Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Kita semua perlu menyadari bahwa Covid-19 bukanlah semata-sama penyakit paru-paru,
tetapi adalah penyakit dengan seribu wajah. Infeksi virus dapat terjadi pada paru-paru, dan
saluran napas, termasuk hidung, mulut dan tenggorokan sehingga menimbulkan gejala
batuk kering diawal dan dahak kental walau sedikit di late critical (fase lanjut stadium kritis),
anosmia atau hilang penghidu/penciuman, ageusia (hilang pengecapan), pilek tidak beringus
atau seperti hidung tersumbat, sesak napas, nyeri dada. Akan tetapi infeksi virus corona juga
bisa mengenai usus saluran cerna sehingga menimbulkan gejala sakit perut, mag, diare dan
muntah, bahkan tanpa sesak atau batuk. Selain itu Covid 19 juga merangsang reaksi
peradangan sistemik sehingga dapat mengakibatkan demam (yang umumnya tak sampai 40
C), hiperkoagulasi, sakit jantung baik karena kardiomyopati atau koroner,. Hal lain yang perlu
diingat adalah bahwa Covid 19 adalah penyakit menular sehingga riwayat kemungkinan
kontak (seperti berpergian) selalu merupakan hal penting untuk menduga adanya infeksi
SARS CoV2.
Sebelum kita lanjutkan untuk membahas penyakit Covid 19, kami ingin mengingatkan pada
pemahaman laju kepositifan atau positivity rate. Positivity rate adalah rasio antara jumlah
hasil swab RT PCR yang positif dibagi jumlah seluruh tes swab RT PCR yang dilakukan. Bila
kita hanya memeriksa swab pada pasien Covid 19, maka makin banyak yang positif sehingga
positivity rate akan tinggi. Di Indonesia Positivity rate masih lebih dari 35 %, padahal WHO
meminta positivity rate hanya 5% untuk bisa mengendalikan pandemi ini. Dengan kata lain
WHO menginginkan 95% orang yang di tes swab RT PCR adalah bukan orang yang sakit Covid
19. Dengan demikian langkah pertama untuk deteksi dini dari Covid 19 adalah setiap ada
salah satu dari gejala dan tanda yang telah kita sebut di atas, sedapatnya hendaknya
dilakukan uji swab. Bila misalnya ada orang pulang dari berpergian hendaknya diswab, ada
orang dengan sakit tenggorokan sedikit saja, hendaknya diswab, demikian pula setiap ada
orang dengan demam hendaknya diswab.
Kembali membahas, teknis medis mendiagnosis Covid 19, maka pendekatan pertama
mendiagnosis Covid 19 adalah melalui kriteria klinis dan epidemilogis meliputi anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang yang
utamanya adalah (swab RT PCR). Apabila ada klinis pemeriksaan demam suhu 38 C dan ada
riwayat berpergian dalam 14 hari sebelumnya, maka perlu diswab. Apabila ada yang batuk
pada petugas yang dalam 14 hari terakhir masih bekerja di fasyankes, maka perlu diswab.
Apabila ada 3 gejala misalnya sakit kepala, myalgia (nyeri otot), mual, walaupun tanpa
demam atau batuk, dan tinggal di area penularan seperti Surabaya, Jakarta, maka kita perlu
swab. Tentu kita tak harus menswab orang dengan mual, sakit kepala, dan myalgia yang
tinggal misalnya di pulau Komodo atau Pulau Karimata yang tidak pernah keluar dari pulau
dan kontak dengan orang dari luar pulau, karena sampai saat ini takada laporan kasus di
pulau itu.
Apabila seseorang masuk kriteria klinis dan epidemiologis tersebut, atau sesorang dengan
ISPA (batuk-pilek), atau terjaring rapid darah positif maka ia masuk suspek atau tersangka.
Selanjutnya bila kasus tersangka itu memiliki kontak, atau gambaran radiologis infiltrate,
maka ia masuk kasus sangat mungkin (probable). Demikian pula kasus anosmia atau orang
meninggal dengan sesak napas dan ada kontak, semua itu masuk kriteria kasus sangat
mungkin (probable).
Bila kasus tersangka atau sangat mungkin itu terswab positif (baik RT PCR maupun antigen) maka
disebut kasus terpastikan (konfirm) bergejala (simtomatik). Bila seseorang tersangka hanya karena
terskrining rapid tes lalu swab positif maka disebut kasus terpastikan tak bergejala (asimtomatik).
Swab rapid antigen tak dapat dijadikan alat konfirmasi bila tak bergejala atau minimal tak ada kontak.
