Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Tulang merupakan jaringan tubuh yang berfungsi untuk menopang tubuh dan
bagian-bagiannya karena tulang mempunyai struktur yang kaku. Pada saat manusia masih
dalam kandungan ibu, tulang tubuhnya masih berbentuk tulang rawan, yang secara bertahap
mengalami proses perubahan menjadi tulang. Pada saat dilahirkan, sebagian tulang rawan itu
sudah mempunyai pusat penulangan yang terus tumbuh mengubah tulang rawan menjadi
tulang. Proses pertumbuhan tulang itu berlangsung lama sehingga ada tulang yang bam
terlihat keberadaannya pada usia sekitar 15-17 tahun.
Dalam proses dan tumbuh kembangnya, tulang dapat mengalami beberapa kelainan
yang dapat menyebabkan cacat bawaan atau anomali kongenital. Anomali kongenital ini
merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak hasil konsepsi sel
telur. Anomali kongenital dapat menyebabkan terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir.  Beberapa anomali kongenital pada tulang rahang yang akan dibahas
dalam makalah ini antara lain cleidocranial dysplasia, mandibulofasial dysostosis, hemifacial
hipertropi, hemifacial hipoplasia, agnathia, macrognatia, dan torus.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Tulang rahang terdiri dari tulang rahang atas (Os. Maxilla) dan tulang rahang bawah
(Os. Mandibula) yang membawa gigi-geligi. Tulang rahang atas (Os. Maxilla) adalah tulang
yang berbentuk irregular dan membentuk rahang atas, orbita, rongga hidung, langit-langit dan
tempat gigi-geligi atas. Tulang rahang bawah (Os. Mandibula) merupakan tulang rahang
bawah yang berupa ladam kuda yang membentuk rahang bawah. Tulang ini juga merupakan
tulang terbesar dan terkuat pada tulang muka, yang terdiri dari satu korpus dan satu pasang
rami yang bersendi dengan tengkorak kepala pada sendi tempomandibular.

Gambar Os. Maxilla Gambar Os. Mandibula

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang Rahang


Pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang dibagi menjadi dua, yaitu
pertumbuhan tulang rahang atas (Os. Maxilla) dan pertumbuhan tulang rahang bawah (Os.
Mandibula).

1. Pertumbuhan Tulang Rahang Atas (Os. Maxilla)


Pertumbuhan tulang rahang atas (Os. Maxilla) berasal dari lengkung faring pertama
bagian atas (Processus Maxillaris). Maxilla mengalami penulangan secara intramembranous
dengan pusat ossifikasi terletak pada percabangan N. Infra orbitalis menjadi N. Alveolaris
Superior Anterior dan N. Alveolaris Superior Medius. Kemudian proses ossifikasiny
berlanjut ke arah caudal membentuk Processus Alveolaris Ossis Maxillaris dan ke arah
medial membentuk Processus Palatinus Ossis Maxillaris. Selama proses tersebut, di bagian
pusat ossifikasinya membentuk Corpus Maxilla, hingga terbentuklah Os. Maxilla yang
lengkap.

2
2. Pertumbuhan Tulang Rahang Bawah (Os. Mandibula)
Tulang rahang bawah (Os. Mandibula) berasal dari lengkung faring pertama bagian
bawah (Processus Mandibularis). Mula-mula dibentuk tulang rawan Meckel di bagian lingual
Processus Mandibularis. Pertumbuhan dan perkembangan tulang rawan Meckel ini berada
dekat dengan pembentukan N. Mandibularis. Pada saat pembentukan N. Mandibularis
mencapai 1/3 dorsal tulang rawan Meckel, ia bercabang menjadi N. Alveolaris Inferior di
lateral dan N. Lingualis di medial. Selanjutnya N. Alveolaris Inferior berjalan ke arah
anterior dan bercabang lagi mencari N. Mentalis dan N. Insisivus. Di tempat lateral
percabangan inilah jaringan ikat padat fibrosa mengalami ossifikasi pada minggu ke-7. Pusat
ossifikasinya di sekitar Foramen Mentale. Kemudian pertumbuhan dan perkembangan
berlanjut ke arah anterior mencapai symphisis mandibula dan ke arah posterior membentuk
ramus mandibula hingga terbentuklah mandibula lengkap, sedang tulang rawan Meckel
menghilang.

B. Anomali Kongenital Tulang Rahang


Anomali kongenital adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan kelainan
struktural, perilaku, fisiologis dan kelainan metabolik yang terdapat saat lahir.  Pada 40
hingga 60% dari semua cacat lahir penyebabnya tidak diketahui. Namun diduga merupakan
faktor genetik, seperti kelainan kromosom dan mutasi gen serta faktor lingkungan dan bisa
jadi gabungan dari keduanya yang disebut anomali multifaktor.

C. Etiologi Anomali Kongenital Tulang Rahang


Penyebab genetik antara lain:
1. Pewaris dominan.
Malformasi-malformasi morfologis umumnya amat mempersempit peluang
reproduksi individu yang bersangkutan. Biasanya penyakit ini baru tampak setelah
usia 40 tahun. Malformasi dominan lainnya terjadi dengan frekuensi mutasi spontan
atau memiliki daya tembus yang ringan.
2. Pewaris resesif.
Pada pewaris resesif frekuensi kejadian pada populasi yang terbatas dengan genetik
yang sangat heterogen. Frekuensi varian gen mendekati frekuensi mutasi spontan.
3. Anomali-anomali kromosom.

3
Tidak adanya salah satu kromosom ataupun terdapat menggandakan satu kromosom
homolog dan terjadi karena nondisjunction kromosom pada saat meiosis.
4. Sindrom-sindrom malformasi.
Malformasi yang terjadi pada beberapa sistem organ di golongkan sebagai sindrom
malformasi yang secara khas terjadi bersamaan. Padabeberapa sindrom, mutasi
atau penyimpangan kromosom yang sudahdiketahui penyebab. Pengaruhnya terjadi
pada berbagai sistem organ sehingga berkembang sebagai sindrom.
5. Sindrom kerapuhan X.
Lengan panjang di salah satu kromosom X mengalami kerapuhan dan lokasi ini
menyebabkan kromosom mudah patah sehingga menyebabkan lintas silang obligator
antara kromosom X dan Y, dimana kelainan dikarenakan adanya peningkatan
metilasi pada lokasi kromosom yang rapuh.

Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan


embrional dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan
atau kedua faktor secara bersamaan. Beberapa faktor etiologi yang diduga dapat
mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:

1. Kelainan Genetik dan Kromosom


Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas
kelainan kongenital pada anaknya. Di antara kelainan-kelainan ini ada yang
mengikuti hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi
yang bersangkutan sebagai unsur dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif. Penyelidikan dalam hal ini sering sukar, tetapi adanya
kelainan kongenital yang sama dalam satu keturunan dapat membantu langkah-
langkah selanjutya. Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran ,
maka telah dapat diperiksa kemungkinan adanya kelainan kromosom selama
kehidupan fetal serta telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya.
2. Faktor Mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intra uterine dapat menyebabkan
kelainan bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut.
Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah
terjadinya deformitas suatu organ.

