Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kasus

Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu cedera pada Plexus Brachialis

yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini sering kali berupa penarikan berlebihan

atau avulsi. Posisi jatuh dengan leher pada sudut tertentu menyebabkan cedera pleksus

bagian atas yang bisa menyebabkan erb's paralysis.

Cedera seperti ini menghasilkan suatu tanda yang sangat khas yang disebut

deformitas Waiter's tip karena hilangnya otot-otot rotator lateral bahu, fleksor lengan,

dan otot ekstensor lengan (Mahadewa, 2013). Sebagian besar cedera plexus brachialis

terjadi selama proses persalinan. plexus brachialis sering mengalami masalah saat

berada di bawah tekanan, seperti dengan bayi yang besar, presentasi bokong atau

persalinan yang lama. Hal ini juga dapat terjadi ketika kelahiran menjadi rumit dan

orang yang membantu persalinan harus melahirkan bayi dengan cepat dan mengarahkan

beberapa kekuatan untuk menarik bayi melalui jalan lahir. Jika salah satu sisi leher bayi

tertarik, saraf yang terdapat didalamnya juga akan tertarik dan dapat mengakibatkan

cedera. Saraf Plexus Brachialis memiliki beberapa kemampuan untuk meregenerasi diri,

selama lapisan luar selubung atau penutup saraf yang diawetkan, yang serabut saraf

yang rusak dapat menumbuhkan kembali ke otot. Bayi mungkin tidak dapat

menggerakan bahu, tetapi dapat memindahkan jari- jari. Jika kedua saraf atas dan bawah

yang meregang, kondisi ini biasanya lebih parah dari sekedar erb's paralysis.

Erb's Paralysis merupakan lesi pada plexus brachialis bagian atas karena cedera

yang diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan dan depresi bahu pada sisi yang

sama saat kelahiran, şehingga menyebąbkan traksi yang berlebihan bahkan robeknya

1
akar saraf C5 dan C6 dari plexsus brachialis. Hal ini séring disebabkan ketika leher bayi

itu ditarik ke samping selama kelahiran yang sulit.

Kebanyakan bayi dengan lesi plexus brachialis lahir akan memulihkan kedua

gerakan dan perasaan di lengan yang terpengaruh. Untuk mendiagnosa cedera plexus

brachialis pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari manifestasi klinisnya berupa tidak

adanya respon motorik yang normal pada otot-otot ekstremitas atas, seperti tidak adanya

refleks menggenggam dan refleks moro asimetris. Namun agak sulit untuk menentukan

diagnosis otot yang me ngalami kelumpuhan karena bayi belum dapat melakukan apa

yang diperintahkan. Selain itu bisa juga ditemui gejala Syndrome Horner (ptosis,

miosis, dan anhidrosis) yang terjadi karena trauma pada lower root dan gejala ini

mempunyai prognosis buruk. Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan lokasi

dan eksistensi cedera saraf seperti avulsi (cedera preganglionik) atau ruptur (cedera

postganglionik) (Mahadewa, 2013). Untuk mengevaluasi intraoperatif dapat

menggunakan myelografi, CT myelografi dan MRI. Pemeriksaan ini dapat membantu

merencanakan prosedur operasi dan digunakan untuk menilai tingkat keparahan suatu

cedera. Orang tua harus waspada dan berperan aktif dalam proses pengobatan untuk

memastikan anak mereka pulíh dengan fungsi maksimal pada lengan yang terpengaruh.

Erb's Paralysis merupakan salah satu yang dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas

fisik dan kecacatan.

Intervensi fisioterapi yang digunakan untuk mengatasi problematik yang timbul

pada kondisi erb's paralysis adalah Infra Red, Muscle Stimulation, dan terapi latihan

(active assisted dan hold relax). Tujuan dari penggunaan Infra Red, untuk mengurangi

nyeri, merileksasi otot-otot dan meningkatkan suplai darah (Sujatno, dkk, 2002).

Penggunaan muscle stimulation bertujuan untuk menimbulkan kontraksi otot dari saraf

2
yang lesi, menstimulasi saraf sensorik untuk mengurangi nyeri, membuat medan listrik

pada jaringan lunak untuk merangsang proses penyembuhan, dan membuat medan

listrik pada permukaan kulit untuk mengirim ion bienefical untuk merangsang proses

penyembuhan pada kulit yang lesi (Prentice, 2002). Penggunaan terapi latihan bertujuan

untuk merileksasi otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi.

