Untuk Pemula
12/02/2011 19 Komentar
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam
berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula
berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir
salah.
Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat
berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas
dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq
merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang
dimaksud dengan “berpikir”.
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum
diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak
kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma’lûm (diketahui).
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau
pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil
(ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang
megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran
bangunan itu. Kondisi ini disebut “ilmu”. Sebaliknya, sebelum menyaksikan
bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut
“jahil”.
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya [1] menghimpun gambaran
dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun
tetapi juga [2] memberikan penilaian atau hukum (judgement). (Misalnya, bangunan
itu indah dan megah). Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua
disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak.
Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: “ya” atau
“tidak/bukan”. Misalnya, “air itu dingin”, atau “air itu tidak dingin”; “manusia itu
berakal”, atau “manusia itu bukan binatang” dan lain sebagainya.
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari.
Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari
adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang
dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan
ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang
dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau
berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi)
adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses
pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat
kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada
dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran. Contoh: bumi itu bulat adalah
hal yang nadzari.
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz’i (parsial) secara esensial sangat erat
kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada
beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan
(berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz’i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja.
Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan
tashawwur-thasawwur yang juz’i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya
sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang
dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur
kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang
bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab
dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli
(gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz’i.
Nisab Arba’ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli
mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara
tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli
mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai “Nisab Arba’ah”. Mereka
menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi: [1] Tabâyun (diferensi), [2] Tasâwi
(ekuivalensi), [3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan [4] Umum wa Khusus
Minwajhin (asosiasi).
1. Tabâyun adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak
bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata
lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli
yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur
ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti
bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada
seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt
berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah
manusia.
3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat
diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Misal:
tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan
tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan
lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-
masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan
sebagian lagi tidak bisa diterapkan. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur
putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih,
tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada
kapur tulis yang putih.
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai
dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan
(ma’lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari
ma’lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi.
Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma’lûm
tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan “had”
atau “ta’rif”.
Had/ta’rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan “Apa?”.
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya
“apa itu?”. Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan
keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas
penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan
dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya
belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had
atau definisi yang benar.
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan
untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut “kulliyat khamsah”). Lima
kulli itu adalah: [1] Nau’ (spesies), [2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] ‘aradh
‘aam (common accidens) dan [5] ‘aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang
kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan
mantiq.
1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan
bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu?
Jawabannya adalah “Hewan yang berpikir (natiq)”. “Hewan” adalah jins
manusia, dan “berpikir” adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian
dari esensi manusia.
2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: “Manusia
adalah hewan”. Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan ‘ardh khas. Misal: “Manusia
adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa”. “Maujud yang
berjalan”, “tegak lurus” dan “tertawa” bukan bagian dari esensi manusia,
tetapi hanya bagian yang eksiden.
4. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan ‘ardh ‘âm, misalnya,
“Manusia adalah wujud yang berjalan”.
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas
sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera
dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu’ dan
mahmul (“gunung” sebagai maudhu’ dan “indah” sebagai mahmul). Gabungan dari
dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu’, 2) mahmul dan 3) rabithah
(hubungan antara mawdhu’ dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu,
qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu’, mahmul dan
rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan
atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu’ dan sesuatu
yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah
rabithah. Misalnya: “gunung itu indah”. “Gunung” adalah mawdhu’, “indah” adalah
mahmul dan “itu” adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu’. Misalnya, “gunung itu tidak
indah”. Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang
kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. “Tuhan itu banyak” adalah
qadhiyyah hamliyah; demikian pula “bumi akan hancur” sebuah qadhiyyah hamliyah.
Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata “jika”. Qadhiyyah yang pertama
(dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua
(dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang
dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan
terkadang juz’iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada
yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah
mempunyai empat macam:
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya
adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada
pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan
antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak
dan [4] umum wa khusus min wajhin. Demikian pula terdapat empat macam
hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2]
tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua
qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu
salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar
atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima’ al naqidhain
mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah
itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain
belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin
salah.
Tetapi, jika qadhiyyah juz’iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar.
Misalnya, jika “setiap A adalah B” (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti “sebagian A
pasti B”. Tetapi jika “sebagian A adalah B”, maka belum pasti “setiap A adalah B”.
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan
filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat
menyebutkan bahwa selain mawdhu’ dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu
harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan
itu terletak pada:
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar,
maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas
beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang
majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
1. Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal,
dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut
tamtsil (analogi).
2. Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum
(menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut
istiqra’ (induksi).
3. Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus.
Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna’i (silogisme
hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa
qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan
qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa
qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu’ dan mahmul natijahnya berada secara
terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: “Kunci itu besi” dan “setiap besi akan
memuai jika dipanaskan”, maka “kunci itu akan memuai jika dipanaskan”. Qiyas ini
terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika
dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama
disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah
kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu’ dan mahmul yang sudah tercantum pada
dua muqaddimah, yakni, “kunci” (mawdhu’) dan “akan memuai jika dipanaskan”
(mahmul). Sedangkan “besi” sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu’ muqadimah
shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had
awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak
tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah
shugra dan kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada
muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra. Misalnya,
“Setiap Nabi itu makshum”, dan “setiap orang makshum adalah teladan yang baik”,
maka “setiap nabi adalah teladan yang baik”. “Makshum” adalah had awsath, yang
menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah
kubra.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua
muqaddimah-nya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “tidak satupun pendosa itu
makshum”, maka “tidak satupun dari nabi itu pendosa”.
a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan
salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu’ pada kedua
muqaddimahnya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “sebagian nabi adalah
imam”, maka “sebagian orang makshum adalah imam”.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu’ pada
muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari
syakl awwal.)
Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali)
adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran.
Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles
sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
Qiyas Istitsna’i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan
qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia
mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan
Allah”. Penjelasannya: “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai
mukjizat” adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat
definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan “Dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah
hamliyyah. Sedangkan “maka dia mempunyai mukjizat” adalah natijah. Dinamakan
istitsna’i karena terdapat kata ” tetapi”, atau “oleh karena”.
Macam-Macam Qiyas istitsna’i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna’i:
Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, “Jika Muhammad utusan Allah, maka
dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan
Allah”. Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, “Jika Tuhan itu tidak satu, maka
bumi ini akan hancur.
Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)”. Tali negatif dan
muqaddam negatif. Misalnya, “Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak
mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan
nabi)”. Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, “Jika Fir’aun itu Tuhan, maka
dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan”.
(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika “Pengantar Menuju Filsafat
Islam” di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober -1 November
1999 M)
Source: http://media.isnet.org/islam/Etc/Mantiq.html