4
3. Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada
periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi
tertentu dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan suatu organ tubuh dan meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
Beberapa infeksi pada trimester pertama yang dapat menimbulkan kelainan
kongenital antaralain ialah infeksi virus sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis,
kelainan-kelainan kongenital yang mungkin dijumpai ialah adanya gangguan
pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus,
mikrosefalus,atau mikroftalmia.
4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital
pada bayi. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dagat menimbulkan kelainan
kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia
atau mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda
dengan tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya
kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak diketahui
secara pasti. Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari
pemakaian obat-obatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal ini kadang-
kadang sukar dihindari karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini
misalnya pada pemakaian tranquilizer untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik
atau preparat hormon yang tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu
dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
5. Faktor Usia Ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang
dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause.
6. Faktor Hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan
kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes
mellitus kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi yang normal.
7. Faktor Radiasi

5
Radiasi ada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua
dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan mutasi gen yang mungkin sekali dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk
keperluan diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
8. Faktor Gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan
bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang
kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi yang lahir dariibu
yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensiprotein, vitamin A
riboflavin, folic acid, thiamin dan lain-lain dapat menaikkan kejadian kelainan
kongenital.
9. Faktor-faktor Lain
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor janinnya
sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi penyebabnya.
Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga dapat menjadi faktor
penyebab. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.

D. Anomali kongenital pada tulang rahang

1. KLEIDOKRANIAL DISPLASIA
a. Definisi
Kleidokranial displasia adalah suatu kelainan pada tulang yang disebabkan
oleh mutasi gen CBFA I(core binding factor alpha I)/RUNX2 pada kromosom
6p21). Dalam keadaan normal, gen ini menuntun diferensiasi osteoblas dan
pembentukan tulang yang tepat. Sindroma ini ditandai oleh adanya trias: multiple
supernumerary teeth, pertumbuhan tulang klavikula yang tidak sempurna, dan
terbukanya sutura sagital dan fontanel.1
Kelainan ini mempunyai karakteristik:
1. Tidak tumbuhnya atau tidak sempurnanya tulang bahu. Pada penderita akan
terlihat kedua bahunya akan berdekatan atau seperti menjadi satu.

6
2. Adanya kelainan tengkorak dan kelainan wajah dengan wajah yang cenderung
persegi, sutura dari tengkorak yang kurang menutup, tulang frontal yang
kurang tertutup, dinding hidung yang rendah, terlambatnya erupsi gigi
permanen atau gigi permanen yang memiliki kelainan.

b. Etiologi
Kleidokranial displasia merupakan kelainan yang disebabkan oleh
kelainan genetik dari kromosom autosomal yang dominan. Kleidokranial displasia
disebabkan oleh mutasi gen CBFA I/RUNX2 yang berada pada lengan pendek
kromosom 6p21. Gen ini berfungsi untuk menuntun diferensiasi osteoblas dan
pembentukan tulang yang tepat pada osifikasi intramembran dan endokhondral.
CBFA 1 terdapat pada bagian mesenkim yang merupakan salah satu jaringan
pembentuk gigi geligi. Individu yang kekurangan CBFA1 akan menunjukkan
kekurangan osteoblas dalam tulang, sehingga menimbulkan kelainan pertumbuhan
gigi penderita berupa bentuk gigi yang tidak normal. Pada hewan percobaan
dengan heterozigot CBFA1 +/- memperlihatkan adanya penurunan jumlah
osteoklas yang berperan dalam resorbsi normal tulang alveolar selama erupsi gigi.
Penurunan jumlah osteoklas pada penderita Kleidokranial displasia
mengakibatkan erupsi gigi dan peningkatan jumlah gigi impaksi. Pada osifikasi
intramembran, tulang kranial; skeletal wajah; serta mandibula dan klavikula
berkembang melalui pertukaran langsung kondensasi sel mesenkim oleh osteoblas
dan osteosit. Sedangkan tulang skeletal lainnya berkembang melalui osifikasi
endokhondral, yaitu sel mesenkim yang tidak berdiferensiasi langsung
berkondensasi dan berdiferensiasi membentuk kondroblas.
Kondroblas berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk kondrosit
secara bertahap menjadi matur membentuk hipertrofik kondrosit yang
menghasilkan kolagen tipe 10a1. Pada akhir maturasi, hipertrofik kondrosit
menghasilkan osteopontin dan faktor angiogenik. Kemudian hipertrofik kondrosit
akan mengalami apoptosis (kematian sel) dan pada region tersebut terjadi
kalsifikasi matriks ekstraseluler serta perpindahan angiogenik dan sel osteoblas.
Proses ini akan membentuk pelat pertumbuhan (growth plate) dan pertumbuhan
normal tulang panjang tercapai melalui diferensiasi dan maturasi kondrosit yang
sinkron.Penyebab mutasi gen pada penderita Kleidokranial displasia belum

7
diketahui pasti. Sekitar 50% kasus diturunkan dari orangtua melalui gen
autosomal dominan dan 40% kasus terjadi akibat mutasi gen yang spontan. 1

c. Gambaran Klinis
Kleidokranial displasia merupakan suatu kelainan kongenital dari formasi
tulang dimana terjadi aplasia atau hipoplasia klavikula baik unilateral maupun
bilateral yang menyebabkan hipermobiliti bahu sehingga bahu dapat digerakkan
ke depan dada. Hal ini terjadi karena osifikasi dari tulang, kelebihan tulang frontal
dan tidak menutupnya sutura. Tulang di bagian frontal tetap membuka sampai
dewasa, tetapi suturanya tertutup dengan tulang rawan sehingga pembentukan
lapisan globular yang luas dengan muka yang kecil. Gambaran klinis dari
Kleidokranial displasia dapat dilihat pada sebagian besar anggota tubuh.
Gambaran klinis pada anggota tubuh yang terlihat mencolok dapat terlihat pada:2

1. Struktur rongga mulut


Pada penderita Kleidokranial displasia memperlihatkan kelainan bentuk pada
palatum. Umumnya penderita memiliki lengkung palatum yang tinggi dan
sempit. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dari tengkorak yang tidak
mnormal sehingga mempengaruhi pertumbuhan palatum menjadi tidak baik.
Selain itu seiring dengan bertambahnya usia, ketinggian wajah bagian bawah
menjadi lebih rendah, prosesus alveolaris maksila terlihat lebih datar, dan
inklinasi mandibula lebih ke anterior akibat rotasi prosesus kondiloideus ke
anterior. Kondisi ini mengakibatkan mandibula menjadi prognatik dan
cenderung memiliki hubungan rahang Klas II
2. Gigi geligi
Masalah pada gigi geligi merupakan karakteristik Kleidokranial displasia yang
paling signifikan. Karakteristik ini meliputi persistensi gigi desidui yang
multiple, kegagalan atau keterlambatan erupsi gigi permanen, dan adanya
supernumerary teeth yang akhirnya menimbulkan masalah pengunyahan
seiring bertambahnya usia. Anak yang menderita Kleidokranial displasia
dengan kondisi gigi geligi yang abnormal memiliki riwayat keluarga dengan
kondisi gigi geligi yang abnormal pula. Hal ini dapat dijadikan diagnosa awal
bagi penderita Kleidokranial displasia pada usia muda.

8
3. Kepala dan leher
Penderita Kleidokranial displasia mengalami kelainan pada bagian kepala dan
leher. Kepala penderita ini terlihat lebih kecil dari normal karena pertumbuhan
tulang tengkorak yang kurang sempurna. Pada penderita ini terlihat kurang
sempurnanya penutupan sutura dari tulang tengkorak terutama pada tulang
frontal.
4. Dada
Penderita Kleidokranial displasia mengalami aplasia (10%) atau hipoplasia
klavikula baik unilateral maupun bilateral. Keadaan ini menyebabkan bahu
terlihat sempit, terkulai, dan terjadi hipermobiliti bahu sehingga bahu dapat
digerakkan ke depan dada Keadaan bahu yang mempunyai jarak yang sempit
dapat menyebabkan kelainan dari thorak. Ruangan pada thorak akan lebih
sempit sehingga dapat mengganggu pemasukan udara pada thorak.

