Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN TUTORIAL

DOSEN TUTOR
dr. Badariyatud Dini, Sp. BP-RE (K)

KETUA KELOMPOK
Aslin Nur Ainiyah 210702110020
SEKRETARIS
Lailita Dwi Cahyanti 210702110028
ANGGOTA KELOMPOK
Zidnal Mafaz 210702110008
Azka Faradiba Anjani H 210702110014
Luthfia Asyda Almas 210702110019

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSU KARSA HUSADA BATU
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................................................
SKENARIO BENJOLAN APA INI?................................................................................................
BAB I RUMUSAN MASALAH........................................................................................................
BAB II BRAINSTROMING.............................................................................................................
BAB III TUJUAN PEMBELAJARAN...........................................................................................
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................................
1. Anatomi Regio Submandibula.................................................................................................
2. Definisi Abses Submandibula.................................................................................................
3. Klasifikasi Abses Submandibula.............................................................................................
4. Etiologi dan Faktor Risiko Abses Submandibula....................................................................
5. Patofisologi Abses Submandibula...........................................................................................
6. Diagnosis Abses Submandibula..............................................................................................
7. Diagnosis Banding Abses Submandibula................................................................................
8. Tatalaksana Abses Submandibula...........................................................................................
9. Komplikasi Abses Submandibula............................................................................................
10. Prognosis Abses Submandibula...............................................................................................
11. KIE pada Pasien Abses Submandibula....................................................................................
12. Manajemen Pasca Bedah Abses Submandibula.......................................................................
BAB VII PETA KONSEP................................................................................................................
SOAP.................................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Potongan Sagital Leher......................................................................................................


Gambar 2 Anatomi Ruang Submandibula .........................................................................................

ii
iii
SKENARIO

BENJOLAN APA INI?


Seorang pasien Ny. Z usia 39 thn datang ke IGD RSKH dengan keluhan benjolan
di submandibular kiri. Pasien mengeluh benjolan di regio submandibular kiri sejak 1
minggu yang lalu. Awalnya benjolan didahului dengan sakit gigi 10 hari yang lalu.
Kemudian mulai muncul benjolan 7 hari yang lalu yang awalnya kecil seperti bisul
sampai akhirnya membesar. Sejak semalam sebelum masuk ke IGD, pasien mengeluh
nyeri sekali seperti mau pecah, sulit membuka mulut, hanya bisa membuka mulut selebar
+3 cm. Sebelumnya, pasien sudah berobat ke Puskesmas di Pujon dan mendapatkan obat
Amoxicillin, Dexamethasone, dan Asam Mefenamat namun sudah 3 hari meminum obat
tersebut namun tidak ada perbaikan. Kemudian, pasien beralih berobat ke dokter gigi di
Pujon dan disarankan untuk melanjutkan obat dari Puskesmas, namun juga tidak kunjung
membaik. Selama 7 hari terdapat benjolan, pasien sering mengalami demam.
Diketahui, pasien memiliki Riwayat gigi berlubang sejak 10 tahun yang lalu.
Pasien menyangkal adanya Riwayat penyakit yang lain baik pada dirinya maupun
keluarga.

Status Generalis:
KU: cukup
Kesadaran: composmentis
GCS: 456
Vital Sign:
TD : 141/81  mmHg
N : 140 x/menit, kuat, reguler
RR : 20x/menit
T : 35.6 °C
SpO2 : 99% on room air
Pemeriksaan Fisik:
Kepala : a/i/c/d : -/-/-/-, konjungtiva pucat (-), PBI 3 mm|3 mm, RCL +/+, RCTL +/+
Leher :
- Inspeksi: deviasi trakea (-), jejas (-)
- Palpasi: pembesaran KGB (-)
- Auskultasi: bruit (-)

1
Status Lokalis Regio Submandibula Sinistra: didapatkan benjolan berukuran 8x7 cm di
regio submandibular sinistra, hiperemis (+), fluktuasi (+), trismus (+), nyeri tekan (+)

Thorax
Cor:
Inspeksi : scar (-), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : ictus cordis invisible
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-) gallop (-)
Perkusi : batas jantung kiri di ICS V MCL sinistra, batas jantung kanan di ICS IV
PSL dextra
Pulmo:
Inspeksi : scar (-), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : dinding dada simetris, Stem fremitus normal
Auskultasi :
Vesikuler
+ +

+ +

+ +

Rhonki
- -

- -

- -

2
Wheezing
- -

- -

- -

Perkusi: sonor di seluruh lapang paru

Abdomen :
Inspeksi : scar (-), bulging (-) striae (-) caput medusa (-)
Palpasi : soefl (+), hepar dan lien dbn,
Nyeri tekan superficial
- - -
- - -
- - -

Nyeri tekan dalam


- - -
- - -
- - -

Auskultasi : BU 8x/mnt
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas : edema (-), CRT <2s, AKHM (+/+/+/+)

3
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap (15-5-2022)

4
Elektrokardiografi (15-5-2022)

Xray Thoraks (15-5-2022)

5
Foto Skull AP/Lateral (15-5-2022)

Dokter memberikan terapi farmakologi berupa inj. Ketorolac 30 mg, Inj.