Atau sebaiknya bila ada gejala atau kontak maka rapid antigen sudah dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis
Yang disebut kontak adalah jarak dekat 1 m dalam waktu yang cukup yaitu lebih 15 menit. Jadi dokter
yang konsultasi hanya 10 menit pada satu keluarga pasien saja yang kemudian terpastikan atau
sangat mungkin (confirm / probable) bukanlah termasuk kontak erat. Kontak erat adalah juga
mencakup sentuhan fisik atau petugas medis yang merawat tanpa APD.
Apabila klinis dan epidemiologis mengarah pada tersangka atau sangat mungkin (probable)
maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang swab RT CR dan radiologis. Pemeriksaan
radiologis bisa toraks foto atau langsung CT scan atau bila yang mampu USG toraks. Untuk
swab rapid antigen hanya digunakan bila kita membutuhkan hasil yang cito dan hanya bisa
diterima bila dilakukan pada 5 – 7 hari dari onset gejala. Tes rapid antigen yang digunakan
pun hendaknya yang kualitasnya baik, yaitu sensitifitas > 80% dan spesifitas > 97%
Ini adalah gambar berbagai tes, swab, rapid tes, infiltrate paru dan GGO CT scan
Apabila sudah terkonfirmasi / terpastikan maka penderita Covid 19 bisa dibagi atas tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis. Ini untuk memilah penanganan sesuai dengan keadaan di Indonesia,
walaupun di WHO pembagiannya hanya kritis, berat dan tidak berat. Prinsipnya adalah : ringan bila
paru-paru tak terkena. Sedang bila paru terkena tapi tidak sesak atau tidak hipoksemia (SpO2 > 95),
Berat bila paru terkena dengan sesak atau dengan hipoksemia (SpO2 93-95%). Kritis bila gagal napas
(SpO2 < 93) atau ada tanda sepsis apalagi syok.
Pada gejala sedang pasien hendaknya dirawat, mulai diperhitungkan cairan dan dietnya. Vit
C dan Azitromisin bisa mulai diberi IV (walau bisa oral juga). Oseltamivir tidak lagi diberikan
pada pasien dirawat. Remdesivir mulai dapat diberikan pada pasien dirawat. Antikoagulan
hendaknya diberikan injeksi (heparin atau low molecular heparin) bahkan sebelum diperiksa
ddimernya asal tak ada tanda ririko perdarahan. Jangan lupa menangani komorbidnya
seperti hipertensi dan DM atau sakit ginjal dan livernya, serta penyulitnya seperti diare.
Pemeriksaan laboratorium mulai rutin disarankan.
Apabila kita menggunakan LMWH maka kita mulai dari enoxaparin 1 x 0,4 ml atau 40 mg
subkutan atau heparin 2 x 1000 U, tanpa perlu periksa aPTT. Yang penting adalah sebelum
pemberian antikoagulan dilakukan penilaian apakah risiko perdarahan ada. Penilaian risiko
perdarahan dapat dilakukan dengan skor IMPROVE. Fondaparinux bisa diberikan sebagai
pengganti enoxaparin akan tetapi tidak dianjurkan pada kasus kritis krn risiko perdarahannya
lebih besar.
ISTH sebetulnya menganjurkan pada semua pasien Covid terkonfirmasi untuk dilakukan
skrining atau penapisan Ddimer, PT, Trombosit, dan Fibrinogen. Apabila Ddimer meningkat 3-
4 kali normal atau di atas 1200-2000, serta PT memanjang dengan Trombosit < 100,
Fibrinogen < 2, maka disarankan dirawat walau gejala ringan karena membutuhkan
antikoagulan injeksi. Walau kenyataan klinisnya pasien dengan hasil lab tersebut mestinya
terdapat gejala. Antikoagulan hendaknya tidak diberikan bila Trombosit < 25ribu. Mohon
maaf saya masuk sedikit ke pasien dengan sakit berat dan kritis, karena rasanya tidak akan
dibahas di presentasi berat dan kritis nanti, yaitu bila tetap harus diberikan antikoagulan
seperti ada DIC atau thrombosis maka trombosit harus dipertahankan > 25ribu bila tak ada
perdarahan (misalnya dengan transfusi). Namun bila ada perdarahn maka Trombosit harus >
50.000, dan Fibrinogen > 1,5
Berikutnya kami perlu menyinggung pendekatan tatalaksana komorbid dan komplikasi pada
Covid karena mungkin tak akan terbahas pada sesi pasien berat dan kritis nanti.
Kita tahu bahwa penderita Hipertensi, DM, sakit jantung, PPOK dan lainnya lebih tinggi pada
pasien Covid bila dibandingkan prevalensi di populasi. Demikian pula kematian pasien Covid
dengan komorbid juga meningkat. Karena itu tatalaksana komorbid sama pentingnya dengan
antivirus itu sendiri.
