Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Banyak prosedur bedah mulut yang bisa dilakukan dengan aman di tempat
praktek dokter gigi, tetapi beberapa prosedur dan beberapa pasien tertentu
membutuhkan penanganan di rumah sakit, baik untuk pembedahan itu sendiri
ataupun untuk keselamatan penderita. Pembedahan yang harus dilakukan di
rumah sakit adalah pembedahan yang membutuhkan kondisi asepsis yang sangat
tinggi atau prosedur pembedahan yang membutuhkan pemberian antibiotic secara
intravena, misalnya graft tulan dan kulit, penanganan infeksi parah, dan kasus-
kasus yang membutuhkan anestesi umum dalam jangka waktu yang lama. Pasien
yang mengalami gangguan kesehatan mungkin membutuhkan penanganan di
rumah sakit, untuk prosedur yang relatuf minor. Keputusan untuk
merawatinapkan pasien didasarkan atas penilaian perorangan, dan biasanya
dilakukan bersama dengan dokter umum yang merawat pasien tersebut. Tata cara
dan peraturan di rumah sakit biasanya terstandar sesuai dengan organisasi
akreditasi nasional.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Nervus kranialis VII (facialis) berfungsi terutama sebagai saraf
motoris (beberapa serabut sensoris dari meatus akustikus eksternus, serabut
pengendali salivasi dan serabut pengecapan dari lidah bagian depan dalam
cabang chorda tympani). Saraf ini juga mempersarafi stapedius (sehingga
lesi saraf total akan merubah kepekaan pendengaran pada daerah yang
terkena).
Nervus Fasialis mengandungi empat macam serabut :1
1. Serabut somatomotorik, yang memepersarafi otot-otot wajah (kecuali
muskulus levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastricus
bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viseromotorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler serata sublingual
dan maksilaris.
3. Serabut viserosensorik yang menghantar implus dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somatosensorik rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rabadari bagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus
trigeminus. Daerah overlapping disarafi oleh dari satu saraf ini terdapat
pada lidah, platum, meatus acusticus eksterna dan bagian luar dari
gendang telinga.

Gambar. Nervus Facialis


Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-
otot ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke
kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut
dan juga menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi eksteroseptif
dari daerah gendang telinga sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah,
sensasi viseral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring dan
sensasi proprioseptif dari otot-otot yang disarafinya.1
Inti motorik nervus fasialis terletak dipons. Serabut mengintari inti
nervus abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons. Nervus intermedius
keluar di permukaan lateral pons diantara nervus fasialis dan nervus
vestibukoklearis. Nervus fasialis bersama dengan nervus intermedius dan
nervus vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus akusticus internus.
Di sini nervus facialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu
berkas yang berjalan di dalam kanalis facialis dan kemudian masuk ke
dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stilomastoideum , dan bercabang untuk mempersarafi otot-otot wajah.1

B. KELAINAN PADA NERVUS FACIALIS


1. Pengertian
Kelainan pada nervus fasialis berupa Facial Palsy. Facial palsy
merupakan suatu kelainan kongenital maupun didapat yang
menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan
wajah. Aksi gerakan pada wajah dimulai dari otak dan berjalan melalui
saraf facialis menuju otot-otot di wajah. Otot-otot ini selanjutnya
berkontraksi sebagai respon terhadap stimulus. Didalam tengkorak
kepala, saraf facialis adalah suatu saraf tunggal. Setelah keluar dari
tengkorak kepala, bercabang menjadi banyak cabang yang menuju ke
berbagai otot pada wajah. Otot-otot ini mengendalikan ekspresi wajah.
Aktivitas yang terkoordisnasi dari saraf dan otot-otot menyebabkan
pergerakan seperti tersenyum, mengedip, menyimak, dan cakupan
penuh dari pergerakan wajah normal. Penyakit ataupun cedera yang
menyerang otak, nervus facialis ataupun otot-otot pada wajah dapat
menyebabkan facial palsy.
Facial palsy disebut juga dengan paresis. Paresis menunjukkan
suatu kelemahan dalam pergerakan wajah. Palsy biasanya digunakan
pada berkurangnya pergerakan sampai hilang sama sekali. Moebius
syndrome merupakan subtipe dari facial palsy. Sindroma ini melibatkan
kelemahan dari otot-otot yang berkaitan dengan ekspresi wajah dan
pergerakan mata dari sisi ke sisi. Moebius syndrome dapat juga
melibatkan kelainan pada ekstremitas.

2. Gambaran Klinis
Kelemahan pada otot-otot ekspresi wajah dan ptosis. Wajah
seperti terjatuh dan tertarik ke sisi lainnya saat tersenyum. Kelopak
mata tidak dapat menutup sempurna dan dapat menyebabkan kerusakan
pada conjunctiva dan cornea.
o  Pada paralisis partial, wajah sebelah bawah umumnya lebih sering
terkena.
o Pada kasus yang parah, seringkali terdapat hilangnya kemampuan
pengecapan pada lidah bagian depan dan intoleransi terhadap suara
nada tinggi atau volume suara tinggi. Dapat menyebabkan
dysarthria ringan dan kesulitan saat makan.
o Pada suatu lesi LMN pasien tidak dapat mengerutkan dahinya –
jalur komun ikasi akhir ke otot-otot mengelami kerusakan. Lesinya
bisa terjadi pada pons, atau di luar batang otak (fossa posterior,
canalis osseosa, telinga tengah ataupun diluar tulang tengkorak).
o Pada lesi UMN, otot-otot wajah sebelah atas sebagian tidak
terganggu karena jalur alternatif di batang otak sehingga pasien
dapat mengerutkan dahinya (kecuali lesinya bilateral) sehingga
kerutan-kerutan wajah yang terlihat pada lower motor neurone
palsies tidak terlalu mencolok. Tampaknya terdapat jalur yang
berbeda antara pergerakan volunter adn emosional.