Ranitidine 50 mg, dan Inj. Ondansetron 4 mg. Kemudian dokter menyarankan untuk
dilakukan operasi segera untuk benjolan di submandibular kiri pasien tersebut.

6
BAB I
RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa bisa terjadi benjolan di leher pasien?


2. Apa hubungan antara sakit gigi dengan keluhan penyakit sekarang?
3. Bagaimana gejala awal penyakit yang dirasakan oleh pasien sehingga dapat jatuh ke
kondisi yang sekarang?
4. Apa isi dari benjolan pasien?
5. Apa saja kemungkinan dari diagnosis penyakit pasien?
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang?
7. Mengapa di Puskesmas Pujon sudah diberikan obat amoxicillin, asam mefenamat dan
dexamethasone namun tidak ada perbaikan?
8. Mengapa dokter tidak memberikan terapi antibiotik pada pasien?
9. Mengapa dokter menyarankan untuk dilakukan operasi?
10. Apa tindakan yang akan dilakukan dokter di kamar operasi?
11. Apa KIE yang perlu disampaikan kepada pasien agar penyakit pasien tidak berulang?
12. Apa tindak lanjut yang dapat dilakukan pada pasien pasca operasi?

7
BAB II
BRAINSTORMING

1. Mengapa bisa terjadi benjolan di leher pasien?


 Adanya riwayat demam dan sakit gigi menandakan proses inflamasi akibat
infeksi dari keluhan gigi berlubang. Hal ini menyebabkan ekstravasasi cairan ke
interstitial dan menyebabkan edema
 Apabila ada benjolan maka harus dipikirkan CINTA (congenital, infeksi,
neoplasma, trauma, dan another) untuk mencari penyebab terjadinya benjolan
tersebut.
2. Apa hubungan antara sakit gigi dengan keluhan penyakit sekarang?
Akar gigi rahang bawah kiri  sublingual space dan submaxillar space  akar gigi
terdapat di submandibular space  musculus myohioid  di atas sublingual space
 abses dapat menekan musculus  trismus.
3. Bagaimana gejala awal penyakit yang dirasakan oleh pasien sehingga dapat jatuh ke
kondisi yang sekarang?
Terdapat 2 fase abses:
1. Infiltrative
Hari 1-3  soft, nyeri ringan.
Hari 4-5  semakin merah, bengkak, nyeri hebat
2. Supurative
Hari ke 5-7 abses formation
Gejala demam berbeda-beda setiap orang, demam dapat muncul di hari ke-7 atau
lebih dari 7 hari, pada fase infiltrative bisa mulai ada demam.
Gejala yang dapat muncul adalah gejala inflamasi pada umumnya, yakni:
 Fungsiolesa  tidak bisa buka mulut
 Sitokin inflamasi TNF-, IL-6, peningkatan leukosit
 Prostaglandin, leukotriene  thermostat tubuh meningkat  demam
4. Apa isi dari benjolan pasien?
Kumpulan sel imun yang terdeposit, debris sel mati, bakteri  membentuk pus
5. Apa saja kemungkinan dari diagnosis penyakit pasien?
 Abses submandibular sinistra DD atheroma terinfeksi
 Atheroma  benjolan empuk dulu baru terinfeksi
 Abses  ada infeksi  muncul benjolan

8
DD: limfadenitis, parotitis, Ca tiroid, limfoma non Hodgkin, struma
6. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang?
- Pemeriksaan fisik: didapatkan benjolan berjumlah 1 berukuran 8x7 cm di regio
submandibular sinistra, hiperemis (+), fluktuasi (+), nyeri tekan (+)  abses
- DL
 Anemia hipokrom mikrositer karena intake kurang
 WBC meningkat  proses infeksi
 Trombositosis
- EKG: sinus ritmis HR 97x/ menit
- Xray Thoraks: cor dan pulmo dalam batas normal
- Foto skull AP/ lateral: soft tissue swelling di regio submandibular sinistra
7. Mengapa di Puskesmas Pujon sudah diberikan obat amoxicillin, asam mefenamat
dan dexamethasone namun tidak ada perbaikan?
- Untuk melihat apakah sudah sampai tulang  osteomyelitis  harus reseksi
- Selain skull AP/ lateral juga perlu dilakukan foto panoramic  untuk melihat
akar gigi
8. Mengapa dokter tidak memberikan terapi antibiotik pada pasien?
- Amoxicillin  kemungkinan sudah resisten  tidak bisa membunuh kuman
- Asam mefenamat  antinyeri, dexamethasone  anti inflamasi
- Konsep agent, host, environment
- Tidak membaik  host yg lemah, environment tidak mendukung, agent yg
terlalu kuat
- Tidak membaik  bisa juga karena proses perjalanan penyakit
9. Mengapa dokter menyarankan untuk dilakukan operasi?
Seharusnya diberikan double antibiotik yakni ceftriaxon (broad spectrum) dan
metronidazole (anaerob).
10. Apa tindakan yang akan dilakukan dokter di kamar operasi?
 Insisi, irigasi, drainage abses untuk mengeluarkan pus  dibiarkan terbuka
 Harus segera dikeluarkan agar tidak sampai jatuh ke kondisi komplikasi yang
mengancam jiwa seperti mediastinitis, angina Ludwig.
11. Apa KIE yang perlu disampaikan kepada pasien agar penyakit pasien tidak
berulang?
Insisi, irigasi, dan drainage abses.
- Cabut gigi
- Jaga oral hygiene  sikat gigi pagi dan malam

