pribadi-pribadi yang membiarkan

keteguhan hatinya terkikis oleh pengaruh eksternal maupun internal dalam

kehidupan.

4. Memberikan Sebahagiaan Rezeki

Ketiga, orang-orang yang sukses dalam al-Qur‟ân adalah orang yang

14
Awiya Rahma, dkk. Pengaruh Keteguhan Hati dalam Kehidupan Sosial, Budaya, dan
Agama, Tinjauan Psikologi Islam dan Psikologi Indegenous, h. 514
7

menafkahkan sebahagiaan rezeki15 yang dimiliki oleh manusia. Karena pada

dasarnya kepunyaan yang dimiliki oleh manusia adalah kepunyaan Allah

Subhanahu wa-Ta‟ala yang harus diberikan kepada oranglain karena ada hak di

dalamnya. Orang yang dikatakan sukses yaitu orang yang bisa membantu orang

lain baik waktu lapang maupun sempit.

Rezeki (rizqi) dalam bahasa arabnya berasal dari kata razaqa-yarzuqu-

razqan. Kata razaqa, dibaca fatḥaḥ adalah bentuk maṣdar, sedangkan jika dibaca

kasrah, adalah bentuk kata isim, bentuk jamaknya adalah arzaq. Arti rizqi arzaq.

Arti rizqi adalah „pemberian‟.

Sesunguhnya asal muasal rezeki itu datangnya dari Allah swt. Semua yang

kita lihat dewasa ini berupa kemewahan peradaban dan kemajuan ilmu manusia.

Hanyalah suatu peran kedua, dia tidak diciptakan dari nol dan tidak diadakan dari

tiada. Akan tetapi, dia hanya memasukan kemudahan dan kemewahan dalam

hidup manusia.16Adapun rezeki menurut ahli Sunnah adalah sesuatu yang bisa

dimanfaatkan, baik secara halal maupun haram.17

Manusia diseru untuk memberikan sebahagiaan rezekinya kepada

oranglain agar Allah riḍo atas perbuatannya dan apa yang diberikannya terus

mengalir, dan ini bentuk dari mukmin yang sejati membantu orang lain baik

waktu lapang maupun sempit itulah orang-orang yang sukses di dalam al-Qur‟an.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa-Ta‟ala dalam Q.S Ar-rum [30] ayat 38

15
Rezeki dari aspek materi adalah apa yang dikonsumsi oleh makhluk hidup yang
berdampak pada keberlangsungan jiwa dan pertumbuhan badannya, yaitu yang berkaitan dengan
makanan dan minuman. Akan tetapi pada umumya, rezeki itu berarti apa saja yang diberikan
kepada makhluk, sedangkan pengertian khususnya adalah makanan dan minuman.
16
Sulaiman Shadiq al-Birrah, Jangan Khawatir dengan Rezekimu, (Jakarta: Khatulistiwa
Press, 2014), h. 5-7
17
M. Mutawalli asy Sya‟rawi, Rezeki, Penerjemah: Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), h. 11-12
7

yaitu.

‫َلل ييًري‬
ٓ ‫ىذا ٱؿ ٓ˜قير ىحَّق ىكٱؿ ٓ˜ً مس ٓ˜كً ىكٱب ٓ˜ ٱل َّسبًي ًل 'ىذلً ىخي ٓ˜ر‬ ‫ىفىا ًت‬
‫ّ ًذي يدك ىف‬ ‫ٓ“ ىك‬ ‫ىف‬ ‫ىي‬ ‫ٓ˜ى ' َب وۥي‬
‫ىن‬

‫كج ٓ˜ ق ٓ ٓئً يى يم ٱؿ ٓ˜ي مف ٓ˜ ًِليو ىف‬


‫ى‬ ‫ى‬
'
‫ٱ ل ىكأٍيك ىؿ ىك‬
‫ًّ و‬

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian


(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah
orang-orang beruntung”

Dalam ayat ini Sayyid Quthb mengatakan Harta yang dimiliki oleh ini

milik Allah. Dia memberikannya sebagai rezeki bagi sebagian hamba-Nya. Jadi,

Allah sebagai pemilik pertama atas harta telah menetapkan satu bagian darinya

untuk beberapa golongan hamba-hamba-Nya, agar diserahkan kepada mereka oleh

orang yang diberi-Nya harta tersebut. Dari sini Allah menyebut bagian ini dengan

kata hak. Dan disini Allah menyebutkan sebagian dari golongan tersebuht.

“Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan

orang-orang dalam perjalanan”.

Disini al-Qur‟an megarahkan para pemilik harta yang dipilih Allah

menjadi pemegang amanat itu kepada cara terbaik dalam mengembangkan harta

dan meraih keuntungan. Yaitu dengan memberikan hak kepada kerabat dekat,

orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, dan infak secara umum di

jalan Allah. “Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan

Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.18

Banyak kaum fuqara dan masakin yang memerlukan uluran tangan kasih

sayang. Mereka yang ingin makan seperlunya tetapi makanan tidak mencukupi.
7

Mereka yang ingin berpakaian secara wajar, tetapi tidak memakainya karena tidak
18
Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz XVIII, h. 675
8

mampu membeli. Masih banyak kaum penganggur yang terlunta-lunta yang tiada

mendapatkan kesempatan kerja, sebagai akibat daripada keslitan ekonomi.

Betapa banyak janda-janda yang karena kepergian suami tersayang dan

anak-anak yatim piatu yang merintih kesedihan di malam sunyi karena ditinggal

pergi oleh orang tua. Mereka membuntuhkan pengayoman, uluran tangan dan

kasih sayang. Semua itu merupakan medan dan bidang kebaikan yang merindukan

kedatanagn para pecinta kebajikan dan mengharapkan uluran tangan kaum

dermawan.

Allah telah menciptakan keadaan itu berbeda-beda diantara hamba-hamba-

Nya, hikmahnya supaya dapat saling membantu dan setengahnya menolong yang

lainnya. Dengan demikian uluran tangan kedermawanan itu menciptakan suasana

kasih saying dan kesejukan jiwa serta membentuk maasyarakat yang aman dan

tentram

Harta yang ada di tangan mereka adalah dari rezeki yang dikaruniakan

Allah kepada mereka, bukan dari usaha mereka sendiri. Dari pengakuan terhadap

nikmat rezeki ini akan muncul sikap berbuat baik kepada makhluk yang lemah,

solidaritas antar sesama hamba Allah yang memerlukan, rasa ikatan kemanusiaan,

dan rasa persaudaraan sesama manusia. Nilai ini semua Nampak jelas dalam

pembersihan jiwa dari kekikiran dan pensuciannya dengan melakukan kebijakan.