5. Pinggang
Tulang pelvis mengalami keterlambatan penutupan simfisis pubis.
Keterlambatan pertumbuhan tulang pubis mengakibatkan kelainan pinggang
dan tidak tertutupnya struktur tulang bagian depan dari pelvis. Pelvis yang
mengalami hipoplasia mengakibatkan wanita hamil harus melahirkan secara
caesar.

d. Gambaran Radiografis

9
Untuk mengetahui gambaran radiologi dari penderita Kleidokranial displasia
maka dilakukan beberapa rontgen foto, antara lain:3
1. Foto rontgen tengkorak
Pada foto rontgen tengkorak terlihat suatu gambaran radiologi dengan
kelainan yang mencolok. Pada bagian frontal akan telihat adanya gambaran
radiolusen pada bagian sutura. Hal ini disebabkan oleh penutupan sutara yang
kurang sempurna sehingga tampak seperti tidak ada penghubung diantara
tulang frontal.

2. Foto rontgen dental


Pada foto rontgen dental penderita Kleidokranial displasia akan terlihat
susunan gigi geligi yang kurang baik dan sering juga terjadi kelainan gigi.
Pada pasien Kleidokranial displasia susunan gigi geligi akan terlihat berjejal
dan kurang teratur. Kelainan gigi yang terlihat pada penderita Kleidokranial
displasia adalah akar gigi atau mahkota gigi tidak tumbuh dengan sempurna
atau gigi tumbuh pada posisi yang salah. Penderita juga sering tidak
mempunyai benih gigi sehingga gigi tidak tumbuh

3. Foto rontgen thorak

10
Pada foto rontgen thorak akan terlihat kelainan pada tulang klavikula
dikarenakan pertumbuhan tulang klavikula yang tidak sempurna atau tidak
tumbuh sama sekali. Jarak antara kedua bahu yang sempit mengakibatkan
kelainan pada thorak.

4. Foto rontgen pelvis


Pada foto rontgen pelvis akan terlihat penutupan pelvis bagian depan yang
kurang sempurna. Hal ini dikarenakan pada penderita Kleidokranial displasia
terjadi keterlambatan pertumbuhan tulang pubis. Keterlambatan pertumbuhan
tulang pubis
mengakibatkan kelainan pinggang dan tidak tertutupnya struktur tulang bagian
depan
pada pelvis.

e. Perawatan
Tidak ada terapi spesifik untuk penderita displasia kleidokranial. Konsultasi
genetik sangat penting.
Cara terapi yang baru-baru ini dilakukan adalah untuk anomali gigi
dikombinasi dengan tindakan bedah dini dengan terapi orthodonti. Ekstraksi gigi
berlebih dan gigi susu yang terlambat tanggal dilakukan bila pembentukan akar

11
gigi pengganti sudah lebih dari 50%, diikuti oleh tindakan bedah gigi tak erupsi
dan perawatan orthodontik. Tindakan bedah dini pada gigi tak erupsi merangsang
pembentukan sementum dan erupsi gigi dengan pembentukan akar yang normal.
Bedah Ortognati untuk mengoreksi deformitas dentofasial, perawatan
orthodonti pascabedah, dan pembuatan protesa mungkin perlu dilakukan.4

2. SINDROMA TREACHER COLLINS (MANDIBULOFACIAL DYSOSTOSIS)

Sindroma Treacher Collins, yang dikenal sebagai disostosis mandibulofasial dan


Sindroma Franceschetti-Zwahlen-Klein, merupakan kelainan genetik yang diturunkan secara
autosomal dominan dan biasanya terjadi secara bilateral. Karakterisitik dari Sindroma
Treacher Collins meliputi hipoplasia tulang wajah, terutama mandibula dan tulang zigoma,
celah palatum, fisur palpebra yang miring ke bawah dengan koloboma pada kelopak mata
bawah dan kelainan bentuk telinga bagian luar.1,2,3,4 Gejala yang ditimbulkan bervariasi dari
ringan sampai parah. Pada pasien dengan dismorfologi kraniofasial yang parah dapat
terdeteksi sebelum kelahiran dengan USG, sedangkan pasien dengan dismorfologi
kraniofasial yang ringan, mungkin terdiagnosis pada saat lahir.3,6

A. Definisi
Sindroma Treacher Collins adalah kelainan yang diturunkan secara autosomal
dominan yang timbul akibat penyimpangan dalam perkembangan struktur wajah selama
morfogenesis histodiferensiasi antara 20 hari dan minggu ke-12 IU.9,11 Walaupun pertama
sekali dilaporkan oleh Thompson (1846), sindroma ini dikenal masyarakat karena Berry dan
terutama Treacher Collins (1900), dokter mata Inggris, melaporkan 2 kasus dan
mendeskripsikan komponen penting sindroma ini. Franceschetti dan Klein (1944) menulis
revisi yang ekstensif tentang deskripsi kasus dan mengemukakan istilah “disostosis
mandibulofasial” yang dikenal dalam literatur.3,11

B. Etiologi
Sindroma Treacher Collins merupakan gangguan perkembangan kraniofasial yang
disebabkan kelainan genetik. Kelainan genetik ini dapat terjadi karena diturunkan oleh orang
tua ataupun mutasi baru.3,12

12
Pertama, terjadinya Sindroma Treacher Collins sebagai hasil dari mutasi de novo
(60% dari kasus).2,3,4,10 Ini berarti bahwa kedua orang tua pasien menurunkan gen yang
normal kepada anaknya dan terjadinya mutasi akibat perubahan salah satu gen.12,13
Kedua, jika salah satu dari orang tua menderita Sindroma Treacher Collins maka
dapat diasumsikan bahwa penyebab terjadinya sindroma ini diperoleh dari gen orang tua yang
diturunkan secara autosomal dominan kepada anaknya (40 % dari kasus). 2,3,4,10,11 Terdapat
probabilitas 50% bagi anak untuk menderita Sindroma Treacher Collins apabila salah satu
dari orang tua memiliki gen abnormal pada kromosom autosomal.5,7,12,13 Namun, dapat terjadi
hambatan secara klinis untuk mengetahui apakah orang tua pasien menderita sindroma ini.
Karena orang tua pasien mungkin hanya mengalami gejala yang ringan sehingga tidak
terdeteksi.12

Gambar 1. Kelainan yang diturunkan secara autosomal dominan, T mewakili gen dominan,
yang menyebabkan terjadinya Sindroma Treacher Collins; t mewakili gen resesif yang
merupakan gen normal14

C. Patogenesis
Terjadinya Sindroma Treacher Collins disebabkan karena adanya mutasi dari gen
TCOF1. Gen TCOF1 terpeta dalam kromosom band 5q31.3-33.3. Gen ini mengkode protein
treacle, yang diperlukan dalam perkembangan kraniofasial yang normal.2,6 Mutasi tunggal
pada gen ini mengakibatkan terminasi prematur dari produk protein (The Treacher Collins
Syndrome Collaborative Group, 1996; Wise, 1997).6

13
Dixon (1996) meninjau gambaran klinis dan molekular Sindroma Treacher Collins,
dari total 20 mutasi gen TCOF1, 2 diantaranya merupakan mutasi nonsense, 5 terjadi insersi,
11 terjadi delesi, dan 2 terjadi mutasi penyambungan. Keseluruhan mutasi diamati
menyebabkan terminasi kodon yang prematur, sehingga terjadi haploinsufisiensi dimana hal
ini sebagai mekanisme molekular yang mendasari terjadinya sindroma ini. Menurut Dixon,
selama perkembangan embrio, treacle dinyatakan berada pada level puncak dalam lengkung
brakhial pertama dan kedua.6,9