9
- Aakit gigi langsung segera ke dokter gigi
12. Apa tindak lanjut yang dapat dilakukan pada pasien pasca operasi?
 Keluhan nyeri, trismus
 Tampon/ handscoon drain  agar tetap terbuka
 Kontrol  lihat apakah ada tanda inflamasi, ganti tampon, spooling dengan
betadine atau NaCl  dilakukan terus sampai pus berhenti  lama -lama
menutup sendiri
 KIE: lama-lama menutup sendiri, bekas luka jelek  6 bulan bekas luka baru
bisa diperbaiki

10
BAB III
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Anatomi Regio


Submandibula
2. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Definisi Abses
Submandibula
3. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Klasifikasi Abses
Submandibula
4. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Etiologi dan Faktor Risiko
Abses Submandibula
5. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Patofisiologi Abses
Submandibula
6. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Diagnosis Abses
Submandibula
7. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Diagnosis Banding Abses
Submandibula
8. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Tatalaksana Abses
Submandibula
9. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Komplikasi Abses
Submandibula
10. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Prognosis Abses
Submandibula
11. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai KIE pada Pasien dngan
Abses Submandibula
12. Mahasiswa dapat mengetahui dan menjelaskan mengenai Manajemen Pasca Bedah
Abses Submandibula

11
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Regio Submandibula

Pada daerah leher, terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia

servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua, yaitu fasia superfisialis dan fasia

profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh m. palatisma yang tipis dan meluas ke

anterior leher. Muskulus palatisma bagian inferior berasal dari fasia servikal

profunda dan clavicula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior

mandibula (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Gambar 4.1. Potongan Sagital Leher

Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh leher,

ruang suprahyoid dan ruang ifrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher terdiri

dari ruang retrofiring, ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebral. Ruang

suprahyoid terdiri dari ruang submandibular, ruang parafaring, ruang parotis, ruang

peritonsil, dan ruang temporalis. Ruang infrahyoid meliputi bagian anterior dari lher

12
mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum setinggi vertebra ke tempat

dekat arkus aorta (Simmarta, 2011)

Ruang submandibular terdiri dari ruang sublingual, submaksla, dan submental.

Muskulus miolohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan

submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior,

pada bagian inferior oleh m. milohioid, di bagian superior oleh dasar mulut dan

lidah, dan di posterior oleh tulang hyoid (Simmarta, 2011).

Gambar 4.2. Anatomi Ruang Submandibula

2. Definisi Abses Submandibula

Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi

nanah (Siregar, 2004). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di regio

mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibular atau salah satu

komponennya. Sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher (Smeltzer dan Bare,

2001). Abses submandibular didefinisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang

potensial di regio submandibular dengan disertai dengan nyeri tenggorok, demam,

dan terbatasnya Gerakan membuka mulut (trismus) (Siregar, 2004).

13
Abses submandibular merupakan bagian dari abses leher dalam. Abses leher

dalam terbentuk di ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai aakibat

penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah, dan leher. Gejala dan tanda klinis biasanya berupa nyeri

dan pembengkakakan di ruang leher dalam yang terlibat (Suzanne, Smeltzer, dan

Brenda 2001).

3. Klasifikasi Abses Submandibula

Klasifikasi pada abses leher dalam diklasifikasikan berdasarkan regionya, yaitu

abses peritonsil, abses retrofiring, abses parafaring, dan angina Ludovici (Ludwig’s

angina). Ruang submandibular merupakan daerah yang paling sering terlibat

penyebaran infeksi dari gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi

saluran napas atas, trauma, benda asing, dan 20% tidak diketahui focus infeksinya

(Siregar, 2004).

4. Etiologi dan Faktor Risiko Abses Submandibula

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.

Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi (Soepardi,

2007; Calhoun, 2001).

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula,

jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari

gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara

langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan

melalui ruang mastikor (Huang, 2004; Ariji, 2002).

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,

baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering

14
ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza,

Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman

anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok batang

gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun Fusobacterium (Rosen, 2002).

