Anda di halaman 1dari 12

PRAKTIK PROFESI NERS

STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT & KRITIKAL


RS ISLAM BANJARMASIN
LAPORAN PENDAHULUAN SPINAL CORD INJURY

Pembimbing Klinik : Noorliyana, S.Kep.,Ns


Pembimbing Akademik : Julianto, Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :
Arika Noviriana
2114901110010

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
TA 2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN

a. Konsep Penyakit Spinal Cord Injury


a.1 Definisi
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang
mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang (Mutttaqin, 2008). Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma
yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna maupun spinal cord, dapat
mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada cervicalis,
vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya.
Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur
atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual
maupun potensial (Price, 2005). Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan
fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis
(Brunner & Suddarth, 2001).

a.2 Etiologi
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat
untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering
karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori, 2007).

Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara lain:

 Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)


Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk
merusak kord spinal serta kauda ekuina
 Olahraga
 Menyelam pada air yang dangkal
 Luka tembak atau luka tikam
 Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit
dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar;
mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis
yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi
maupun kompresi; dan penyakit vascular.
a.3 Tanda gejala
Tanda dan gejala pasien yang mengalami Spinal Cord Injury (SCI)
a. Sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala. Biasanya nyeri terjadi hilang
timbul
b. Geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di tangan, jari dan tangan
c. Kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh
d. Inkontinensia urie yang mengkin disebabkan karena kelumpuhan saraf.
e. Kesulitan berjalan dengan keseimbangan
f. Abnormal band seperti sensations dalam Thorax - rasa sakit, tekanan
g. Sulit bernafas setelah cedera
h. Tidak berfungsi

a.4 Patofisologi
Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga, mengakibatkan patah tulang
belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah
tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan sumsum
tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi
dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis
pelepasan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan
akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum,
kandung kemih.Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen
dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia, gangguan eliminasi.

a.5 Pemeriksaan Penunjang


Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan
diagnostik SCI yang dapat meliputi, sbb:
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
a.6 Komplikasi
Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan penilaian atas
cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih pasien
dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak,
toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang
berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang
yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal.Dua penyebab
kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok.
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera medulla
spinalis yakni:
a. Syok spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla
spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang
disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi
menjadi parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada.Tekanan
darah menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal
atas, pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi
masalah pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan
tekanan parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan
dan edema pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien
cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme
pulmonal (EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas
pendek, dan nilai gas darah abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,
pernapasan, dan local pada tempat pin).

a.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam
posisi lurus;
1. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan
pasien.
2. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.
3. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikal stabil ringan.
4. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk
mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui
spinal tidak aktif.

Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis


dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
       
Penatalaksanaan Keperawatan
 Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena:syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi
 Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
 Pemeriksaan diagnostik
 Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).
a.8 Pathway

b. Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan

2.1. Pengkajian
2.1.1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2.1.2. Pemeriksaan fisik
a) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
b) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c) Sistem saraf :
 Kesadaran : GCS
 Fungsi saraf kranial : Trauma yang mengenai/meluas ke
batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor : Adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
d) Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah
tersedak. Jika pasien sadar : Tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
e) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik :
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
f) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan :
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
g) Psikososial : data ini penting untuk mengetahui dukungan yang
didapat pasien dari keluarga.

b.1 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1:Ketidakefektifan bersihan jalan napas
b.1.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran pernapasan untuk mempertahankan kebersihan jalan npas
b.1.2 Batasan karakteristik
- Tidak ada batuk
- Suara npas tambahan
- Perubahan pola napas
- Perubahan Frekuensi napas
- Perubahan Irama Napas
- Sianosis
- Kesulitan berbicara atau mengeluarkan suara
- Penurunan Bunyi Napas
- Dispnea
- Sputum dalam jumlah yang berlebih
- Orthopneu
- Gelisah
- Mata terbuka lebar
b.1.3 Faktor yang berhubungan
Diagnosa 2: Pola napas tidak efektif
b.1.4 Definisi
Inspirasi dan/atau eskpirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat
b.1.5 Batasan karakteristik
Data subjektif:
- Dispnea
- Napas pendek
Data objektif:
- Perubahan ekskursi dada
- Mengambil posisi tiga titik tumpu
- Bradipnea
- Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
- Penurunan vntilasi semenit
- Penurunan kapasitas vital
- Napas dalam
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Napas cuping hidung
- Ortopnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Pernapasan binir mencucu
- Kecepatan respirasi
- Usia dewasa atau 14 tahun lebih ; ≤11 atau ≥24 x permenit
- Usia 5-14 tahun < 15 atau > 25
- Usia 1-4 tahun <20 atau >30
- Usia bayi <25 atau >60
- Takipnea
- Rasio waktu
- Pengunaan otot bantu asesoris untuk bernapas
b.1.6 Faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Posisi tubuh
- Deformitas tulang
- Deformitas dinding dada
- Penurunan energi dan kelelahan
- Hiperventilasi
- Sindrom hipoventilasi
- Kerusakan muskuloskeletal
- Imaturitas neurologis
- Disfungsi neuromuskular
- Obesitas
- Nyeri
- Kerusakan persepsi atau kognitif
- Kelelahan otot-otot pernapasan
- Cedera medula spinalis

b.2 Perencanaan
Diagnosa 1:Bersihan Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
b.2.1 Tujuan dan Kriteria hasil (NOC)
a. Menunjukan pola pernapasan efktif, yang berdasarkan oleh status
pernapasan: status ventilasi dan pernapasan yang tidak terganggu:
kepatenan jalan napas: dan tidak ada penyimpangan tanda vital dari
rentang normal
b. Menunjukan status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dengan
indikator kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas, serta
ekspensi dada simetris.
c. Menunjukkan tidak adanya gangguan status pernapasan: ventilasi
dibuktikan dengan indikator penggunan otot aksesorius, suara napas
tambahan, pendek napas
d. Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal.

b.2.2 Intervensi keperawatan dan rasional (NIC)


a. monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b. monitor bunyi napas tambahan
c. monitor sputum
d. berikan minum hangat
e. anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
f. lakukan fisioterapi dada, jika perlu
g. lakukan pengisapan lender kurang dari 15 detik
h. monitor kemampuan batuk efektif
i. ajarkan teknik batuk efektif
j. atur posisi semi-Fowler atau Fowler

Diagnosa 2: Pola napas tidak efektif


2.2.1 Tujuan dan Kriteria hasil (NOC)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pola napas
membaik dengan kriteria hasil :
a. Tidak ada dipnea
b. Menunjukkan jalan napas yang paten (irama napas, frekuensi napas
dalam rentang normal, tidak ada suara napas tambahan)
c. Tanda-tanda vital dalam rentang normal
2.2.2 Intervensi keperawatan dan rasional (NIC)
PEMANTAUAN RESPIRASI (I.01014)
Observasi
a. Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
b. Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik0
c. Monitor kemampuan batuk efektif
d. Monitor adanya produksi sputum
e. Monitor adanya sumbatan jalan napas
f. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor saturasi oksigen
i. Monitor nilai AGD
j. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
a. Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

MENEJEMEN JALAN NAPAS (I. 01011)


Observasi
a. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
c. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
a. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
b. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
c. Berikan minum hangat
d. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
f. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
g. Penghisapan endotrakeal
h. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
i. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
a. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
b. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing


Diagnoses: Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley
Blackwell.
Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical
Nursing. Mosby: ELSIVER
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Banjarmasin, 29 Maret 2022


Pembimbing Akademik Ners Muda

(Julianto, Ns.,M.Kep) (Arika Noviriana, S.Kep)

Anda mungkin juga menyukai