Anda di halaman 1dari 12

Prospek dan Permasalahan Industri Sawit

 
I. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri, prospek industri kelapa sawit kini semakin cerah baik di pasar
dalam negeri maupun di pasar dunia. Sektor ini akan semakin strategis karena
berpeluang besar untuk lebih berperan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional
dan menyerap tenaga.
Di dalam negeri, kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN)
sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri
kelapa sawit untuk lebih berkembang. Sesuai dengan target pemerintah, pada 2010
mendatang sekitar 10% dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan disuplai
dengan BBN, dimana 7% diantara berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai
biodiesel. Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau peningkatan produksi kelapa
sawit dalam jumlah besar.
Proyek ini mendapat sambutan positif. Beberapa waktu lalu telah ditandatangani 60
kesepakatan bersama antara berbagai pihak, termasuk 14 PMA dan 26 PMDN. Sampai
tahun 2010, nilai proyek pengembangan BBN akan mencapai US$ 9 miliar-US$ 10
miliar yang disertai dana perbankan kurang lebih Rp 34 triliun. Tenaga kerja yang
terserap diperkirakan mencapai 3,5 juta orang.
 
Sementara itu di pasar dunia, dalam 10 tahun terakhir, penggunaan atau konsumsi
minyak sawit tumbuh sekitar rata-rata 8%-9% per tahun. Ke depan, laju pertumbuhan
ini diperkirakan akan terus bertahan, bahkan tidak tertutup kemungkinan meningkat
sejalan dengan trend penggunaan bahan bakar alternatif berbasis minyak nabati atau
BBN seperti biodiesel.
 
Perkembangan Konsumsi dan Produksi CPO Dunia
Tahun 2001-2005 (juta ton)
Uraian
2001
2002
2003
2004
2005

Pertumbuhan
/tahun
Produksi
23.94
25.22
28.08
30.89
33.50
8.79%
Konsumsi
23.79
25.09
28.31
29.99
33.03
8.59%
  
Pertumbuhan penggunaan minyak sawit itu dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk
dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar oleochemical pada
industri makanan, industri shortening, pharmasi (kosmetik). Trend ini berkembang
karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing
dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya.
 
Berdasarkan data dari Oil World, trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa
sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri
berbasis komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung,
minyak kelapa.
 
Sejak 2004 penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi
tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan
pertumbuhan rata-rata 8% per tahun, mengalahkan komoditi minyak kedelai sekitar 25
juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8% per tahun. Komoditi lainnya yang banyak
digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan
pertumbuhan rata-rata 2,2% per tahun.
 
Dengan ketersediaan lahan dan iklim yang mendukung, Indonesia berpeluang besar
untuk memanfaatkan trend tersebut. Sejumlah kalangan (pengamat dan pelaku dunia
usaha) optimis, Indonesia mampu menguasai dan menjadi pemain nomor satu di pasar
industri kelapa sawit dunia yang kini dikuasasi oleh Malaysia.  Saat ini saja Indonesia
sudah menguasai 37% pasar dunia, sementara Malaysia sebesar 42%. Diperkirakan,
dalam dua tahun ke depan pangsa pasar Indonesia akan dapat melampaui pangsa
pasar Malaysia.
 
Namun di sisi lain, banyak kalangan yang meragukan apakah Indonesia mampu
mengoptimalkan daya saingnya untuk memperoleh nilai tambah (added value) yang
maksimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Ini tidak terlepas dari kenyataan,
sebagian besar produk kelapa sawit nasional masih diperdagangkan dalam bentuk
CPO atau minyak goreng, belum masuk ke dalam tahap industri yang mempunyai nilai
tambah besar seperti industri bio surfactant.
 
  

                
Penggunaan CPO Nasional
Penggunaan
Persentase
Ekspor
52%
Cooking Oil Industry
37%
Margarine Industry
3%
Soap Industry
3%
Oleo Chemical Industry
5%
     
 
II. Kebijakan Pemerintah
Dalam rangka mencapai target proyek BBN, pemerintah antara lain akan mendorong
investasi di sektor sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta
ha lahan hingga 2010 mendatang. Rinciannya, peluasan lahan perkebunan 5 juta ha,
revitalisasi perkebunan kelapa sawit 2 juta ha, rehabilitasi lahan 9 juta ha dan reformasi
agraria 8 juta ha.
Kebijakan pemerintah ini mendapat sambutan positif seperti terlihat dari minat
investor  yang cukup besar untuk ikut serta dalam proyek pengembangan BBN ini.
Disamping itu, pemerintah juga telah memasukan industri kelapa sawit kedalam
sektor prioritas bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan, sepatu, elektronika,
kelautan, petrokimia. Hal ini tidak terlepas dari potensi dan peran strategis yang bisa
dicapai oleh sektor ini dalam pembangunan nasional.
 
