Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting adalah masalah gizi utama yang akan berdampak pada kehidupan sosial
dan ekonomi dalam masyarakat. Ada bukti jelas bahwa individu yang stunting memiliki
tingkat kematian lebih tinggi dari berbagai penyebab dan terjadinya peningkatan
penyakit. Stunting akan mempengaruhi kinerja pekerjaan fisik dan fungsi mental dan
intelektual akan terganggu (Mann dan Truswell, 2002). Hal ini juga didukung oleh
Jackson dan Calder (2004) yang menyatakan bahwa stunting berhubungan dengan
gangguan fungsi kekebalan dan meningkatkan risiko kematian.

Di Indonesia, diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini


berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF dan memposisikan Indonesia
masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi
(UNICEF, 2007). Hasil Riskesdas 2010, secara 2 nasional prevalensi kependekan pada
anak umur 2-5 tahun di Indonesia adalah 35,6 % yang terdiri dari 15,1 % sangat pendek
dan 20 % pendek.

Secara umum gizi buruk disebabkan karena asupan makanan yang tidak
mencukupi dan penyakit infeksi. Terdapat dua kelompok utama zat gizi yaitu zat gizi
makro dan zat gizi mikro (Admin, 2008). Zat gizi makro merupakan zat gizi yang
menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk di
dalamnya adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Sedangkan zat gizi mikro merupakan
zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh lainnya, misalnya dalam
memproduksi sel darah merah, tubuh memerlukan zat besi. Termasuk di dalamnya
adalah vitamin dan mineral. Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi
disebabkan oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan makan
tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,
protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) riwayat berat lahir badan rendah (BBLR) dan
riwayat penyakit (UNICEF, 2007).

1
Secara garis besar penyebab stunting dapat dikelompokkan ke dalam tiga
tingkatan yaitu tingkatan masyarakat, rumah tangga (keluarga) dan individu. Pada
tingkat rumah tangga (keluarga), kualitas dan kuantitas 3 makanan yang tidak memadai,
tingkat pendapatan, pola asuh makan anak yang tidak memadai, pelayanan kesehatan
dasar yang tidak memadai menjadi faktor penyebab stunting, dimana faktor-faktor ini
terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat (UNICEF, 2007). Konsekuensi defisiensi
zat gizi makro selama masa anak-anak sangat berbahaya. Kekurangan protein murni
pada stadium berat dapat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah lima
tahun. Kekurangan protein juga sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan
energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus (Almatsier, 2004).
Protein sendiri memiliki banyak fungsi, diantaranya membentuk jaringan tubuh baru
dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh, memelihara jaringan tubuh,
memperbaiki serta mengganti jaringan yang rusak atau mati, menyediakan asam amino
yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan metabolism (Karsin ES,
2004).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah adalah sebagai


berikut:

a. Bagaimana etiologi Stunting ?


b. Bagaimana Faktor risiko Stunting ?
c. Bagaimana pencegahan dan pengobatan penyakit hipertensi ?
d. Bagaimana web of caution ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui etiologi Stunting ?
b. Untuk mengetahui Faktor risiko Stunting ?
c. Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan penyakit hipertensi ?
d. Untuk mengetahui web of caution ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Stunting

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U
atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD
(pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Stunting adalah
masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu
cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak
berusia dua tahun.

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh
kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan,
kematian dan hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Stunting
dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang
mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut
mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat
mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan
baik.

2.2 Diagnosis dan klasifikasi

Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan cara
penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein
dan energi. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan
menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi unit z (Z- score).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan
diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya

3
berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar Z score dari WHO.

Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per
umur (TB/U).

I. Sangat pendek : Zscore < -3,0


II. Pendek : Zscore < -2,0 s.d. Zscore ≥ -3,0
III. Normal : Zscore ≥ -2,0 13

Dan di bawah ini merupakan klasifikasi status gizi stunting berdasarkan


indikator TB/U dan BB/TB.