Gambar 2. Dasar perkembangan anomali kraniofasial Sindroma Treacher Collins2


2A.Pewarnaan Skeletal pada embrio tipe liar, 2B. Pewarnaan Skeletal pada embrio yang
terkena STC menunjukkan keparahan hipoplasia frontonasal, 2C. Terjadi migrasi neural-
crest pada embrio tipe liar, 2D. Terjadi pengurangan populasi sel neural-crest yang parah
pada embrio yang terkena STC, 2E. Pewarnaan untuk melihat apoptosis pada embrio tipe liar
menunjukkan rendahnya level kematian sel endogen, 2F. Pewarnaan untuk melihat apoptosis
pada embrio yang terkena STC menunjukkan peningkatan tingkat kematian sel , 2G.
Pewarnaan untuk melihat proliferasi embrio tipe liar, 2H. Pewarnaan untuk melihat
proliferasi yang terkena STC menunjukkan penurunan proliferasi sel, 2I. Pewarnaan untuk
melihat ribosom pada embrio tipe liar, 2J. Pewarnaan untuk melihat ribosom pada embrio
yang terkena STC menunjukkan kekurangan biogenesis ribosom

Sel neural crest adalah populasi sel yang multipoten, stem dan progenitor, dibentuk
dalam ektoderm neural pada batas dengan ektoderm non-neural sepanjang sumbu tubuh
selama awal embriogenesis. Sel neural crest menjalani sebuah transisi ephitelial-mesenkimal
dan di region kranial, sel-sel ini dideliminasi dari ektoderm neural dan bermigrasi ke jarak
yang luas ke perifer wajah, menjadi tulang rawan, tulang, jaringan ikat dan jaringan saraf

14
perifer di kepala. Kebanyakan kelainan kraniofasial diperkirakan disebabkan oleh defek pada
pembentukan, proliferasi, migrasi dan atau diferensiasi dari sel neural crest kranial (Gambar
2).2,10
Treacle merupakan protein yang sangat sederhana yang dikode oleh TCOF1 dan
berperan dalam biogenesis ribosom serta mengatur kelangsungan hidup neuroepithelial dan
proliferasi sel neural crest. Haploinsufisiensi TCOF1 mengurangi biogenesis ribosom yang
diukur dengan produksi 28s subunit dalam neuroepithelial dan sel neural crest, dimana
defisiensi biogenesis ribosom berhubungan dengan kurangnya proliferasi dalam sel neural
crest dan sel neuroepithelial yang diamati pada mutan TCOF1. Akibat kekurangan biogenesis
ribosom yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan seluler dan metabolik dari populasi sel
yang berproliferasi tinggi, menyebabkan terjadinya aktivasi p53. Stabilisasi p53
mengaktifkan banyak gen efektor proapoptotik, seperti Ccng1, Trp53inp1, Noxa, Perp dan
Wig1, dalam neuroepithelium, yang secara kolektif bertanggungjawab terhadap tingginya
tingkat kematian jaringan tertentu yang diamati dalam patogenesis Sindroma Treacher
Collins.2,10
Korelasi langsung antara stabilisasi nuklear protein p53, aktivasi transkripsi gen p53
dependent, dan induksi apoptosis neuroepithelial menunjukkan defisiensi yang diamati dalam
migrasi sel neural crest pada Sindroma Treacher Collins. Dari percobaan yang dilakukan,
diketahui penghambatan p53 secara genetik berhasil menghambat apoptosis neuroepithelial
yang terjadi tanpa mengubah biogenesis ribosom yaitu dengan menghambat p53 secara
genetik dan khemis, aktivitas Ccng1 diblok dan mengembalikan populasi migrasi sel neural
crest dan mencegah hipoplasia kraniofasial dan menghasilkan perkembangan kraniofasial
yang normal setelah dilahirkan.2

15
Gambar 3. A. Gambar kiri menunjukkan perkembangan neuroepithelium yang normal,
gambar tengah menunjukkan apoptosis neuroepithelium dan pengurangan pembentukan dan
migrasi sel neural crest, gambar kanan menunjukkan penghambatan p53 dan migrasi sel
neural crest yang normal, B. Diagram alir yang menunjukkan patogenesis terjadinya
Sindroma Treacher Collins.2

Manifestasi Klinis
Wajah yang khas dari Sindroma Treacher Collins biasanya membuat diagnosa lebih mudah.
Terdapat fisur palpebra yang miring ke bawah (antimongoloid), tulang malar yang tidak
berkembang atau bahkan absen, mandibula yang retrusif dan retrogenia. 3,4,15,16,17

 Tulang Tengkorak
Abnormalitas yang terjadi umumnya secara bilateral dan simetris. 6 Panjang
kranial anterior lebih pendek dengan kompensasi peningkatan panjang kranial
posterior, dan panjang keseluruhan tulang tengkorak normal atau berkurang
dibandingkan dengan kontrol. Prosesus mastoideus sering tidak memiliki rongga
(unpneumatized) dan mungkin skrelotik.3,9,18 Basis kranial secara progresif mengalami
pembengkokan (kyphotic) dan kalvaria umumnya normal. Sudut basis kranial tinggi,
menyebabkan penyempitan anteroposterior dari ruang faring.3,6

16
Gambar 4. Tulang tengkorak dengan defek kraniofasial pada pasien Sindroma Treacher
Collins20

Derajat ketidak berkembangan atau absennya tulang malar bervariasi dan


cenderung cukup simetris. Hipoplasia tulang malar menyebabkan orbit menjadi
dangkal dan berotasi secara inferolateral, menghasilkan bentuk oval. Selain tulang
malar dan arkus zigoma yang tidak berfusi, sinus paranasal juga mengalami
hipoplasia.3,6,18,19

17
Gambar 5. CT Scan pada pasien Sindroma Treacher Collins tanpa tulang pipi20

 Hidung dan Jaringan Lunak Wajah


Sudut frontonasal yang tinggi dan hipoplastik tulang malar dan ridge supraorbital
membuat hidung tampak lebih menonjol. Lebar dasar hidung meningkat, tetapi
hidung biasanya berukuran normal atau optimal.3,5,6 Sekitar 25% dari kasus, kulit
berambut meluas turun ke pipi dari regio temporal.3,21,22 Kulit yang melapisi tulang
malar yang hipoplastik sering tipis dengan jaringan subkutan yang minimal.3

 Mata
Hampir seluruh pasien dilaporkan memiliki beberapa masalah okular dan
adneksal.3 Pasien Sindroma Treacher Collins sering memiliki mata yang miring ke
arah bawah, bulu mata yang jarang dan ada lekukan (notch) di kelopak mata bawah
yang disebut koloboma.11,18 Kemiringan antimongoloid pada celah palpebra dan
ligamen lateral kanthus yang terletak inferior dan rudimenter hampir seragam.
Koloboma sejati terjadi pada 25% kasus, dan koloboma pseudo muncul sekitar 50%
kasus, dimana cenderung berada di sepertiga luar dari kelopak mata bawah. Yang
umum terjadi adalah gangguan refraktif, dan jarang terjadi ambliopia.3

18
Gambar 6A. Mata yang miring ke bawah pada Sindroma Treacher Collins
6B. Adanya koloboma pada kelopak mata bawah

 Telinga
Pada telinga luar (pinna) penderita Sindroma Treacher Collins dapat terjadi
kelainan yang berbeda dalam bentuk, ukuran dan posisi.1,3 Pinna juga mungkin relatif
normal dalam bentuk dan ukuran, diikuti kehadiran ada penonjolan kecil (tag) telinga
dengan satu atau lebih.3 Dengan derajat kecacatan apapun, pinna cenderung terletak
lebih anterior dan inferior dan tampak kusut.3
Cacat meatus auditorius eksternal berkisar dari menjadi paten hingga oklusi tulang
yang komplit. Pada sebagian besar kasus, sangat sedikit terjadi stenosis jaringan
lunak. 3