Seperti diketahui, industri kelapa sawit adalah salah satu penyerap  tenaga kerja
terbesar dan mempunyai kontribusi besar dalam menghasilkan devisa. Pada 2005,
industri ini menyerap sekitar 3,5 juta tenaga kerja dan berhasil memberikan kontribusi
sebesar US$ 4,7 miliar terhadap devisa negara (lihat tabel).
 
Proyeksi dan Data Pokok Industri Kelapa Sawit Nasional
Keterangan
2005
2010
Luas Lahan
5,6 juta ha
6,6 juta ha
Produksi
13,5 juta ton
18 juta ton
Tenaga Kerja
3,5 juta orang
4-4,5 juta orang
Produktivitas
3,4 ton per ha
 
Kontribusi terhadap ekspor
US$ 4,7 miliar
 
Kontribusi terhadap PDB
1,6%
 
Pertumbuhan 10 tahun terakhir
8% per tahun
 
 
Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah
mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10%) dalam
pengolahan crude palm oil (CPO) dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas
insentif PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148.
Kebijakan tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini
sehingga peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.
Namun, pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan tersebut bukan satu-satunya
yang dapat menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus
menerus dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi SDM dan lain-lain.
Dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan secara
kontinyu.
Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup panjang dan saling terkait.
Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting industri, pengolahan di industri hulu
sampai pada industri hilir. Kebijakan pengembangan sektor ini benar-benar harus
melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait sehingga bisa mencapai hasil yang
optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu sektor usaha ini, masih
membutuhkan kebijakan yang lebih tajam dan komprehensif untuk menghadapi kendala
yang masih menghadang mulai dari hulu (sektor perkebunan), manufaktur (pengolahan)
dan perdagangan.
 

III. Kendala Yang Dihadapi


 
          Langkah pemerintah mengembangkan proyek BBN, di satu sisi memang
memberikan prospek pasar yang cukup besar kepada industri kelapa sawit. Namun di
sisi lain, proyek ini juga mempunyai potensi gangguan terhadap kinerja ekspor,
pasokan untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri, termasuk untuk pengembangan
industri hilir non-BBN seperti surfactant, deterjen atau komiditi lain yang berbasis oleo
chemical. 
          Jika pertumbuhan produksi sawit ke depan, tidak mampu memenuhi target
pengembangan BBN, bisa dipastikan alokasi untuk ekspor akan menjadi berkurang,
begitu juga untuk kebutuhan konsumsi. Akibatnya, harga minyak sawit (CPO) akan
melejit dan berpeluang besar menimbulkan dampak negatif di masyarakat.
 
          Dalam upaya meningkatkan produksi sawit, selain upaya peningkatan
produktivitas (revitalisasi perkebunan dan penyediaan bibit unggul), dibutuhkan
tambahan lahan yang tidak sedikit. Diperkirakan, minimal dibutuhkan tambahan lahan
perkebunan sekitar 1 juta ha dalam dua tahun ke depan. Ini tidak mudah jika tidak ada
koordinasi yang kuat
 
          Masalah lain yang juga dihadapi adalah masih terjadinya infesiensi terkait dengan
dukungan infrastruktur seperti sarana pelabuhan termasuk gudang penimbunan serta
transportasi.
 
IV. Langkah Tindak
 
          Untuk menghindari berbagai persoalan yang mungkin muncul, Departemen
Perindustrian sebagai salah satu instansi sentral dalam pengembangan industri kelapa
sawit perlu segera melakukan langkah antisipasi antara lain mendorong sinkronisasi
perencanaan dan kebijakan antara instansi terkait seperti Departemen Kehutanan dan
Pemerintah Daerah mengenai ketersediaan lahan, Depatemen Pertanian sebagai
instansi yang berwenang di bidang pengembangan perkebunan sawit serta
Departemen Perdagangan yang berwenang di bidang pengaturan atau tataniaga
distribusi, disamping instansi lain yang  terkait dengan industri pendukung seperti jasa
transportasi dan keuangan.
 