3
BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Tentang Anantomi Fisiologi

1. Plexus Brachialis

Plexus brachialis dibentuk oleh bagian anterior 4 nervus cervicalis yang terakhir

dan oleh nervus thoracalis pertama. Radiks plexus brachialis terdiri atas C5 dan C6

yang bersatu membentuk truncus bagian atas (upper trunk), C7 yang menjadi

truncus bagian tengah (middle trunk), C8 serta T1 yang bergabung membentuk

truncus bagian bawah (lower trunk). Masing-masing truncus terbagi lagi menjadi

bagian anterior posterior.Bagian anterior truncus atas dan tengah membentuk

fasciculuslateralis, bagian anterior truncus bawah bergabung membentuk fasciculus

posterior (Chusid, 1993).

Sejumlah serabut saraf yang lebih kecil timbul dari berbagai bagian

plexus.Cabang – cabang dari radiks plexus yaitu sebuah cabang menuju nervus

phrenicus dari C5.Nervus thoracalisposterior terdiri atas nervus scapularis dorsalis

C5, saraf motorik ke musculus rhomboideus dan nervus thoracalis longus C5-C7

yang berjalan turun mensarafi m. Serratus anterior.Cabang – cabang syaraf juga

menuju m. Scalenus dan longus colli dari C6-Th8. Nervus intercostalis yang

pertama berjalan dari T1.Cabang - cabang dari trunkus yaitu sebuah saraf berjalan

ke musculus subclavius (C5-C6) dan trunkus atas atau radiks kelima.Nervus

subscapularis (C5-C6) timbul dari trunkus atas atau bagian anteriornya dan

mempersarafi musculus supraspinatus dan infraspinatus.

4
Cabang – cabang dari fasciculus yaitu nervus thoracalis anterior medialis dan

lateralis berjalan dari fasciculus medialis (C8-TH1) dan lateralis (C5-7) masing –

masing dan biasanya disatukan oleh suatu loop. Nervus ini mempersyarafi musculus

pectoralis major dan pectoralis minor (Chusid, 1993).

Ketiga nervus subscapularis dari fasciculus posterior terdiri atas : (1) nervus

subscapularis atas (CS-C6) ke musculus subscapularis, (2) nervus thoracodorsalis

atau subscapularis medius (longus) (C7-C8) yang menginervasi musculus latissimus

dorsi dan (3) nervus subscapularis sebelah bawah (C5-C6) yang menuju musculus

teres major dan bagian musculus subscapularis. Cabang - cabang sensorik fasciculus

medialis (C8-Th1) terdiri atas nervus cutaneus antebrachialis medialis yang menuju

ke permukaan medial lengan (Chusid, 1993)

Gambar 2.1
Plexus Brachialis

5
B. Tinjauan Tentang Erb’s Palsy

1. Definisi

Paralisis Duchenne – Erb’s atau yang biasa disebut Erb’s Palsy merupakan

suatu kondisi kelumpuhan pada bayi barulahir atau neonatal. Kerusakan ini

terjadi pada cabang-cabang C5 - C6 dari pleksus brakialis menyebabkan

kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan

keluar serta hilangnya refleks biseps dan moro. Lengan berada dalam posisi

abduksi, putaran ke dalam, lengan bawah dalam pranasi, dan telapak tangan ke

dorsal.

Gambar 2.2 Erb’s Palsy

2. Etiologi

Etiologi atau penyebab terjadinya Erb’s Palsy pada bayi baru lahir.

dapat terjadi dikarenakan 3 komponen besar penyebabnya, yaitu dari faktor

6
bayi, faktor ibu dan faktor proses persalinan, seperti yang dijabarkan berikut

ini :

a. Faktor Bayi, yang diperngaruhi oleh kondisi pada bayi tersebut, seperti :

1) Makrosomia

2) Presentasi ganda

3) Letak sunsang

4) Distosia bahu

5) Malpresentasi

6) Bayi kurang bulan

b. Faktor ibu, yang berhubungan dengan kondisi atau fisiologi dari si Ibu

yang melahirkan, seperti :

1) Ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit)

2) Umur ibu yang sudah tua

3) Adanya penyulit saat persalinan

c. Faktor penolong persalinan

1) Tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat menolong

kelahiran bahu pada presentasi kepala

2) Tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi bokong

3. Patoanatomi dan Patofisiologi

Peregangan serabut saraf yang terjadi pada plexus brachialis dapat

menimbulkan cedera pada selubung saraf, pembengkakan saraf dan

pendarahan disekelilingnya sampai dengan rusaknya akson sehingga

menyebabkan terganggunya impuls saraf, dimana tingkat gangguan impuls

7
saraf tergantung kuat ringannya suatu regangan. Peregangan ringan pada

saraf kemungkinan hanya akan menyebabkan neuropraksi atau

aksonotmesis, sedangkan pada ruptur kulit akan menyebabkan neurotmesis

(Kurniawan, 2016).