Telinga tengah hampir selalu hipoplastik dengan sebagian besar mempengaruhi


rongga timpani bagian atas di atas membran timpani (attic).2,3 Rantai osikular sering
abnormal dan keparahannya bervariasi, rantai sering berpindah secara anterolateral.
Telinga dalam biasanya normal dengan beberapa pemendekan dan perpindahan
anterior dari nervus fasialis yang desending.3,5,13

19
Gambar 7. Malformasi bentuk telinga luar21

 Mandibula
Komponen mandibula sering mengalami hipoplasia, dengan bentuk cekung pada
permukaan bawah bodi mandibula. Terjadi hipoplastik mandibula pada ramus
ascending, bodi dan proyeksi dari dagu. Selain itu mandibula juga menunjukkan
adanya hipoplasia kondilus dan koronoid sehingga secara klinis tampak sebagai dagu
yang retrusi.1,3,11 Notch antegonial yang ditandai muncul dengan sudut gonial yang
tumpul dan kecenderungan dagu untuk berputar inferior. 3,5,12 Ini memberikan
mandibula tampak dibengkokkan. Pola pembengkokan ini berbeda dari yang tampak
pada kondisi lain seperti penyakit Still’s, dan beberapa perbedaan telah diukur. Selain
itu juga dijumpai abnormalitas perlekatan muskular dari pterigomasseter.3

Gambar 8. Retrognasia pada pasien Sindroma Treacher Collins

 Maksila

20
Maksila cenderung memiliki palatum yang melengkung tinggi atau celah palatum
(30% kasus).3,11,21 Tinggi gigi posterior menjadi rendah dengan tingkat hiperproyeksi
maksila. Pada beberapa kasus, hiperproyeksi tampak sangat nyata, dan menjadi sulit
untuk memastikan apakah abnormalitas terletak pada maksila atau basis cranial.3
Choanal atresia mungkin terjadi, dimana keberadaannya menyebabkan masalah
jalan nafas, terutama pada periode neonatal. Hubungan skeletal rahang biasanya Klas
II dengan gigitan terbuka anterior.3,4 Gigi biasanya berkembang dengan normal dan
mempunyai ukuran normal. Namun, mandibula yang mempunyai lengkung sempit
dan berbentuk abnormal sering mengakibatkan gigi berjejal yang parah.3
Derajat malformasi yang terlihat sewaktu bayi dilahirkan dengan Sindroma
Treacher Collins diyakinkan relatif stabil dan tidak progresif seiring usia. Robert dkk
(1975) meninjau berturut-turut radiografi sefalometri dari pasien Sindroma Treacher
Collins dan mendokumentasikan stabilitas batas inferior mandibula dari waktu ke
waktu. Garner (1967) melaporkan penemuannya terhadap analisis sefalometri 3
pasien dengan variasi umur yang dikonfirmasikan menderita Sindroma Treacher
Collins. Dia mendokumentasikan deformasi yang relatif stabil yang diobservasi pada
umur yang bervariasi. Tidak ada bukti pasti yang mengkonfirmasi secara signifikan
bahwa dismorfologi Sindroma Treacher Collins makin memburuk dengan
pertumbuhan wajah.5

D. Diagnosa

Diagnosa Sindroma Treacher Collins ini dibuat berdasarkan gambaran klinis


karena karakteritiknya yang khas dengan mata yang miring ke bawah, abnormalitas
telinga dan rahang bawah yang kecil dan pemeriksaan radiografi seperti Computerized
tomography (CTscan) dapat digunakan untuk menentukan derajat
ketidakberkembangan struktur tulang wajah.
Ada banyak sindroma yang penampilan wajahnya menyerupai Sindroma Treacher
Collins. Pemeriksaan fisik yang lengkap terhadap sistem tubuh yang lain dapat
membantu menegakkan diagnosis Sindroma Treacher Collins. Sindroma Treacher
Collins dapat dibedakan dari Sindroma Nager dan Sindroma Miller jika tidak ada
abnormalitas pada tangan atau lengan. Dengan keterlibatan wajahnya bilateral
(mengenai kedua sisi wajah) dan spinal column normal, Sindroma Treacher Collins
dapat dibedakan dari kondisi Oculoauriculovertebral (OAV) seperti Sindroma
Goldenhar.

21
Jika terdapat beberapa orang dalam sebuah keluarga mengalami Sindroma
Treacher Collins, studi hubungan (linkage) genetik dapat dilakukan. Studi hubungan
ini memerlukan sampel darah dari berbagai anggota keluarga, yang terkena dan yang
tidak terkena. Ditandai pada gen TCOF1 dan dianalisa serta dibandingkan untuk
menentukan terjemahan gen yang dibagi kepada anggota keluarga yang terkena. Gen
yang menyebabkan terjadinya Sindroma Treacher Collins ada pada semua anggota
keluarga yang terkena, dan absen pada semua anggota yang tidak terkena. Studi
hubungan dapat dilakukan pada bayi belum lahir untuk menentukan apakah bayi
mewarisi gen yang menyebabkan sindroma tersebut. Ultrasonografi prenatal dapat
digunakan untuk melihat gambaran fasial dari sindroma ini. Adapun beberapa laporan
tentang diagnosa prenatal dengan ultrasonografi saja, bayi dengan manifestasi ringan
dapat terlihat normal. Deteksi tergantung pada keterampilan dokter yang melakukan
ultrasonografi dan pengalamannya terhadap gambaran Sindroma Treacher Collins.

E. Perawatan
Pertama, anak dapat menggunakan alat bantu dengar dan ini dapat ditentukan
dalam beberapa bulan pertama. Kedua, program anak usia dini untuk bicara dan
bahasa mungkin stimulasi direkomendasikan. Ketiga, jika celah langit-langit tampak,
Tim kraniofasial akan memberitahu Anda pada optimal waktu penutupan operasi
celah. Keempat, operasi rekonstruktif tersedia untuk memperbaiki penampilan wajah.
Karena tidak semua anak yang terpengaruh dengan derajat yang sama, baik kebutuhan
dan hasil operasi rekonstruktif bervariasi dari anak ke anak.3

3. Hemifacial atrofi

Hemifacial atrofi adalah gangguan langka yang mewakili suatu atrofi progresif pada
satu sisi wajah. Hal ini terkadang dapat mempengaruhi daerah lain pada sisi yang sama dari
tubuh. Penyebab kondisi ini benar-benar tidak diketahui, meskipun trauma, disfungsi perifer
sistem saraf, infeksi, dan kelainan genetik telah diusulkan. Hemifacial atrofi biasanya muncul
pada masa muda sampai dewasa. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit sumbing
atau alur dekat garis tengah wajah.

Kondisi ini melibatkan kedua jaringan lunak dan tulang yang terkena di sisi samping.
Secara lisan, lidah, bibir, dan kelenjar saliva dapat menunjukkan hemifacial atrophy. Pada
proses perkembangan gigi dapat menunjukkan perkembangan akar tidak lengkap dan erupsi

22
yang tertunda. Keterlibatan sebagian otak, telinga, laring, esofagus, diafragma, dan ginjal
telah dilaporkan. Berbagai kondisi optalmologi terkait sering dijumpai. Progresif spasm atrofi
terkait dengan epilepsi Jackson kontralateral, neuralgia trigeminal, dan perubahan di mata
dan rambut yang dikenal sebagai sindrom Romberg.