          Untuk itu sejumlah langkah yang perlu disegera dilakukan Departemen
Perindustrian adalah:
 
Pemetaan Alokasi Kebutuhan minyak sawit (CPO) dalam mendukung pencapaian
target BBN. Ini sangat penting untuk menjaga agar tidak terjadi kekisruhan atau
semacam crowding out dalam alokasi penggunaan kelapa sawit, antara kebutuhan
ekspor, konsumsi (minyak goreng) serta kebutuhan industri hilir lainnya dengan
kebutuhan BBN. Perlu dijaga, upaya pemerintah mendorong penggunaan BBN, jangan
sampai merugikan sektor lainnya yang bisa merugikan masyarakat secara
keseluruhan. 
Berdasarkan data yang ada, kebutuhan CPO untuk pangan sampai 2010 mendatang
mencapai 10,5 juta ton, sedangkan kebutuhan bahan bakar nabati sekitar non-pangan
2,3 juta ton termasuk untuk BBN sebesar 2 juta ton atau setara dengan 2,13 juta kilo
liter.
 
Kinerja Industri dan
Proyeksi Penggunaan CPO untuk Pangan
 
No
 Uraian
 
Tahun 2005
Perkiraan 2010
MGS
Margarine &                  
Shortening
MGS
Margarine &                  
Shortening
1
 Kapasitas (ton)
9.778.000
526.000
13.396.949
671.322
2
 Produksi (ton)
5.254.000
496.565
7.182.283
647.263
3
 Utilisasi kapasitas %
53,73
94,40
64,60
89,00
4
 Nilai Produksi (Rp Triliun)
21,938
2,05
23,70
2,80
5
 Ekspor (Ribu Ton )
3.100
264,00
2.900
74,31
6
 Nilai Ekspor (US$ Ribu )
1.160.124
122,674
1.126.536
37
7
 Investasi (Rp Triliun )
2.247
39
2,25
0,05
8
 Tenaga Kerja (orang)
17.292
3.300
18.391
4.163
9
 Kebutuhan CPO (ton)
6.040.204
571.049
9.832.545
744.352
10
 Total  Kebutuhan  CPO (ton)
7.737.505
10.576.897
 
 
Kinerja Industri dan Proyeksi
Penggunaan CPO untuk Non-pangan (Oleo Chemical Dasar)
 
No.
Uraian
Fatty Acid
F. Alcohol
Glycerin
2005
2010
2005
2010
2005
2010
1
Kapasitas (ton)
659,280
857,600
160,800
209,000
84,956
109,880
2
Produksi (ton)
525,312
576,000
113,490
148,200
41,000
65,600
3
Utilisasi (%)
80
67
71
71
48
60
4
Kebutuhan DN (ton)
272,015
34,200
84,550
12,000
11,098
20,075
5
Ekspor (ton)
250,272
350,000
77,762
115,000
29,120
45,000
6
Nilai Ekspor (US$ ribu)
85,302
119,315
99,520
147,177
22,076
34,110
7
Impor (ton)
3,025
17,800
10,533
21,000
702
525
8
Nilai Impor (US$ ribu)
4,335
16,900
13,466
19,900
745
557
9
Kebutuhan CPO (ton)
131,328
144,000
4,540
5,928
4,100
6,560
 
 
Bersama Departemen Kehutanan dan Pemda mendorong kelancaran perluasan lahan
sawit. Berdasarkan data yang ada, saat ini luas lahan sawit sudah mencapai 5,6 juta ha
yang tersebar di 19 provinsi. Sedangkan potensi lahan yang masih tersedia
diperkirakan mencapai 26 juta hektar (lihat tabel)
Potensi Ketersedian Lahan Kelapa Sawit
No
Provinsi
Luas (ha)
No
Provinsi
Luas (ha)
No
Provinsi
Luas (ha)
1
NAD
384.871
8.
Bengkulu
208.794
15.
Kaltim
4.700.333
2
Sumut
37.000
9.
Lampung
336.872
16.
Sulteng
256.238
3
Sumbar
355.814
10.
Jabar
224.706
17.
Sulsel
192.370
4.
Riau
2.563.156
11.
Banten
63.742
18.
Sultra
10.264
5.
Jambi
1.818.118
12.
Kalbar
1.681.186
19.
Papua
6.331.128
6.
Sumsel
1.483.959
13.
Kalteng
3.610.819
 
 
 
7.
Babel
593.038
14.
Kalsel
1.162.959
 
 
 
 
Di samping kemudahan perizinan, aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam
hal penyediaan lahan ini adalah status lahan agar Indonesia faktor lingkungan tetap
terjaga. Ini sangat penting karena industri kelapa sawit rawan terhadap issue
lingkungan hidup.
 
