Anda di halaman 1dari 11

Artikel

Kelas Magister Hukum Sri Dharen SH


2020010261058

UNIVERSITAS JAYABAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
2021
Pendekatan Restorative Justice Pada Tahap Penyidikan
Terhadap Kasus Penipuan dan Penggelapan

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang telah diatur dalam konstitusi Negara, yaitu
tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum sehingga segala sesuatu yang
mengatur hubungan antara individu satu dengan individu lain maupun hubungan antara warga
negara dengan negaranya harus diatur oleh hukum. Pernyataan tersebut memiliki makna yang
mendalam dimana negara menjamin keamanan secara hukum setiap warga negara dalam setiap
aturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum pada suatu negara memiliki kekuasaan
tertinggi untuk menindaklanjuti suatu perkara yang terjadi selama telah diatur dalam peraturan
perundangan yang berlaku.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak ada perbedaan
dihadapan hukum, baik tersangka, terdakwa, dan aparat penegak hukum memiliki kedudukan
dan kewajiban yang setara dihadapan hukum yang berlaku yakni mencari kebenaran dan
keadilan. Sudarsono (2007) berpendapat bahwa demi terwujudnya stabilitas pada setiap
hubungan dalam masyarakat perlu adanya peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur
(relegen/anvullen recht) dan atauran-aturan hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht)
setiap anggota masyarakat. Hukum berkedudukan sebagai penyelaras kehidupan manusia. Kata
penyelaras memiliki peran sebagai pengontrol agar tidak terjadi kekacauan ataupun pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

Seiring perkembangan kehidupan manusia dalam berbagai hal, memicu munculnya


berbagai bentuk perilaku masyarakat yang tidak jarang cenderung merugikan masyarakat yang
terlibat. Demi menjamin keamanan masyarakat secara hukum, maka sebagian perilaku individu
atau masyarakat yang terduga merugikan pihak lain telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Hukum yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi hukum pidana, hukum acara,
hukum perdata. Perbuatan yang merugikan pihak lain dalam hal ini adalah tergolong modus
kejahatan telah diatur dalam hukum pidana, namun masih ada beberapa kasus yang dianggap
masuk perkara perdata walaupun telah merugikan sebagian masyarakat.

Hukum pidana sebenarnya ditunjukan untuk menampung berbagai perkembangan dalam


masyarakat dengan membentuk aturan hukum pidana di luar kodifikasi. Kodifikasi dalam hukum
merupakan proses pengumpulan hukum-hukum di wilayah tertentu untuk mneghasilkan kitab
undang-undang. Disamping itu juga, untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap asas
legalitas sebagai salah asas yang vital dalam hukum pidana. Menurut para ahli, peningkatan
jumlah kejahatan yang terjadi di masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang alami. Setiap orang
berpotensi melakukan tindakan menyimpang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Bentuk
tindakan menyimpang yang dilakukan pun beragam.

Satochid menyebutkan bahwa hukum pidana adalah merupakan hukum yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang
dijatuhkan kepada pelaku tindak kejahatan. Pernyataan tersebut menempatkan hukum pidana
dalam pengertian hukum pidana materiil yang berisikan peraturan tentang (1) perbuatan yang
dapat diancam dengan hukuman berupa melakukan tindakan tipu muslihat/ maupun berkata
bohong, serta tindakan menguasai kepunyaan orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya; (2)
para pihak (pelaku) yang dapat dihukum atau dengan kata lain mengatur pertanggungjawaban
pidana; (3) terkait jenis hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Hukum begitu jelas dan adil secara tertulis
dalam peraturan yang berlaku, namun pada kenyataannya hukum juga memiliki celah yang dapat
dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengelak mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Tindak pidana yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
sangat beragam, salah satu jenisnya adalah tindak pidana berupa penipuan dan penggelapan.
Kasus penipuan dan penggelapan dapat dilakukan oleh masyarakat biasa hingga para pejabat.
Kasus penipuan yang terjadi dan merugikan banyak pihak yang tercatat dalam laporan pihak
berwajib adalah salah satunya kasus penipuan online. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim
mencatat jumlah laporan penipuan online yang masuk pada tahun 2019 s.d. tahun 2020
berjumlah 1.167 kasus yang telah dilaporkan. Sepanjang tahun 2020 s.d. tahun 2021 terdapat 649
kasus penipuan online. Kasus-kasus penipuan online menggunakan media berkomunikasi antara
pembeli dan penjual melalui dunia maya. Kejahatan penipuan online dilaporkan terjadi pada
media sosial instagram sebanyak 534 kasus, menggunakan media aplikasi pesan WhatsApp
sejumlah 413 kasus, dan menggunakan media Facebook berupa 304 kasus. Mirisnya data yang
dihimpun dari berbagai sumber tersebut baru menyebutkan contoh dari penipuan menggunakan
media sosial.

Penipuan merupakan suatu opzettelijk misdriff atau berarti bentuk kejahatan yang harus
dilakukan dengan sengaja. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa terduga bersalah dalam
tindak pidana penipuan adalah pihak yang dianggap memiliki kesadaran penuh dan memiliki
kesengajaan dalam melakukan tindakannya. Tindak pidana penipuan dalam bentuk pokok oleh
pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 378 KUHP sebagai berikut :

“barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memberi nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat
ataupun rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain menyerahkan barang sesuatu
kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, karena bersalah
telah melakukan penipuan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat
tahun”
Penipuan memiliki maksud untuk membohongi pihak lain, sehingga dapat menguasai
barang atau materi pihak lain. Selain penipuan terdapat satu contoh lagi kasus pidana yang
memiliki makna serupa yakni keinginan menguasai barang atau materi miliki pihak lain yakni
penggelapan. Penggelapan merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 372 KUHP sebagai
berikut ini:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.”

Penipuan dan penggelapan merupakan tindak pidana yang perlu mendapat perhatian,
karena kasusnya sering terjadi ditengah-tengah masyarakat setiap tahunnya. Penipuan dan
penggelapan dapat mengambil berbagai bentuk tindak kriminal mulai dari berkedok investasi
bodong, transaksi jual-beli melalui media sosial yang susah sekali dijamin dan dipantau,
pemalsuan data dan dokumen penting untuk menghindar dari ketentuan yang berlaku, serta dapat
berupa kasus sederhana yang berawal dari saling pinjam berujung penggelapan harta dan benda
korban. Banyak kasus penipuan dan penggelapan yang berkembang luas seiring dengan
kemajuan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi. Individu yang mengalami
kendala ekonomi dan situasi yang mendukung terkadang terdorong untuk melakukan tindakan
penipuan dan penggelapan.

Faktor yang mendorong individu melakukan tindakan penipuan dan penggelapan tidak
dibenarkan oleh hukum. Pada tahun 2014 terdapat salah satu kasus terkait penggelapan dana
perusahaan yang terjadi di Denpasar. Terdakwa berinisial S.M terbukti secara hukum melakukan
tindak pidana penggelapan uang perusahaan senilai Rp. 38 juta rupiah. Terdakwa bekerja sebagai
sales perusahaan dan dilaporkan oleh korban yakni saudara JSK selaku pemiliki PT BCB pada
bulan Desember 2014. Namun, terdakwa dilepas dari tahanan sesuai penetapan Majelis Hakim
karena proses pemeriksaan telah selesai dan tercapai perdamaian sekaligus pengembalian dana
perusahaan yang digelapkan. Berdasarkan kasus tersebut diduga proses alternatif penyelesaian
perkara tindak pidana penggelapan uang perusahaan PT BCB adalah melalui keadilan restoratif
atau restorative justice.

Keadilan restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam
mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses
dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil
dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat. Keadilan
restoratif haruslah bersifat adil, tanpa memihak, dan tidak berat sebelah. Para pihak yang terlibat
haruslah mendapat keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keadilan
diperoleh dari kesepakatan atau mediasi kedua belah pihak, pengadilan berperan menjaga
ketertiban umum selama proses keadilan restoratif berlangsung.

Tinjauan Pustaka

Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur,
bohong atau palsu dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung.
Sedangkan penipuan sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan proses,
cara, atau perbuatan melakukan tipu, atau mengecoh kepada orang lain. Penipuan merupakan
tindak pidana yang telah diatur dalam Pasal 378 KUHP. Untuk dapat menyatakan seseorang
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penipuan maka hakim harus melakukan 2 (dua)
macam pemeriksaan yakni sebagai berikut: (1) terdakwa terbukti memenuhi unsur kesengajaan
untuk melakukan tindak pidana penipuan seperti yang didakwakan oleh jaksa; (2) terdakwa
terbukti memenuhi semua unsur tindak pidana penipuan seperti yang didakwakan oleh jaksa.
Untuk dapat menyatakan terdakwa memenuhi unsur kesengajaan di sidang pengadilan harus
dapat dibuktikan bahwa terdakwa benar telah :

a. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
b. Menghendaki menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu benda atau untuk
mengadakan suatu perikatan utang maupun untuk meniadakan piutang
c. Mengetahui bahwa yang Ia gerakkan ialah agar orang lain tersebut menyerahkan suatu
benda atau mengadakan suatu perikatan utang atau meniadakan suatu piutang
d. Mengetahui bahwa yang Ia pakai untuk menggerakkan orang lain itu ialah nama palsu,
suatu sifat palsu, suatu tipu muslihat atau suatu rangkaian kata-kata bohong.

Apabila maksud, kehendak, dan pengetahuan terdakwa semuanya dapat dibuktikan maka
terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang didakwakan jaksa
terhadap dirinya. Tapi kalau tidak terbukti maka hakim harus melepaskan terdakwa lepas dari
tuntutan hukum. Bagian inti delik penipuan adalah sebagai berikut yakni (1) dengan maksud
untuk mmenguntungkan diri sendiri atau orang lain; (2) secara melawan hukum; (3) dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun dengan rangkaian
perkataan bohong; (4) menggerakan orang lain; (5) untuk menyerahkan barang atau sesuatu
kepada terdakwa atau untuk memberi utang ataupun menghapus piutang.

Penggelapan termasuk dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 372 KUHP.
Penggelapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan sebagai proses, cara dan
perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah. Dapat
diuraikan selanjutnya bahwa penggelapan dapat dikatakan sebagai perbuatan merusak
kepercayaan orang lain dengan mengingkari janji tanpa perilaku yang baik. Penggelapan adalah
penyalahgunaan hak oleh seseorang, yang kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur
melawan hukum. Penyebutan penyalahgunaan hak akan memberikan kemudahan untuk
mengetahui perbuatan apa sebenarnya yang dilarang dan diancam pidana dalam ketentuan
tersebut.

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-
beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta
korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan
diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian
perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku. Restorative justice
itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi. Di dalam proses peradilan pidana
konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi
memiliki makna yang lebih luas.

Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan
hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan pada pelaku mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Alasan hal ini menjadi penting adalah karena proses
pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini
korban dan pelaku diminta untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap
indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke
ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif
dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan
pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi
pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara
korban dan pelaku. Sedangkan, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang
melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana
konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang
tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan kepada Jaksa
yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan
pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang
pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Proses yang panjang dan melelahkan, serta biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Apabila
menyangkut kasus yang sensitif maka, psikologis korban akan terganggu selama proses pidana
berlangsung.

Keadilan Restoratif telah diatur dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia.


Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Keadilan Restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalas. Beberapa
kasus tindak pidana di Indonesia baik yang disorot media maupun tidak tersorot media luas telah
berhasil diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Metode penyelesaian perkara pidana yang mencerminkan penerapan prinsip keadilan


restoratif (restorative justice) yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan prinsip keadilan
restoratif (restorative justice) terhadap perkara pidana, adalah sebagai berikut : (1) berdasarkan
Pasal 76 ayat (1) KUHP bahwa kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang
tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terdapat dirinya telah
diadili dengan putusan yang menjadi tetap; (2) Pasal 7 ayat (1) Undang-undang 11 Tahun 2012
tentang Sitem Peradilan Pidana Anak (SPPA) pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan anak di Pengadilan Negeri diwajibkan dupayakan diversi; (3) Pasal 15 ayat (2)
undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa sertifikat Jaminan Fidusia
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap; (4) Berdasarkan pada Pasal 51 ayat (7) Undang-undang Nomor 21 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagian Provinsi Papua bahwa untuk membebaskan pelaku pidana
dan tuntutan pidana menurut ketentuan pidana yang berlaku, diperlukan pernyatan persetujuan
untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadi peristiwa pidana.

Pelaksanaan kewenangan penyelidikan dan/atau penyidikan tindak pidana oleh Penyidik


Polisi Republik Indonesia (polri) yang menerapkan prinsip keadilan restoratif (restorative
justice) dalam metode penyidikannya dapat didasarkan pada ketentuan sebagai berikut:

1. Pasal 7 ayat (1) huruf J Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
2. Pasal 16 ayat (1) huruf L dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pasal 5 ayat (1) angka 4 Undang-undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bahwa tindakan lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan
c. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa
d. Harus masuk akal, patut, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
e. Menghormati Hak Asasi Manusia
3. Pasal 18 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri. Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan
undang-undang serta kode etik profesi polri.
4. Pasal 22 ayat (2) huruf b dan c Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa setiap penggunaan diskresi pejabat
pemerintahan bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum dan memberikan kepastian
hukum.

Pembahasan

Salah satu kasus penipuan dan penggelapan yang pernah terjadi di Indonesia adalah
menyeret nama PT BCB karena salah satu orang internal terbukti melakukan penggelapan dana
perusahaan sebesar 38 juta rupiah. Proses penggelapan dana terjadi sejak tahun 2004 sampai
dengan 2014. Terdakwa adalah karyawan pada jabatan sales di perusahaan PT BCB dan
dilaporkan oleh korban yakni Sdr. JSK ke Polresta Denpasar pada bulan Desember 2014.
Terdakwa menggunakan taktik pembuatan invoice penjualan fiktif yang uangnya tidak
disetorkan ke perusahaan. Kasus tersebut pun diselidiki lebih lanjut, fakta yang ditemukan adalah
terdakwa memiliki hubungan keluarga dengan JSK selaku pemiliki perusahaan PT BCB, selain
itu sdra. SM juga merupakan pemilik sebagaian saham perusahaan PT BCB. Proses pengadilan
pun berlangsung. Pengadilan Negeri Denpasar Bali memberikan putusan lepas kepada saudara
SM selaku terdakwa atas dugaan penggelapan uang perusahaan. Putusan lepas merupakan
sebuah putusan kepada terdakwa karena terbukti meyakinkan dan secara sah melakukan
perbuatan yang didakwakan, namun tidak dapat diberikan hukuman pidana karena perbuatan itu
bukan merupakan tindak pidana.

Pada kasus diatas peneliti mencoba menjabarkan menggunakan konsep penipuan dan
penggelapan. SM diduga melakukan penipuan apabila sedari awal bergabung memang terbukti
memilki maksud untuk menguasai dana perusahaan yang dalam hal ini bukan merupakan hak
milik pribadinya, sehingga SM secara sadar akan menyusun strategi atau cara-cara yang
melawan hukum untuk membuat terduga korban menyerahkan dana tersebut. Pada konsep
penipuan terdakwa umumnya menggunakan identitas palsu dan dokumen penyerta lain yang
dapat mengakibatkan terduga korban percaya, sehingga tanpa disadari terjadilah proses
penipuan. Namun, dalam kasus ini SM tidak tergolong menipu korban, karena kedua belah pihak
masih memiliki hubungan kerabat, serta SM pun tercatat sebagai karyawan pada PT BCB.

Berdasarkan sudut pandang tindakan pidana kasus penggelapan sesuai dengan Pasal 372
KUHP, agar SM dapat memenuhi syarat untuk dapat ditetapkan sebagai terdakwa maka harus
memenuhi unsur kesalahan dalam tindak pidana penggelapan yakni kesengajaan. SM menyadari
bahwa dana sejumlah 38 juta rupiah tersebut berada dalam kekuasaannya, SM menyadari bahwa
dirinya secara melawan hukum memiliki uang sejumlah 38 juta rupiah tersebut. Kejahatan
penggelapan dipandang sempurna apabila jika tindakan itu sudah terjadi, dalam hal ini adalah
barang bukti berupa uang 38 juta rupiah yang harusnya merupakan dana perusahaan, namun
menjadi dana pribadi melalui pembuatan invoice fiktif. Pembuatan invoice fiktif tentunya mudah
dilakukan oleh SM karena terdakwa merupakan karyawan di bidang sales atau penjualan yang
langsung bertemu dengan customer dan menerima pembayaran dari customer.

Penarikan kesimpulan tersebut diatas tidak serta merta didasarkan pada pengertian dari
tindak pidana penggelapan, melainkan melalui proses atau tahapan penyidikan. Tugas utama
seorang penyidik adalah mencari dan mengumpulkan bukti yang dapat membuat suatu perkara
menemukan titik terang, serta tugas dari penyidik selain mengumpulkan bukti adalah mencari
tersangka dari kasus perkara yang dilaporkan. Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 5 dan Pasal 5
KUHP, maka Leden Marpaung menyebutkan bahwa penyelidik dimaksudkan untuk lebih
memastikan suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Mengacu pada kasus PT
BCB maka proses penyelidikan pun dilakukan untuk mengumpulkan bukti-bukti fisik hingga
mendapatkan pihak atau nama yang akan dijadikan terdakwa.

Proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, merupakan entry point dari suatu
penegakan hukum pidana melalui sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia.
Proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana merupakan kunci utama penentuan
dapat tidaknya suatu tindak pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan pidana guna
mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dengan tetap
mengedepankan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Penegakan hukum di
Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan mengikuti perkembangan keadilan masyarakat
terutama perkembangan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dengan membebani
pelaku kejahatan dengan kesadarannya megakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan
kerusakan dan kerugian korban seperti semula atau setidaknya menyerupai kondisi semula, yang
dapat memenuhi rasa keadilan korban.

Kasus PT BCB dapat menggunakan pedoman penanganan penyelesaian perkara dengan


pendekatan keadilan restoratif dimana telah terpenuhi syarat materiil sebagai berikut :

1. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat;


2. Tidak berdampak konflik sosial;
3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan
melepaskan hak menuntutnya dihadapan hukum;
4. Prinsip pembatas;
a. Pada pelaku: Tindak kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan
(schuld) atau mensrea dalam bentuk kesengajaan (dolus atau opzet) terutama
kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk); dan Pelaku bukan
merupakan seorang residivis.
b. Pada tindak pidana dalam proses: Penyelidikan; dan Penyidikan sebelum SPDP
(surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) dikirim ke Penuntut Umum.
Terdapatnya hubungan saudara dan merupakan karyawan perusahaan dapat menjadi
keuntungan dan kerugian juga, dapat tergolong keuntungan karena apabila memilih jalur
keadilan restoratif maka lebih mudah melakukan mediasi dan pendekatan untuk mencapai situasi
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Berdasarkan syarat pembatas dalam pedoman
penanganan perkara menggunakan konsep keadilan restoratif yakni dengan menekankan bahwa
pelaku melakukan kesalahan relatif tidak berat dan bukan merupakan seorang residivis.
Konsep keadilan restoratif merupakan upaya yang datang dari pelaku dalam hal ini adalah
Saudara SM yang terduga melakukan penggelapan uang perusahaan sejumlah 38 juta rupiah.
Pelaku datang dengan maksud dan tujuan untuk melakukan upaya perdamaian, dimana inisiatif
tersebut harus direspon oleh pihak aparat penegak hukum yang menangani kasus PT BCB.
Dengan catatan terpenting adalah sepanjang upaya perdamaian tersebut disetujui oleh korban
selaku pemiliki PT BCB dengan menuangkannya dalam bentuk surat kesepakatan perdamaian.
Pada kasus PT BCB pelaku sepakat mengembalikan uang sejumlah 38 juta rupiah tersebut
kembali ke dana perusahaan milik PT BCB sesuai waktu yang telah disepakati bersama antara
kedua belah pihak yang terlibat perkara dan juga aparat penegak hukum sebagai pihak yang
memastikan ketertiban umum dan keadilan bagi kedua belah pihak.

Kesimpulan

Penegakan hukum melalui pendekatan restorative justice dalam praktik telah berjalan,
tidak hanya terkait perkara pidana anak tetapi sudah termasuk perkara pidana konvensional. Hal
ini menunjukkan banyaknya variasi yang dibangun berdasarkan kebutuhan dan interpretasi para
pembuat kebijakan tentang restorative justice. Dalam konteks penerapan restorative justice
melalui sub sistem peradilan pidana yang dilaksanakan oleh penegak hukum, dimana pendekatan
restorative justice dapat dipakai sebagai bingkai dalam proses penanganan perkara pidana di
semua tahapan sistem terhadap berbagai tindak pidana. Selain itu, keadilan restoratif juga perlu
mendapat pengawasan penuh oleh aparat penegak hukum agar tidak disalahgunakan oleh oknum
yang ingin menghindari hukuman atas tindakan yang dilakukannya. Ukuran keberhasilan
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandai dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di
dalam masyarakat. Lembaga Kepolisian adalah salah satu lembaga penegak hukum yang
diharapkan dapat menjalankan mekanisme restorative justice ini.
Daftar Pustaka :

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD) NKRI Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3).
Diakses tanggal 28 Juni 2021 dari https://peraturan.go.id/common/dokumen/lain-
lain/1945/UUD1945PerubahanKetiga.pdf
Unsur pasal 372 dan 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diakses pada tanggal 28 Juni 2021 dari
https://drive.google.com/file/d/1P-Gai4KzNw8iX059Jm1waQO2wer3KJGZ/preview
Sudarsono. 2007. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit. PT. Rineka Cipta Jakarta. hlm. 48.
Dalam kongres VII, Tahun 1985 PBB Mengamanatkan untuk mencermati kejahatan baru (new dimension
of crime) dalam konteks pembangunan dan mengemukakan bahwa : a new dimension of criminality
is the very substantial increase in the financial volume conventional economic crime. Lihat
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Lembaga kriminologi
indonesia, jakarta, 1994, hlm. 42.
Satochid Kartanegara. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian kesatu. Balai lektur mahasiswa. Jakarta.
Hlm. 1.
S. Ananda. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kartika. Surabaya. hlm. 364.
PAF Lamintang dan Theo Lamintang. 2009. Kejahatan terhadap harta kekayaan. Sinar grafika. Jakarta.
hlm. 150-152
EY Kanter dan SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika,
Jakarta, 2002, hal. 95
Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif
Dalam Penyelesaian Perkara Pidana
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor; Politiea, Bogor, 2010.
S. R Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni, Jakarta, 2002
Ramadhani,P.I., Bareskrim catat ada 1.617 kasus penipuan online paling banyak di Instagram. Berita
diakses pada tanggal 28 Juni 2021 dari https://m.merdeka.com/uang/bareskrim-catat-1617-kasus-
penipuan-online-di-2019-terbanyak-di-instagram.html
Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 Pasal 1 ayat (6) tentang sistem peradilan pidana anak.
Diakses pada 28 Juni 2021 dari http://bagianhukum.purwakartakab.go.id/wp-
content/uploads/2014/11/UU_NO_11_2012.pdf
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Diakes
pada tanggal 28 Juni 2021 dari
https://www3.bkpm.go.id/images/uploads/prosedur_investasi/file_upload/UU_2_2002.pdf
Undang-undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah. Diakses pada tanggal
28 Juni 2021 dari https://www.bkn.go.id/wp-content/uploads/2015/06/UU-NOMOR-30-
TAHUN-2014-ADMINISTRASI-PEMERINTAHAN.pdf
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Diakses tanggal 28 Juni
2021 melalui
https://kepustakaan-
presiden.perpusnas.go.id/uploaded_files/pdf/government_regulation/normal/UU_8_1981.pdf

Anda mungkin juga menyukai