5. Patofisiologi Abses Submandibula

Pembentukan abses selalu diawali dengan adanya proses inflamasi. Proses

inflamasi akut dimulai sesaat setelah adanya cedera jaringan yang salah satunya

dapat diakibatkan karena adanya infeksi (deJongs, 2016).

Proses inflamasi diawali dengan adanya perubahan vaskularisasi yang didahului

vasokonstriksi selintas yang berulang, sementara sebagai respons terhadap cedera,

diikuti dengan vasodilatasi dan pementukan kapiler baru di daerah cedera sehingga

terjadi peningkatan aliran darah ke daerah yang mengalami cedera (mengakibatkan

kalor/panas dan rubor/merah). Lama dari vasodilatasi bergantung berat cedera,

kemudian diikuti pelambatan sirkulasi. Pelepasan histamin dari sel mast yang

menyebabkan peningkatan permebilitas kapiler memungkinkan cairan yang kaya

protein keluar ke jaringan estravaskuler dan masuk ke area cedera/ eksudasi,

sehingga mengakibatkan tumor/bengkak dan dolor/nyeri (deJongs, 2016).

Rangkaian proses keluarnya leukosit dari lumen vaskular ke jaringan interstisial

disebut ekstravasasi. Leukosit bergerak dan berkumpul menuju dinding endotel

(marginalisasi), kemudian bergulir scpanjang dinding endotel (rolling), dan melekat

pada dinding endotel (adhesi) dan tertarik ke area peradangan (diapedesis). Sel-sel

yang terlibat dalam proses peradangan adalah trombosit dan sel-sel fagositik

(neutrofil atau PMN, makrofag, limfosit). Keluarnya sel-sel dari pembuluh darah

terdapat dalam dua stadium (deJongs, 2016):

Stadium I

15
Neutrofil dan PMN mendominasi pada awal pembentukan eksudat yang diikuti

oleh makrofag. Makrofag merupakan fagosit yang hidup lebih lama dan lebih kuat

dibanding PMN yang hidup lebih singkat dan mati setelah memfagositosis.

Stadium II

Limfosit dan sel-sel plasma ditemukan pada peradangan kronis Tidak hanya sel-

sel fagositik, respon peradangan akut juga diperantarai oleh mediator-mediator

kimiawi seperti histamin, faktor hageman, sistem komplemen, dan sitokin. Histamin

berperan meningkatkan permeabilitas vaskular. Faktor Hageman, menimbulkan

bekuan fibrin dan mengakitivasi sistem fibrinolisin (mencairkan pula bekuan darah)

dan mengaktivasi sistem kalikrein-renin, yaitu menyebabkan pelepasan bradikinin

(yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan meningkatkan permeabiltas).

Sedangkan sistem komplemen berperan sebagai agen kemotaktik, opsonin

(meningkatkan fagositosis), dan sebagai anafilatoksin (menyebabkan pelepasan

histamin) Sitokin, yaitu meliputi TNF, IL-1, dan IL-8 yang berfungsi menginduksi

inflamasi dan kemotaktik.

Eksudasi terjadi karena adanya perubahan permeabilitas pada pembuluh-

pembuluh darah yang sangat kecil di daerah peradangan tersebut, yang

mengakibatkan keluarnya protein ke jaringan. Proses ini kemudian diikuti oleh

pergeseran keseimbangan osmotik, sehingga air keluar bersama protein dan

menimbulkan pembengkakan jaringan (deJongs, 2016).

Pada inflamasi disertai dengan adanya infeksi bakteri piogenik akan terbentuk

eksudat yang terbentuk bersifat purulen yang disebut abses. Pus tersusun dari air dan

zat-zat terlarut, PMN yang mati, dan jaringan nekrotik. Kombinasi penimbunan dan

pencairan jaringan di bawahnya itulah disebut supurasi. Apabila bakteri penyebab

inflamasi ini masih menetap maka akan terjadi gangguan terhadap penyembuhan

sehingga terjadi inflamasi kronis (berminggu-minggu sampai berbulan-bulan)

(deJongs, 2016).

16
Efek sistemik inflamasi

Demam merupakan manifestasi utama inflamasi, terutama jika inflamasi

disebabkan oleh infeksi. Sinyal ini dikoordinasi oleh hipotalamus dan melibatkan

pengaturan respons endokrin dan sistem saraf otonom, serta respons fisik. Ketiga

komponen ini berperanan dalam reaksi fase akut. Pada mulanya, sistem endokrin dan

metabolisme memicu sekresi protein fase akut oleh hati seperti C-reactive protein

(CRP), serum amyloid A (SAA), serum amyloidP(SAP), komplemen, dan protein

koagulasi; kemudian terjadi peningkatan produksi glukokortikoid yang mengaktifkan

respons stres dan penurunan sekresi vasopresin yang mengurangi volume cairan

tubuh. Kemudian sistem saraf otonom akan mengatur kembali aliran darah untuk

mengalihkannya dari kulit ke sistem pembuluh yang lebih dalam guna menekan

kehilangan panas melalui kulit, denyut nadi dan tekanan darah akan meningkat; dan

keringat akan berkurang. Respons fisik akan menyebabkan tubuh menggigil,

anoreksia, somnolen, dan malaise (deJongs, 2016).