Cedera fleksus brachialis sering terjadi dan ditemukan pada hampir 1

dalam tersebut Biasanya terjadi setelah suatu persalinan yang sulit, namun

kadangkala sesudah persalinan yang tampaknya mudah, bayi baru lahir

dengan mengalami kelumpuhan. Paralisis Dukchenne atau Erb meliputi

paralisis mulkulus deltoideus dan infraspinatus disamping lengan tanpak

lemas dan tergantung disisi tubuh, dengan lengan bawah dalam keadaan

ekstensi serta rotasi ke dalam. Fungsi jari-jari tangan biasanya tidak

terganggu.

Lesi ini terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks superior

pleksus brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan

kepala ke lateral, sehingga denag tajam memfleksikan pleksus tersebut kea

rah salah satu bahu. Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk

melahirkan bahu pada presentasi verteks yang normal, paralisis Erb dapat

tejadi pada persalinan yang tampak mudah. Karena itu, dalam melakukan

ekstraksi kedua bahu bayi, kita harus berhati-hati agar tidak melakukan

flaksi lateral leher yang berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus

dengan persentasi kepala, janin yang menderita paralisis ini memiliki ukuran

khas abnormal yang besar, yaitu denga berat 4000 gram atau lebih.

Pada ekstraksi bokong saat persalinan, bidan atau dokter kandungan

yang menangani harus memberikan perhatian terutama untuk mencegah

8
ekstensi kedua lengan melewati kepala. Lengan yang ektensi bukan saja

memperlambat persalinan bokong namun juga meningkatkan resiko

paralisis. Prognosis keadaan ini biasanya baik bial dilakukan fisioterapi

segera dan tepat. Namun, demikian kadangkala terdapat kasus yag tidak

berhasil diatasi denagn segalah tindakan dan lengan bayi mengalami

paralisis permanen. Yang lebih jarang terjadi, trauma terbatas pada nervus

bagian distal dari pleksus brachialis yang menimbulkan paralisis tangan atau

paralisis Klumpke.

4. Gambaran Klinis

Gambaran umum pada bayi dengan Erb’s Palsy adalah posisi tangan

yang khas. Posisi lengan pada posisi ekstensi, adduksi sendi shoulder,

ekstensi dan supinasi sendi elbow dan dorsi fleksi sendi wrist. Atrofi bahkan

kotraktur pada otot supraspinatus, otot infraspinatus, otot biceps, otot

brachialis, dan otot brachioradialis jika tidak mendapatkan penanganan

seawal mungkin (Kurniawan, 2016). Gejala Klinis menunut Foster yaitu:

nyeri, terutama pada leher dan bahu, paresthesia dan disesthesia, lemah

tubuh atau terasa berat menggerakkan ekstremitas dan denyut nadi menurun

akibat cedera vaskuler mungkin terjadi bersamaan dengan cedera traksi.

Selain itu ada beberapa tanda-tanda fisik paralisis Erb-Duchenne

termasuk hilangnya pergerakan secara alktif pada lengan yang terkena

dengan posisi lengan pada posisi aduksi pada bagian bawah lengan sisi lesi.

Hal ini menyebabkan karakteristik tanda “tip pelayanan” (waiter's tip) yang

ditandai denga totasi iternal bagian bawah lengan dengan jari dan

9
pergelangan tangan fleksi. Refles menggenggam tidak terganggu, tetapi

reflex moro lemah pada sisi yang terkena. Selain yang disebutkan di atas ada

beberapa gambaran klinis mengenai kondisi Erb’s Palsy, seperti :

1)    Gangguan motorik lengan atas

2)    Lengan atas dalam kedudukan ekstansi dan abduksi

3)    Jika anak diangkat maka lengan akan lemas tergantung

4)    Refleks moro negatif

5)    Hiperekstensi dan fleksi pada jari-jari

6)    Refleks meraih dengan tangan tidak ada

7)    Paralisis dari lengan atas dan lengan bawah

C. Tinjauan Intervensi Fisioterapi

Intervensi yang dapat diberikan pada kasus Erb’s Palsy yaitu:

1. Infra Red (IR)

Dasarnya generator Infra Red dibagi menjadi dua jenis yaitu generator

non luminous dan luminous, yang mana perbedaan antara kedua jenis

generator tersebut terletak pada jenis sinar yang terkandung pada tiap

generator. generator non luminous, yaitu generator yang hanya terdiri dari

sinar Infra Red saja, sehingga pengobatan menggunakan jenis ini sering

disebut “Infra Red radiation". Generator luminous, yaitu generator yang

disamping mengandung Infra Red, generator ini juga terdiri dari sinar ultra

violet, pengobatan dengan menggunakan generator je nis ini sering disebut

sebagai radiant heating (Hayes, dkk, 2016).

10
Infrared merupakan terapi standar yang diberikan sebelum pemberian

manual terapi dan dapat menghasilkan efek panas pada jaringan. Efek panas

ini akan meningkatkan metabolisme jaringan dan menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah, sehingga dapat memperlancar nutrisi masuk ke jaringan dan

pengeluaran zat-zat sisa metabolisme yang menumpuk di jaringan. Hal ini

akan menyebabkan berkurangnya rasa nyeri (Kharismawan dkk, 2016).