I. Pendek-kurus : -Zscore TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB < -2,0
II. Pendek-normal : Z-score TB/U < -2,0 dan Zscore BB/TB antara -2,0 s/d 2,0
III. Pendek-gemuk : Z-score ≥ -2,0 s/d Zscore ≤ 2,0

2.3 Pemeriksaan antropometri stunting

Antropometri berasal dari kata “anthropos” (tubuh) dan “metros” (ukuran)


sehingga antropometri secara umum artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut
pandang gizi, maka antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan gizi.
Dimensi tubuh yang diukur, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan
atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit.
Perubahan dimensi tubuh dapat menggambarkan keadaan kesehatan dan kesejahteraan
secara umum individu maupun populasi. Dimensi tubuh yang dibutuhkan pada
penelitian ini yaitu umur dan tinggi badan, guna memperoleh indeks antropometri tinggi
badan berdasar umur (TB/U).

4
a. Umur

Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan seseorang. Usia
dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila lebih hingga
14 hari maka dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari maka dibulatkan ke
atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui pengisian kuesioner.

b. Tinggi badan

Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam mengukur tubuh dan
panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer. Ada dua macam yaitu:
‘stadiometer portabel’ yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan ‘harpenden
stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.

Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki dan
aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan pantat
menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan sehingga membentuk posisi
kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior orbita horisontal terhadap
meatus acusticus eksterna bagian dalam). Bagian alat yang dapat digeser diturunkan
hingga menyentuh kepala (bagian verteks). Sentuhan diperkuat jika anak yang diperiksa
berambut tebal. Pasien inspirasi maksimum pada saat diukur untuk meluruskan tulang
belakang.

Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang badan. Biasanya panjang
badan diukur jika anak belum mencapai ukuran linier 85 cm atau berusia kurang dari 2
tahun. Ukuran panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi. Oleh sebab itu,
bila anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring maka hasilnya dikurangi 1 cm
sebelum diplot pada grafik pertumbuhan.

Anak dengan keterbatasan fisik seperti kontraktur dan tidak memungkinkan


dilakukan pengukuran tinggi seperti di atas, terdapat cara pengukuran alternatif. Indeks
lain yang dapat dipercaya dan sahih untuk mengukur tinggi badan ialah: rentang lengan
(arm span), panjang lengan atas (upper arm length), dan panjang tungkai bawah (knee
height). Semua pengukuran di atas dilakukan sampai ketelitian 0,1 cm.

5
2.4 Faktor penyebab stunting

Faktor-faktor penyebab stunting erat hubungannya dengan kondisi-kondisi yang


mendasari kejadian tersebut, kondisi-kondisi yang mempengaruhi faktor penyebab
stunting terdiri atas: (1) kondisi politik ekonomi wilayah setempat, (2) status
pendidikan, (3) budaya masyarakat, (4) Agriculture dan sistem pangan, (5) kondisi air,
sanitasi, dan lingkungan. Kondisi-kondisi tersebut dapat mempengaruhi munculnya
faktor penyebab sebagai berikut.

a. Faktor keluarga dan rumah tangga

Faktor maternal, dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi,


kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi,
kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang
dekat, dan hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan
aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan,
alokasi pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh.

b. Complementary feeding yang tidak adekuat

Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk,


kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani,
kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementary foods.
Praktik pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian makan yang
jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi
pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi, pemberian makan
yang tidak berespon. Bukti menunjukkan keragaman diet yang lebih bervariasi dan
konsumsi makanan dari sumber hewani terkait dengan perbaikan pertumbuhan linear.
Analisis terbaru menunjukkan bahwa rumah tangga yang menerapkan diet yang
beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan
gizi dan mengurangi risiko stunting.

c. Beberapa masalah dalam pemberian ASI

Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed Initiation,


tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI. Sebuah penelitian

6
membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed initiation) akan
meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa
suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu
selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat
makanan pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.

d. Infeksi

Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti diare,
enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria,
berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi.

e. Kelainan endokrin

Batubara (2010) menyebutkan terdapat beberapa penyebab perawakan pendek


diantaranya dapat berupa variasi normal, penyakit endokrin, displasia skeletal, sindrom
tertentu, penyakit kronis dan malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi
menjadi dua yaitu variasi normal dan keadaan patologis.

Kelainan endokrin dalam faktor penyebab terjadinya stunting berhubungan


dengan defisiensi GH, IGF- 1, hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes
melitus, diabetes insipidus, rickets hipopostamemia. Pada referensi lain dikatakan
bahwa tinggi badan merupakan hasil proses dari faktor genetik (biologik), kebiasaan
makan (psikologik) dan terpenuhinya makanan yang bergizi pada anak (sosial).
Stunting dapat disebabkan karena kelainan endokrin dan non endokrin. Penyebab
terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu penyakit infeksi kronis, gangguan
nutrisi, kelainan gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan faktor sosial ekonomi.

f. Consequences

Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO mengklasifikasikan


menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang.