Infeksi pada mandibula bermula dari masuknya bakteri, seperti Staphylococcus

aureus dan Streptococcus mutans kemudian bakteri patogen tersebut melepaskan 3

enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,

streptodornase, dan hyaluronidase yang masuk dari gigi berlubang atau bagian

tengah gigi, kemudian menyebar hingga akar. Sistem saluran akar (root canal)

merupakan ruangan tertutup yang pada kondisi normal, bebas dari bakteri. Jika

ruangan ini terbuka akibat mahkota gigi yang tidak intak, seperti pada trauma dan

karies gigi, maka bakteri akan mudah masuk sistem saluran akar dan menyebabkan

infeksi endodontik. Infeksi dari berbagai mikroorganisme memicu peradangan pada

pulpa dan kolonisasi bakteri pada saluran akar. Invasi bakteri dapat berlanjut masuk

ke jaringan periapikal melalui foramen apikal untuk memicu inflamasi pada jaringan

di sekitar akar. Peradangan ini menghasilkan produk inflamasi yang berakumulasi

sebagai pus dan berakhir sebagai abses apikal akut. Selanjutnya, terjadi infeksi

17
odontogen yang dapat menyebarkan bakteri menjadi lebih luas lagi melalui jaringan

ikat (perikontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe

(limfogenous) (Anggreni, 2020).

Infeksi yang terjadi akibat bakteri patogen ini akan membangkitkan sistem

pertahanan tubuh untuk melawan dan menghancurkan bakteri, sel, ataupun jaringan

yang telah terinfeksi. Sebagian sel yang telah mati dan hancur akan meninggalkan

rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang telah mati. Sel-sel dan jaringan yang

telah mati lainnya akan membentuk pus/nanah yang akan mengisi rongga tersebut

(Sanders, 2021).

Akibat dari penimbunan nanah ini akan mendorong jaringan disekitarnya untuk

tumbuh mengelilingi rongga tersebut dan terbentuklah abses. Selain itu, S.mutans

akan membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang

disebut sebagai membran abses yang berperan menjadi dinding pembatas (Fibrosus

Capsule) abses. Jika suatu abses pecah di dalam tubuh, maka infeksi dapat menyebar

secara sistemik (Anggreni, 2020).

Infeksi abses mandibula dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya dan dapat

mengenai struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan

Nerve X (syaraf vagus). Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat

menimbulkan erosi sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis

interna. Infeksi yang terjadi dapat meluas ke tulang dan menimbulkan osteomielitis

mandibula dan vertebra servikal. Infeksi yang terjadi menyebabkan hambatan pada

saluran nafas atas, peradangan pada rongga dada mediastinum (mediastinitis),

dehidrasi, dan sepsis (infeksi pada seluruh tubuh) (Pesis et al., 2019).

6. Diagnosis Abses Submandibula

Kriteria diagnosis abses secara umum menurut Rajendran 2007 adalah sebagai

berikut:

18
1. Onset akut kurang dari 7 hari

2. Pada saat drainase atau aspirasi didapatkan cairan purulent

3. Eritem dan terdapat indurasi dengan siameter +/- 2 cm atau nyeri tekan

4. Bukti adanya cairan dalam lobus saat pemeriksaan.

Fase abses odontogenik meliputi 2 tahap yaitu (Jevon, 2020):

1. Tahap infiltratif

- Tahap 1: hari ke-1-3 dengan klinis lunak dan pembengkakan ringan

- Tahap 2: hari ke-2-5 dengan klinis keras, merah, dan pembengkakan berat

2. Tahap supuratif

- Tahap ke-3: hari ke-5-7 dengan klinis sudah terbentuk abses

Pemeriksaan fisik

Menurut Smeltzer dan Bare (2010), gejala dari abses tergantung kepada lokasi

dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa :

1.      Nyeri

2.      Nyeri tekan

3.      Teraba hangat

4.      Pembengakakan

5.      Kemerahan

6.      Demam

Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagi

benjolan. Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika

abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit

diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala

seringkali terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam lebih mungkin menyebarkan

infeksi keseluruh tubuh.

Adapun tanda dan gejala abses mandibula adalah nyeri leher disertai

pembengkakan di bawah mandibula dan di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.

19
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2010), abses

mandibula sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi.

Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah mandibula yang pada

perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi. Sering mendorong

lidah keatas dan kebelakang dapat menyebabkan trismus. Hal ini sering

menyebabkan sumbatan jalan napas. Bila ada tanda-tanda sumbatan jalan napas

maka jalan napas harus segera dilakukan trakeostomi yang dilanjutkan dengan insisi

digaris tengah dan eksplorasi dilakukan secara tumpul untuk mengeluarkan nanah.