Menurut teori yang disampaikan oleh Prentice (2002) dalam

Kharismawan, dkk (2016) bahwa infrared merupakan salah satu terapi panas

yang diberikan sebelum melakukan manual terapi. Efek panas dari infrared

akan menyebabkan peningkatan suhu di area superfisial. Hal ini dapat

menstimulasi reseptor saraf pada kulit dan impulsnya akan diteruskan ke

hipothalamus, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah di

area terapi dan jaringan dibawahnya. Peningkatan sirkulasi menyebabkan

metabolisme meningkat pada jaringan, sehingga zat-zat yang menyebabkan

nyeri dapat dikeluarkan dari jaringan.

Menurut pernyataan Porter (2003) dalam Kharismawan, dkk (2016), efek

panas yang dihasilkan oleh infrared dalam waktu 10 menit akan meningkatkan

metabolisme jaringan dan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini

akan memperlancar nutrisi untuk masuk ke dalam jaringan dan pengeluaran

zat-zat sisa metabolisme yang menumpuk pada jaringan. Selain itu, efek panas

yang dihasilkan infrared akan memberikan efek relaksasi pada otot dengan

cara menstimulasi ambang rangsang dari muscle spindle dan mengurangi

kecepatan gamma efferent dalam memberikan impuls, sehingga tonus otot

akan menurun.

11
2. Massage

Massage merupakan teknik manipulasi jaringan lunak melalui tekanan

dan gerakan. Terapi ini dapat dilakukan pada seluruh tubuh maupun pada

bagian tertentu (contoh punggung, kaki dan tangan). Massage membantu

penderita rileks dan tidak merasakan nyeri. Beberapa jenis terapi masase

meliputi Swedish massage (terdiri dari: stroking, kneading dan friction otot

serta gerakan pasif dan aktif. Manipulasi dalam massage adalah cara

menggunakan tangan untuk melakukan massage pada daerah-daerah tertentu

serta untuk memberian pengaruh tertentu pula. Manipulasi pokok massage

adalah:

a) Strocking (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama yang dilakukan

pada seluruh permukaan tubuh. Strocking menggunakan seluruh

permukaan telapak tangan dan jari-jari untuk menggosok daerah tubuh

tertentu. Tujuannya adalah memperlancar peredaran darah dan cairan

getah bening (limphe). Yaitu membantu mengalirkan darah di pembuluh

balik atau vena agar dapat cepat kembali ke jantung.

b) Efflurage (mengurut) yaitu manipulasi dengan menggunakan ujung-ujung

jari, terutama tiga jari tengah, atau hanya ibu jari, pelaksanaanya seperti

manipulasi effleurage. Tujuannya yaitu untuk menenangkan, mengurangi

rasa sakit, mempengaruhi syaraf-syaraf tepi dan menghilangkan

kekejangan otot.

3. Terapi Latihan

12
Terapi latihan dalam bentuk relaksasi dapat memberikan efek

pengurangan nyeri, baik secara langsung maupun memutus siklus\ nyeri,

spasme, dan nyeri. Gerakan ringan dan perlahan merangssang propioceptor

yang merupakan aktivasi dari serabut afferent berdiameter besar. Hal ini akan

mengakibatkan menutupnya spinal gate ( Mardiman, 2001).

Terapi Latihan merupakan gerakan tubuh, postur, atau aktivitas fisik

yang dilakukan secara sistematis dan terencana. aktivitas fisik yang sistematis

dan bertujuan untuk:

a. Memperbaiki atau mencegah gangguan fungsi tubuh

b. Memperbaiki kecacatan

c. Mencegah atau mengurangi faktor resiko gangguan kesehatan

d. Mengoptimalkan status kesehatan dan kebugaran. (Hayes et al., 2016).

Terapi latihan merupakan suatu modalitas fisioterapi dengan

menggunakan latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif. Terapi

latihan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan fungsional dan dapat

memperkuat otot-otot. Otot-otot dapat diperbaiki dengan terapi latihan yang

dilakukan secara rutin dan berulang.Pemberian latihan dapat dikerjakan dengan

berbagai posisi dan sesuai dengan ukuran yang bisa meningkatkan lingkup

gerak sendi pada tangan tersebut dan sebatas tidak menimbulkan rasa sakit

yang berlebihan pada pasien, jika terasa sakit maka latihan diberikan pada

gerak otot yang seminimal mungkin rasa sakitnya. Terapi latihan dilakukan

secara benar, berulang-ulang, teratur dan berkesinambungan (Boschon. 2018).