Jaminan keberuntungan orang yang terlepas dari penyakit bakhil,

dikemukakan Allah dalam al-Qur‟an Q.S al-Hasyr: 5

‫ك من ي و يش َّح نىف ٓ˜ ًسً وۦ ًٓئ يى يم ٱؿ ٓ˜ي مف ٓ˜ ًِليو ىف‬


‫ىى ي‬
٩ ‫ك‬ ‫فىأيك' ىؿ ى‬ ‫ىؽ‬
ٍ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang
orang yang beruntung”
8

5. Bekerja

Sukses yang keempat dalam al-Qur‟an adalah bekerja. Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa bekerja berasal dari kata

“kerja” yaitu sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian.19

Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu, atau sesuatu yang dilakukan untuk

mencari nafkah. Bekerja berarti melakukan sesuatu pekerjaan.20

Bekerja bagi seorang Muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh,

dengan mengerahkan seluruh aset, fikir, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan

atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah Subẖânahu waTa‟âla yang

harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari

masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau kata lain bekerja berarti

memanusiakan manusia.21

Dalam rangka mengemban tugasnya sebagai Khalifah Allah Subẖânahu

waTa‟âla di bumi, manusia dibekali kekuatan fisik dan fasilitas untuk

memelihara kekuatan tersebut, yaitu makanan dan minuman, memelihara

kehidupan adalah wajib, sehingga mencari rezeki pun wajib. Rezeki tidak datang

sendiri, tetapi harus dicari, baik secara langsung seperti bertani, maupun melalui

usaha-usaha produktif seperti menggunakan berbagai keterampilan yang dapat

mendatangkan rezeki, seperti berdagang.

Manusia tidak tinggal, menetap dan menyebar di muka bumi dengan pasif.

Allah Subẖânahu waTa‟âla pun tidak menciptakan manusia lengkap dengan daya

19
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 980
20
Muchlis M. Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan (Jakarta: Lajnah Pentashihan al-
Qur‟an badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2010), h. 28
21
Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan, h. 29
8

sadar dan kemampuannya yang besar untuk sekadar menjadi pengemis dimuka

bumi ataupun bertindak layaknya tumbuhan ataupun binatang yang hanya

mengandalkan daya instingnya belaka. Ataupun, menciptakan manusia untuk

menemukan segala sesuatunya dengan mudah dan kebetulan. Allah Subẖânahu

waTa‟âla tidak menciptakan bumi dengan harta karunnya yang berserakan. Allah

Subẖânahu waTa‟âla mengkaitkan penciptaan dan eksistensi manusia dengan

rezeki dan nafkah yang harus dicarinya dengan cara bekerja.22

Al-Qur‟an yang menegaskan dan memerintahkan manusia untuk bekerja

mencari rezeki dan berpencaran di seluruh muka bumi ini. Sebagaimana firman

Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla dalam Q.S al-Jumû‟ah [62]: 10

‫ل‬
‫ىكٱذ ٓ˜ يكي ركاٍ ىكًثريا‬ ‫ىكٱب ًمن فىض ٱ ل‬ ˜ٓ ‫فىٱنتى ً ٱؿ ٓ˜أىر‬ ‫ٱل‬ ‫فىًإ ىذا قي‬
‫ى عل‬ّ
‫ٱل‬ ‫ًٓ˜ ؿ ًّ و‬ ‫ٓ˜تىػغيوٍا‬ ‫ًض‬ ‫ًش ركاٍ ف‬ ‫َّصلى' وةي‬
‫ي‬
ٓ˜ ‫ّ يكم‬
‫ّوى‬ ĩ ً ‫ًضيى‬

‫تيف ٓ˜ ًِليو‬

‫ىف‬

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;


dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”

Sayyid Quṯb menafsirkan ayat ini adalah keseimbangan yang menjadi ciri

manhaj Islami. Keseimbangan antara tuntutan hidup di bumi berupa pekerjaan,

perjuangan, aktivitas, dan usaha. Dzikrullah harus dilakukan di tengah-tengah

mencari penghidupan. Selalu merasakan kehadiran Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla

di tengah mencari penghidupan itulah yang mengubah kegiatan kerja menjadi

ibadah. Tetapi, meski demikian, harus ada masa untuk Dzikir murni, konsentrasi

penuh dan totalitas yang sempurna.23

Berdasarkan penafsiran diatas dapat difahami bahwa, Inilah ajaran al-


8

22
Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an, h. 41
23
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz VI, h. 3570
8

Qur‟ân berkaitan dengan dorongan agar umat Islam bekerja dan berusaha mengais

rezeki dengan cara yang halal. Umat Islam pun dilarang meminta-minta, karena

hal tersebut merupakan perbuatan tercela. Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla menyeru

kepada manusia mencari rezeki dengan yang baik, dengan selalu mengingat-Nya

dalam mencari pemenuhan kebutuhan. Allah melarang hambanya mencari rezeki

dengan usaha yang salah, usaha yang dapat menindas dan dapat merugikan orang

lain. Dalam persoalan inilah syariat Islam telah meletakkan dasar-dasar yang

kokoh untuk kepentingan manusia. Dimudahkannya setipa jenis usaha (manusia)

yang menjamin terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Mendorong

manusia agar selalu berusaha dan berpedoman kepada syariat Islam. Itulah

kesuksesan yang dijanjikan oleh Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla.

Ketika manusia bekerja untuk mengais rezeki dan menghadirkan Allah

Subẖânahu wa-Ta‟âla dalam setiap pekerjaannya, maka pekerjaannya itu menjadi

baik dan menjadi ibadah, manusia tidak akan melakukan pekerjaan yang akan

merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Itulah kesuksesan atau

keberuntungan yang disebutkan dalam al-Qur‟an.