Atrofi sebagian dari bibir atas dengan terlihat pemaparan dari gigi rahang atas pada
sisi yang terkena adalah karakteristik dalam moderat dan sangat sering terlibat pada kasus.
Diferensial diagnosis harus mencakup wajah hipoplasia, skleroderma, nekrosis lemak, dan
oculoauriculovertebral terkait gangguan. Perbedaan antara sindrom Romberg dan lokal
skleroderma seringkali sulit dan tergantung pada tidak adanya atau adanya pigmentasi kulit
dan perubahan inflamasi lainnya.

4. Hemifacial hypertrophy

Hemifacial hypertrophy kongenital adalah kelainan langka yang ditandai dengan


tubuh kasar asimetri. Ini mungkin sederhana, terbatas pada satu digit, segmental, yang
melibatkan wilayah tertentu dari tubuh, atau kompleks, meliputi setengah tubuh. Pembesaran
ini biasanya unilateral, meskipun Crossover bilateral yang terbatas tidak terjadi. Semua
jaringan di wilayah pertumbuhan abnormal dapat terlibat, tetapi sejumlah jaringan selektif
kadang-kadang terpengaruh. Secara histologi, telah ditentukan bahwa ada peningkatan aktual
dalam jumlah sel sekarang, bukan peningkatan ukuran sel. Ini klasik muncul sebagai
pertumbuhan berlebih, sepihak lokal lunak jaringan wajah, tulang, dan gigi (Gambar 15-19).

23
A. Etiologi dan Patogenesis.

Bruto asimetri telah ditemukan pada 1 dari 86.000 pasien, dengan dominan 3-ke-2
perempuan. Pada laki-laki keterlibatan sisi kanan adalah lebih umum. Hampir semua kasus
tampaknya sporadis. Ada jumlah yang sama segmental dan kompleks bentuk, dengan sisi
tubuh yang tidak lebih besar menunjukkan keterlibatan insiden. Tumor Wilms 'adalah
neoplasma yang umum dilaporkan dalam hubungan dengan hemifacial hypertrophy.

Beberapa faktor etiologi telah terlibat dalam pengembangan hemifacial hypertrophy,


termasuk kelainan anatomi dan fungsional pembuluh darah atau limfatik, disfungsi endokrin,
lingkungan intrauterin diubah, pusat gangguan sistem saraf, kelainan kromosom, dan
pembelahan sel asimetris. Heterogenitas etiologi mungkin bertanggung jawab untuk
presentasi klinis yang bervariasi, mempengaruhi sistem tunggal atau ganda, dan tingkat
keterlibatan jaringan.

B. Gambaran klinis.

Varietas dan kompleksitas hemifacial hypertrophy telah mengakibatkan berbagai


temuan dentofacial. Pada beberapa pasien wajah yang terlibat semata-mata, namun

24
pembesaran wajah unilateral sering dikaitkan dengan hipertrofi sebagian dari
tubuh. Jaringan yang terlibat seringkali tidak terpengaruh seragam, menonjolkan presentasi
klinis variabel. Temuan kraniofasial termasuk asimetri frontal tulang, rahang, palatum,
mandibula, proses alveolar, kondilus, dan terkait jaringan lunak di atasnya.

Kulit mungkin menebal, dengan sekresi berlebihan oleh sebaceous dan kelenjar
keringat dan hipertrikosis. Sebagian pembesaran salah satu belahan otak mungkin
bertanggung jawab atas keterbelakangan mental di 15% sampai 20% dari pasien dan untuk
terjadinya gangguan kejang. Temuan oral cukup mencolok, yang mempengaruhi gigi-geligi
dan lidah untuk tingkat signifikan.

Lidah sebagian hiperplastik dan sering terdistorsi dalam penampilan, dengan garis
tengah demarkasi yang berbeda. Papilla fungiform biasanya membesar dan menyerupai
excrescences polipoid lembut. Dysgeusia telahdilaporkan. Jaringan lunak yang menebal dan
intraoral anatomis diperbesar, seringkali digambarkan.

Temuan Gigi termasuk kelainan dalam ukuran mahkota dan akar ukuran dan bentuk,
serta pengembangan dewasa sebelum waktunya dan letusan. Gigi kaninus permanen,
premolar, dan geraham pertama yang paling sering diperbesar. Ketika gigi-geligi utama
adalah terpengaruh, kelainan yang terbatas pada molar kedua dan, gigi taring. Macrodontia
pendekatan unilateral tetapi tidak tidak melebihi 50% peningkatan dalam dimensi mahkota
dalam mesiodistal dan buccolmgual diameter.

Ukuran dan bentuk akar yang proporsional diperbesar atau jarang dipersingkat, dan
pengembangan apikal yang prematur adalah biasa. Gigi utama mengalami pengapuran,
erupsi, dan terkelupas lebih cepat daripada kontralateral gigi. Erupsi dari gigi permanen yang
terkena 4 atau 5 tahun telah dilaporkan. Maloklusi gigi umum terjadi, karena asimetris
pertumbuhan rahang, rahang bawah, dan proses alveolar dan kelainan morfologi gigi dan pola
erupsi. Penyimpangan garis tengah dan gigitan terbuka umum terjadi.

Lateral dan posterior-anterior cephalograms menunjukkan asimetri pada tulang wajah


dan hipertrofi tulang, serta bukti hipertrofi jaringan lunak, seperti pembesaran tonsil. Akar
anomali, pembesaran mahkota, dan bukti dari dini Letusan yang mudah diidentifikasi oleh
radiografi periapikal atau panoramik.

C. Diagnosis Diferensial.

25
Diagnosis kongenital sejati hipertrofi spasm bersandar pada munculnya sebagian
hipertrofi struktur kraniofasial dan terkait jaringan lunak, termasuk gigi-geligi tersebut.
Persepsi ketidaksamaan kontralateral mungkin sulit dan sering subjektif, sehingga diagnosis
tertunda dari hipertrofi spasm bawaan pada bayi. Angioosteohypertrophy (Klippel-
Trenaunay-Weber sindrom). Neuronbromatosis dapat menyebabkan pembesaran dari
jaringan lunak dan kerangka setengah wajah, tetapi tidak mempengaruhi ukuran gigi atau
urutan erupsi. Lymphangioma dan hemangioma yang ditandai dengan pembesaran jaringan
lunak tidak mempengaruhi morfologi gigi. Acromegaly menghasilkan pembesaran rahang
simetris bilateral. Dysostosis kraniofasial, dan penyakit inflamasi kronis juga harus
disingkirkan.

Hipertrofi spasm kongenital telah dilaporkan bersamaan dengan pendengaran


konduktifkerugian, gangguan kejang, dan tumor Wilms '. Sindrom dan kondisi lain yang
menghasilkan hipertrofi jaringan lunak dan keras yang asimetri termasuk Russell (atau
Russell-Silver) sindrom, lymphedema kongenital, arteriovenosa aneurisma, exostoses ganda,
dan tumor wajah pada masa kanak-kanak. Pengobatan dan Prognosis. Selama masa bayi dan
anak, pasien harus diperiksa secara teratur untuk memfasilitasi awal identifikasi potensi
neoplasma yang melibatkan hati, kelenjar adrenal, dan ginjal. pertumbuhan dan
pembangunan harus diperhatikan dengan seksama untuk bukti gangguan mental atau kelainan
seksual.

D. Perawatan

Kelainan selama fase pertumbuhan gigi berhubungan dengan ukuran-lengkungan gigi


, perbedaan ukuran dan kelainan pada urutan erupsi. Pertumbuhan asimetris dari alveolus
kompleks dan gigi kraniofasial memerlukan intervensi dini ortodontik, termasuk ruang
perawatan, perpindahan gigi kecil, dan peralatan fungsional. Bedah rekonstruksi keras dan
anomali jaringan lunak untuk meningkatkan fungsi dan estetika harus diantisipasi. Hubungan
umum hemihypertrophy bawaan dengan anomali vaskular, embrional neoplasma, dan
retardasi mental membutuhkan tim multidisiplin dari spesialis gigi dan medis.