Jenis terapi latihan yang digunakan adalah :

13
a. Passive movement, adalah suatu latihan yang digunakan dengan gerakan

yang dihasilkan oleh tenaga/kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot

atau aktifitas otot. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri atau

toleransi pasien. Efek pada latihan ini adalah memperlancar sirkulasi darah,

relaksasi otot, memelihara dan meningkatkan Luas Gerak Sendi (LGS),

mencegah pemendekan otot, mencegah perlengketan jaringan. Tiap gerakan

dilakukan sampai batas nyeri pasien.

b. Active movement, suatu gerak yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh

itu sendiri. Gerak yang dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi

secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan

perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti

relaksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri. Pada kondisi oedem

sering menimbulkan keluhan nyeri, sehingga akan mendorong cairan oedem

mengikuti aliran ke proximal.

14
BAB III

PROSES ASSESMENT FISIOTERAPI

A. Data Medis

B. Identitas Pasien

IDENTITAS PASIEN

Nama An. IDGJ

Usia 1 Tahun 6 Bulan

Jenis Kelamin Laki – Laki

Pekerjaan -

Alamat Gianyar

C. History Taking

HISTORY TAKING

Keterbatasan gerak dan Vital Sign


Keluhan Utama
kelamahan pada tangan kiri 1. Nadi : - x/menit

Faktor 2. Tekanan Darah : - mmHg


Trauma perinatal
Penyebab 3. Pernapasan : 28 x /menit

Faktor yang Saat menggerakan tangan 4. Suhu : 36,5° C

memperberat kiri

Faktor yang Indeks Massa Tubuh


Saat istirahat / Tidur
mem peringan 1. Berat Badan : 10 Kg

Riwayat Pasien mengalami trauma 2. Tinggi Badan :85 cm

Perjalanan saat proses kelahiran kerena

15
Antropometri :

pinggu ibu kecil dan proses

Penyakit persalinan spontan (normal) Body Massa Index : -

Sekarang yang dibantu vacuum. Berat

bayi lahir 3.3 kg

Riwayat Tidak terdapat riwayat penyakit dahulu dan penyerta yang

Penyakit berhubungan dengan keluhan

Dahulu

Penyerta

D. Inspeksi/Observasi

INSPEKSI

Statis Bahu asimetris, kiri lebih tinggu dari kanan. Saat posisi duduk serta

berdiri tampak tangan kiri inaktif serta rigid. Dengan posisi internal

rotasi bahu, elbow ekstensi & fleksi wrist, Deformitas (-), kontraktur

(-)

Dinamis Terlihat sulit saat menggangkat tangan ke atas, sulit menekuk siku

dan sulit memegang benda

E. Pemeriksaan Gerak

PEMERIKSAAN GERAK

Tes Gerak Aktif Terdapat keterbatasan gerak aktif AGA kiri namun tidak

disertai nyeri khususnya pada gerakan Fleksi - Ekstensi

bahu, Adduksi bahu, Fleksi siku, Ekstensi wrist

Tes Gerak Pasif Tidak terdapat keterbatasan gerak pasif pada AGA kiri

untuk seluruh gerakan dengan endfeel patologis springy end

16
feel.

F. Pemeriksaan Neurologis

TES SENSIBILITAS

Taktil Normal

Suhu Normal

Diskriminatif 2 titik Normal

Superficial Nyeri Normal

PEMEERIKSAAN DERMATOME

Hiperestesia (-)

Baal (-)

PEMERIKSAAN MYOTOME

Tonus Otot Hipotonus

Kekuatan Otot Weakness

PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGI

Biceps Reflek Normal

Triceps Reflek Normal

Brachoradialis
Normal
Reflek

PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS

Reflek Hoffman Negatif

17
G. Pemeriksaan Kekuatan Otot

PEMERIKSAAN KEKUATAN OTOT

Fleksor Bahu 2

Ekstensor Bahu 2

Abduktor Bahu 3

Adduktor Bahu 2

Flexor Siku 2

Ekstensor Siku 3

Fleksor wrist 3

Ekstensor wrist 2

H. Pengukuran Fisioterapi

Mallet Scale

Global Abduction Grade III (30° - 90°)

Global External Rotation Grade III (0° - 20°)

Hand to Neck Grade I (Not Possible)

Hand to spine Not testable

Hand to mouth Grade I (No Function)

Internalrotation Grade II (Cannot Touch)

I. Algorithma Assesment

18
History Taking :
Keterbatasan gerak dan kelemahan otot pada AGA Kiri akibat
kerusakan Nervus plexus brachialis, yang menyebabkan lesi
saraf tepi

Inspeksi :
Bahu asimetris dan kesulitan mengankat
tangan dan memegang benda

Pemeriksaan fisik

PGA : Ada keterbatasan LGS Mallet Scale :