7
a) Concurrent problems & short-term consequences atau dampak jangka pendek
1. Sisi kesehatan : angka kesakitan dan angka kematian meningkat
2. Sisi perkembangan : penurunan fungsi kognitif, motorik, dan perkembangan
bahasa
3. Sisi ekonomi : peningkatan health expenditure, peningkatan pembiayaan
perawatan anak yang sakit
b) Long-term consequences atau dampak jangka panjang
1. Sisi kesehatan : perawakan dewasa yang pendek, peningkatan obesitas dan
komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan reproduksi
2. Sisi perkembangan : penurunan prestasi belajar, penurunan learning capacity
unachieved potensial
3. Sisi ekonomi : penurunan kapasitas kerja dan produktifitas kerja

2.5. Kebijakan Penanggulangan Stunting

Landasan kebijakan program pangan dan gizi dalam jangka panjang dirumuskan
dalam Undang-Undang No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Pendekatan multi sektor dalam
pembangunan pangan dan gizi meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga
konsumsi pangan, dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin
keamanannya. Pembangunan jangka panjang dijalankan secara bertahap dalam kurun
waktu lima tahunan, dirumuskan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Dalam
RPJMN tahap ke-2 periode tahun 2010-2014, terdapat dua indikator outcome yang
berkaitan dengan gizi yaitu prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk)
sebesar < 15 persen dan prevalemsi stunting (pendek) sebesar 32 persen pada akhir
2014. Sasaran program gizi lebih difokuskan terhadap ibu hamil sampai anak usia 2
tahun (Republik Indonesia, 2012)

Focus gerakan perbaikan gizi adalah kepada kelompok 1000 hari pertama
kehidupan, pada tataran global disebut dengan Scaling Up Nutrition (SUN) dan di
Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam Rangka Percepatan
Perbaikan Gizi Pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK). SUN movement merupakan upaya

8
global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi
percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa
kehamilan hingga anak usia 2 tahun. Gerakan ini merupakan respon negara-negara di
dunia terhadap kondisi status gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat
kemajuan yang tidak merata dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium/MDGs
(Goal 1).

Gerakan SUN merupakan upaya baru untuk menghilangkan kekurangan gizi


dalam segala bentuknya. Prinsip gerakan ini adalah semua orang memiliki hak atas
pangan dan gizi yang baik. Hal ini merupakan suatu yang unik karena melibatkan
berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik pemerintah, swasta, LSM,
ilmuwan, masyarakat sipil, dan PBB secara bersama-sama melakukan tindakan kolektif
untuk peningkatan gizi. Intervensi yang dilakukan pada SUN adalah intervensi spesifik
dan intervensi sensitif (Scaling Up Nutrition, 2013).

Intervensi spesifik adalah tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya


ditujukan khusus untuk kelompok 1000 hari pertama kehidupan (HPK) dan bersifat
jangka pendek. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan pada sektor kesehatan, seperti
imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu,
suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI, dan sebagainya.
Sedangkan intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor
kesehatan yang ditujukan pada masyarakat umum. Beberapa kegiatan tersebut adalah
penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan
pangan dan gizi, fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE
Kesehatan, kesetaraan gender, dan lain-lain (Republik Indonesia, 2013).

Pada awal tahun 2013, terdapat 33 negara SUN bagi 59 juta anak stunting yang
mewakili sekitar sepertiga dari semua anak stunting di dunia. Tingkat rata-rata
pengurangan stunting per tahun di 33 negara tersebut adalah 1,8 %. WHO
merekomendasikan pengurangan stunting 3,9 % per tahun dalam rangka memenuhi
target global pengurangan stunting pada tahun 2025 sebesar 40% (Scaling Up Nutrition,
2013).