5. Agnathia

A. Definisi

26
Secara harfiah, agnathia berarti tidak memiliki rahang, pada umumnya rahang
bawah yang tidak terbentuk. Hal ini didefinisikan sebagai gangguan kongenital yang
terjadi pada saat tumbuh kembang janin. Agnathia, merupakan hal yang langka,
pengembangannya mencerminkan kegagalan lengkap. Lebih sering pada bagian dari
rahang, untuk premaxila misalnya, kondilus dan ramus. 1

B. Etiologi

Agnathia dapat terjadi karena alasan genetik, lingkungan di dalam rahim, dan


cacat pada saat morfogenesis dan kelainan pada kromosom. Gangguan ini juga
tergantung pada interaksi antara lingkungan pra kelahiran dan pasca kelahiran
teratogen didefinisikan sebagai suatu substansi yang dapat menyebabkan cacat pada
kelahiran. Kelainan ini merupakan cacat bawaan. Agnathia juga disebabkan karena
kesalahan dalam pembelahan sel, atau karena adanya zat toxic yang terkandung pada
saat kehamilan. 1

C. Gambaran Klinis
Agnathia-otocephaly, suatu malformasi, langka sporadis dan mematikan,
ditandai dengan microstomia (mulut kecil), aglossia (tidak adanya lidah), agnathia
(tidak adanya rahang bawah) dan posisi telinga abnormal. Ini adalah anomali utama
yang berasal dari lengkung faring pertama sebagai konsekuensi dari migrasi
mesenchymal gagal dari rahang atas dan atrofi menonjol dalam pengembangan
prominences mandibula.  Sayangnya, pasien ini memiliki prognosis yang buruk dan
mungkin menyerah sampai mati segera setelah lahir karena masalah pernapasan jika
manajemen jalan nafas yang tepat tidak diimplementasikan. Kesulitan bertahan dalam
diagnosis pralahir agnathia-otocephalic pasien. Namun, teknologi resonansi dua dan
tiga dimensi ultrasonografi, computed tomography dan pencitraan magnetik sekarang
menawarkan perbaikan yang signifikan dalam menyempurnakan resolusi anomali
wajah khas.  1

27
6. MAKROGNATHIA

A. Defini
Makrognatia adalah suatu keadaan dimana mandibula dan regio protuberansia
lebih besar daripada ukuran normal. Macrognatia mengalami gambaran klinis yaitu
dagu berkembang lebih besar.

B. Gambar

Makronagthia

C. Etiologi
Etiologi macrognatia berhubungan dengan perkembangan protuberentia yang
berlebih yang dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat dapatan melalui
penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan macrognatia adalah Gigantisme
pituitary, Paget’s Disease, dan akromegali.

D. Diagnosa

28
Biasanya penderita macronagthia mengalami masalah estetika, oklusi,
pernapasan, dan pemberian makan pada bayi.

E. Terapi
Terapi yang direkomendasikan yakni operasi orthonagtic untuk mengecilkan
maksila dan mandibula.

7. MIKROGNATIA

A. Definisi

Mikrognathia adalah ketidaknormalan ukuran rahang, yaitu lebih kecil dari ukuran
normal. Mikrognatia biasanya ditemukan bersamaan dengan mikroglossi (lidah kecil).
Mikrognathia juga merupakan salah satu kelainan pada anak yang dapat disebabkan oleh
kelainan bawaan tertentu dan sindrom. Mikrognati adalah salah satu penyebab abnormal
alignment gigi. Mikrognati kadang tidak berdiri sendiri, misalnya pada sindrom pierre robin
gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft palatum

Mikrognati ditandai dengan hipoplasia dan mandibula yang berukuran kecil, dagu
yang mundur ke belakang atau surut sehingga tidak bisa menjaga lidah pada posisi ke depan.
Kondisi yang terkait dengan mikrognati meliputi berbagai kelainan, dan prognosis mikrognati
pada janin adalah buruk, bahkan jika kromosom janin normal. Ketika mikrognati ditemukan,
ini dianggap sebagai komponen atau merupakan salah satu manifestasi klinis dari sindrom
Pierre-Robin (PRS).

B. Etiologi

Kondisi yang terkait dengan mikrognatia merupakan kelainan kromosom, kelainan


neuromuskuler, gangguan gen tunggal, dan sindrom lainnya.

Penyebabnya secara umum antara lain:

1. Pierre robin syndrome

29
2. Sindrom hallerman-streiff

3. Trisomi 13

4. Trisomi 18

5. Turner syndrome

6. Progeria

7. Treacher collins syndrome

8. Smith lemli opitz syndrome

9. Russell silver syndrome

10. Sindrom Seckel

11. Sindrom cri du chat

12. Sindrom Marfan

C. Gambaran klinis

Dilihat dari pemeriksaan fisik, ditemukannya bentuk serta ukuran rahang bawah yang
lebih kecil dari ukuran normal sudah sangat membantu. Pada bayi bisa didapatkan
kesusahan dalam meminum sesuatu. Mikrognathia adalah salah satu penyebab abnormal
alignment gigi. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan penutupan gigi karena sering
kali tidak akan ada cukup ruang untuk tumbuh gigi. Mikrognati kadang tidak berdiri
sendiri, misalnya pada sindrom pierre robin gejalanya mikrognati, hipoglossus, dan cleft
palatum.  Pada trisomi 18 gejalanya kelainan pada telinga, mikrognati, benjolan pada
oksipital, panggul yang sempit, kaki rocker bottom. 

D. Pemeriksaan

Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis micrognanthia diperlukan, seperti skull


ray dan foto gigi. Ukuran rahang terlihat lebih kecil dari normal, dari arah sagital, dagu
terlihat mundur ke belakang atau surut.

30
Micrognanthia pada penderita Sindrom hallerman-streiff

E. Perawatan

Jika ada gejala lain yang mengindikasikan adanya faktor keturunan, dan sudah mengganggu,
pembedahan atau peralatan ortodontik mungkin dianjurkan.

8. TORUS

A. Defenisi
Menurut bahasanya, Torus adalah suatu penonjolan yang membulat. 1 torus ini
merupakan bagian dari exotosis yang umumnya merupakan penonjolan tulang yang
tumbuh di beberapa area dari rahang dan bukan merupakan neoplasma. Exsotosis ini
diklasifikasi menjadi tiga tipe yaitu :
a. Torus palatinus
Torus palatinus, mempunyai ukuran dan bentuk sangat bervariasi, bias berupa
tonjolan kecil tunggal atau berupa tonjolan multilobuler yang luas. Torus ini (tori)
terletak pada bagian palatum dan umumnya tidak memiliki gejala dan ditutupi

31
oleh mukosa yang normal. Biasanya torus palatinus ini tidak memerlukan terapi
khusus, kecuali pada pasien edountulus yang membutuhkan pemakaian protesa.
b. Torus mandibularis
Torus mandibularis terletak di atas pelekatan otot milohioid dan biasanya
bilateral. Pengambilannya dilakukan dengan membuat flap envelope yang relative
panjang di lingual tanpa insisi tambahan.
c. Multiple exotoses

B. Etiologi
Etiologi dari lesi ini tidak diketahui, meskipun bukti-bukti menunjukkan bahwa factor
genetic dan lingkungan berpengaruh pada pertumbuhannya. Tori atau torus ini dilapisi
jaringan epithelium yang tipis, mudah mengalami trauma dan ulkus. Penyembuhan
pada ulkus yang terjadi cenderung sangat lambat karena tori memiliki sedikit
vaskularisasi. Torus palatinus tumbuh sangat lambat dan dapat terjadi pada semua
umur, tetapi sebagian besar terjadi pada usia 30 tahun. Torus palatinus lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 2 : 1.