Bila tidak ada tanda- tanda sumbatan jalan napas dapat segera dilakukan  eksplorasi

tidak ditemukan nanah, kelainan ini disebutkan Angina ludoviva (Selulitis

submandibula). Setelah dilakukan eksplorasi diberikan antibiotika dosis tinggi untuk

kuman aerob dan anaerob.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mendeteksi sedini mungkin

penyakit ini. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui ukuran

dan lokasi abses yaitu pemeriksaan rontgen, USG, CT Scan atau MRI, dan

pemeriksaan laboratorium darah.

Pada pemeriksaan laboratorium darah, akan terjadi peningkatan jumlah sel

darah putih (leukosit) di dalam tubuh. Pemeriksaan rontgen dapat dilakukan pada

abses kronis yang dicurigai sudah menimbulkan komplikasi Infeksi meluas hingga

ke tulang dan menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal. USG

dapat digunakan untuk membedakan massa atau cairan yang menyebabkan benjolan,

walaupun secara klinis mudah dibedakan. USG juga berguna mengetahui volume

pus yang perlu dievakuasi (Khairunnisa, 2019).

7. Diagnosis Banding Abses Submandibula

Lesi kulit yang harus dibedakan dari abses kulit meliputi:

20
 Kista epidermoid – Kista epidermoid adalah nodul kulit berwarna kulit.

Diagnosis biasanya klinis, berdasarkan gambaran klinis kista atau nodul,

seringkali dengan punctum sentral, yang dapat digerakkan secara bebas pada saat

palpasi. Kista epidermoid dapat menjadi infeksi sekunder.

 Folikulitis – Folikulitis mengacu pada peradangan pada satu atau lebih folikel

rambut. Diagnosis sering ditegakkan secara klinis. Pewarnaan Gram dan kultur

atau biopsi kulit mungkin diperlukan untuk membedakan folikulitis dari kondisi

lain.

 Hidradenitis suppurativa – Hidradenitis suppurativa adalah proses supuratif

kronis yang melibatkan kulit dan jaringan subkutan kulit intertriginosa. Diagnosis

biasanya ditegakkan secara klinis.

 Limfangitis nodular – Limfangitis nodular muncul sebagai pembengkakan

subkutan nodular di sepanjang saluran limfatik.

 Botryomycosis – Botryomycosis adalah infeksi supuratif kronis yang ditandai

dengan respons inflamasi granulomatosa terhadap S. aureus dan bakteri lain. Hal

ini terjadi paling sering pada pasien immunocompromised. Diagnosis ditegakkan

melalui pewarnaan Gram, kultur, atau pemeriksaan pus untuk mencari granula.

 Myiasis – Myiasis muncul sebagai nodul yang membesar terkait dengan gigitan

serangga; Hal ini disebabkan oleh penetrasi larva lalat ke dalam jaringan

subdermal. Diagnosis ditegakkan melalui manifestasi klinis dalam pengaturan

paparan epidemiologi ke daerah tropis dan subtropis.

8. Tatalaksana Abses Submandibula

Tujuan utama tatalaksana pada pasien abses submandibula adalah untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan infeksi orofasial (termasuk infeksi

21
submandibular space) meliputi intervensi pembedahan untuk mendrainase pus yang

terlokalisir dan dukungan medis untuk pasien.

1. Insisi dan drainase

Hal ini dapat dilakukan baik secara intraoral maupun ekstraoral tergantung

pada lokasi infeksi. Aspirasi pus sebelum insisi memungkinkan metode

pengambilan sampel lebih akurat karena mengurangi kontaminasi dan membantu

melindungi dari bakteri anaerob. Pembengkakan yang berfluktuasi menunjukkan

adanya pus dan didefinisikan sebagai transmisi fluida dengan menggunakan

palpasi bidigital.9 Pada pasien dilakukan insisi drainase.

Insisi dilakukan dengan panjang kurang lebih 2 cm pada daerah yang paling

fluktuatif. Setelah di insisi, eksplorasi pus dilanjutkan secara tumpul dengan

menggunakan klem bengkok sampai ruang submandibula. Setelah pus berhasil

dieksplorasi, dilakukan pemasangan draine handschoen yang dilumuri dengan

betadine pada luka insisi kemudian ditutup dengan mengguankan kasa steril dan

direkatkan dengan menggunakan hipafix. Penderita dievaluasi setiap hari dan

dilakukan dilatasi pada luka insisi untuk mengeluarkan pus yang masih

diproduksi. Setelah dilakukan insisi dranase keluhan pasie mulai berkurang

begitu juga dengan trismus yang dialami pasien semakin membaik.