Karena berusaha dan mencari rezeki itu termasuk perintah Allah

Subẖânahu wa-Ta‟âla. Maka orang yang mencari rezeki adalah orang yang

menaati Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla, dan itu termasuk Ibadah. Dengan perkataan

lain, berusaha dan mencari rezeki itu bukan mengurangi Ibadah, tetapi

memperkuat dan memperbanyak ibadah itu sendiri.24

Sebagaimana Nabi Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam bersabda.

24
Hanafi, Kerja dan Ketenagakerjaan, h. 68
8

‫ى صل‬ ً ً ًً
‫ ىر‬ĩ ‫ي‬ ‫وص يع ىمىر ٍب ًن ا ى ٍعنوي قىا ىًَس‬ ‫ىع ٍن أى ٍم ري اٍل ي ٍم ؤم ٍن ىي ى‬
‫ّى اهلل ىعلٍىيً و ىك‬ ‫ي ٍس وى ؿ اهلل‬ ‫ ٍع‬:‫ىؿ‬ ‫ٍْلىط‬ ‫أًى ِب ح‬
ٍ
‫ى سل‬ ‫ّا ًب ىر ًض ي اهلل‬ ‫ف‬
‫ى‬
( ( :‫ّ ى م‬
‫إ‬
‫نىا‬

، ‫ ف كان ًى ج رت و ك ر س و ًلو ف ً ه ج رت و ىكىر ي ٍس و ًلو‬، ‫كإ ما نػ ول‬ ‫األى ٍع ىما يؿ‬


‫ٍ ى يي ىى ي ٍ ى ٍ ى يي‬ ‫ى ى ى‬ ‫ى ى ىى‬
‫ىكىم ٍن‬ ĩ ‫من‬ ‫بًالَنػي‬
ً‫ًإى ل اهل‬ ‫إًى ل اهلل‬ ٍ ‫ى‬ ‫نىا لً يك َل‬
‫ٍا ًم رمو ء‬ ‫ّ ا ًت‬

‫)) ر كاه إً ما ما اٍل م ح ى ٍعب ًد‬. ‫ ًى ج رت و ل ً دنػي ا ي ًصيب ػ ها أىك ا م رأىة يػ ن ًك ح م ى ا ج ر ًإلىيً و‬ĩ ‫كان‬
‫ىى ي ى ى ي ى‬ ٍ ‫ٍ ى ي ي ي ٍ ى ي ٍ ي ى ٍ ٍ ى ه ىٍ ي ى ى ى ى‬ ٍ‫ى ى‬
‫اهلل‬ ‫ها فىً ه ج رتيو إًى ل ا‬
‫ أىبػيٍ و‬: ‫َدثػ ٍى ًي‬ ‫ٍ ى ي‬ ‫ى‬

ً ً ٍ ‫ كأىبػ و ا ٍِل‬، ‫ي ُمى َّم ًد ٍب ًن إً ٍَسىا ًعٍي ل ٍب ًن إًٍبػ را ً ٍىي م ٍب ًن اٍل مًٍغيػ ًرة ٍب ًن بػ ًر ٍد زب ًة اٍلب ىخا ًر م‬
‫س ي يم ٍسل يم ٍب ين ا ٍِلى‬ ‫ٍ ى ٍي ي ى‬ ‫ٍى ى ي‬ ‫ي ى‬ ‫ى ى‬ ‫ى‬
‫َّجا ًج ٍب ًن يم ٍسلًً م اٍلي ق ى ٍش ًري ُّم‬

‫ىصَن‬ ً ‫اىلن ص‬
‫حي ًه ىما ي ُهىا أى ىص ُّح اٍل يكتي‬ ٍ ‫ى‬ ‫حي‬
ٍ ‫ى‬
. ‫ًب اٍل م ّػى فً ة‬ ‫ّ ٍػي ىسابػيٍ وًر ُّم ً ٍِف‬
‫ي‬ ‫الل‬
‫ّ ىذٍي ًن‬

“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda, „Sesungguhnya
amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan
niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih
dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia
niatkan.”25

Dari hadis ini dapat dipahami, bahwa niat dan motivasi adalah tolok ukur

suatu pekerjaan, pekerjaan yang sifatnya duniawi, tapi diniatkan ukhrawi akan

mendapatkan pahala. Sebaliknya pekerjaan ukhrawi, tetapi dicampuri oeh niat

yang sifatnya duniawi, maka akan mendapatkan pahala dunia saja, akhirat tidak.

Hadis diatas menyatakan pekerjaan hijrah yang dilakukan sahabat Nabi pada
8

waktu itu, apabila tulus karena Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla, akan mendapatkan

pahala. Tetapi ada diantara sahabat, niat hijrahnya untuk duniawi, yaitu untuk

mengawini seorang wanita, maka ia dapat mengawini perempuan tersebut, tetapi

tidak mendapatkan pahala yang dijanjikan Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla di akhirat,

karena niatnya dari awal sudah lain.

25
Abȋ Abdullâh Muẖammad bin Ismâ‟ȋl bin ȋbrahȋm bin al- Mughȋrah al-Ja‟fi al-
bukhârȋ, Ṣaẖiẖ Bukhârȋ (Riyad: Maktabah al-Rashad 2006), no 1, h. 142
8

6. Mengingat Nikmat Allah

Sukses yang kelima dalam al-Qur‟an adalah, mengingat nikmat Allah

Subẖânahu wa-Ta‟âla. Nikmat dalam kamus besar Bahasa Indonesia artinya

adalah merasa puas atau senang.26

Nikmat juga berarti kesenangan. Kesenangan yang diberikan Allah

Subẖânahu wa-Ta‟âla kepada hamba-Nya itu bermacam-macam. Pengertian

kesenangan disini mengandung arti apabila seseorang telah menjalankan perintah-

Nya dan menjauhi segala larangan-Nya maka kesenangan itu dapat dicapai di

akhirat. Nikmat merupakan segala pemberian Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla yang

dipandang baik dan memberi manfaat. Pemberian tersebut berupa rizki, anugerah,

kebahagiaan, kekuasaan, kelembutan, kesehatan, kesenangan, dan lainnya.27

Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla menyeru manusia agar mengingat nikmat

yang telah diberikan kepada hambanya. Sebagaiman firman-Nya dalam Q.S al-

„Arâf [7]: 69.