AGA Kiri secara Aktif MMT : ada ↓
Grade dibawah
PGP : End Feel Patologis & grade III Hiperestesia (-)
LGS pasif terbatas di AGA Baal (-)
Kiri

Pemeriksaan pendukung Fine Motor Function


seperti x-ray bisa terjadi keterlambatan
menegaskan kerusakan pada perkembangan
pada plexus brachialis, motorik kasar dan halus
namun tidak dilakukan

Diagnosa FT : Keterbatasan gerak dan


Keterbatasam dan kelemahan otot kelemahan otot akibat lesi
AGA sehingga sulit menggerakan saraf, yang disebabkan oleh
trauma pada plexus brachialis,
AGA kiri akibat paralisis plexus
pada saat proses persalinan
brachialis – Erb’s Palsy sinistra secara spontas yang
dipengaruhi dari faktor

J. Diagnosa Fisioterapi

19
DIAGNOSA FISIOTERAPI

Keterbatasam dan kelemahan otot AGA sehingga sulit menggerakan AGA

kiri akibat paralisis plexus brachialis – Erb’s Palsy Sinistra

K. Problematika Fisioterapi

Komponen ICF Pemeriksaan/Pengukuran Yang

Membuktikan

1. Impairment Body Structure

a. (s730) Structure of upper


Pemeriksaan Neurologis dan Tes Gerak Aktif
extremity
& Pasif
b.(s1982) Structure of Nervous

System, other specified

2. Impairment Body Function

a. (b7301) Power of Muscle of one

limb Pengukuran, Pemeriksaan Myotome dan

b.(b710) Mobility of joint function Kekuatan Otot

c. (b7351) Tone of muscle of one

limb

3. Activity Limitation

a. (d430) lifting & Carrying


Pengukuran Fisioterapi
objects

b.(d440) Fine hand uses

4. Participation Restriction
Pengukuran Fisioterapi
a. (d920) Play

20
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang : Meningkatkan kemampuan untuk melakukan

aktifitas sehari – hari dan menjaga agar pasien tetap dapat mandiri.

2. Tujuan Jangka Pendek : Meningkatkan kekuatan otot dan Lingkup gerak

sendi AGA kiri sehingga dapat memperbaiki pola gerak fungsional

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

Komponen ICF Tujuan Intervensi Jenis Intervensi

1. Impairment Body Structure

c. (s730) Structure of upper


Memperbaiki posisi IR, Terapi latihan,
extremity
tangan Massage
d.(s1982) Structure of Nervous

System, other specified

2. Impairment Body Function

d.(b7301) Power of Muscle of one

limb ↑ Kekuatan Otot & IR, Terapi latihan,

e. (b710) Mobility of joint function grade Mallet Scale Massage

f. (b7351) Tone of muscle of one

limb

3. Activity Limitation

a. (d430) lifting & Carrying IR, Terapi latihan,


Dapat menggenggam
objects Massage

b.(d440) Fine hand uses

21
4. Participation Restriction ↑ Kemampuan IR, Terapi latihan,

a. (d920) Play fungsional Massage

C. Prosedur Pelaksanaan Fisioterapi

1. Infra Red

 Persiapan Alat: Menyiapkan alat Infra Red

 Persiapan Pasien: Melakukan tes sensibilitas berupa panas. Mengatur posisi

pasien posisi terlentang dengan membebaskan area yang di intervensi bebas

dari pakaian.

 Pelaksanaan Terapi: Mengarahkan alat dalam posisi tegak lurus

menghadap area yang diintervensi dengan jarak 40 cm dari permukaan kulit

pasien, Lama terapi 4 Menit. Kemudian hidupkan tombel power dan lampu

menyala. Amati dan awasi jika warna kulit pasien berubah atau pasien

menangis kesakitan, sebagai indikasi adanya “burn”. Setelah tindakan terapi

matikan alat, jauhkan alat dari tubuh pasien dan merapikan alat dengan

mengembalikan ke posisi semula.

2. Massage

 Persiapan Alat dan Pasien : Posisikan pasien dalam posisi terlentang dan

senyaman mungkin

 Pelaksanaan Terapi : Bebaskan lengan dari pakaian dan accesoris, agar

tidak mengganggu proses terapi. Terapis mulai melakukan effularge

menggunakan baby oil. Terapis melakukan dengan kedua tangan agara

pasien merasa nyaman. Gerakan berlawanan dengan serat otot pada

22
trapezius upper dan deltoid. Dosis itensitas: tekanan yang ringan 15 kali

dalam 2 kali set dan durasi selama 10 menit.

3. Execises

 Persiapan Alat dan Pasien: Menyiapkan handuk atau selendang yang

panjang. Pasien diintruksikan untuk duduk dengan posisi Long Sitting.

