Anda di halaman 1dari 5

MENAKAR NILAI PEMBELAAN TERPAKSA SEBAGAI DALAM

KORIDOR HUKUM PIDANA

Ada sebuah adagium hukum yang berbunyi neccesitas facit licitum quod alias
non est licitum yang artinya keadaan terpaksa memperbolehkan apa yang
tadinya dilarang oleh hukum. Secara normatif, pembelaan terpaksa/darurat
dapat dijadikan alasan pemaaf yang menghapuskan kesalahan (walaupun
terbukti bersalah). Sebab, untuk dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana
yang dilakukan haruslah terdapat unsur kesalahan pada diri pelaku.

Alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang


melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi
tidak dipidana. dalam teori hukum pidana terdapat beberapa penjelasan
mengenai alasan-alasan yang menghapuskan pidana yaitu sebagai berikut:
1. alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
yang patut dan benar;
2. alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap
merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada
kesalahan
3. alasan penghapus penuntutan (vervolgingsuitsluitingsgroden) yakni bukanlah
terletak pada adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada
pikiran mengenai sifatnya orang yang melakukan perbuatan tetapi pemerintah
menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya pada masyarakat,
sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

Alasan penghapus pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


yaitu terdapat dapat beberapa pasal berikut:
1. Pasal 44 yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana oleh karena kurang
sempurnanya akal atau sakit atau berubah akal (tidak sanggup bertanggung
jawab)
2. Pasal 48 yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana karena pengaruh daya
paksa (overmacht)
3. Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana karena
pembelaan terpaksa (noodweer)
4. Pasal 49 ayat (2) yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana karena
pembelaan diri yang melampauai batas (noodweer exces)
5. Pasal 50 yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana karena menjalankan
perintah yang sah (melaksanakan peraturan perundang-undangan)
6. Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi: seseorang tidak dapat dipidana karena
melaksanakan perintah jabatan yang sah (perintah jabatan yang diberikan
penguasa yang berwenang)
7. Pasal 51 ayat (2) yang berbunyi: seseorang tuidak dapat dipidana karena
perintah jabatan yang diberikan penguasa yang tak berwenang, jika dperintah
dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu diberikan dengan berwenang
dan pelaksanannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Pembelaan terpaksa/darurat (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) yang


menjadi alasan penghapusan pidana apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela badan/tubuh, kehormatan atau
harta benda sendiri ataupun orang lain
2. Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada
saat itu juga. Dengan kata lain perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan
yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan untuk mempersiapkan
sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang
telah berakhir
3. Perbutaan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa
atau dalam keadaan darurat, tidak ada pilihan lain (perlawanan itu memang suatu
keharusan) untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut.
Dengan kata lain, perbuatan pelaku dalam hal ini diperlukan adanya untuk
membela hak terhadap keadilan, namun harus pula dilakukan secara
proporsional/seimbang

Selain noodweer, ada pula yang namanya pembelaan terpaksa/darurat yang


melampaui batas atau yang biasa disebut noodweer exces. R. Soesilo dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal
Demi Pasalnya, penerbit Politeia Bogor Tahun 1979 halaman 56 alinea 4
menjelaskan Pasal 49 ayat (2) ialah yang biasa disebut noodweer exces yang
artinya pembelaan darurat yang melampauai batas, seperti halnya dengan
pembelaan darurat disinipun harus ada serangan yang sekonyong konyong
dilakukan atau mengancam pada ketika itu juga. Disini batas-batas keperluan
pembelaan itu dilampauai. Misalnya orang membela dengan menembakkan pistol
sedangkan sebenarnya pembelaan dengan pemukul kayu sudah cukup.
Pelampauan batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan asal disebabkan
karena perasaan tergoncang hebat yang timbul lantarasan serangan itu, perasaan
tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali yang biasanya dkatakan
"mata gelap"

Dalam beberapa kasus, pembelaan terpaksa yang berujung terjadinya tindak


pidana berlanjut sampai ke ranah pengadilan dan hakim nantinya yang akan
mempertimbangkan dan memutuskan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana.
Biasanya bentuk/wujud perbuatan yang dilakukan seseorang/pelaku dalam
pembelaan diri secara terpaksa adalah berupa penganiayaan ringan, berat, bahkan
sampai mengakibatkan kematian (Pasal 351 dan Pasal 354 KUHP) serta
menghilangan nyawa orang yang melakukan serangan/ancaman tersebut (Pasal
338 KUHP). Hakim akan menilai apakah terdakwa/orang yang melakukan
pembelaan terpaksa tersebut tidak ada niat/keinginan (mens rea) melainkan
merupakan suatu pembelaan darurat (noodweer) sebagaimana diatur dalam Pasal
49 oleh terdakwa yang dipicu oleh adanya serangan yang mengancam
badan/nyawa terdakwa.

Meskipun dalam putusan pengadilan terdakwa/orang yang melakukan pembelaan


telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebut saja
penganiayaan yang mengakibatkan kematian, akan tetapi menurut pertimbangan
hakim terdapat alasan pemaaf yang menghapus kesalahan pidana maka terhadap
tindakan terdakwa tersebut tidak dapat dijatuhi pidana karena termasuk pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri karena adanya serangan yang melawan hukum pada
saat itu (noodweer).

Maka berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, terhadap terdakwa haruslah
dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle recht vervolging).
Berdasarkan Pasal 191 ayat (2): perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana oleh karena terdakwa
dilepaskan dari segala tuntutan hukum maka berdasarkan Pasal 97 ayat (1) dan (2)
kuhap jo. Pasal 14 PP No 27 tahun 1983 kepada terdakwa haruslah dipulihkan
nama baiknya dengan cara memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan, harkat dan martabatnya. Terdakwa yang statusnya tahanan di Rumah
Tahanan Negara, maka dengan dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan
hukum (onstlag van alle recht vervolging), maka berdasarkan Pasal 191 ayat (3)
KUHAP, Hakim memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan atau
dikeluarkan dari status penahananya tersebut.

Dengan demikian, pembelaan darurat (noodweer) ataupun pembelaan darurat


melampaui batas (noodweer exces) dapat dijadikan alasan pemaaf yang
menghapus kesalahan terdakwa meskipun perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa bersifat melawan huikum dan merupakan perbuatan pidana, akan tetapi
terdakwa tidak dapat dipidana.
Dalam kasus ini perlunya menekankan penerapan keadilan hukum dengan
perkataan lain mau atau tidak, kita kembali teringat apa yang dikemukakan
(doktrin) oleh Gustav Radbruch dengan istilahnya: 3 ide dasar hukum atau tiga
nilai dasar hukum masing masing: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana
prioritas pertama selalu pada jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan berakhir
kepastian hukum. Sebab apabila in casu menekankan pada aspek kepastian hukum
maka yg terjadi adalah orang yg membela diri secara paksa terhadap
serangan/ancaman lawan maka akan tetap mempertanggungjawabkan perbuatan
pidananya sebab ia melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian
terlepas dari segala pembelaan darurat yang ia lakukan saat dirinya diserang dan
terancam.

Anda mungkin juga menyukai