Pada pasien DM prinsipnya bila ringan obat DM yang biasa dipakai pasien silahkan
diteruskan, akan tetapi lebih sering dipantau karena sering kali harus dinaikkan dosisnya
Bila masuk rawat maka obat DM bisa diteruskan bila gula normal, dengan ditambah dengan
koreksi bila masih di atas 200 dengan insulin. Bila pada 1 hari pemeriksaan serial gula tetap
tinggi, maka obat oral perlu diganti dengan kombinasi insulin basal dan bolus SC. Bila pasien
berat dan kritis maka insulin basalnya disarankan menggunakan kerja cepat diberikan
continuous intravena. Jangan lupa pada kasus dengan terapi pengganti ekstracorporal
seperti HD, CRRT, plasma exchange, dosis insulin harus disesuaikan.
Prinsip pada DM tipe 1 adalah insulin bahkan pada pasien tanpa gejala. Pada pasien dengan
dexametason atau metil prednisolone, yaitu pasien yang memakai oksigen (atau dengan kata
lain pasien yang berat / kritis [ingat kriteria berat adalah yang hipoksemia, atau dengan kata
lain lagi adalah yang membutuhkan O2]) hendaknya perhatian lebih dilakukan pada gula
pasca makan karena umumnya ini lebih naik dari aslinya keadaan pasien sebelum sakit
Untuk pasien orang tua hati2 terhadap efek samping obat dan jendela terapetik yaitu masa
obat yang diberikan harus cepat karena seringkali pada orang tua cepat perburukan bila
terlambat, tetapi juga batas dosis yang sedikit berlebih saja toksisitas obat bisa terjadi pada
orangtua. Karena itu sebaiknya pasien orang tua dirawat dan jangan sekedar konsultasi
apalagi telemedicine. Badai sitokin cepat terjadi pada orang tua, jadi dexa perlu
dipertimbangkan segera. Untuk pasien autoimun seperti SLE dll, steroidnya jangan sistop.
Apabila pasien sudah terjadi komplikasi koagulasi atau perdarahan,maka pasien harus
dirawat walau belum hipoksemia / pneumonia. Perlu dipertimbangkan transfusi factor
koagulan sebelum injeksi antikoagulan sesuai indikasi
Apabila pasien sudah terjadi komplikasi koagulasi atau perdarahan,maka pasien harus
dirawat walau belum hipoksemia / pneumonia. Perlu dipertimbangkan transfusi factor
koagulan sebelum injeksi antikoagulan sesuai indikasi
Untuk yang dirawat, Teknik HD bisa diubah menjadi SLED atau CVVH
Prinsipnya pada pasien CKD semua tatalaksana Covid yang telah dibahas sebelumnya tadi
dapat terus diberikan, hanya antivirusnya lebih aman menggunakan kombinasi lopinavir dan
ritonavir yaitu suatu obat yang selama ini digunakan untuk HIV. Tetapi obat ini tak boleh
digunakan pada pasien Covid bukan sakit gijnjal karena stok terbatas untuk pasien HIV.
Jangan sampai pasien HIV nanti tak dapat obatnya.
Pada Covid sering terjadi peningkatan SGOT SGPT, demikian pula obat favipiravir dapat
menyebabkan peningkatan SGOT SGPT. Pada pasien swab nasofaring negative sedang
gejalanya tak dipernapasan melainkan di perut, maka swab anal dapat dipertimbangkan
SARV coV 2 masuk ke sel paru, pembuluh darah dan usus melalui ACE 2 receptor
dipermukaan sel. Dengan virus menempel di reseptor ini maka ACE-2 bebas bisa meningkat
karena tak ada reseptornya. ACE 2 dapat menyebabkan hipertensi dan peradangan paru
meningkat. Sehingga pemberian ACE inhibitor dan ARB yang menghambat ACE 2diharapkan
ikut mengurangi peradangan.
Pasien PPOK berat meningkat mortalitasnya bila terkena Covid, Karena itu disarankan pasien
PPOK telemedicine saja bila control. Kalau pasien PPOK menggunakan ICS dosis tinggi
disarankan turun ke dosis rendah atau diubah ke LAMA
Terapi lain yang harus dicatat : Antibiotik sebaiknya tidak diberikan. Bila ada kecurigaan
adanya infeksi sekunder bakterial, disarankan antibiotic yang digunakan adalah levofloksasin,
dan bila levo digunakan sebaiknyan azitromin di stop saja.
Terapi lain yang dapat ditambahkan pada pasien Covi adalah N asetil sistein bisa sampai
1200 mg (6 tab) sehari, untuk tujuan antioksidan sehingga mengurangi stress oksidatif akibat
peradangan. Selain itu kolkisin dapat dipertimbangkan untuk menghambat inflamasi. Hati-
hati kolkisin perlu dihindari pada pasien sakit ginjal
Demikianlah yang dapat kami paparkan untuk tatalaksana Covid 19 Mudah2n bermanfaat
dan terima kasih atas perhatiannya. Wassalam