2. Antibiotik

Antibiotik dapat diberikan secara empiris atau antibiotik spesifik yang

diberikan berdasarkan tes kultur dan sensitivitas. Pada pasien ini diberikan

antibiotik berupa amoksisilin yaitu penisilin spektrum luas. Dimana diketahui

bahwa penisilin memiliki potensi untuk menjadi agen lini pertama dalam

pengobatan infeksi odontogenik. Sebagian besar antibiotik beta-laktam lainnya,

termasuk sefalosporin generasi keempat, tidak ditemukan memiliki efektivitas

yang lebih besar daripada penisilin. Amoksisilin adalah obat spektrum luas yang

berguna dalam konteks ini walaupun banyak klinisi lebih menyukai efek anti-

22
anaerobik spesifik dari metronidazol.9 selain itu, pasien juga diberikan

metilprednisolon 3x4 mg. pemberian obat ini untuk mencegah terjadinya

inflamasi yang luas.

3. Analgesik

Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab

infeksi terkendali. Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian pasien.

Obat anti inflamasi nonsteroid digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.

Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin, digunakan untuk rasa sakit

yang parah. Parasetamol, ibu profen dan aspirin cukup untuk sebagian besar nyeri

ringan akibat infeksi gigi. Analgesik perlu diberikan dengan hati-hati, terutama

apabila menggunakan narkotika, karena membawa risiko depresi pernapasan.

9. Komplikasi Abses Submandibula

Infeksi yang terjadi akibat bakteri patogen ini akan membangkitkan sistem

pertahanan tubuh untuk melawan dan menghancurkan bakteri, sel, ataupun jaringan

yang telah terinfeksi. Sebagian sel yang telah mati dan hancur akan meninggalkan

rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang telah mati. Sel-sel dan jaringan yang

telah mati lainnya akan membentuk pus/nanah yang akan mengisi rongga tersebut

(Sanders, 2021).

Akibat dari penimbunan nanah ini akan mendorong jaringan disekitarnya untuk

tumbuh mengelilingi rongga tersebut dan terbentuklah abses. Selain itu, S.mutans

akan membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang

disebut sebagai membran abses yang berperan menjadi dinding pembatas (Fibrosus

Capsule) abses. Jika suatu abses pecah di dalam tubuh, maka infeksi dapat menyebar

secara sistemik (Anggreni, 2020).

Komplikasi abses submandibula terjadi akibat keterlambatan diagnosis dan

penatalaksanaan serta terapi yang tidak tepat dan adekuat. Komplikasi yang dapat

23
terjadi adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis mandibula, penyebaran infeksi ke

ruang leher dalam di dekatnya, mediastinitis serta sepsis yang menyebabkan semakin

sulitnya penanganan dan bahkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Infeksi abses submandibula dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya dan

dapat mengenai struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna

dan Nerve X (syaraf vagus). Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat

menimbulkan erosi sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis

interna. Infeksi yang terjadi dapat meluas ke tulang dan menimbulkan osteomielitis

mandibula dan vertebra servikal. Infeksi yang terjadi menyebabkan hambatan pada

saluran nafas atas, peradangan pada rongga dada mediastinum (mediastinitis),

dehidrasi, dan sepsis (infeksi pada seluruh tubuh) (Pesis et al., 2019).

Obstruksi jalan napas dan penyebaran infeksi ke mediastinum adalah

komplikasi yang paling menyusahkan dari infeksi ruang submandibular. Oleh karena

itu, pemeliharaan jalan napas yang aman adalah yang terpenting. Pasien dengan

selulitis dan abses kecil dapat merespon antibiotik saja. Drainase bedah harus

dilakukan pada pasien dengan abses yang lebih besar, angina Ludwig, keterlibatan

ruang viseral anterior, dan pada mereka yang tidak menanggapi pengobatan

antibiotik. Selain itu, penilaian klinis pada pasien dengan penyakit penyerta,

terutama diabetes mellitus, memerlukan tingkat kecurigaan yang tinggi untuk potensi

komplikasi yang mengancam jiwa.

10. Prognosis Abses Submandibula

Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan abses leher

dalam telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini, manajemen agresif

dengan bedah intervensi dan manajemen jalan napas yang tepat dapat mengurangi

komplikasi dan kematian yang terkait dengan abses leher dalam termasuk abses

submandibula. Prognosis yang cukup baik didapatkan pada penelitian yang

24
dilakukan di Departemen THT-KL RSHS Bandung periode Januari 2012-Desember

2012 yang memperlihatkan kondisi pasien saat pulang dengan perbaikan sebanyak

71%.

11. KIE pada pasien dengan Abses Submandibula

Abses submandibula dapat dicegah dengan melakukan kebersihan mulut dan

gigi, mengurangi konsumsi gula, berhenti merokok, dan penanganan segera pada

infeksi gigi sehingga tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut, seperti terjadinya

abses submandibula akibat infeksi pada gigi (Sipahi, 2015).

12. Manajemen Pasca Bedah Abses Submandibula

1. Infus RL/D5 sesuai kebutuhan cairan 60cc/kgBB/hari

2. Injeksi antibiotika dilanjutkan sampai 5 hari.

3. Kumur-kumur dengan obat kumur antiseptik/ oral highiene yang baik.

4. Latihan buka mulut supaya tidak trismus, atau kontraksi sehingga pus “terpompa”

keluar.