C. Gambaran klinis

Tonjolan tulang yang keras ditengah-tengah palatum ini biasanya berukuran


diameter kurang lebih 2 cm. Namun terkadang perlahan-lahan dapaat bertambah
besar dan memenuhi seluruh langit-langit. Eksotosis tulang tampak sebagai tumor
yang kaku dengan permukaan mukosa yang normal. Apabila muncul di daerah
midline pada palatum durum maka disebut torus palatinus dan bila muncul di
lateral region lingual gigi premolar mandibula (rahang bawah) disebut juga
dengan torus mandibularis. Torus palatinus dan mandibula jarang ditemui
sekaligus (multiple exotosis).

32
Gambar 1. Torus palatinus

Gambar 2. Torus mandibularis

Gambar 3. Multiple exotosis yang multilobuler dan irregular pada maxilla.

33
Gambar 4. Multiple exotosis pada region anterior maxilla.

D. Pemeriksaan radiografi

Gambar 5. Gambaran radiologi dari torus mandibula

Penyakit torus ini memiliki dd (different diagnose) dengan penyakit lain, yaitu :
a. Gingival Fibrosis
b. Granuloma abses
c. Oral neurofibroma
d. Fibrous dysplasia
e. Osteoma
f. Paget’s disease

34
E. Perawatan
a. Perawatan torus palatinus

1. Insisi sepanjang midline palatum.

2. Retraksi dari flap mukoperisteal.

35
3. Membelah torus menjadi beberapa bagian.

4. Membuang fragmen exostosis dengan chisel.

5. Menghaluskan permukaan palatum dengan bor tulang.

36
6. Penjahitan.

Satu bulan post operasi

b. Perawatan torus mandibularis

37
1. 2.

3. 4.

5. 6.

38
7.

Keterangan :
1. Gambaran torus mandibularis
2. Insisi sepanjang linggir alveolar
3. Retraksi dari flap mukoperiosteal
4. Membuang exostosis dengan bor tulang
5. Menghaluskan permukaan tulang dengan bone file.
6. Daerah operasi setelah penghalusan tulang.
7. penjahitan

c. Perawatan multiple exotosis

1.

2.

39
3

4.

Keterangan :
1. Multiple exostosis
2. Setelah pembukaan flap
3. Membuang exostosis dengan bor tulang
4. Menghaluskan tulang dengan bone file
5. Penjahitan.

40
BAB IV
PENUTUP

Tulang dapat mengalami beberapa kelainan yang dapat menyebabkan cacat bawaan
atau anomali kongenital dalam proses tumbuh kembangnya. Anomali kongenital ini
merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak hasil konsepsi sel
telur.
Anomali kongenital dapat menyebabkan terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir. Anomali kongenital pada tulang rahang yang dapat terjadi antara lain
cleidocranial dysplasia, mandibulofasial dysostosis, hemifacial hipertropi, hemifacial
hipoplasia, agnathia, macrognatia, dan torus.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Soediono, Janti. 2007. Gangguan Tumbuh kembang Dentokraniofasial.Jakarta:EGC


2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28715/4/Chapter%20II.pdf
3. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28715
4. http://www.indmedica.com/journals.php?
journalid=12&issueid=111&articleid=1522&action=article
5. ilva DL, Neto XFP, Carniem SG, Souza KLC, Souza SS, Palbeta ACP. Treacher
Collins Syndrome: review of the literature. Universidade do Estado do Para:
Intl.Arch.Otorhinolaryngol 2008; 12: 116-21.
6. Ellis PE, Dawson M, Dixon MJ. Mutation testing in Treacher Collins Syndrome. J
Orthodont 2002; 29: 293-7
7. Kobus K, Wojcicki P. Surgical treatment of Treacher Collins Syndrome. Annals of
Plastic Surgery 2006; 56(5): 549-55
8. Tranior PA, Dixon J, Dixon MJ. Treacher Collins Syndrome: etiology, pathogenesis,
and prevention. European Journal of Human Genetics 2009; 17: 275-83
9. Teber OA, Kaesbach GG, Fischer S, et al. Genotyping in 46 patient with
tentativediagnosis of Treacher Collins Syndrome revealed unexpected phenotypic
variatation. European Journal of Human Genetics 2004; 12: 879-90
10. Shows KH, Shiang R. Regulated of the mouse Treacher Collins Syndrome homolog
(TCOFI) promoter through differential repression of constitutive exprssion. DNA and
Cell Biology 2008; 27(11): 589-600
11. Gale T. Treacher Collins Syndrome. The Thomson Corporation. 2005.
<http://www.novelguide.com/a/discover/gegd 0002 0002 0/gegd 0002 0002 0
00422.html> (24 Desember 2010)
12. Tolarova MM, Wong GB, Varma S. Mandibulofacial Dysostosis ) Treacher Collins
Syndrome). 2009. <http://emedicine.medscspe.com/aticle/946143-overvew>. (24
Desember 2010)
13. Infomation about treacher collins syndrome (mandibulafacial dysostosis). Cleft Palate
Foundation. 1999. <http://www.cleftline.org/publications/treachercollins> (24
Desember 2010)

42
14. White SC, Pharoah MJ. Treacher Collins Syndrome. In: Oral radiology. 6th ed. Canada:
Mosby Elselver, 2009: 567
15. Junior HM, Colleta RD, Miranda RT, Barros LM, Swerts MS, Bonan PR. Orofacial
features of Treacher Collins Syndrome. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2009; 14(7)E
344-8
16. Sakai D, Tranior PA. Treacher Collins Syndrome: unmasking the role of Tcofl/treacle.
The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 2009; 41: 1229-32
17. Katsains SH, Cutting GR. Treacher Collins Syndrome (Mandibulofacial Dysostosis,
Treacher Collins-Francheshetti Syndrome). University of Washington 1993-2010
18. Posnick JC, Ruiz RL. Treacher Collins Syndrome: current evaluation, treatment and
future directions. Cleft Palate-Craniofacial Journal 2000; 37(5): 433-2-22
19. Anonymous. TCS Genetics.. <http://www.treachercollins.co.uk/gene/genes.htm> (24
Desember 2010)
20. Okada R, Kuroda T. Orthodontic treatment for a patient with Treacher Collins
Syndrome: a case report. World Journal of Orthodontics 2008; e37-47
21. Marszalek B, Wocjiki P, Kobus K, Trzecia WH. Clinical feature, treatment, and genetic
backgraund of Treacher Collins Syndrome. J.Appl.Genet 2002; 43(2)pp: 223-33
22. Saphira J, Gleicher H, Mozkovitz M, Peretz B. Respiratory arrest in Treacher Collins
Syndrome: implication for dental management: case report. American Academic of
Pediatric Dentistry 1996: 18(3): 242-4
23. Erikcson FM, Stith HD, Christensen RW. Surgical reconstruction of a pediatric
Treacher Collins Syndrome patien. The TM Journal 2004(Sept); 3(9): 1-16
24. Campbell W. The Treacher Collins Syndrome: abstract. British J of Radiol 1954; 27:
639-641
25. Ortega AOL, Awir LMLF, Ciamponi AL, Guimaraes AS, Alonso LG. Radiological
findings and dynamic aspect of stomatognathic structures in Treacher Collins
Syndrome: clinical case report. Cleft Palate-Craniofacial Journal 2007(Nov); 44(6):
678-82
26. Thimmappa B, Hopkins E, Schendel. A. Management of micrognathia. J of the
American Academy of Pediatrics 2009; 10:e488-93.

43

Anda mungkin juga menyukai