9
2.6 Intervensi pada Penanggulangan Stunting

Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi


mikronutrien, dan kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka akan
mengurangi (semua kematian anak) sekitar seperempat dalam jangka pendek. Dari
intervensi yang tersedia, konseling tentang pemberian ASI dan fortifikasi atau
suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk mengurangi beban
morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan pendamping ASI melalui strategi
seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling gizi, suplemen makanan di daerah rawan
pangan secara substansial dapat mengurangi stunting dan beban terkait penyakit.
Intervensi untuk gizi ibu (suplemen folat besi, beberapa mikronutrien, kalsium, dan
energi dan protein yang seimbang) dapat mengurangi risiko berat badan lahir rendah
sebesar 16%. Direkomendasikan pemberian mikronutrien untuk anak-anak seperti
suplementasi vitamin A (dalam periode neonatal dan akhir masa kanak-kanak),
suplemen zinc, suplemen zat besi untuk anak-anak di daerah malaria tidak endemik, dan
promosi garam beryodium. Untuk intervensi pengurangan stunting jangka panjang,
harus dilengkapi dengan perbaikan dalam faktor-faktor penentu gizi, seperti
kemiskinan, pendidikan yang rendah, beban penyakit, dan kurangnya pemberdayaan
perempuan (Bhutta, 2008).

Intervensi penanggulangan stunting juga difokuskan pada masyarakat termiskin.


Hal ini penting dilakukan untuk mencapai target yang diusulkan WHO. Perhatian
khusus diberikan kepada 36 negara high burden (Cobham, 2013). Kebijakan gizi
nasional dan organisasi internasional harus memastikan bahwa kesenjangan yang terjadi
ditangani dengan mengutamakan gizi di daerah pedesaan dan kelompok-kelompok
termiskin dalam masyarakat. Kebijakan yang mendukung distribusi yang lebih adil dari
pendapatan nasional, seperti kebijakan perlindungan sosial, memainkan peranan penting
dalam meningkatkan gizi (Cobham, 2013). Intervensi lainnya dilakukan untuk
penangulangan stunting ditekankan kepada pemberian imunisasi, peningkatan
pemberian ASI eksklusif dan akses makanan yang kaya gizi di kalangan anak-anak
yang diadopsi dan keluarga mereka melalui intervensi gizi berbasis masyarakat (Bloss,
2004).

10
Dukungan politik yang cukup besar dibutuhkan untuk investasi pada 1000 hari
pertama kehidupan. Data pertumbuhan longitudinal dari Gambia pedesaan
menunjukkan bahwa substansial catch-up terjadi antara 24 bulan dan pertengahan masa
kanak-kanak, serta antara pertengahan masa kanakkanak dan dewasa. Data ini
menggambarkan bahwa fase pertumbuhan pubertas memungkinkan pemulihan tinggi
badan sangat besar, terutama pada anak perempuan selama masa remaja. Berdasarkan
temuan tersebut, intervensi stunting dilakukan pada setiap siklus kehidupan sehingga
efek intergenerasi dapat dihindari (Remans, 2011).

Para pembuat kebijakan dan perencana program harus mempertimbangkan dan


melipatgandakan upaya untuk mencegah stunting danmeningkatkan pertumbuhan catch-
up pada tahun pertama kehidupan dan juga pada fase purbertas untuk mengurangi
dampak buruk yang diakibatkan oleh stunting. Intervensi yang dilakulan dalam rangka
mempercepat pengurangan stunting di Asia Tenggara adalah meningkatkan
ketersediaan dan akses makanan bergizi dengan melakukan kolaborasi antara swasta
dan sektor publik. Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara ( ASEAN) dapat memainkan
peran sebagai fasilitator. Sektor swasta dapat memproduksi dan memasarkan makanan
bergizi, sedangkan sektor publik menetapkan standar, mempromosikan makanan sehat
dan bergizi, dan menjamin akses makanan bergizi untuk daerah termiskin, misalnya
melalui programprogram jaring pengaman sosial (Bloem, 2013).

2.7 Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita


Upaya perbaikan gizi sebaiknya dilakukan melalui pendekatan continuum of
care dengan fokus yang diutamakan adalah 1000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai
dari masa kehamilan sampai anak berumur 2 tahun.Pemerintah telah mengupayakan
penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan suatu program yaitu usaha
perbaikan gizi keluarga (UPGK). Kegiatan utama UPGK adalah penyuluhan gizi
melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat .
Ketiga masalah tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Pokok permasalahan yang menyebabkan kurang gizi pada balita
adalah kurangnya pemberdayaan wanita dalam keluarga dan kurangnya pemanfaatana
sumberdaya masyarakat berkaitan dengan faktor penyebab langsung dan tidak langsung
(Azwar A, 2004). Kegiatan pengabdian masyarakat berupa penyuluhan kesehatan