3. Etiopatogenesis
Facial palsy timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis
yang bervariasi, yaitu :
a. Trauma
Facial palsy bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi
fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal.
Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir
juga bisa menjadi penyebab.
b. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara,
paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung
dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun
jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari nervus
fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat
kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran
aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus
fasialis.2
c. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus
embriopati talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak
digunakan dalam pasta elektroda dan berbagai krim kulit, telah
dilaporkan bahwa dapat menyebabkan paralisis fasialis yang tiba-
tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam percobaan bunuh diri maupun
mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik
permanen ataupun temporer.2
d. Kongenital
Facial palsy bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang
kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus
fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom
Moibeus).3
e. Bell’s Palsy
Bell’s palsy merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui
penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang
dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris “cold”
nerfus facialis bisa sembab. Karena terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang
disebut sebagai Bell’s Palsy.4
f. Penyakti-penyakit tertentu
Facial palsy dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya
DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi
telinga tengah, sindrom Guillian Barre.4

4. Penatalaksanaan
a. Proteksi mata sebelum tidur
b. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot
wajah selama 5 menit dua kali sehari. Masase ini dimulai dari dagu
dan bibir dan diarahkan ke atas
c. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah
yang dipakai secara umum dalam penanganan beberapa kasus.
Sebuah metode sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh
dengan cara menggunakan plaster adhesive yang direkatkan pada
dahi yang dibelah pada bagian bawahnya sehingga berbentuk seperti
huruf “Y“ terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas dan bawah
seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.
d. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah
dianggap cukup bermanfaat.
e. Pemberian prednison (40-60 mg/hari) selama seminggu pertama
hingga 10 hari setelah onset cukup menguntungkan, dan hal tersebut
dapat menurunkan kemungkinan terjadinya paralisis yang permanen
akibat adanya pembengkakan dari nervus dalam kanalis fasialis yang
sempit.
f. Prosedur operasi biasanya cukup bermanfaat ketika penyembuhan
spontan tidak terjadi. Neurolisis atau sambungan end to end dapat
diindikasikan untuk lesi di eksrakranial atau pada cabang nervus
fasialis. Ketika kerusakan saaf berada diatas foramen stilomastodeus,
maka cara tersebut tidak efektif lagi dan perbaikan persarafan otot
wajah hanya dapat dicapai dengan menyambungkan bagian distalnya
nervus fasialis dengan bagian pusat dari salah satu saraf kranialis
liannya, misalnya dengan saraf XII.
g. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis
cukup efektif dan bahkan hal tersebut bisa membahayakan.Ketika
fungsi motorik pulih kembali, pasien hendaknya latihan
mengerakkan berbagai otot wajahnya ketika sedang bercermin.4

5. Pemeriksaan
 Serologi - lyme, herpes dan zoster. Mungkin tidak mempengaruhi
penatalaksanaannya, namun dapat mengungkapkan etiologinya.
 Periksa tekanan darah pada anak-anak dengan Bell's palsy (ada
laporan kasus kmengenai koartasio aorta yang timbul dengan nervus
facialis palsy dan hipertensi)
 Pemeriksaan berikut jarang dilakukan namun dikombinasikan
dengan pemahaman yang baik mengenai neuroanatomi dapat
menentukan tingakt kelumpuhannya:
  Uji air mata Schirmer (menentukan kadar kekurangan air mata
pada sisi yang terkena yang mempengaruhi nervus palatinus
magnus).
  Refleks Stapedial.
  Pemeriksaan Electrodiagnostik.
6. Prognosis
Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari
motorik unit dan jika dalam beberapa hari nervus fasialis sama sekali
tidak dapat terstimulasi maka prognosisnya kurang baik. Dilaporkan
bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot dalam 2 atau 3 minggu
menandakan bahwa setidaknya beberapa serabut saraf telah mengalami
degenersi Wallerian. Kadang kadang dapat timbul gejala berupa spasme
klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah. Sindrom air mata
buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa
kasus, yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion
genikulatum ke glandula lakrimalis. Lebih dari 50% kasus Bell’s palsy
sembuh sempurna dalam kurun waktu beberapa bulan.3
BAB III
KESIMPULAN

Nervus kranialis VII (facialis) berfungsi terutama sebagai saraf motoris


(beberapa serabut sensoris dari meatus akustikus eksternus, serabut pengendali
salivasi dan serabut pengecapan dari lidah bagian depan dalam cabang chorda
tympani). Saraf ini juga mempersarafi stapedius (sehingga lesi saraf total akan
merubah kepekaan pendengaran pada daerah yang terkena).
Kelainan pada nervus fasialis berupa Facial Palsy. Facial palsy dapat
terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya trauma, tumor, toksin, congenital,
penyakit tertentu, serta idiopatik (Bell’spalsy).Prognosis facial palsy perifer
tergantung dari cepat tidaknya tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM, Neurologi KlinikPemeriksaan Fisik dan Mental: Saraf


Otak, FK UI Jakarta 2004, hal 55-59
2. Walton SJ.Brain’s Disease of of the Nervous System: the Seventh of Facial
Nerve.6th ed.ford.Oxford University Press;1985.p.114-15
3. Mardjono M.Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar: Saraf Otak dan Patologinya.
Jakarta: Dian Rakyat; 2000.hal 162
4. Harsono.Kapita Selekta Neurologi: Neuropati dan Miopati.Edisi II.Yogyakarta
Gadjah Mada University Press;2000.hal 297-98

Anda mungkin juga menyukai