Anda di halaman 1dari 2

3 SKANDAL KECURANGAN YANG LIBATKAN PERUSAHAAN JEPANG

Negara Jepang selalu menjadi panutan dalam hal integritas, jaminan kualitas dan produk yang
dapat diandalkan. Namun, pada kenyataannya perusahaan-perusahaan raksasa asal Jepang tidak
kebal dari masalah etika yang berujung pada skandal kecurangan keuangan yang merugikan
perusahaan.

1. Olympus
Skandal Olympus terkuak ke publik pada tahun 2011 setelah mantan CEO Michael Woodford
membeberkan detail skandal pada The Financial Times. Woodford yang pada saat itu menjabat
sebagai CEO mulai mencurigai adanya kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan saat ia
menemukan transaksi senilai 1.5 milyar dolar AS. Ketika ia mulai menginvestigasi transaksi
tersebut, perusahaan memecatnya.

Olympus menyangkal apa yang diungkapkan Woodford pada media. Namun, pada akhirnya
perusahaan tersebut mengakui bahwa mereka telah menutupi kerugian perusahaan selama dua
dekade dengan menyalahgunakan dana akuisisi dan memanipulasi laporan keuangan. Mantan
CEO Tsuyoshi Kikukawa dan lima orang eksekutif lainnya dinyatakan bersalah.

2. Toshiba
Sebuah berita mengejutkan dari Toshiba pada Mei 2015 yaitu ketika perusahaan tersebut
mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki skandal akuntansi dan mungkin harus
merevisi keuntungannya selama tiga tahun sebelumnya. Menurut laporan dari Komite Investigasi
Khusus yang dirilis pada Juli 2015, Toshiba menemukan beberapa kejanggalan yang
mengejutkan. Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa etika yang buruk adalah akar dari
penyimpangan ini.

Kurangnya teladan baik dari atasan membuat kontrol internal hampir tidak berfungsi. Tata kelola
Toshiba terbukti lemah dengan fungsi buruk sistem kontrol internal di setiap tingkat eksekutif
Toshiba. Investigasi juga melaporkan masalah kontrol internal di divisi keuangan, audit, dan
manajemen risiko yang mengakibatkan kegagalan dalam mengidentifikasi tanda bahaya dan
mencegah penipuan. Setelah skandal itu terungkap, Toshiba terus berjuang memperbaiki etika
perusahaan di tahun-tahun berikutnya.

3. Nissan-Mitsubishi-Renault
Pada November 2018 dunia otomotif terguncang oleh berita penyelidikan internal Nissan yang
menemukan bukti bahwa mantan CEO ‘aliansi raksasa’ tiga merek otomotif tersebut, Carlos
Goshn, tidak melaporkan gajinya selama bertahun-tahun dan menyalahgunakan aset perusahaan.
Badan Jasa Keuangan Jepang mewajibkan eksekutif dengan gaji lebih dari 100 juta yen untuk
melakukan pelaporan rutin. Gaji Ghosn mencapai 4,9 miliar yen dan sebenarnya dianggap terlalu
tinggi untuk standar eksekutif di Jepang. Goshn diduga memalsukan laporan gajinya sejak 2011.

Dikutip dari Liputan6 (21/11/2018) Toshiaki Yamaguchi, seorang pengacara dengan keahlian
kepatuhan mengatakan bahwa berbohong tentang pendapatan merupakan pengkhianatan kepada
pemegang saham. Selain masalah gaji, Goshn juga dikritik karena perusahaan itu menyewa
rumah mewah untuknya di sejumlah negara yang tidak ada hubungannya dengan area bisnis
Nissan-Mitsubishi-Renault. Sewa rumah mewah ini dianggap sebagai penyalahgunaan aset.
Fakta tersebut mengungkap keborokan tata kelola tiga persekutuan merek otomotif tersebut.

Komentar : Dalam ketiga kasus ini dijelaskan kasus fraud dan skandal kecurangan keuangan
yang merugikan perusahaan dengan beberapa skandal olmpyus, Toshiba, dan Nissan-Mitsubishi-
Renault. Dengan skandal olmpyus terkuak ke publik pada tahun 2011 setelah mantan CEO
Michael Woodford mencurigai adanya kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan saat ia
menemukan transaksi senilai 1,5 milyar dolar AS, Toshiba menemukan beberapa kejanggalan
yang mengejutkan laporan tersebut menggaris bawahi bahwa etika penyimpangan, dan Nissan-
Mitsubishi-Renault menemukan bahwa mantan CEO aliansi raksa tiga merek otomatis tersebut,
Carlos Goshn tidak melaporkan gajinya selama bertahun-tahun dan menyalahgunakan asset
perusahaan. Menurut kelompok saya kasus diatas disebabkan oleh pihak mantan CEO dari
Olmpyus, Toshiba, dan Nissan-Mitsubishi-Renault yang kurang komunikasi yang tidak terbuka,
pengambilan keputusan yang tidak transparan, dan budaya yang digerakkan kuat oleh hierarki
merupakan budaya perusahaan jepang yang usang. Meskipun perusahaan-perusahaan ini
memang menempatkan kontrol internal pada tempatnya, tetapi budaya seperti itu dipupuk dan
dicontohkan oleh para eksekutifnya sehingga kontrol internal menjadi tidak berfungsi

Anda mungkin juga menyukai