‫ٍٓا إًذ‬ ˜ٓ ‫كٱذ‬ ˜ٓ ‫ًذؾ َ َّرَب ىعلى ىر يجل َمن ًلي ن ًذ ريكم‬ ‫أى ك ىع ًجب ٓ˜ي ت أى ى ٓءىي كم‬
˜ ‫ى‬ ‫ي ى‬ ‫ى‬
‫يكي رك‬ ˜ٓ ‫ يكم‬,ٓ ‫ٓ˜ر ٓ م يكم ٓ˜ 'ى‬ ˜ٓ ‫ج‬ ‫ف‬ ˜ٓ
“ٓ
‫ن‬ ‫ا‬

‫ ٍٓا ٓءى‬ªٓ ٓ˚ ‫ ك زا ىدي كم ٓ˜ ًِف ٱؿ ٓ˜ خل ٓ˜ ًؽ ب ص 'ٓ ٓ˜طىة‬,ٓ ‫ ب ع ٓ˜ ًد قىو ٓ˜ًـ ن وح‬²ٓ ‫ج ى على يكم خلى ٓء ًمن‬
‫ى‬ ‫ى‬ ‫ىى‬ ‫ي‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ي ى‬ ‫ى‬
‫ف ٱذ ٓ˜ ك رك ءىاىَّل‬ ‫˜ٓ فا‬
‫ى يي‬

َ‫ٱ ل‬
‫ًّ و‬
َ‫لىى عل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu


peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk
memberi peringatan kepadamu? Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah
menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah
lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan
perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.”
8

26
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1349
27
Hidayat, Nikmatnya Hidup Bahagia, (Solo: Pustaka Barokah, 2003), 59
8

Sayyid Quṯb menafsirkan ayat ini dengan diberinya kekuasaan dan

kekuatan serta kelapanagan ini, sudah tentu mereka wajib mensyukuri nikmat ini,

jangan sombong. Juga supaya menjaga diri agar tidak mengalami seperti apa yang

dialami oleh orang-orang terdahulu. Akan tetapi, mereka tidak menghiraukan

ketetapan Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla bahwa Sunnah-Nya akan berlaku tanpa

pernah berganti, sesuai dengan undang-undang alam yang diciptakan-Nya, dan

dengan kadar yang telah ditentukan.

Penyebutan nikmat-nikmat ini mengisyaratkan agar mereka

mensyukurinya. Konsekuensinya adalah dengan memelihara sebab-sebabnya.

Dengan demikian, mereka akan mendapatkan keberuntungan di dunia dan di

akhirat.

Akan tetapi, apabila fitrah sudah menyimpang, tidak berpikir normal, tidak

mau merenungkan dan tidak mau sadar, sebagaimana keadaan para petinggi kaum

Ad ini, maka bangkitlah kesombongan mereka untuk berbuat dosa. Sehingga,

mereka putuskan dialog, dan mereka meminta agar segera didatangkan azab

sebagai pelecehan terhadap orang yang memberi nasihat dan pengabaian terhadap

peringatan.28

Pesan moral dalam ayat di atas adalah agar setiap manusia mengingat

nikmat-nikmat Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla yang telah diberikan kepadanya baik

kekuasaan, jabatan, harta maupun yang lainnya. Orang yang selalu mengingat

nikmat-Nya akan selalu mendorong pribadi selalu bersyukur, dengan bersyukur

Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla akan menambahkan nikmat dan mendapatkan

balasan berupa kesuksesan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun

sebaliknya jika

28
Sayyid Quṯb, Tafsîr Fî Zilâl al-Qur‟ân, Juz VIII, h.1311
9

orang tidak mau mengingat nikmat-nikmat Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla dan tidak

mau bersyukur maka Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla akan mendatangkan keburukan

dan azab baginya.

Yang membedakan di antara manusia adalah bagaimana cara

menyikapinya. Hanya yang memandangnya dari sisi buruk dan kurangnya saja, ia

akan merasakan hidupnya tertekan (stres). Boleh jadi, nikmat yang ia rasakan

sudah begitu melimpah. Namun, karena ia menggunakan perspektif kekurangan,

kenikmatan itu berubah menjadi kesengsaraan pada dirinya. Sebaliknya, ada pula

yang memandangnya penuh lapang dada dan rasa syukur. Meski hidup

serbaberkekurangan dalam kacamata orang lain, karena ia menjalaninya penuh

hikmah dan sikap positif, ia pun bisa menikmatinya. Hingga di sini, nikmat itu

sesungguhnya datang dari dalam diri sendiri. Bersyukur berarti mengingat nikmat

Allah. Dan orang yang senantiasa mengingat nikmat-Nya akan selalu

mendorongnya untuk bersyukur kepada-Nya. Allah Subẖânahu wa-Ta‟âla pun

akan menambah nikmat-Nya. Tidak mudah menyalahkan dan berburuk sangka

kepada Yang Mahaagung.29

29
Bahrus Surur Iyung, Mengingat Nikmat Allah, artikel diakses pada 27 juni 2018 dari
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/17/03/02/om6hhw313-mengingat-
nikmat.ht
9

B. Analisis ayat Sukses dalam Tafsȋr Fȋ Ẕilâl al-Qur’ân

Manusia hidup di dunia hanyalah sementara. Potensi kebaikan yang ada

dalam fitrah manusia harus di jalankan agar kelak mendapatkan suatu

kebahagiaan, bukan hanya bahagia di dunia saja namun harus bahagia di akhirat

pula. Kesuksesan yang sesungguhnya apabila manusia telah menjalankan perintah

dan larangan dari Tuhan-Nya.

Penulis paparkan 2 (dua) poin yang terkait dengan upaya-upaya untuk

mencapai sebuah kesuksesan, yaitu mempunyai kepribadian kesalehan kepada

Allah dan kepada manusia serta bekerja dan selalu bersyukur kepada Allah.

1. Kesalehan Kepada Allah dan Manusia

Kesuksesan dan kesenangan yang diraih seseorang dalam hidupnya

bagaikan pisau bermata dua. Maksudnya adalah dari satu sisi kesuksesan dapat

menjadikan manusia bersyukur terhadap nikmat yang diberikan Allah kepadanya

sehingga manusiapun semakin memantapkan imannya terhadap sang pencipta

namun disisi yang lain kesuksesan sesorang dapat menjadikan manusia lupa akan

nikmat yang diberikan tuhan kepadanya sehingga kelupaanya akan nikmat dari

Allah dapat menyebabkan ia terjerumus dalam kekafiran.30

Kesuksesan atau keberuntungan yang hakiki di dalam al-Qur‟an yaitu

30
Moh. Farid Chair, Makna Kafir dalam Kajian: Sebuah Kajian Tematik dalam Sahih
Bukhari, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h.
3
9

yang selalu melakukan ibadah dan amal kebaikan, baik kepada Allah maupun

kepada manusia. Orang yang selalu menjalankan ibadah dan melakukan amal

kebaikan dalam Islam disebut dengan saleh.

Ukuran nilai seseorang dalam pandangan Allah tidak ditentukan dari harta,

jabatan, kekuasaan ataupun hiburan dan materi duniawi yang dimiliki seseorang.

Kesemuanya itu hanyalah nilai palsu yang menipu mata manusia. Islam memang

tidak pernah melarang semua yang baik bagi manusia. Namun Islam menekankan

bahwa kesemuanya itu tidak bisa dijadikan tujuan hidup. Siapa yang ingin

menikmati kesemuanya itu, maka ia boleh menikmatinya. Namun demikian,

hendak ia tidak lalai mengingat Allah atas semua nikmat yang telah diterimanya.

Hendaknya manusia tidak lalai untuk bersyukur kepada-Nya dengan selalu

mengerjakan perbuatan-perbuatan baik.31 Sesungguhnya pekerjaan yang baik akan

selalu menjadi investasi menguntungkan bagi pelakunya. Q.S al-Kahfi [18]: 46

‫ًعن ىد ىرَب ىك‬ ‫' ىخ ي‬ ĩ ‫ًزينىةي ٱؿ ٓ˜ ىحيىػ' وًة ٱل ٓ ىكٱؿ ي‬ ‫ٱؿ ٓ˜ى ما يؿ ىكٱؿ‬
‫ثػىى واب ٓ˚ا‬ ً‫ٓ˜' ب ًق' ي ٱل ّصل‬
‫ٓ˜هر‬ ‫ى ى‬ ‫ُّدف ٓ˜يىا‬ ‫ٓ˜بػىنيو ىف ىك ىخي‬
‫' ىح ي‬ ‫ٓ˜ه رأىىمل ˚ٓا‬
ĩ
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan”

Amal saleh atau perbuatan baik, itulah ukuran yang Allah tentukan bagi

manusia dalam kehidupan dunia ini dan yang Allah berikan bagi keuntungannya

dalam kehidupan akhirat kelak. Amal saleh yang bisa dijadikan ukuran nilai

dalam aktivitas manusia di tiap detiknya dan di planet yang sangat kecil ini.

Itulah standar sesungguhnya yang Allah tetapkan bagi manusia.

Kesalehan dalam konsep Islam berbentuk tindakan atau kegiatan yang

31
Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an, h. 73
9

berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas ketundukan pada

ajaran Allah Subhanahu waTa‟ala. Tindakan saleh (amal saleh) merupakan hasil

keberimanan, pernyataan atau produk iman seseorang yang dilakukan secara sadar

atas ajaran Tuhan.32

Orang-orang yang selalu menjalankan amal saleh maka ia akan

mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan baik di dunia maupun di akhirat.

Karena orang yang menjalankan amal saleh maka ia sudah menjalankan ajaran

tuhan-Nya dan dekat kepada Tuhan-Nya. Karena di dalam al-Qur‟an orang sukses

itu tidak dilihat dari harta, jabatan, maupun hartanya tetapi kesuksesan itu dilihat

dari kesalehannya, baik kepada Allah maupun kepada Manusia.

Bentuk kesalehan yang akan mengantarkan seseorang kepada kesuksesan

atau keberuntungan ada dua macam yaitu, kesalehan kepada Allah dan kesalehan

kepada manusia.

Kesalehan kepada Allah yang selalu menegakkan shalat. Sebagaimana

sayyid Quthb mengatakan dalam tafsirnya perintah dari Allah kepada orang-orang

yang beriman agar melakukan rukuk dan sujud yang merupakan dua rukun shalat

yang paling menonjol. Shalat dikiaskan dengan rukuk dan sujud untuk

memberinya bentuk yang menonjol, gerakan yang nyata dalam ungkapan, yang

dilukiskannya sebagai pemandangan yang jelas dan sikap badan yang terlihat.

Karena ungkapan sedemikian rupa itu lebih dalam pengaruhnnya dan lebih kuat

kesannya terhadap perasaan.33

‫ٓأىيػ‬ ‫ىرَّب‬
‫ّى ها‬ ‫يك‬
‫ٱل‬ ‫م‬
‫ّ ًذي ىن ءىاى منيوٍا ٱر ٓ˜ ىك يعوٍا ىكٱس ٓ˜ يج‬ ˜ٓ
‫يدكا‬ ‫ىكٱ‬
‫ْ ىكٱع ٓ˜ب ي دكٍا‬ ‫ؼ‬
9

‫ٓ˜ ىعليوٍا ٱؿ ٓ˜ ىخي ٓ˜ى ر‬


‫'ىم‬
‫لىى عل‬
˜ٓ ‫ّ يكم‬

Riza Zahrial Falah, Membentuk Kesalehan Individual dan Sosial Melalui Konseling
32

Multikultural, vol 7, no 1 (Juni 2016): h. 167-168


33
Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz XVII, h. 733
9

‫تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Hai orang-orang yang beriman, ruku´lah kamu, sujudlah kamu,


sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan”

Rukuk dan sujud membuktikan kedekatan antara hamba dan sang ḳalik.

Itulah kesuksesan dan keberuntungan yang digambarkan oleh al-Qur‟an.

Kemenangan sejati bagi orang-orang yang beriman.

Ibadah salat bukanlah sekadar ibadah dengan gerakan dan ucapan belaka.

Shalat yang dimaksudkan dalam al-Qur‟an adalah Shalat seorang hamba yang

dilakukan secara optimal. Hal itu tidak akan terwujudkan bila Shalat hanya

diarahkan kepada gerakan dan bacaan semata. Setiap individu yang melakukan

Shalat hendaknya bisa memaknainya dengan baik, yakni kusu dalam

mengerjakannya.