5. Rawat luka dengan kompres larutan garam faali (bukan betadine), sehingga luka

terjaga kebersihannya.

6. Evaluasi sumber infeksi (gigi) dan apakah ada diabetes mellitus.

7. Jangan lupa dianjurkan untuk berobat lanjutan sumber infeksinya.

8. Follow-Up Tiap 3 hari sampai infeksi sembuh

(Modul Bedah KL Universitas Sumatera Utara)

25
BAB V
SOAP

Subjektif - Benjolan di submandibular kiri sejak 1 minggu yang lalu.


- Sakit gigi 10 hari yang lalu.
- Benjolan awalnya kecil seperti bisul sampai akhirnya
membesar.
- Sejak semalam mengeluh nyeri sekali seperti mau pecah, sulit
membuka mulut, hanya bisa membuka mulut selebar +3 cm
- RPO: Amoxicillin, Dexamethasone, dan Asam Mefenamat 3
hari.
- Selama 7 hari terdapat benjolan, pasien sering mengalami
demam.
- Pasien menyangkal adanya Riwayat penyakit yang lain baik
pada dirinya maupun keluarga.
Objektif KU: cukup
Kesadaran: composmentis
GCS: 456
Vital Sign:
TD : 141/81  mmHg
N : 140 x/menit, kuat, reguler
RR : 20x/menit
T : 35.6 °C
SpO2 : 99% on room air
Status Lokalis Regio Submandibula Sinistra: didapatkan benjolan
berukuran 8x7 cm di regio submandibular sinistra, hiperemis (+),
fluktuasi (+), nyeri tekan (+)
WBC: 29.810 (H)
Assessment Abses submandibula sinistra
Planning Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj. metronidazole 3x500 mg
inj. Ketorolac 3x30 mg,
Inj. Ranitidine 2x50 mg
Inj. Ondansetron 3x4 mg

26
BAB VI
PETA KONSEP

27
DAFTAR PUSTAKA

Anggreni setiawan, P. D., & Putra, I. D. A. E. (2020). Karakteristik penderita abses

mandibula di Departemen THT-KL RSUP Sanglah Denpasar. Medicina, 51(2),

153–158. https://doi.org/10.15562/medicina.v51i2.76.

Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et al. Odontogenic


infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int J Oral
Maxillofac Surg. 2002. 31: 165–9.
Asyari, A. (2019) ‘Penatalaksanaan Abses Submandibula dengan Penyulit Uremia dan

Infark Miokardium Lama’, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala

Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, 2(Gambar

1), pp. 1–7.

Bare, Brenda G dan Smeltzer, Suzanne C. O'Connell. 2010. Smeltzer and Bare's

Textbook of Medical-Surgical Nursing: Australian and New Zealand Edition.

Lippincott Williams & Wilkins Pty, Limited.

Calhoun KH. Head and neck surgery-otolaryngology. Volume 2. 3nd Edition. USA:
Lippincott Williams and Wilkins. 2001. 705,712-3.
Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis of

18 cases. Head and neck. 2004. 860-4.

Jevon, P., Abdelrahman, A. & Pigadas, N. Management of odontogenic infections and

sepsis: an update. Br Dent J 229, 363–370 (2020).

https://doi.org/10.1038/s41415-020-2114-5

Khairunnisa, R. and Nindya, T. (2019) ‘Manajemen Kedaruratan Dental Pada Abses

Submandibula Dextra Et Causa Nekrosis Pulpa Gigi 44’, Medika Kartika Jurnal

Kedokteran dan Kesehatan, 3(Volume 3 No 1), pp. 62–70. doi:

10.35990/mk.v3n1.p62-70.

Modul Bedah Kepala Leher Universitas Sumatera Utara

28
Pesis, M. et al. (2019) ‘Deep neck infections, life threatening infections of dental origin:

Presentation and management of selected cases’, Israel Medical Association Journal,

21(12), pp. 806–811.

Sanders JL, Houck RC. Dental Abscess. [Updated 2021 Jul 17]. In: StatPearls [Internet].

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493149/

Simmarta Priscila F. 2011. Abes Mandibular. Bagian THT Fakultas Keodkteran

Universitas Riau Pekanbaru.

Sipahi Calis, A., Ozveri Koyuncu, B., Ozturk, K., Mert, A., & Bilgen, C. (2015). General

approach to the treatment of odontogenic abscesses and cost analysis. Journal of

Istanbul University Faculty of Dentistry, 49(2), 17–22.

https://doi.org/10.17096/jiufd.90557

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Abses leher dalam. Dalam:

Fachruddin D, Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI. 2007. 226.

Soetjipto D., Mangunkusumo E. 2007. Sinus paranasal. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 145-48.

Suzanne, C., Smeltzer, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah

Bruner and Suddarth. Ahli Bahasa Agung Waluyo. (et, al) Editor Bahasa Indonesia:

Monica Ester. Edisi 8 Jakarta: EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai