Anda di halaman 1dari 12

Nama : Abdul Halik

NPM : 20210520100001

Fakultas : Agama Islam

Prodi : Magister Studi Islam

Resensi Buku Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam

Buku ini disusun oleh mahasiswa program pasca sarjana IAIN Madura prodi PAI

Angkatan 2017, dan editornya Dr. Zainuddin Syarif M.Ag, kemudian diterbitkan oleh

Literasi Nusantara dengan ukuran buku 15,5 cm x 23 cm dengan ketebalan 248

halaman. Pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi XVI (16) bab, yang berisi

mengenai hal-hal berikut;

1. Bab I, Potret Pendidikan Islam pada Masa Rosulullah.

Di dalamnya menjelaskan Pendidikan Islam di Makkah dan di Madinah. Pada masa di

Makkah pra Islam masuk, masyarakat masih mengikuti kepercayaan nenek moyang

mereka yaitu menyembah berhala dan menjalankan ritual seperti mengubur hidup-

hidup anak perempuan mereka karena dianggap aib bagi keluarga, kemudian setelah

Islam masuk Nabi Muhammad pada awalnya mendapatkan pertentangan dari orang-

orang yang tidak mempercayai ajarannya dan mengancam akan mencelakainya. Oleh

karena itu, Nabi Muhammad memulai dakwahnya pada keluarga dan kerabat terdekat.

Ada beberapa tahapan dalam ajarannya yakni tentang ketauhidan, pengajaran Al-

Qur’an, akhlak, pendidikan dan ilmiah. Berbeda dengan Pendidikan Islam di Makkah,
secara sosiokultural masyarakat Madinah telah banyak yang memeluk ajaran Islam,

sehingga kehadiran Rosulullah SAW telah diterima oleh sebagian besar masyarakat di

Madinah. Bahkan Rosulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Makkah dan

Madinah. Beberapa ajaran yang diterapkan pada masa ini yaitu; Pendidikan Islam

yang berkesinambungan, Pendidikan khusus (introspeksi diri), dan dialog antar

ummat (Nasrani dan Yahudi).

2. Bab II, Perkembangan Pendidikan pada Masa Abu Bakar Asshidiq.

Abu Bakar Asshiddiq adalah khalifah pertama yang menggantikan Rosulullah SAW

memimpin ummat setelah wafatnya Rosulullah. Beliau dikenal dengan akhlaknya

yang baik, penyabar, bijaksana, dan dapat dipercaya. Dalam pidato pertama setelah

pengangkatannya, beliau mengajarkan nilai akhlakul karimah terutama soal kejujuran,

serta meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Di masa kepemimpinannya, muncul golongan-golongan murtad dan enggan

membayar zakat. Kemudian Abu bakar memerintahkan untuk memerangi golongan

tersebut, akibatnya banyak para penghafal Al-Qur’an yang syahid. Kekhawatiran Abu

Bakar akan hilangnya para penghafal Al-Qur’an membuatnya mengumpulkan para

penghafal Al-Qur’an untuk menuliskan dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an pada

dedaunan, batu, kulit, dll, dan memerintahkan Zaid untuk memipin kegiatan tersebut.

Abu Bakar juga mengirimkan pasukannya untuk memperluas dakwah Islam ke Persia

dan Syam.

3. Bab III, Perkembangan Pendidikan pada Masa Umar Bin Khatab.


Umar bin Khatab adalah sahabat Rosullullah yang masuk Islam pada tahun ke 5

kenabian. Beliau dikenal sebagai orang yang fasih, berbudi pekerti luhur, dan

pemberani. Umar Bin Khatab diangkat menjadi khalifah atas musyawarah para

sahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau diangkat untuk memperkuat keadaan ummat

Islam yang masih lemah pada masa itu. Beliau juga dikenal sebagai orang yang kreatif

dalam memecahkan masalah dikalangan ummat Islam. Umar adalah orang pertama

yang mengumpulkan Al-Qur’an dalam bentuk mushaf.

Di masa kepemimpinan Umar dibangun sekitar 12.000 lahan dan masjid untuk ummat

Islam melaksakan ibadah sholat. Beliau juga orang pertama yang melarang orang tua

menjual anaknya dan menghukum peminum khamar sebanyak 80 kali cambukan.

4. Bab IV, Perkembangan Pendidikan pada Masa Utsman Bin Affan.

Utsman Bin Affan memeluk agama Islam karena ajakan Abu Bakar Asshidiq. Beliau

memantapkan dirinya memeluk agama Islam karena kekagumannya dengan akhlak

Rosulullah SAW. Utsman adalah salah satu sahabat Rosulullah yang memiliki

kekayaan yang melimpah, namun ia hidup dengan sangat sederhana dan

menyumbangkan sebagian besar harta dan kekayaannya untuk dakwah nabi

Muhammad SAW. Ia adalah sahabat Rosulullah SAW yang dinikahkan dengan anak

Rosulullah bernama ruqoyah. Dia dikenal sangat menjaga kesuciannya dan tidak suka

bermain dengan wanita-wanita dan tidak meminum khamr bahkan sebelum ia masuk

Islam.
Utsman juga dipilih sebagai khalifah berdasarkan musyawarah ummat. Dalam masa

kepemimpinannya Ustman mempercayakan kepada gubernur untuk mengatur setiap

wilayah, sedangkan kekuasaan tertinggi tetap dipegang oleh Khalifah. Utsman sangat

mengawasi urusan Baitul mal, salah satunya menghindari penyalahgunaan dalam

penyalurannya, menghargai hak-hak kaum kafir zimmi, juga memilih pegawai cukai

yang amanat. Pendidikan pada Masa Utsman tidak hanya berpusat di kota Makkah

dan Madinah tetapi juga tersebar diberbagai wilayah kekuasaan ummat Islam. Proses

belajar tidak hanya terpaku pada membaca dan menulis saja tetapi sudah banyak

menggunakan metode simak dan musafahah. Biaya Pendidikan sepenuhnya

ditanggung dari negara melalui zakat, jizyah, kharaj, dan infaq. Pada masa

kekhalifahan Utsman terjadi perbedaan qira’ah Al Qur’an, sehingga dilakukan

kodifikasi ulang dalam penulisan Al Qur’an untuk menghidari perbedaan dan

perpecahan cara membaca Al Qur’an.

5. Bab V, Perkembangan Pendidikan pada Masa Ali Bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib adalah putra dari paman Rosululah bernama Abi Thalib. Ia

menikah dengan putri Rasululah SAW. Ia adalah orang yang paling muda yang masuk

golongan pertama masuk Islam. Usianya sekitar 10 th ketika masuk Islam. Ia adalah

orang yang tidak pernah menyembah berhala sepanjang hidupnya. Dan ia mengikuti

hampir semua perang Bersama Rosulullah SAW. Ali dikenal sebagai sahabat Nabi

yang memiliki hati yang mudah memahami dan lisan yang suka bertanya. Dia adalah

orang yang pertama-tama bisa menulis di awal-awal Islam. Dimasa kekhalifahannya

banyak sekali terjadi konflik dan perbedaan pendapat.


Ali banyak mendapatkan fitnah atas terbunuhnya Utsman, sehingga ia hanya

meneruskan beberapa kebijakan utsman dan membuat kebijakan baru untuk

menghidari fitnah yang lebih banyak. Terjadi banyak pemberontakan di berbagai

wilayah sehingga Ali memecat gubernur yang diangkat Utsman karena dianggap lalai

dalam menertibkan daerahnya. Terdapat oposisi dari kekhalifahan Ali salah satunya

datang dari Aisyah, Zubair dan Thalhah. Pada masa Ali, umat Islam terbagi menjadi

tiga golongan yakni golongan Ali, Muawiyah, dan Khawarij. Pendidikan pada masa

Ali banyak menemui hambatan, karena banyak orang-orang yang lebih mementingkan

kepentingan golongan, namun meski memiliki banyak hambatan, pendidikan Akhlaq,

Akidah, dan Ibadah terus dilaksanakan. Pada masa kehalifahan Ali kekuasaan telah

sampai ke India, namun masyarakat di luar bangsa Arab memiliki kesulitan dalam

memahami tulisan Al Qur’an karena belum dilengkapi dengan tanda baca (kasrah,

fathah, dhommah dll) sehingga Ali memerintahkan Abu Al Aswad untuk mengarang

buku nahwu sebagai dasar mempelajari ilmu Al Qur’an.

6. Bab VI, Pendidikan Islam Model Kuttab dan Maktab.

Kuttab dan Maktab berdasarkan kata dasarnya Kataba memiliki arti menulis.

Sehingga pada hakikatnya Kuttab dan Maktab adalah sekolah, institusi, atau wadah

tempat anak belajar menulis. Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah mengenal

adanya lembaga pendidikan dasar yang disebut kuttab. Bahkan setelah perang Badar

Rosulullah meminta tawanan perang untuk mengajarkan kaum muslim untuk menulis

sebagai salah satu jaminan pembebasan.


Sebenarnya kuttab dan maktab memiliki arti yang sama yaitu lembaga yang

mengajarkan baca tulis. Hanya saja istilah kuttab lebih modern dibandingkan maktab.

Jumlah kuttab berkembang pesat disetai tenaga pendidik pada era dinasti Abbasyiyah.

Kuttab memiliki peran penting pada zaman Rosulullah sebagai sarana penyebaran

agama Islam. Sebelum Islam datang maktab adalah tempat masyarakat belajar ilmu

sastra seni, pengetahuan sains, dan ilmu asing. Terdapat dua klasifikasi kuttab pada

era klasik, pertama kuttab awal; mempelajari ilmu dasar baca dan tulis, kedua kuttab

kedua; mempelajari dasar-dasar agama Islam, menghafal Al Qur’an, tilawah Al

Qur’an, dll.

7. Bab VII, Istana Sebagai Tempat Pendidikan Islam.

Kata ‘Istana’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan qushur, ini adalah Lembaga

Pendidikan yang dikenal sejak masa Bani Umayyah. Pendidikan Istana tidak hanya

mengajarkan ilmu agama saja, tetapi juga pengetahuan umum, Bahasa Arab,

berpidato, memanah, berenang, dan berkuda. Pendidikan di Istana juga disiapkan bagi

anak khalifah dan anak pejabat untuk mempersiapkan generasi agar dapat lebih

mengenal lingkungannya dan mengemban tugas. Khalifah akan mengundang para

guru yang terkenal untuk mengajar di Istana.

Para pendidik Istana diberi nama muaddib, karena mereka bertanggung jawab

membentuk karater peserta didik. Kata muaddib berasal dari kata adab, yang berarti

budipekerti. Artinya para pengajar diharapkan dapat mengajarkan budipekerti yang

baik untuk peserta didik. Peserta didik di Istana diberi naungan Pendidikan sampai

melewati masa kanak-kanak, mulai dari tingkat kuttab sampai madrasah. Proses
pendidikan di Istana berbeda dengan lingkungan pendidikan lainya, dimana

kurikulum dan bahan ajar semua dipersiapkan oleh para pembesar Istana dan

disampaikan kepada para muaddib (pengajar).

8. Bab VIII, Kafetaria dan Toko Buku.

Toko buku sebagai salah satu sentral penjualan kitab-kitab dan memperkenalkan

ajaran Islam mulai ramai pada zaman dinasti Abbasiyah di Baghdad dan menjadi

salah satu pusat bagi para ilmuan dan penyair. Kemudian menyebarluas di berbagai

negara Islam. Toko buku hampir terdapat di setiap kota besar. Di sana, tidak hanya

tempat untuk menjual dan membeli buku, tetapi terkadang diadakan kajian di tempat

tersebut.

Para penjual yang disebut sebagai al waraqien tidak hanya menjadi agen untuk

menjual buku, tetapi juga sebagai sarana untuk menyalurkan wawasan yang begitu

penting melalui kegiatan berdiskusi dengan calon pembeli. Biasanya orang-orang

yang bekerja sebagai al waraqien bukan orang sembarangan, mereka adalah

sastrawan-sastrawan yang cerdas intelektualitasnya, dan tujuan mereka menjadi

penjual adalah agar dapat membaca buku-buku yang mereka jual dan menjalin

komunikasi dengan para pujangga dan para ulama’.

9. Bab IX, Khan sebagai Tempat Belajar KeIslaman di Masa Klasik.

Khan merupakan asrama yang dibangun bagi pera pelajar yang menuntut ilmu,

biasanya terletak di samping masjid. Khan berkembang pesat dan multi guna pada
abad ke 10. Pembangunan Khan erat kaitannya dengan kepedulian masyarakat dengan

para penuntut ilmu yang datang dari berbagai daerah.

Pada pertengahan masa Islam, Khan berfungsi sebagai penginapan biasa dan terdapat

juga toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan. Kemudian keuntungannya

digunakan untuk kebutuhan Yayasan. Setelah itu berfungsi sebagai asrama bagi para

mahasiswa yang ingin belajar di madrasah atau masjid. Di dalamnya, mahasiswa akan

melaksanakan pembelajaran dengan cara halaqah (duduk melingkar) di mana akan

ada ulama’ yang akan mengajarkannya.

10. Bab X, Rekam Jejak Lembaga Pendidikan: Rumah Sakit.

Rumah sakit atau Musytasyfa, dikenal dengan sebutan bamaristan (Bahasa Persia)

atau tempat untuk orang sakit. Rumah sakit selain digunakan untuk orang sakit, juga

digunakan sebagai tempat magang bagi pelajar dan calon dokter. Pada masa bani

Umayyah dilakukan pertamakalinya penerjemahan ilmu-ilmu kimia dan kedokteran,

hal ini sangat membantu bagi Bamaristan.

Pembangun pertama kali rumah sakit di kalangan Islam oleh Walid bin Abdul Malik,

cucu dari Muawwiyah pada tahun 88 H. Ia mencari para tenaga kesehatan dan

meminta para penderita kusta dan kebutaan untuk dirawat di Rumah Sakit. Di masa

Dinasti Abbasiyah juga didirikan ruang observatorium di rumah sakit. Di ruang

observatorium ini juga sering diadakan kajian terutama kajian dibidang medis dan

obat-obatan. Khalifah Al Makmun juga mendirikan Bait Al hikam yang di dalamnya


terdapat ruang observatorium, serta tenaga ahli dibidang medis. Beberapa tokoh yang

muncul dengan karyanya dibidang medis antara lain Ar-Razi dan Ibnu Sina.

11. Bab XI, Rumah Ulama’ (Manaaziul Ulamaa’) sebagai Lembaga Pendidikan Islam.

Ulama’ dalam KBBI adalah orang yang menguasai ilmu agama Islam. Rumah ulama’

pertama yang dijadikan sebagai Lembaga Pendidikan Islam adalah Arqom bin Abi Al

Arqom As Shafa yang dijadikan oleh Rosulullah sebagai pusat dakwah dan pertemuan

bagi kaum muslim. Lembaga Pendidikan pada masa Islam Klasik sebelum di adakan

madrasah dapat dilakukan dimanapun termasuk di rumah-rumah para Ulama’.

Sebenarnya rumah bukanlah tempat yang ideal untuk Lembaga Pendidikan, karena

dapat mengganggu privasi penghuninya. Tempat yang dianggap ideal pada masa itu

adalah Masjid selain bernilai pahala sunnah juga dapat dijadikan sarana dakwah.

Beberapa rumah ulama’ yang dijadikan Lembaga Pendidikan; Rumah Imam Malik

Bin Anas, Rumah Al Rais Ibnu Sina, Rumah Abu Sulaiman Al Sijistani, Rumah

Imam Al Ghazali, Rumah Ya’kub Bin Kilis.

12. Bab XII, Solun Sastra.

Solun dalam Bahasa Inggris disebut Salon (Ruangan). Dalam Bahasa Arab, Sholuun

berarti tempat, aula, auditorium, gedung resepsi dan lainnya. Menurut seorang ahli

Pendidikan Islam Muhammad Abdu, pada masa pemerintahan abbasyiah diberi nama

as-sholunaat Al-adabiyyah yang secara terminologi memiliki arti sebagai tempat

mengkaji ilmu pengetahuan dan sastra. Dalam sejarah, selain solun sastra terdapat
juga majlis khalifah yang didirikan/ dibuat oleh para khalifah untuk melakukan

pertemuan bagi para intelektual muslim yang pada masa itu disebut ulama’.

Adapun solun sastra muncul pada awalnya pada masa bani Umayyah. Namun, pada

masa ini Pendidikan yang berlangsung di solun sastra memiliki sistem yang tidak

begitu terikat dengan prosedur yang diberlakukan. Solun sastra tetap berlangsung

hingga dinasti Abbasyiyah, namun pada masa ini sudah mengalami kemajuan dan

perkembangan. Solun sastra maupun majlis khulafaurrasyidin dibuat dalam rangka

musyawarah dalam upaya menyebarluaskan pengetahuan dan Pendidikan dimuka

bumi. Para khalifah berpendapat mereka pelindun pengetahuan, istana-istana mereka

adalah tempat memancarkan kecerdasan dan pengetahuan tempat para ulama’ dan

pujangga-pujangga bertemu.