Selanjutnya bentuk kesalehan kepada Allah yaitu sabar. Seperti yang

dikatakan Sayyid Quthb bahwa kesabaran itu banyak ragamnya atau banyak hal

yaitu, kesabaran menghadapi berbagai syahwat manusia, Kesabaran menghadapi

merajalelanya kebatilan, kekejian, tindakan melampaui batas, tersebarluasnya

kejahatan, dan pelecehan orang-orang yang terpedaya dan sombong. Kesabaran

menghadapi sedikitnya pembela, lemahnya dukungan, panjangnya jalannya, dan

godaan setan di saat-saat kesedihan, dan kesulitan. Kesabaharan menghadapi

pahitnya jihad untuk menghadapi semua ini, kesabaran dalam mengendalikan

nafsu pada saat mampu, menang dan mendapat kesenangan dengan penuh

tawadhu dan syukur, tanpa sombong dan dendam. Kemudian dalam keadaan

susah dan senang tetap komit dengan Allah, menyerah kepada taqdir-Nya

dan
9

mengembalikan semua urusan kepada-Nya dengan penuh rasa tenang, percaya

dan khusyu.34

Itulah kesabaran yang dijelaskan oleh sayyid Quthb bahwa orang yang

sabar itu adalah orang yang sukses, sukses dunia maupun di akhirat. Karena

seseorang akan mampu melihat nilai yang dikandung dari suatu kesabaran yaitu

manisnya balasan yang Allah berikan kelak.

Firman Allah dalam Q.SQ.S Ali Imron [3]: 200

‫ٓأىيػ‬ ‫'ىم‬
‫ّى ها‬
‫ٱل‬
ٍ‫ّ ًذي ىن ءىاى منيوٍا ٱص ٓ˜بًيركٍا ىك ىصابًيركٍا ىكىرابًطيوا‬
‫ىكٱتػ‬
ٍ‫ّي قوا‬
‫ٱل‬
‫ّو ى‬
‫لىى عل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah


kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah
kepada Allah, supaya kamu beruntung”

Bentuk kesalehan berikutnya yaitu keteguhan hati. Keteguhan hati akan

mengantarkan kepada kemenangan dan kesuksesan. Sebagaimana Allah berfirman

dalam Q.S al- Anfâl [8]: 45 ˜ٓ ‫ّ يكم‬


‫تيف ٓ˜ ًِليو‬
‫ٍٓا ًإ ىذا لىً قيتيم ٓ˜ فًئىة ٓ˚ فىٱث ٓ˜بػيتيوٍا ىكٱذ ٓ˜ يكي ركٍا‬ ‫ىف‬
‫ٓأىي‬
‫ػ‬
‫ٱل‬ ‫ّى ها‬
‫ّوى ىكثًري ٓ˚ا‬
‫ٱل‬
‫ل‬ ‫ّ ًذي‬
‫ّى عل‬
‫ىن‬
9

‫ءىاى منيو‬ ‫'ىم‬

“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan


(musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-
banyaknya agar kamu beruntung”

Inilah faktor kemenangan yang hakiki tsabat (teguh) saat berhadapan

dengan musuh, berhubungan dengan Allah melalui ẓikir, taat kepada Allah dan

Rasul-Nya, menghindari perselisihan dan perpecahan, sabar menghadapi beban

berat perang, serta menghindari dari sifat angkuh, riya, dan sewenang - wenang.35

Itulah bentuk-bentuk kesalehan kepada Allah yang di jelaskan di dalam al-

34
Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz IV, h. 551
35
Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz X, h. 799
9

Qur‟an yang mengantarkan seseorang kepada kesuksesan atau keberuntungan di

dunia maupun di akhirat.

Kedua, Ibadah dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan ritus-ritus yang

berhubungan dengan Allah (hablum minallah), tapi juga berhubungan dengan

manusia (hablum min an-nas). Selain itu manusia juga mendapat mandat sebagai

wakil/ khalifah Allah dimuka bumi untuk memberdayakan dan merawat bumi

dengan baik. Jadi ibadah tidak hanya memberikan kontribusi bagi dirinya sendiri

sebagai hamba Allah, tapi juga memberi kontribusi pada orang-orang dan

lingkungan sekitar.36

Firman Allah Subhanahu wa-Ta‟ala dalam Q.S Ar-rum [30] ayat 38 yaitu.

‫ييًري‬
‫َلل‬ ٓ ‫ىذا ٱؿ ٓ˜قير ىحَ ىكٱؿ ٓ˜ً مس ٓ˜كً ىكٱب ٓ˜ ٱل َّسبًي ًل 'ىذلً ىخي ٓ˜ر‬ ‫ىفىا ًت‬
‫ّ ً يدك ىف‬
‫ذي‬ ‫ٓ“ ىك‬ ‫ىف‬ ‫ىي‬ ‫ٓ˜ى ' َب ۥق•وي‬
‫ىن‬

‫كج ٓ˜ ق ٓ ٓئً يى يم ٱؿ ٓ˜ي مف ٓ˜ ًِليو ىف‬


‫ى‬ ‫ى‬
‫ٱ ل ىكأٍيك' ىؿ ىك‬
‫ًّ و‬

“Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian


(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah
orang-orang beruntung”

Disini al-Qur‟an megarahkan para pemilik harta yang dipilih Allah

menjadi pemegang amanat itu kepada cara terbaik dalam mengembangkan harta

dan meraih keuntungan. Yaitu dengan memberikan hak kepada kerabat dekat,

orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, dan infak secara umum di

jalan Allah. “Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan

Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.37

Hasrat untuk membantu adalah bagian dari fitrah manusia. Allah sengaja
9

36
Riza Zahrial Falah, Membentuk Kesalehan Individual dan Sosial Melalui Konseling
Multikultural, vol 7, no 1 (Juni 2016): h. 167-168
37
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz XVIII, h. 675
1

mendesain diri kita untuk peduli karenanya salah satu sifat dasar kita adalah tidak

tega kalau di depan mata terdapat pemandangan yang mengundang iba. Yang

diinginkan oleh Allah adalah kita harus menyuburkan hasrat dasar tersebut.