11
tentang KADARZI akan meningkatkan pengetahuan dan peranserta ibu tentang perilaku
apa saja yang dapat dilakukan untuk meningkatkan gizi balitanya. Ibu akan dapat
meningkatkan gizi balita dan keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain;
memantau berat badan balita secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi
makanan yang beraneka ragam, hanya mengkonsumsi garam beryodium, memberikan
hanya Asi saja kepada bayi sampai usia 6 bulan, serta mendapatkan dan memberikan
makanan tambahan bagi balitanya.
Kegiatan penyuluhan ini juga dilakukan untuk membantu mengatasi masalah
gizi makro. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi makro adalah melalui
pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi, subsidi loangsung berupa dana
untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan pada ibu balita gizi buruk dan ibu
hamil yang mengalami kurang gizi kronis (Depkes RI, 2006).
Disamping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi
perbaikan pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara
eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang. Karena
sampai saat ini perilaku ibu dalam menyusui secara eksklusif masih rendah yaitu baru
mencapai 39% dari seluruh ibu yang menyusui bayi 0 – 6 bulan. Hal tersebut
merupakan penyebab tak langsung dari masalah gizi pada anak balita.
Menurut WHO, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan
rawat inap di rumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan gizi
buruk yang di rawat di rumah sakit, karena berbagai alasan. Salah satu contohnya dari
keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya yang besar dan dapat
mengganggu sosial ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk memecahkan masalah
tersebutdengan melakukan penatalaksanaan balita gizi buruk di posyandu dengan
koordinasi penuh dari puskesmas. Oleh karena itu Pemerintah membentuk Tim Asuhan
Gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga
kesehatan yang lain. Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dantepat
pada kasus gizi buruk baik di tingkat puskesmas maupun di rumah sakit, untuk
membantu pemulihan kasus gizi buruk pada anak balita.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah stunting merupakan permasalahan gizi yang dihadapi dunia khususnya
negara-negara miskin dan berkembang. Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan
akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan
sampai dengan usia 24 bulan. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian
stunting pada balita. Masyarakat belum menyadari stunting sebagai suatu masalah
dibandingkan dengan permasalahan kurang gizi lainnya. Secara global kebijakan yang
dilakukan untuk penurunan kejadian stunting difokuskan pada kelompok 1000 hari
pertama atau yang disebut dengan Scaling Up Nutrition. WHO merekomendasikan
penurunan stunting sebesar 3,9% pertahun dalam rangka memenuhi target 40%
penurunan stunting pada tahun 2025. Intervensi dilakukan pada sepanjang siklus
kehidupan baik di sektor kesehatan maupun non kesehatan yang melibatkan berbagai
lapisan masyarakat seperti pemerintah, swasta, masyarakat sipil, PBB melalui tindakan
kolektif untuk peningkatan perbaikan gizi, baik jangka pendek (intervensi spesifik)
maupun jangka panjang (sensitif).

3.2 Saran
1. Pemerintah perlu gencar dalam melakukan perbaikan gizi pada bayi dan balita
2. Pemerintah perlu meningkatkan mutu pangan pada masyarakat khusunya bagi
bayi dan balita agar berbagai masalah gizi bisa dicegah.
3. Pemerataan program bulan vitamin A di Puskesmas dan Posyandu di seluruh
Indonesia.
4. Pemberian penyuluhan kesehatan pada masa kehamilan bagi ibu hamil.
5. Meningkatkan kinerja program gizi dengan memperbaiki manajemen
perencanaan, pengadaan, distribusi, dan pengawasan bantuan 20 keranga
kebijakan 1000 hari pertama kehidupan suplemen tablet zat besi dan pemeberian
makan tambahan.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://www.persi.or.id/images/2019/data/
FINAL_PAPARAN_PERSI_22_FEB_2019_Ir._Doddy.pdf diakses tanggal 11 April
2019

http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/Buletin-
Stunting-2018.pdf diakses tanggal 11 April 2019

https://www.academia.edu/36712494/TUGAS_1-Makalah_Ilmu_Gizi diakses tanggal


11 April 2019

Oktarina, Z., & Sudiarti, T. (2014). Faktor Risiko Stunting Pada Balita (24—59 Bulan)
Di Sumatera. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(3), 177-180.

Sulastri, D. (2012). Faktor determinan kejadian stunting pada anak usia sekolah di
Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Majalah Kedokteran Andalas, 36(1), 39-50.

14

Anda mungkin juga menyukai