Ada beberapa kode etik yang diterapkan di solun sastra, diantaranya

a. Harus menghadap kepada khalifah atau pemandu acara

b. Memakai pakaian yang sopan dan bersih

c. Berperilaku sopan dan baik

d. Memberikan rasa kagum sesame

e. Menjauhi hal yang tidak disukai khalifah

f. Mengucapkan salam

13. Bab XIII, Al Badiyyah.

Penduduk jazirah Arab terdiri dari dua golongan, golongan orang perkotaan dan

golongan masyarakat badui atau pedalaman. Suku badui ini hidup dengan cara
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya kehidupan mereka. Mereka

selalu mencari daerah yang hijau dan dekat dengan mata air. Di Jazirah Arab

wilayahnya di penuhi dengan padang sahara yang tandus, dan sangat jarang daerah

yang dapat dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Menurut silsilah bangsa Arab

Badui berasal dari keturunan Adnan, Nizar, dan Mudhor dan menyebar ke utara dan

selatan. Berjalannya waktu jumlah mereka menyebar dan semakin banyak sehingga

membentuk suku-suku atau yang disebut dengan qobilah.

Termasuk kebiasaan bangsa Arab mereka berpegang teguh pada nasab mereka, dan

mereka mewariskan kepada anak-anak mereka sampai Islam masuk di daerah mereka.

Kebiasan hidup berpindah-pindah dan hidup di wilayah gurun membuat mereka lebih

kreatif, tangguh, dan hidup dengan penuh tantangan. Terpisahnya mereka dari

kehidupan perkotaan, membuat mereka mampu menjaga kemurnian dan kefasihan

warisan dari nenek moyang mereka. Hal ini membuat warga kota tetap menjaga

hubungan baik dengan warga pedesaan. Penduduk badui ini terkenal dengan keahlian

mereka membuat syair. Biasanya syair-syair ini dibacakan di pasar, bahasa mereka

kaya akan ungkapan, tata bahasa dan kiasan.

Berdasarkan Analisa penulis, hal ini merukan alasan mengapa Rosulullah dititipkan

kepada Halimah as sa’diyah selama dua tahun, dari Bani sa’ad bin Bakr, dari suku

Hawazin. Dalam budaya Badui laki-laki dianggap budayawan jika diamebuat banyak

syair, atau kata-kata bijak, banyak juga dari mereka yang membuat prosa sebagai

hiburan penyemangat perang. Setelah datangnya Islam kekaguman mereka terhadap


Arab Fusha semakin bertambah, karena Bahasa Al Qur’an memiliki tingkat

kesusastraan yang lebih baik. Dan Rosulullah adalah orang yang ahli dalam berucap.

14. Bab XIV. Masjid Sebagai Pusat Pendidikan Islam.

Masjid berasal dari kata Bahasa Arab sajada yusajidu, yang berarti sujud. Secara

harfiah masjid adalah tempat yang digunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.

Sebagai sarana beribadah, masjid juga dijadikan sebagi tempat penyelenggaraan

Pendidikan Islam. Dan merupakan sarana pokok penyelenggaraan perkembangan

masyarakat muslim. Dalam sejarah Islam, usaha pertama yang dilakukan

Rosulullah pasca meninggalkan Makkah adalah mendirikan masjid pertama di

Madinah yang dinamakan masjid Quba.

Adapun yang mendorong kaum muslim mendirikan Masjid adalah rumah khusus

tidak muat untu tempat mereka berkumpul dan tidak memberikan kenyaman bagi

mereka untuk beribadah dan melaksanakan pertemuan. Adapun alasan terpilihnya

masjid sebagai pusat Pendidikan yaitu;

a. Masjid adalah tempat yang paling aman dari hal-hal syirik dan memiliki nilai

ibadah tertinggi.

b. Masjid adalah tempat umum dan terbuka untuk semua kalangan dan golongan.

c. Dalam masjid terdapat perpaduan antara Iman, Amal, dan Ilmu

d. Masjid mampu mempererat tali persaudaraan antar sesama ummat muslim

e. Masjid memperkokok integritas kepribadian, kesabaran, dan keberanian.

Anda mungkin juga menyukai