Adanya perintah untuk mendermakan sebagian yang dimiliki kepada orang

lain sebagai hal yang amat sangat logis. Tidak ada manusia yang tidak memiliki

ketergantungan kepada pihak lain. Ketergantungan tersebut dimulai sejak kita

dalam buaian dalam bentuk janin, ketergantungan janin dengan induk, anak

dengan Ibu. Oleh sebab itu, ada tuntunan dari Allah, yang Maha memberi rezeki

Allah berfirman dalam Q.S al-Ma‟ârij [70]: 24-25

‫ىكٱل‬
‫ لَل َّس ٓائًً ل ىكٱؿ ٓ˜ى مح ٓ˜ي ركًـ‬. ٓ ‫ّ ًذي ىن ً ِٓف ىأـ ٓ˜' ىكلًَ م ٓ˜ ىح ٌق ٓ َّمع ٓ˜ليوـ‬
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang
tidak mau meminta”

Kehadiran orang yang tidak punya, fakir, miskin, anak yatim sebetulnya

sangat membantu untuk meniti jalan ke surga dan menggapai keridhan Allah.

Artinya kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka. Bukan sebaliknya,

vjmereka yang diharuskan berterima kasih karena pemberian kita. Inilah makna

pesan dari Allah dalam Q.S Al-Insan [76]:9

‫يش يكونرا‬
˚ٓ ‫ٓء‬ ‫ىج‬
‫ىكىَّل‬ ‫نىا نيط ٓ˜ ًع يم يكم ٓ˜ لًىوج ٓ˜ ًق ىزا‬
‫ٱل‬
˜ٓ ‫ًّ و َّىل نيًري يد ًمن يكم‬

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk


mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan
tidak pula (ucapan) terima kasih”

Ketulusannya untuk melihat aspek jangka panjangnya, menyebabkan

dirinya mampu mengalahkan aspek kekinian, yaitu mengharapkan balasan dan


1

ucapan terima kasih.38

2. Selalu Berusaha dan Bersyukur

Manusia tidak tinggal, menetap dan menyebar di muka bumi dengan pasif.

Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla pun tidak menciptakan manusia lengkap dengan

daya sadar dan kemampuannya yang besar untuk sekadar menjadi pengemis

dimuka bumi ataupun bertindak layaknya tumbuhan ataupun binatang yang hanya

mengandalkan daya instingnya belaka. Ataupun, menciptakan manusia untuk

menemukan segala sesuatunya dengan mudah dan kebetulan. Allah Subẖanahu

wa-Ta‟âla tidak menciptakan bumi dengan harta karunnya yang berserakan.

Allah mengkaitkan penciptaan dan eksistensi manusia dengan rezeki dan nafkah

yang harus dicarinya dengan cara bekerja.39 Banyak ayat al-Qur‟an yang

menegaskan dan memerintahkan manusia untuk mencari nafkah dan berpencaran

di seluruh muka bumi ini.

Sebagaimana firman Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla dalam Q.S al-Jumû‟ah

[62]: 10

‫ ٱل َّصلى' وةي ىفٱنتى ًشي ركاٍ ًِف ٱؿ ˜ ٓىأر ٓ˜ ًض ىكٱب ٓ˜ى تػغيوٍا ًمن فىض ٓ˜ً ؿ‬ĩ ً ‫ىفًإ ىذا قي ًضيى‬
‫ٱل‬
‫ًّ و ىكٱذ ٓ˜ يكي ركٍا‬
‫ٱل‬
‫ّوى ىكثًريا‬
َ‫ل‬
‫ّى عَل‬
‫ّ يكم ٓ˜ تيف ٓ˜ ًِليو ىف‬

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;


dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung”

Konsep keseimbangan selalu ditekankan dalam ajaran Islam. Manusia

diperintahkan untuk mampu menyeimbangkan antara pemenuhan kebutuhan


1

hidupnya di dunia dengan bekerja dan juga usaha keras dan juga pemenuhan

38
Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 74
39
Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Qur‟an, h. 41
1

kebutuhan akhiratnya, yakni dengan kontemplasi dengan berzikir dan

mengasingkan hati sejenak untuk selalu mengingat-Nya. Zikir dan mengingat

Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla tetap dan harus bisa dilakukan bersamaan dengan

usaha manusia untuk mencari penghidupannya di dunia. Dengan mengingat Allah

Subẖanahu wa-Ta‟âla, maka manusia mampu memiliki motivasi kuat untuk

bekerja keras dan menjadikan usahanya sebagai bagian dari ibadahnya kepada-

Nya.40

Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla menyeru kepada manusia mencari rezeki

dengan yang baik, dengan selalu mengingat-Nya dalam mencari pemenuhan

kebutuhan. Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla melarang hambanya mencari rezeki

dengan usaha yang salah, usaha yang dapat menindas dan dapat merugikan orang

lain. Dalam persoalan inilah syariat Islam telah meletakkan dasar-dasar yang

kokoh untuk kepentingan manusia. Dimudahkannya setipa jenis usaha (manusia)

yang menjamin terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Mendorong

manusia agar selalu berusaha dan berpedoman kepada syariat Islam.

Kesuksesan dan kesenangan yang diraih seseorang dalam hidupnya

bagaikan pisau bermata dua. Maksudnya adalah dari satu sisi kesuksesan dapat

menjadikan manusia bersyukur terhadap nikmat yang diberikan Allah kepadanya

sehingga manusiapun semakin memantapkan imannya terhadap sang pencipta

namun disisi yang lain kesuksesan sesorang dapat menjadikan manusia lupa akan

nikmat yang diberikan tuhan kepadanya sehingga kelupaanya akan nikmat dari

Allah dapat menyebabkan ia terjerumus dalam kekafiran.41

40
Sayyid Quthb, Tafsîr Fî Zilal al-Qur‟ân, Juz VI, h. 3570
41
Moh. Farid Chair, Makna Kafir dalam Kajian: Sebuah Kajian Tematik dalam Sahih
Bukhari, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h.
35
1

Apabila manusia bersyukur maka Allah Subẖanahu wa-Ta‟âla akan

menambah nikmatnya dan apabila manusia tidak bersyukur maka Allah

Subẖanahu wa-Ta‟âla akan mendatangkan azab baginya.


BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesuksesan dunia dan akhirat merupakan hal yang didambakan setiap orang,

dengan berupaya menjadikan kehidupan dunia bernilai dengan melakukan amal

kebajikan berdasarkan tunutnan wahyu. Berdasarkan penelitian ini, dari uraian yang

telah dibahas maka dapat diambil kesimpulan.