Bersama Depertemen Pertanian mendorong peningkatan produktivitas perkebunan
antara lain dengan mengembangkan riset pembibitan untuk mendapatkan sawit
berkualitas dengan kadar karotene.
Saat ini, produktivitas kelapa sawit di Indonesia masih rendah rendah yaitu 2-3 ton per
ha jauh di bawah Malaysia 4-6 ton per ha.
Saat  ini, penelitian dan pembibitan dilakukan sebagian besar dilakukan oleh pelaku
industri sehingga tidak efisien, dan perlu dikembangkan secara terintegrasi.
Peningkatan produktivitas juga dilakukan melalui revitalisasi perkebunan karena saat ini
sebagian besar usia kelapa sawit yang ada sudah tergolong  tua.
 
Mendorong dukungan dari supporting industry seperti jasa instalation, pelabuhan yang
selama ini umumnya ditangani oleh masing-masing produsen sehingga tidak
terintegrasi dan telah menimbulkan over investasi, idle capacity dan inefisiensi.
Mendorong pertumbuhan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah. Selama ini
industri kelapa sawit masih terfokus pada industri hulu sehingga ekspor masih
didominasi oleh komoditi CPO.
Untuk mendorong industri hilir ini Depertemen Perindustrian perlu mencarikan skim
insentif  yang menarik bagi investor. Perlu diketahui, permintaan produk dari industri
hilir berbasis kelapa sawit seperti edible oil, oleo chemical, biodiesel, surfactant terus
meningkat.
 
Untuk edible oil misalnya, berdasarkan data Oil World, konsumsi perkapita akan
meningkat seiring dengan pertumbuhan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan per
kapitas suatu  negara, konsumsi edible semakin tinggi seperti Amerika Serikat yang
mencapai 49 kg per tahun per orang (lihat grafik)
 
 
 
 
Mendorong terbentuknya kawasan industri kelapa sawit yang terintegrasi. Ini sangat
penting agar industri kelapa sawit Indonesia lebih efisien dan daya saingnya lebih kuat.
Selain itu pembentukan kawasan yang terintegrasi ini juga akan lebih memudahkan
untuk mendorong pengembangan industri hilir. Saat ini Indonesia baru mempunyai 17
jenis industri hilir dari 30 jenis industri hilir yang berpotensi dikembangkan.
 
Bersama dengan Menteri Perdagangan mendorong kerjasama dengan negara
konsumen terbesar seperti  India dan RRC yang masih mengggunakan hambatan tarif
dan nontarif terhadap produk CPO Indonesia. India misalnya saat ini masih
mengenakan Bea Masuk sebesar 80%-90% sehingga membuat daya saing CPO
menjadi tertekan dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelei yang hanya
dikenakan BM 15%.
Mendorong revitalisasi industri pupuk untuk mendukung pasokan kebutuhan industri
kelapa sawit. Peningkatan lahan perkebunan untuk mencapai target proyek BBN akan
meningkatkan permintaan terhadap pupuk. Sementara itu, kemampuan produksi pupuk
nasional saat ini sudah sangat terbatas hanya sekitar 5,8 juta ton urea, 819 ribu ton SP
36, ZA 644 ribu ton, NPK 277 ribu ton. Kecuali untuk jenis  urea, untuk jenis lainnya
Indonesia masih impor karena produksi dalam negeri belum mencukupi.
Tanpa adanya tambahan kapasitas produksi, bisa dipastikan impor pupuk akan
meningkat  tajam  untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terutama untuk
perkebunan. Ini sangat rawan karena peluang terjadinya penyeludupan pupuk
bersubsidi (untuk petani pangan) ke sektor perkebunan akan semakin besar.

Anda mungkin juga menyukai