 Pelaksanaan Terapi : Pasien dapat masih dalam posisi terlentang atau

duduk, yang nyaman untuk pasien. Latihan yang dilakukan pertama

adalah pasif exrises dimana terapi menggerakan seluruh sendi pada AGA

kiri dengan pengulangan 15 kali dan diberikan 3 set.

Kemudianndilanjutkan dengan aktif exercise dengan lpendekatan play

therapy sebagai stimulasi anak agar mau bergerak secara aktif. Dapat

menggunakan alat bantu terapi seperti bolak dan theraputty.

D. Edukasi dan Home Program

Klien diminta melakukan latihan pasif pada sendi AGA kiri di pagi hari dan di

sore hari 3 kali pengulangan seperti yang di lakukan pada saat diterapi, diberikan

stimulasi untuk bergerak aktif dengan stimulasi dan pendekatan terapi bermain agar

lebih aktif.

E. Evaluasi

Aspek Yang Dinilai Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3

Fleksor Bahu 2 2 2

Ekstensor Bahu 2 2 2

Abduktor Bahu 3 3 3

23
Adduktor Bahu 2 2 2

Flexor Siku 2 2 2

Ekstensor Siku 3 3 3

Fleksor wrist 3 3 3

Ekstensor wrist 2 2 2

Global Abduction Grade III (30° - Grade III (30° -


Grade III (30° - 90°)
90°) 90°)

Global External Rotation Grade III (0° - Grade III (0° -


Grade III (0° - 20°)
20°) 20°)

Hand to Neck Grade I (Not Grade I (Not


Grade I (Not Possible)
Possible) Possible)

Hand to spine Not testable Not testable Not testable

Hand to mouth Grade I (No Grade I (No


Grade I (No Function)
Function) Function)

Internalrotation Grade II (Cannot Grade II (Cannot Grade II (Cannot

Touch) Touch) Touch)

24
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assesment Fisioterapi

Cedera seperti ini menghasilkan suatu tanda yang sangat khas yang disebut

deformitas Waiter's tip karena hilangnya otot-otot rotator lateral bahu, fleksor

lengan, dan otot ekstensor lengan (Mahadewa, 2013). Sebagian besar cedera plexus

brachialis terjadi selama proses persalinan. plexus brachialis sering mengalami

masalah saat berada di bawah tekanan, seperti dengan bayi yang besar, presentasi

bokong atau persalinan yang lama. Hal ini juga dapat terjadi ketika kelahiran

menjadi rumit dan orang yang membantu persalinan harus melahirkan bayi dengan

cepat dan mengarahkan beberapa kekuatan untuk menarik bayi melalui jalan lahir.

Jika salah satu sisi leher bayi tertarik, saraf yang terdapat didalamnya juga akan

tertarik dan dapat mengakibatkan cedera. Saraf Plexus Brachialis memiliki beberapa

kemampuan untuk meregenerasi diri, selama lapisan luar selubung atau penutup

saraf yang diawetkan, yang serabut saraf yang rusak dapat menumbuhkan kembali

ke otot. Bayi mungkin tidak dapat menggerakan bahu, tetapi dapat memindahkan

jari- jari. Jika kedua saraf atas dan bawah yang meregang, kondisi ini biasanya lebih

parah dari sekedar erb's paralysis.

Pada tanggal 19 April terapis pertama kali bertemu dengan pasien, dan

dilakukan assessment fisioterapi. Pasien dengan inisial IGBD, merupakan balita

berumur 1 tahun 2 bulan, yang memiliki keluhan kelemahan dan keterbatsan gerak

pada AGA kiri. Akibat trauma plexus brachialis saat proses kelahiran normal akibat

pinggul si Ibu yang sempit. Tidak terdapat gangguan sensoris atau pun dermatome

25
pada pasien. Tonus otot pada AGA kiri cenderung hipotonus akibat inaktif bergerak

serta kelemahan akibat lesi saraf tepi. Dimana hasil MMT pada AGA kiri

memperlihatkan rata – rata nilai kekuatan otot yaitu 2, dimana mengindikasikan

tidak dapat bergerak full rom dan melawan grafitasi. Untuk pengukuran fisioterapi

khusus kondisi Erb’s Palsy yaitu Mallet scale didapatkan hasil untuk Global

Abduction yaitu Grade III (30° - 90°), Global External Rotation yaitu Grade III (0° -

20°), Hand to Neck yaitu Grade I (Not Possible), Hand to spine yaitu Not testable,

Hand to mouth yaitu Grade I (No Function), Internalrotation yaitu Grade II (Cannot

Touch). Selama 3 kali terapi tidak terdapat perubahan yang signifikan pada pasien

dari hasil pemeriksaan T1, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor selain umur

pasien yang masih kecil, kesulitan komunikasi dan kurang kooperatifnya pasien

anak – anak menjadi kendala tersendiri saat melakukan intervensi. Maka diharapkan

peran orangtua yang dapat lebih kreatif dan kooperatif membantu terapis.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

Terapi dilakukan selama tiga kali pertemuan yaitu pada tanggal 19, 21 dan 23

April 2021. Intervensi terpilih yang diberikan pada pasien adalah Infra Red,

Massage dan Terapi Latihan serta edukasi dan home program sebagai pendukung.