Kesuksesan yang hakiki di dalam al-Qur’an yaitu yang beriman yang selalu

melakukan ibadah dan amal kebaikan. Ketakwaan dan keimanan kepada Allah

menjadi fungsional dalam kehidupan apabila ia melahirkan kebaikan dan kesalehan,

bukan saja kesalehan pribadi (shalat, sabar, dan keteguhan hati), melainkan juga

kesalehan sosial (memberikan sebahagiaan rezeki) dengan memberi bantuan kepada

orang lain baik lapang maupun sempit. Islam adalah agama yang mengajarkan

keseimbangan antara dunia dan akhirat. Bukan hanya akhirat saja yang diutamakan

maupun kehidupan di duniapun harus jalani. Di dunia manusia diseru untuk selalu

berusaha dan berkerja agar pemenuhan kebutuhan hidupnya terpenuhi, dengan

disertai rasa syukur maka inilah kunci dari suksesnya kaum beriman..

B. SARAN-SARAN

Apabila manusia mengikuti aturan-aturan Allah Subẖânahu waTa’ala yang

telah ditanamkan pada al-Qur’an maka akan mengantarkan manusia ke gerbang pintu

9
91

kesuksesan, sukses di dunia dan akhirat. Oleh karena itu selaku ummat muslim

diwajibkan untuk meneliti, dan mengkaji sumber-sumber hukum agamanya.

Penulis telah menyelesaikan penelitian ini, apabila ada kekurangan dalam

penelitian skripsi ini baik dalam sisi penulisan maupun pembahasan, berharap kepada

pengkaji dan para pembaca agar kiranya ada yang bisa melanjutkan penelitian ini,

tentunya yang berhubungan dengan judul skripsi ini, sehingga dapat tertutupi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrazaq. Rahasia Keagungan shalat. Jakarata: Darus Sunnah Press, 2013.

Aẖmad, Abû al-Husain. Maqâyis al-Lugah. Beirut: Dâr al-Fikr, 1979.

Farmawi, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu’iy, Penerjemah, Surya A. Jamrah,


1994.

Asfaẖânȋ, al-Ragȋb. al-Mufradâtu fi Gharȋbi al-Qur’âni. Mesir: al-Maimanh.1424H.

Al- Bâqȋ, Muhammad Fu’ad Abd. Mu’jam Mufaẖras Li Alfâẕ al- Qur’an. Turki: al
Maktabah al-Islamiyyah, 1984.

Al- Bukhârȋ, Abȋ Abdullâh Muẖammad. Saẖiẖ Bukhârȋ. Riyad: Maktabah al-Rasyad,
2006.

Depertemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Esposito, Jhon L. Dinamika Kebangunan Islam. Jakarta: CV. Rajawali, 1987.

Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Kontekstual.


Yogyakarta: Elsaq Press, 2005.

Ghazali. Menjelang Hidayah. Penerjemah M. As’ad El Hafidy. Bandung: Mizan,

1989.

Hakim, A. Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa
Kontemporer. Depok: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013.

Hanafi, Mukhlis M. Kerja dan Ketenagakerjaan. Jakarta: Lajnah Pentashihan al-


Qur’an badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, 2010.

Herlianto. Teologi Sukses Antara Allah dan Mamon. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2012.

Hidayat, Nuim. Sayyid Quthb, Biografi dan Kejernihan Pemikirannya. Jakarta: Gema
Insani, 2005.

7
7

Hidayat. Nikmatnya Hidup Bahagia. Solo: Pustaka Barokah, 2003.

Iyung, Bahrus Surur. Mengingat Nikmat Allah, artikel diakses pada 27 juni 2018 dari
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/17/03/02/om6hhw313-
mengingat-nikmat.html.

Khalidi, Salah Abdul Fattah. Pengantar Memahami Tafsȋr Fȋ Zilâl al Qur’ân Sayyid
Quthb. Solo: Intermedia, 2003.

---------. Tafsir Metodologi Pergerakan: dibawah Naungan al Qur’an. Penerjemah:


Asmuni Solihin, Jakarta: Yaysan Bunga Karang, 1995.

---------. Biografi Sayyid Quṯb, Sang Syahid yang Melegenda. Yogyakarta: Pro-U
Media, 2016.

Malla, Andang B. Merasakan Allah dalam Shalat. Jakarta: Sejahtera Kita, 2009.

Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsȋr Al Maraġi. Penerjemah Anwar Rasyidi.


Semarang:Toha Putra, 1986.

Muhyidin, Muhammad. Kaya Duit, Kaya Hati atau Kaya Keduanya. Jogjakarta: Diva
Press, 2009.

Munadi, Imam. Menyimak Rahasia dibalik fenomena Sukses. Jakarta: Skil


Publishing, 2005.

Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir. Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progressif, 1997.

Mutiah, Diana. Motivasi Berprestasi Menuju Kesuksesan, no.7 (Maret 2014): h. 34.

Qattan, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa,
2013.

Quthb, Sayyid. Tafsîr Fî Zilâl al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Masyruk, 1972.

Rahma, Awiya dkk. Pengaruh Keteguhan Hati dalam Kehidupan Sosial, Budaya, dan
Agama, Tinjauan Psikologi Islam dan Psikologi Indegenous, 2014.

Ridjaluddin, F.N. Teologi Sayyid Quthb. Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA
Jakarta, 2011.

Salim, Bahnasawi. Butir-Butir Pemikiran Sayyid Quṯb. Jakarta: Gema Insani Press,
7

2003.

Samadani, Adil. Sukses Itu Muda 9 Strategi untuk menghancurkan kegagalan.


Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014.

Setyobudi, Agustitin. Filsafat Revolusi Mental, Dalam Kehidupan Berbangsa dan


Bernegara. Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2015.

Shadiq, al-Birrah. Sulaiman Jangan Khawatir dengan Rezekimu, (Jakarta:


Khatulistiwa Press, 2014.

Shihab, M.Quraish. Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an.


Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Sukardja, Ahmad. Dkk. Ensiklopedi al-Qur’an Kajian Kosakata dan Tafsirnya.


Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002.

Sya’rawi M. Mutawalli. Rezeki, Penerjemah: Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani


Press, 1994

Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2013/2014

Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:Mahmud Yunus Dzurriyyah, 2010.

Anda mungkin juga menyukai