Infrared merupakan terapi standar yang diberikan sebelum pemberian manual terapi

dan dapat menghasilkan efek panas pada jaringan. Efek panas ini akan

meningkatkan metabolisme jaringan dan menyebabkan vasodilatasi pembuluh

darah, sehingga dapat memperlancar nutrisi masuk ke jaringan dan pengeluaran zat-

zat sisa metabolisme yang menumpuk di jaringan. Hal ini akan menyebabkan

berkurangnya rasa nyeri Menurut teori yang disampaikan bahwa infrared

26
merupakan salah satu terapi panas yang diberikan sebelum melakukan manual

terapi. Efek panas dari infrared akan menyebabkan peningkatan suhu di area

superfisial. Hal ini dapat menstimulasi reseptor saraf pada kulit dan impulsnya akan

diteruskan ke hipothalamus, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan aliran

darah di area terapi dan jaringan dibawahnya. Peningkatan sirkulasi menyebabkan

metabolisme meningkat pada jaringan, sehingga zat-zat yang menyebabkan nyeri

dapat dikeluarkan dari jaringan.

Selain dengan infra red, diberikan juga massage pada AGA kiri, dengan dua

tehnik dasar pada massage yang cocok untuk intervensi pada anak – anak yaitu

strocking dan efflurage. Strocking (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama yang

dilakukan pada seluruh permukaan tubuh. Strocking menggunakan seluruh

permukaan telapak tangan dan jari-jari untuk menggosok daerah tubuh tertentu.

Tujuannya adalah memperlancar peredaran darah dan cairan getah bening (limphe).

Yaitu membantu mengalirkan darah di pembuluh balik atau vena agar dapat cepat

kembali ke jantung. Efflurage (mengurut) yaitu manipulasi dengan menggunakan

ujung-ujung jari, terutama tiga jari tengah, atau hanya ibu jari, pelaksanaanya seperti

manipulasi effleurage. Tujuannya yaitu untuk menenangkan, mengurangi rasa sakit,

mempengaruhi syaraf-syaraf tepi dan menghilangkan kekejangan otot.

Terapi latihan dilakukan secara benar, berulang-ulang, teratur dan

berkesinambungan (Suharti dkk. 2018). Jenis terapi latihan yang digunakan adalah :

Passive movement, adalah suatu latihan yang digunakan dengan gerakan yang

dihasilkan oleh tenaga/kekuatan dari luar tanpa adanya kontraksi otot atau aktifitas

otot. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri atau toleransi pasien. Efek pada

latihan ini adalah memperlancar sirkulasi darah, relaksasi otot, memelihara dan

27
meningkatkan Luas Gerak Sendi (LGS), mencegah pemendekan otot, mencegah

perlengketan jaringan. Tiap gerakan dilakukan sampai batas nyeri pasien. Active

movement, suatu gerak yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri.

Gerak yang dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan

disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga

mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti relaksasi otot akan menghasilkan

penurunan nyeri. Pada kondisi oedem sering menimbulkan keluhan nyeri, sehingga

akan mendorong cairan oedem mengikuti aliran ke proximal.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Tuerero. (2017). Fundamental Exerises For Hand. Bookstore. Philadelpia.

Basson, A., Olivier, B., Ellis, R., Coppieters, M., Stewart, A., & Mudzi, W. (2015). The

effectiveness of neural mobilizations in the treatment of musculoskeletal

conditions: a systematic review protocol. JBI Database of Systematic Reviews

and Implementation Reports, 13(1), 65–75. https://doi.org/10.11124/jbisrir-

2015-1401

Hayes, K. W. (2016). MODALITAS FISIOTERAPI. Jakarta.

Klonisch, Hombach.S & T. Konisch, J. Peeier. (2019). Sobbot Clinical Atlas Anatomy

1st Digital Version. Elsavier. Munchen – Jerman.

Noor Sadhono, SST, F. (2015). DOSIMETRI ULTRASOUND.

Shah, S., & Bhalara, A. (2012). Myofascial Release. International Journal of Health

Sciences & Research (Www.Ijhsr.Org) International Journal of Health Sciences

and Research, 692(2), 69–77. https://doi.org/10.1589/rika.16.103

Kharismawan, S. E., Gunasagaran, J., Goh, K. J., & Ahmad, T. S. (2016). Short-term

clinical outcome of exercise in plexus brachialis traumatic Journal of Hand

Therapy,

29

Anda mungkin juga menyukai